Membangun Harus Lebih Baik, Adil dan Beradab “Kemacetan Jakarta - TopicsExpress



          

Membangun Harus Lebih Baik, Adil dan Beradab “Kemacetan Jakarta dan kota sekitarnya. Masalah parkir dan penggusuran. Sepantasnya dilakukan secara manusiawi…” Oleh : En Jacob Ereste Tudingan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok adanya oknum yang berada di belakang PKL (Pedagang Kaki Lima) di Jakarta, sehingga dirasa perlu menggendeng TNI dan Polri untuk melakukan penertiban, agaknya terlalu berlebihan dan selalu dijadikan dalih melakukan pembenaran melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat . Hingga dengan cara itu, Provinsi DKI Jakarta akan tegas melakukan penertiban parker liar yang ikut membuat kemacetan Jakarta. Padahal, masalah kemcaetan di Jakarta, bisa diusut dari jumlah kendaraan yang dimiliki dan digunakan oleh pegawai pemerintah DKI Jakarta maupun pegawai departemen dari berbagai kementerian yang tidak maksimal menggunakan angkutan jemputan. Demikian juga dengan upaya pemerintah Pemda DKI Jakarta yang selalu gagal memaksimalkan pelayanan angkutan missal, utamanya kerta (api, listrik maupun diesel) untuk melayani masyarakat Jakarta dan sekitarnya, sehingga ter[aksa menggunakan kendaraan pribadi, baik yang berdo empat maupun kendaraan yang beroda dua. Ikhwal dari kemacetan Jakarta yang tidak kunjung tuntas, memang disebabkan oleh beberapa masalah. Ikhwal parker yang menggunakan bahu jalan umumnya di Jakarta, akibat vdari Pemda DKI Jakarta sendiri tidak menyediakan lahan parkir yang cukup. Idealnya lahan parkir kendaraan harus tersedia pada setiap stasiun kerta, baik yang ada di dalam kota maupun yang ada di stasiun kerta yang beada di luar kota Jakarta. Sehingga, daya rangsang bagi pengguna kendaraan dari luar kota cukup menggunakan kendaraan pribadinya dari rumah ke stasiun setempat, lalu memarkir kendaraannya di stasiun luar kota, tidak perlu masuk berjejel-jejal memacu kendaraannya masuk Jakarta. Begitu juga idealnya, bagi warga Jakarta, tidak perlu menggunakan kendaraan pribadinya, manakala tidak terpaksa ketika hendak ke luar kota. Namun masalahnya – sekali lagi – fasilatas umum yang tersedia untuk masuk ke Jakarta dan untuk ke luar Jakarta dalam bentuk kendaraan missal, tidak cukup memadai melayani kebutihan masyarakat. Akibatnya – meski dengan paksa – warga masyarakat Jakarta dan masyarakat sekitar Jakarta cenderung menggunakan kendraaan pribadi mereka. Karena untuk mengharap terpenuhinya pelayanan kebutuhan transportasi masyarakat umum ke Jakarta maupun dari Jakarta tidak cukup tersedia. Kalau pun sekarang Pemda DKI Jakarta sudah berbungah dengan adanya angkutan Trans Jakarta (Bus Way ?), toh kemacetan masih terjadi dimana-mana. Ironisnya lagi, meski Trans Jakarta sudah dilakukan penambahan-penambahan jumlah armada, toh antrean panjang di separator Trans Jakarta masih berjubel sama dengan kondisi di sejumlah terminal tempo dulu yang ada di Jakarta. Artinya, keberadaan Trans Jakarta belum memenuhi standar kebuuhan minimal warga masyarakat Jakarat dan sekitarnya, apalagi kondisinya pun masih tetap tidak manusiawi. Kecuali antrean panjang di sejumlah salter Trans Jakarta – seperti di Duku Atas, Harmoni, Kalideras dan sejumlah tempat penantian bus Trans Jakarta – penumpang yang berjubelan menggnakan pelayan Trans Jakarta belum manusiawi. Pengamatan Komunitas Buruh Indonesia yang melakukan penelitian mengenai masalah pekerja dan kinerja serta kesejehteraan dari keberadaan Trans Jakarta, mengindikasikan masih kurangnya jumlah kedneraaan, sehingga mengakibatkan frekuensi dari waktunya melintas merupakan indicator dari lemahnya pelayanan yang diberikan. Pada gilirannya, pengguna Trans Jakarta jadi menumpuk dan berjejal-jejalan menggunakan dalam satu bus yang melintas dalam tenggang waktu yang belum terjadualkan secara tepat dan tepat. Jika pemerintah DKI Jakarta mengklaim penyebab dari kemacetan Jakarta dan sekitarnya lantaran ruas jalan yang terbatas – baik lebar maupun panjangnya – agaknya tidak telaku signifikan. Kalau pun uapaya memperlebar dan memperpanang jumlah jalan, maka apa sulitnya bila diwujudkan dengan membangun jalan layang sebanyak-banyak mungkin. Seperti sepanjang jalan Daan Mogot misalnya, mengapa tidak mungkin dipikirkan untuk dibuat jalan bertingkat. Bila perlu dari Jakarta ke Bogor dan sebaliknya, dari Jakarta ke Bekasi dan sebaliknya bahkan dari Serang ke Jakarta dan sebaliknya, dapat saja dibuat jalan bertingkat. Alternatif jalan bertingkat ini dapat dipadankan pembiayaannya bila dilakukan dengan cara memperlebar bahu jalan. Dari perhitungan sementara para ahli konstruksi, nilai pelebaran jalan dengan nilai membangun jalan bertingkat untuk harga pembebasan lahan di Jakarta dan sekitarnya, tidak jauh berbeda. Sementara membangun jalan bertingkat dari Jakarta ke berbagai kota yang ada disekitarnya dapat dipastikan akan menghemat penggunaan lahan, sehingga pengaruhnya terhadap peresapan air tanah, tidak akan mengkhawatirkan banyak pihak. Begitu juga kesimpulan Pemda DKI Jakarta yang mengkambing-hitamkan penggunaan bahu jalan sebagai tempat memarkir kendaraan, jelas bukan tidak bijak manakala Pemda DKI Jakarta sendiri tidak cukup memadai menyediakan lahan parker untuk kendaraan yang ada. Lahan parker di stasiun kereta Depok, stasiun kereta Bekasi bahkan stasiun kereta Serang dan Merak, misalnya dapat diperluas, sehingga memungkinkan bagi pengguna kendaraan menggunakan prabdi sacar terbatas. Karena ideaslnya, masyarakat paham bahwa menggunakan kendaraan pribadi dari Jakarta ke luar kota Jakarta atau sebaliknya, jelas dan pasti dipaham lebih tinggi resiko maupun pembiayaan yang harus ditanggung oleh warga masyarakat dibanding dengan menggunakan kendaraan umum. Hanya saja masalahnya – sekali lagi – fasilitas angkutan umum amat sangat tidak memadai, hingga cenderung lebih tidak manusiwi. Agaknya, Gubernur DKI Jakarta bisa membuka mata untuk mengintip setiap kali kereta antar kota melintas saat jam berangkat kerja maupun pulang kerja, sangat tidak manusiawi kondisinya. Belum lagi warga masyarakat yang terpaksa menaiki atap kreta, akibat jumlah penumpang yang sangat melampai daya tamping kendaraan yang digunakan. Untuk sejumlah bus kota pun – baik yang melintas dari Jakarta ke Bekasi, Jakarta Tangerang maupun dari Jakarta ke Bogor dan sebaliknya, luput dari perhatian untuk dilakukan pembenahan dan perbaikan untuk meningkatkan pelayanan yang lebih manusiawi, nyaman dan aman. Kemacetan di setiap lingkungan pasar, jelas sudah menjadi pemandangan sejak awal pasar itu di mulai. Bila masalah parkir yang dianggap menajdi penyebab utama kemacetan, mengapa tidak sejak awal segera dibangun pula lahan parker yang tertata secara terpadu dengan masing-masing pasar yang ada. Keterpaduan pembangunan lahan parkir untuk sejumlah pasar maupun pusat keramaian – pertokoan maupun perkantoran – patut dipadukan dengan lahan parkir yang aman, nyaman serta susana yang menyenangkan. Kecuali utnuk keindahan kot sendiri, lahan parkir yang dibuat sedemikian padu – enak dan indah ketika digunakan – bisa menambah penghasilan Pemda setempat. Studi kasus masalah parkir untuk Jakarta, agaknya dapat menggunakan kawasan bisnis sekitar Sudirman yang relative muali terpadu, meskipun belum maksimal pengelolaannya. Lantaran sejumlah lahan parkir yang dikelola secara pribadi akibat sejumlah gedung maupun plaza belum menyediakan lahan parkir secara maksimal – atau bahkan mungkin di luar perhitungan ketika rancangan perencanaan membangun kapasitas muatan gedung yang bersangkutan dilakukan – tidak sungguh-sungguh menghitung jumlah pengguna kendaraan akan akan berada di gedung yang bersangkutan. Untuk sementara, dapat segera dipahami setiap membangun – utamanya bagi kawasan bisnis, pasar, perkantoran dan kawasan kermaian sejenisnya – harus senantiasa dipadukan dengan penyediaan lahan parkir yang bak, bagus dan manusiai. Sebab nyaris sejumlah bangunan baru yang dibangun, cenderung mengabaikan sikapdan sifat kemanusiaan yang adil dan beradab (Ingat Pancasila). Artinya, kecuali ada kecenderungan pembangunan yang dibuat tidak manusiawi -- tidak adil lantaran hanya duperuntukkan bagi mereka yang bermobil saja – juga cenderung tidak beradab, karena tidak mengindahkan nilai-nilai budaya dan etika. Pembangunan yang tidak adil, bisa saja dipahami dengan menertipkan lahan parkir, namun menggusur para juru parkir tanpa mengharaukan jumlah mereka yang kehilangan mata pencarahaian atau penghasilan, karena kehilangan pekerjaan. Dalam konteks inilah serikat buruh berkepentingan untuk memberi perhatian terhadap juru parkir akan terancam kehilangan pekerjaan. Karena bagi serikat buruh, sejumlah orang yang menjadi tanggungan dari para juru parkir yang akan tergusur itu, ada sejumlah orang yang akan ikut menderita karena ketergusuran mereka. Karenanya, membangun – dalam arti apapun – harus dipahami dan dijalankan dalam konteks kemanusiaan yang adil dan beradab. *** Ada oknum yang bermain di belakang mereka terutama di titik titik dekat pasar,” kata Ahok. “Parkir liar dan PKL menjadikan kondisi jalan menyempit dan menumpuknya volume kendaraan.” Untuk mengantisipasi itu Pemerintah Provinsi DKI menggandeng jajaran TNI dan Polri. “Kami buat tim khusus ada PM, Garnisun, Polisi, Dinas Perhubungan, dan Satpol PP. Kami tegas. Melawan saat penertiban ditangkap, sekalian dengan beking mereka,” katanya, Rabu malam. Ahok mengatakan sebenarnya Pemprov telah menyiapkan berbagai fasilitas bagi PKL dan tempat parkir. Masalahnya PKL dan masyarakat banyak yang tidak memanfaatkan fasilitas ini dengan berbagai alasan. Mantan Bupati Belitung Timur ini mengakui masih ada kekurangan terkait fasilitas pasar untuk tempat parkir dan PKL. “Tapi buat pasar Tanah Abang itu kan di bagian belakangnya banyak lokasi yang kosong, dan tempat parkirnya enggak terpakai. Ini harus dioptimalkan,” katanya. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Pristono mengatakan tim ini akan melakukan evaluasi setiap satu pekan sekali. “Saat ini kami sudah hampir selesai untuk kawasan Pasar Minggu. Yang masih berat dan diupayakan adalah pasar Tanah Abang. Banyak kepentingan untuk menertibkan kawasan ini,” katanya. Ia menyesalkan pengelola yang tidak bisa diajak bicara untuk menertibkan kawasan pasar. “Sekarang langsung di bawah Wakil Gubernur. Kami tambah yakin bisa menertibkan dan menegur di Tanah Abang,” katanya Ahok: Mau Cepat Benerin Jakarta, Bakar Setengah Kota Tapi tentu tidak mungkin melakukan langkah ini. Permasalahan Jakarta diakui Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Rbu 5 Juni 2013 sangat rumit. Penyelesaiannya harus bertahap dan butuh waktu. Hanya cara ekstrem dan berisiko bisa mengubah Jakarta dengan cepat. “Kamu mau cepat benerin Jakarta. Bakar setengahnya Jakarta!” kata Ahok di Balai Kota. Dan, kata mantan Walikota Belitung Timur ini, langkah ekstrem itu tentu tidak mungkin dilakukan karena terlalu berisiko. “Kamu mau bakar? Enggak kan. Makanya kita lakukan bertahap,” katanya. Ahok lalu menuturkan, dia dan Jokowi telah menyiapkan strategi dan skala prioritas untuk membenahi Jakarta. “Kita fokus normalisasi sungai dan waduk dulu, baru yang lain,” katanya. Permasalahan klasik di Jakarta yang kini menumpuk, menurutnya, akibat kebijakan yang dibiarkan sejak lama. “Selama 40 tahun banyak peraturan yang salah di Jakarta,” ujarnya lagi. Pemprov DKI kini tengah menormalisasi Waduk Pluit sebagai langkah antisipasi banjir. Februari 2013 lalu, Jakarta ‘ditenggelamkan’ banjir. Salah satunya akibat kapasitas waduk yang tidak bisa menampung air dari 13 aliran sungai yang ada di Jakarta. Waduk Pluit rusak parah akibat pendangkalan dan pemukiman liar di bantaran waduk. Awalnya luas waduk mencapai 80 hektare dan saat ini menyusut menjadi sekitar 50 hektare. Sedangkan kedalaman waduk mengalami pendangkalan, dari sepuluh meter menjadi tiga meter saja. This post was submitted by V V / IM.
Posted on: Sun, 14 Jul 2013 08:51:20 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015