Memang, dalam perjalanan sejarah peradaban manusia yang paling - TopicsExpress



          

Memang, dalam perjalanan sejarah peradaban manusia yang paling mencolok adalah peristiwa peperangan, kebrutalan, penaklukan, pembantaian, dan berbagai kekerasan lainnya. Namun, bukan berarti hanya peristiwa kekerasan sajalah yang menjadi tanda kebangkitan suatu peradaban karena, di sisi lain, terjadi juga alih khazanah peradaban melalui penerjemahan. Misalnya, dalam sejarah Alkitab Perjanjian Lama dan Baru, upaya penerjemahan ke beberapa bahasa sudah dirintis bahkan sejak sebelum masa Perjanjian Baru, dan ada suatu peristiwa penerjemahan yang cukup legendaris, yaitu, Septuaginta yang dalam bahasa Latin artinya adalah “terjemahan dari tujuh puluh penerjemah”. Dalam legendanya diceritakan bahwa ada 70 penerjemah yang bekerja menerjemahkan Perjanjian Lama, mereka bekerja terpisah satu sama lain. Namun, hasil terjemahan mereka ternyata identik satu sama lain. Bagi kalangan Yahudi dan Kristen keidentikan itu dipandang sebagai mukjizat. Namun, sebagaimana lazimnya penerjemahan yang juga sangat mungkin salah, kata “keren” dalam bahasa Ibrani memiliki beberapa arti, salah satunya adalah “tanduk”. Penerjemah Alkitab menggunakan kata “tanduk” itu untuk Musa, padahal artinya adalah “sorotan cahaya”. Akibatnya? Michelangelo pun membuat patung Musa yang bertanduk, dan bagi kalangan Anti-Semit hal itu digunakan sebagai ejekan untuk menyatakan bahwa orang Yahudi adalah “iblis bertanduk”. Pekerjaan menerjemahkan tidak selalu merupakan pekerjaan adem ayem dan jauh dari konflik. Misalnya, dalam surat-surat Kartini kepada sahabatnya di Belanda, dia sempat mengeluhkan tentang Al-Quran yang hanya tersedia dalam bahasa Arab, tanpa terjemahan, sehingga dia tidak bisa memahami apa pesan yang ingin disampaikan Al-Quran. Pesan Al-Quran hanya bisa dijelaskan oleh para ulama yang mahir berbahasa Arab, tapi itu pun sudah pasti berbungkus dengan tafsir (dan bukan tidak mungkin terbungkus kepentingan politik penafsiran) sang ulama. Namun, meski hari ini sudah ada terjemahan Al-Quran, tapi tetap masih ada permasalahan kuasa, yaitu standarisasi terjemahan Al-Quran yang dilembagakan. Ini akan menjadi permasalahan apabila standarisasi tersebut menutup diri terhadap argumen tandingan bahwa terjemahan kata “X” tidak hanya berarti “(X)” sebagaimana yang selama ini distandarisasikan, tapi “[X]” dengan dilatari sekian argumen. Bukan hanya itu. Bahkan di kalangan akademisi sastra, misalnya, masih bersemi pandangan ortodoks “bernuansa Zaman Kegelapan” ihwal terjemahan. Kalangan fundamentalis tersebut memiliki keyakinan—mungkin merasa sebagai “penjaga kesucian” semua teks—yang memperlakukan teks laksana kitab suci. Mereka mencekoki bahwa penerjemahan itu adalah pengkhianatan dan pemerkosaan terhadap teks; memandang sinis semua upaya penerjemahan. Umberto Eco, yang karyanya banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, bahkan menyatakan dengan bijak bahwa penerjemahan itu adalah “pengkhianatan yang terpuji”. Sikap anti-penerjemahan itu adalah suatu ironi, semacam sikap konservatif khas abad Kegelapan, namun ternyata masih bersemi di era (Post)Modern. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di Indonesia banyak sekali beredar buku-buku dengan kesalahan penerjemahan yang sangat fatal dan sangat berpotensi memunculkan banyak kesalahmengertian. Tapi itu bukan berarti upaya penerjemahan adalah dosa haram yang harus dihilangkan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa peradaban pun berpindah melalui upaya penerjemahan. Bahkan di perpustakaan Alexandria yang legendaris itu pun, ada tim yang pekerjaannya adalah menyalin suatu kitab pinjaman dan kemudian mereka simpan salinannya di perputakaan Alexandria, dan kemudian ada yang diterjemahkan. Bahkan Perjanjian Lama pun diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (lihat Septuaginta di atas) karena banyak bangsa Yahudi sudah tidak lagi mengenal bahasa Ibrani. Coba lihat juga sejarah datangnya kaum Yesuit ke Tibet tahun 1700an. Pada waktu itu, misionaris yang datang bernama Desideri. Dia mempelajari bahasa Tibet dan kemudian menerjemahkan sutra-sutra Buddha, banyak berdebat dengan para Lama Tibet dan sering tersudut, namun lama kelamaan dia berpikir bahwa para Lama itu ada benarnya juga. Namun, sialnya, Desideri dianggap oleh kaum Yesuit telah bersimpati kepada yang sesat, maka dia pun diperintahkan keluar dari Tibet. Desideri kembali ke kolese Yesuit di Prancis sambil membawa sutra-sutra Buddha yang telah diterjemahkannya. Dan di tempat itu, datang pula seorang pemikir besar yang kemudian menetap untuk menulis sebuah karya yang apabila ditelaah konsep-konsepnya tentang Diri sangat mirip dengan Buddha. Rupanya, di kemudian hari Alison Gopnik menemukan bahwa penghubung antara pemikir itu dengan Buddha adalah melalui Desideri, melalui terjemahan-terjemahannya. Siapakah pemikir yang dibicarakan tadi? David Hume, salah satu filsuf terpenting dalam era Pencerahan. Jadi, apakah terjemahan itu sedemikian haramnya serta benar-benar merupakan pengkhianatan dan pemerkosaan atas teks? Kisah lainnya bagaimana penerjemahan telah membangkitkan suatu peradaban bisa dilihat dari bagaimana, ketika masa kejayaannya, dalam peradaban Islam banyak diterjemahkan berbagai naskah dari bahasa Yunani dan bahasa-bahasa lainnya. Pada masa kejayaan itu, muncullah seorang Mujadid, sang pembaharu, yaitu Imam Al-Ghazali. Awalnya dia adalah seorang akademisi, bahkan rektor sebuah universitas. Namun, dia mengalami kegelisahan spiritual, dan kemudian mundur dari dunia akademis tersebut untuk uzlah atau menyepi selama sekian tahun hingga akhirnya mencapai ma‘rifat (mengenal Allah yang serentak berarti mengenali diri sendiri), serta mengenali misi hidup untuk apa dia dicipta. Setelah itu, dia menulis memoar berjudul “Munqid Min Al Dhalal” atau “Penyelamat dari Kesesatan”. Karya itu nantinya akan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dan kemudian dimiliki juga oleh Rene Descartes. Dalam buku itu, Imam Al-Ghazali menulis kata-kata “Keraguan adalah awal dari keyakinan.” Oleh Descartes, kata-kata itu ditandai dan diberi catatan: “Pindahkan ini ke catatan kita.” Rupanya buku terjemahan Al-Ghazali yang tertera catatan tangan langsung Descartes itu masih tersimpan saat ini di museum Descartes. Namun, ketika seorang peneliti dari Arab meminta izin untuk melihat buku itu, pihak museum memilih tidak memperlihatkan lagi kepada publik buku Al-Ghazali koleksi Descartes tersebut. Tapi, dengan demikian, itu adalah bukti bahwa Renaisans di Eropa, yang salah satunya dipelopori oleh Descartes dengan semboyan Cogito Ergo Sum (Aku Berpikir maka Aku Ada), setidaknya terinpirasi juga oleh terjemahan karya Al-Ghazali, terutama kata-kata “Keraguan adalah awal dari keyakinan”. Karena itu, ada baiknya kita menyimak pesan dari Hegel, filsuf Jerman terbesar: “Hal yang diajarkan pengalaman dan sejarah kepada kita yaitu bahwasanya masyarakat dan pemerintah tidak pernah belajar apa pun dari sejarah, atau bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang dideduksikan dari sejarah.”
Posted on: Tue, 25 Jun 2013 01:57:43 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015