MUSLIM bodoh adalah yg belajar dari mendengar apa KATA - TopicsExpress



          

MUSLIM bodoh adalah yg belajar dari mendengar apa KATA orang, tanpa mau belajar sendiri. MUSLIM bodoh berkata: JIWA = ruh..!! tapi aku berkata: banyak belajar lagi ya, nak..!! hai MUSLIM..!! ini kata AHLI TAFSIR MUSLIM ttg roh: islamquest.net/id/archive/question/fa7218 Di bawah ini akan disebutkan sebagian hadis-hadis yang menunjuk bahwa ruh bukan malaikat dan bukan Jibril: Seorang datang menghampiri Imam Ali As dan bertanya, “Apakah ruh adalah Jibril itu sendiri?” beliau bersabda, “Jibril adalah dari malaikat dan ruh bukanlah Jibril.” [7] Abu Bashir bertanya kepada Imam Shadiq As tentang firman Tuhan, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku,” Imam Shadiq As bersabda, “Ruh adalah suatu ciptaan yang lebih agung [lebih luas, lebih besar, dan lebih tinggi] dari Jibril dan Mikail As. Ruh ini bersama Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait dan berasal dari alam malakut.” [8] Kendati demikian, kita menyaksikan dalam sebagian ayat-ayat al-Quran yang memperkenalkan Jibril As sebagai Ruh al-Amin, namun bentuk penggabungan dari kedua tema ini adalah sebagaimana yang ditegaskan oleh Allamah Thabathabai Qs, “Dari ungkapan al-Quran dapat disimpulkan bahwa Jibril dan para malaikat adalah “pembawa” dan “penyampai” ruh dan mereka akan senantiasa bersama dengannya dalam [perjalanan] menurun dan menaik. Dan dari aspek inilah, ruh dari satu sisi adalah realitas yang tak terpisah dari malaikat dan Jibril, dan dari sisi yang lain sebagai realitas yang terpisah dari mereka.”[9] Hakikat Ruh dalam al-Quran dan ayat 85 surah Isra: Mengenai hakikat ruh ini, pada ayat tersebut, secara umum Allah Swt berfirman, “Katakanlah, ruh itu termasuk urusan [perkara] Tuhan-ku.” Supaya hakikat tentang “urusan Ilahi” ini menjadi jelas bagi kita, kita dapat merujuk pada sebagian ayat-ayat seperti, “Sesungguhnya perkara-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah ia.”[10] Urusan-Nya adalah demikian, bahwa ketika Dia menghendaki sesuatu, hanya dengan mengatakan “Jadilah”, maka sesuatu tersebut akan segera terwujud. Menurut Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizân, ayat ini menunjukkan bahwa ruh merupakan salah satu dari urusan Allah yang dinisbatkan pada zat-Nya, dan karena yang termasuk dalam “urusan Ilahi” adalah kalimat “kun” (jadilah), yang tak lain adalah kalimat pewujudan dan mengisyarahkan pada perbuatan khusus bagi Zat Ilahi, oleh karena itu, ruh juga termasuk dalam urusan Ilahi dalam skala masa dan tempat, dan dan sama sekali tidak bisa diperhitungkan dengan kriteria-kriteria materi lain yang manapun.[11] Dalam al-Quran, ruh ini didefinisikan dengan berbagai intepretasi, salah satunya disebutkan secara sendiri dan secara mutlak, seperti ayat di atas. Demikian juga kadangkala disebutkan bersama malaikat, dan terkadang dikatakan sebagai sebuah hakikat yang akan ditiupkan pada manusia secara umum, suatu waktu juga merupakan sebuah hakikat yang menyertai orang-orang beriman, dan kali lain sebagai sebuah hakikat dimana para nabi berinteraksi dengannya. Kenapa tidak ada penjelasan lebih mendalam tentang hakikat ruh? Secara umum, mengenai hakikat ruh, cukup untuk dikatakan bahwa ruh merupakan sebuah hakikat non-materi (mujarrad) dan merupakan salah satu dari urusan Allah, akan tetapi pemahaman tentang bagaimana urusan ketuhanan ini dan tahapan-tahapannya, membutuhkan ilmu syuhudi, dan termasuk dari rahasia-rahasia mukasyafah, dan karena mayoritas manusia tidak memiliki pemahaman seperti ini, maka membincangkan masalah ini akan menyebabkan keheranan akal, dan mungkin juga akan menyebabkan ketersesatan. Karena itu, dalam al-Quran al-Karim tidak ada penjelasan yang lebih mendalam mengenai pengenalan ruh. Dari sini, tidak boleh ada persangkaan bahwa Rasulullah sendiri tidak memiliki ilmu ini, sebagaimana pengenalan hakikat ruh secara perolehan dan yakin merupakan bagian dari derajat para arif, dan penjelasan rahasia-rahasianya bagi mereka yang mencintai ilmu ini, tidak akan memiliki manfaat ilmiah.[12] Sedangkan yang dimaksud dalam kalimat “wa mâ ûtîtum minal ‘ilmi illâ qalîlâ” adalah bahwa apa yang dimanfaatkan oleh ulama dari aspek lahirian masalah ini, hanyalah sedikit dari yang banyak, dan hakikat ruh merupakan sebuah persoalan yang lebih luas, dan memahaminya tidak akan mungkin diterima kecuali melalui ilmu perolehan (ilm hushuli). Apakah ruh dapat dilihat? Dari apa yang telah lalu menjadi jelas bahwa karena ruh adalah sebuah hakikat yang tidak terikat oleh ruang dan waktu dan tidak memiliki karakteristik materi, maka ruh ini tidak berada dalam cakupan indera lahiriah dan penglihatan kasat mata. Kendati mukasyafah dan syuhud sebelumnya, ruh dapat diterima bagi para maksum, dan mungkin para arif juga memiliki syuhud ini secara global, dan tidak ada perbedaan dengan kenonmaterian ruh. Demikian juga, sebagian dari pengaruh dan manifestasi ruh (bukan zat ruh itu sendiri) bisa tertampakkan dalam bentuk materi lembut, seperti badan mitsali yang merupakan bentuk ruh di alam barzah dan memiliki karakteristik-karakteristik yang mirip dengan jasmani duniawi dalam sebuah derajat yang lebih tinggi dari lathafat dan nuraniyat. Perlu disebutkan bahwa dalam tradisi sebagian disiplin ilmu, demikian juga dalam sebagian perubahan yang aplikatif, menunjuk pada bentuk [badan] mitsali ini, karena bentuk [badan] ini mengandung ruh yang telah berpisah dari badan-jasmani dan secara luas bisa menampakkan pengaruh-pengaruh ruh. Badan-mitsali ini dapat dilihat dan diindera di alamnya sendiri [alam mitsali atau barzakhi]. Namun hal ini tidak bisa diperbandingkan dengan ruh yang disandarkan secara langsung kepada Tuhan dan merupakan sejenis perkara Ilahi, karena keberadaan ruh di alam eksistensi [alam akal, mitsal, materi] lebih tinggi dari perkara-perkara tersebut dan tergolong sebagai rahasia-rahasia Ilahi. pendapat AHLI TAFSIR MUSLIM ttg JIWA: hizbut-tahrir.or.id/2012/12/01/jiwa-yang-tenang-tafsir-qs-al-fajr-89-27-30/ Jiwa Yang Tenang (Tafsir QS al-Fajr [89]: 27-30) يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾ Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30). Tafsir Ayat Allah SWT berfirman: Yâ ayyatuhâ an-nafsu al-muthmainnah (Hai jiwa yang tenang). Ayat ini memberitakan tentang pemanggilan an-nafs al-muthmainnah. Kata an-nafs bisa digunakan untuk menyebut zat (benda) secara keseluruhan (lihat: QS al-Zumar [39]: 56; QS al-An’am [6]: 151);[1] bisa juga untuk menyebut ruh (lihat: QS al-An’am [6]: 93).[2] Adapun kata al-muthmainnah merupakan ism al-fâ’il dari al-thuma’nînah wa al-ithmi’nân. Secara bahasa, kata al-thuma’nînah berarti as-sukûn (diam, tenang, tidak bergerak).[3] Dijelaskan juga oleh al-Asfahani, kata tersebut berarti as-sukûn ba’da al-inzi’âj (tenang setelah gelisah atau cemas).[4] Menurut at-Tunisi, kata ithma’anna digunakan ketika hâdi[an] ghayra mudhtharib wa lâ munza’ij (tenang, tidak cemas dan tidak gelisah). Kata itu juga bisa juga digunakan untuk menunjuk ketenangan jiwa karena membenarkan apa yang dalam al-Quran tanpa ada keraguan dan kebimbangan. Oleh karena itu, penyebutan tersebut merupakan pujian atas jiwa tersebut. Bisa pula, ketenangan jiwa tersebut tanpa takut dan fitnah di akhirat.[5] Siapa yang dimaksud dengan orang yang berjiwa tenang dalam ayat ini? Ada beberapa penjelasan. Menurut Ibnu Abbas, dia adalah al-muthmainnah bi tsawâbil-Lâh (jiwa yang tenteram dengan pahala Allah); juga bermakna jiwa yang mukmin.[6] Al-Hasan menafsirkannya sebagai al-mu’minah al-mûqînah (jiwa yang mukmin dan yakin). Athiyah berpendapat, ia adalah jiwa yang ridha terhadap qadha Allah.[7] Dikemukakan al-Khazin, yang dimaksud dengannya adalah jiwa yang teguh di atas iman dan keyakinan, membenarkan apa yang difirmankan Allah SWT, meyakini Allah SWT sebagai Tuhannya, serta tunduk dan taat terhadap perintah-Nya.[8] Ibnu Jarir ath-Thabari memaknainya sebagai orang yang tenteram dengan janji Allah SWT yang disampaikan kepada ahli iman di dunia berupa kemuliaan bagi dirinya di akhirat, kemudian dia membenarkan janji itu.[9] Abu Hayyan al-Andalusi menyatakan, al-muthmainah adalah al-âminah (orang yang aman dan tenteram) tidak diliputi oleh ketakutan dan kekhawatiran; atau tenteram dengan kebenaran dan tidak dicampuri dengan keraguan.[10] Diterangkan Fakhruddin ar-Razi, al-itmi’nân berarti al-istiqrâr wa ats-tsabbât (kekokohan dan keteguhan). Bentuk keteguhan itu ada beberapa. Pertama: meyakini kebenaran dengan pasti (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 260). Kedua: an-nafs al-âminah (jiwa yang aman dan tenteram) tidak bercampur dengan ketakutan dan kekhawatiran (Lihat: QS Fushilat [41]: 30). Jika diperhatikan, sekalipun menggunakan redaksional yang berbeda-beda, sesungguhnya obyek yang ditunjuk tidak berbeda, yakni orang Mukmin yang taat dan ikhlas. Ini juga ditegaskan oleh al-Qurthubi, bahwa yang benar adalah jiwa tersebut bersifat umum mencakup semua jiwa yang mukmin, muklish dan taat.[11] Kepada jiwa yang tenang itu diserukan: Irji’î ilâ Rabbika râdhiyah mardhiyyah (kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai). Jiwa itu dipanggil untuk kembali kepada Rabbiki. Yang dimaksud dengan Rabbiki di sini adalah Allah SWT.[12] Digunakan kata Rabbiki, menurut al-Alusi, untuk menambah kelembutan.[13] Di-mudhâf-kan kepada dhamîr an-nafs al-mukhâthah—yakni kata ganti orang kedua yang menunjuk pada an-nafs—berguna sebagai tasyrîf[an] lahu (untuk memuliakannya).[14] Menurut Ibnu Zaid, perkataan ini disampaikan ketika mati dan keluarnya ruh dari jasad seorang Mukmin di dunia.[15] Dari Said berkata, “Saya membaca ayat ini (Yâ ayyatuhâ an-nafsu al-muthmainnah; Irji’î ilâ Rabbiki râdhiyah mardhiyyah) di samping Rasulullah saw., lalu Abu Bakar ra. berkata, “Sungguh ini sesuatu yang bagus.” Kamudian Rasulullah saw. bersabda: أما إنَّ المَلَكَ سَيَقُولُهَا لَكَ عِنْدَ المَوتِ Adapun sesungguhnya malaikat akan mengatakan itu kepadamu ketika mati (HR ath-Thabari).[16] TAUKAH KALIAN: kata NAFS oleh QURAN di terjemahkan oleh AHLI TAFSIR sebagai JIWA, tapi oleh ALKITAB di terjemahkan sebagai roh, kok beda---!!! pantas MUSLIM & NASRANI beda pendapat ttg JIWA & ROH, sebetulnya bukan beda, tapi TERTUKAR PENDAPATNYA..!!
Posted on: Sun, 16 Jun 2013 16:59:41 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015