Memperingati 68 Tahun ABRI - TopicsExpress



          

Memperingati 68 Tahun ABRI 2 Peranan Mahasiswa Dalam Pembentukan TKR Hampir semua mahasiswa kedokteran baik di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur masuk TKR, disamping mereka yang terlibat dalam tugas di PMI sebagai mobiele kolonne, di pos-pos PMI dan rumah sakit. Ada diantara mereka yang sudah masuk TKR tetapi dengan persetujuan komandannya masih bertugas kesana kemari dengan berpakaian sipil. Dari semula para mahasiswa sadar bahwa panggilan dalam menegakkan kemerdekaan RI harus diisi dengan tindakan-tindakan menyusun, membangun dan menyelenggarakan pilar-pilar suatu negara yang merdeka. Oleh sebab itu, selain turut menyusun TKR, tugas diplomasi, media massa, perhubungan dan ekonomi, dilakukan secara bergilir. Ada pula pemuda-pemuda dan mahasiswa pejuang yang tidak bergaung dalam TKR tetapi tetap dalam kelompok-kelompok perjuangan dengan semangat yang tinggi, secara fisik maupun politis. Mereka adalah tentara pejuang dan pegawai pejuang. Setelah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), banyak mahasiswa yang masuk tentara, dan pada umumnya langsung menjadi perwira. Di Resimen IV Tangerang antara lain terdapat, Soejono Joedodibroto, Daan Jahja, Taswin dll, dan di Resimen V serta kemudian Resimen VI terdapat antara lain Soewardjono, bahkan Soeroto Koento kemudian menjadi komandan Resimen VI di Cikampek. Di Jakarta terbentuk kantor Penghubung (TKR Penghubung), di jalan Cilacap, di bawah pimpinan Letnan Kolonel M T Harjono, Mayor Wibowo, Mayor Oetarjo, Kapten Azhari Zikir dll., yang semuanya berasal dari Prapatan 10. Tugas kesatuan ini berfungsi sebagai penghubung antara TKR dengan pimpinan tentara Sekutu di Jakarta. Pada 18 November, atas prakarsa para mahasiswa kedokteran dalam Resimen IV yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Singgih, seperti Mayor Daan Jahja, Mayor Soejono Joedodibroto, Kapten Taswin, Mayor Daan Mogot, Mayor Kusno Utomo dan Mayor Kemal Idris, dibentuk Sekolah Tinggi Kemiliteran yang kemudian berubah menjadi Akademi Militer di Tangerang. Di kota ini dibentuk dan di gembleng kader-kader perwira tentara yang sangat dibutuhkan waktu itu. Sebagai pimpinan akademi diangkat Mayor Daan Mogot, perwira polisi masa pendudukan Jepang. Calon perwira diambil dari anggota resimen pelajar SMA dan SMP terdiri dari lima peleton. Setiap peleton terdiri dari 40 orang. Resimen IV terdiri dari lima batalyon dengan masing-masing komandan adalah Mayor Daan Jahja, Mayor Soejono Joedodibroto, Mayor Kusno Utomo, Mayor Kemal Idris dan Mayor Daan Mogot. Sedangkan sebagai intstruktur pada AMT (Akademi Militer Tangerang) yang ditugaskan melatih para taruna, diangkat Kapten Islam Salim, Kapten Tommy, Kapten Otje Mochtar, Kapten Jopie Bolang dan beberapa bekas perwira dan bintara PETA. Kawan-kawan yang berada di daerah juga banyak yang bergabung dengan TKR, baik di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Pasukan BKR susun dengan bentuk pasukan siap tempur, walau dengan persenjataan yang sangat sederhana. Atas dorongan dan inisiatif mahasiswa, Moefraini Moekmin yang sudah dekat dengan mahasiswa Asrama Prapatan 10, khususnya kelompok Matraman PLantsoen, diangkat sebagai Kepala BKR. Pimpinan pasukan BKR lain diantaranya, Daan Jahja, Oetarjo, Soebianto, Soeroto Koento, M T Harjono, Sanjoto, Bagdja Nitidiwirja, Wibowo, Soejono Joedodibroto, Arie Supit, Kemal Idris, Jopie Bolang, Daan Mogot, Taswin, Eri Soedewo, Azhari Zikir, Moerdiatno dan Soewardjono. Mereka yang bertugas di Mobiele Kolonne PMI maupun pos-pos PMI merupakan cikal bakal pimpinan Jawatan Kesehatan Angkatan Darat di kemudian hari pimpinan Prof. Dr Satrio. Sedangkan para mahasiswadi Jawa Tengah seperti Muljoto dan lain-lain bergabung pada Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Di Jawa Timur, para mahasiswa Shika Igaku (Sekolah Tinggi Dokter Gigi) bersama para pelajar lain bergabung pada BKR-Pelajar, yang selanjutnya menyusun pasukan-pasukan sebagai cikal bakal TNI. Dalam rangka pembentukan Tentara Pelajar di Jawa Tengah dan di Jawa Timur, banyak mahasiswa turut berperan, misalnya Anto Suleiman, Imam Slamet (Bok), Soedarpo Sastrosatomo, Aboe Bakar Loebis, Sujitno, Piet Mamahit, Mahar Mardjono, Makes, Suharjo, Abdul Fatah, dan Barlan. Nasib Mantan Perwira KNIL Masa Pendudukan Jepang Pada masa pendudukan militer Jepang di Indonesia, pada umumnya para perwira KNIL tidak giat dalam dunia kemiliteran pada masa pendudukan militer Jepang. Banyak diantara mereka ini bersikap a-priori terhadap Jepang, karena mereka pernah berhadapan dengan Jepang sebagai musuh di medan pertempuran sewaktu masih berdinas dalam jajaran KNIL. Terdapat dua kategori opsir-opsir di dalam KNIL, lulusan KMA Breda, Negeri Belanda dan Sekolah Militer di Meester Cornelis (kini Jatinegara), dan yang satunya lulusan KMA atau Corps Opleiding Reserve Officier (CORO) di Bandung. Yang termasuk kelompok pertama diantaranya adalah: Oerip Soemihardjo, Didi Kartasasmita, Suriadarma, Soebjakto, dan lain-lainnya. Mereka ini tergolong perwira senior. Sedangkan yang termasuk kategori kedua, antara lain: Abdu Harris Nasution, Tahi Bonar Simatupang, Kusno Utomo dan Alex Evert Kawilarang tergolong perwira junior. Banyak diantara mereka masuk penjara atau kamp tawanan Jepang, dan menderita sebagai tawanan Jepang. Misalnya, Alex Kawilarang, pernah menjadi tawanan, tetapi berhasil melarikan diri bersama sejumlah rekannya dari kamp tawanan Jepang. Mereka membenci Jepang dan menolak bekerja untuk militer Jepang. Walau demikian bukan berarti mereka terikat sumpah setia kepada Belanda. Umumnya mereka membenci Belanda karena tidak memperlihatkan keberanian berperang ketika Jepang mendarat di Jawa dan menyerah tanpa perlawanan gigih. Mereka lebih suka melepaskan profesi militernya dan melakukan pekerjaan sipil biasa atau berwiraswasta daripada harus bekerja dengan Jepang. Diantara mereka adalah Oerip Soemihardjo, pensiunan Mayor KNIL yang diaktifkan kembali dalam dinas militer oleh Belanda sebelum perang, tetapi memilih tinggal di rumah. Didi Kartasasmita, mantan Letnan I KNIL yang pernah bertugas di Ambon, memilih menjadi guru. Hidajat Martaatmadja mantan Letnan II KNIL, menjadi pegawai perusahaan angkutan umum. Alex Kawilarang menjadi pegawai biasa di perkebunan. Hanya sedikit diantara para mantan perwira KNIL yang meneruskan karier militer di bawah militer Jepang seperti: Djatikoesoemo, yang lulusan KMA Bandung, menjadi Chudancho PETA di Yogyakarta; Kusno Utomo dan Suriadarma masuk dinas kepolisian; dan Abdul Harris Naution memasuki Seinendan, suatu organisasi kepemudaan yang semi militer. Setelah Jepang menyerah, banyak mantan perwira memiliki pandangan yang berbeda beda. Ada yang pro-Republik dan ada pula pro-Belanda. Mereka yang pro-Republik umumnya lebih terbuka dan tak terlalu sulit untuk diajak terlibat dalam gerakan perjuangan. Mereka ini pada dasarnya sudah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Sementara yang pro-Belanda biasanya dikenal pada sikap dan omongan mereka. Pada masa pendudukan Jepang, bersikap tertutup dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan pendudukan Jepang. Mereka tetap merasa terikat sumpah setia kepada Belanda selaku perwira KNIL, sehingga mereka kembali bergabung ketika Belanda ke Indonesia untuk berkuasa kembali. Blok pro-Belanda membenci Jepang dan tidak percaya pada aspirasi bangsa Indonesia dan aktif dalam gerakan bawah tanah, seperti Soerjo Santoso, Sugondo, Surjobroto, Hamid Algadri dll. Perwira-perwira KNIL ex Pribumi Ramai-Ramai Masuk TKR Dalam usaha melakukan konsolidasi kedalam dan memantapkan kedudukan tentara, Kabinet Syahrir pada 5 Oktober 1945 mengubah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat, TKR, pada 7 Januari 1946, dan kemudian drubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian pada 24 Januari 1946 di rubah menjadi Tentara Republik Indonesia, TRI. Selanjutnya pada 3 Juni 1947 di ubah menjadi Tentara Nasional Indonesia, TNI. Pada masa pra perang dunia II, Bandung menjadi pusat pendidikan militer Hindia Belanda. Banyak pribumi lulusan Lyceum dan HBS (setingkat SMA) dididik menjadi perwira militer dijadikan sebagai pasukan pertahanan terhadap serbuan Jepang di Indonesia. Diantara kalangan "Kadet Bandung" yang di didik masa Belanda di duduki Nazi Jerman adalah A H Nasution, T B Simatupang, A E Kawilarang, Maludin Simbolon, Kartakusumah, Mokoginta, Abdul Kadir dll. Citra perwira-perwira Belanda di KNIL menurun drastis di kalangan perwira pribumi karena dinilai takut berperang terhadap pasukan Jepang ketika melakukan invasi di Jawa hingga bertekuk lutut tanpa perlawanan gigih. Sejak itu pun para perwira pribumi menanggalkan atribut KNIL dan berabdi membela Republik hasil cetusan proklamasi kemerdekaan. Pengabdian ini dilakukan kalangan bekas "Kadet-Kadet Bandung" yang pernah memperoleh pendidikan militer di Bandung pada masa pra perang dunia kedua. Di ikuti bekas pasukan yang turut berperang untuk Sekutu di perang Mediterania hingga perangan Guadalcanal di Pasifik yang terkenal dahsyat, seperti Let-Kol Adolf Lembong. Juga terdapat anggota-anggota yang giat melakukan aksi gerakan bawah di Eropa menghadapi pasukan pendudukan Nazi Jerman. Banyak pula diantara mereka kembali ke tanah air giat di masa perang revolusi kemerdekaan. Pada 5 Oktober 1945, Presiden Soekarno menanda-tangani Dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat, TKR, dan pada hari berikutnya mengangkat Supriadi menjadi Menteri Keamanan Rakyat. Kedua penetapan hasil sidang kabinet itu semata-mata hanya simbolis belaka, karena kalangan kabinet tahu benar bahwa pelaku utama pemberontakan Blitar itu sudah tewas, dan lagi pula bibit-bibit dari hasil pendidikan militer Jepang, PETA belum nampak hasilnya. Walau begitu, di kalangan perwira agak bingung dengan dikeluarkannya maklumat dari Presiden Soekarno. Sebab kaul melihat tanggalnya, kedua maklumat dikeluarkan pada saat Didi Kartasasminta masih melakukan perjalanan untuk mengumpulkan tanda tangan para mantan opsir KNIL. Pada buku biografinya, Didi Kartasasmita, Pengabdian Bagi Kemerdekaan, Didi mengungkapkan: “Keterangan yang saya dengar kemudian menyebutkan bahwa ketika saya masih berkeliling, telah datang dua orang mantaran PETA, yaitu Arifin dan Kafrawi mengadap Presiden Soekarno. Kedua orang itu meminta Presiden agar segera mengeluarkan maklumat tentang pembentukan tentara. Rupa-rupanya Presiden langsung menyetujuinya. Lalu keluarlah kedua makumat seperti yang saya kutip itu. Apakah ketidakhadiran Presiden Soekarno pada sidan Kabinet 15 Oktober ada hubungannya dengan kedua maklmat itu, saya tidak tahu. Kami para mantan opsir KNIL tidak mempermasahkan Maklumat Pemerintah yang dikeluarkan tanggal 5 dan 6 Oktober 1945. Hal itu adalah wewenang pemerintah, dalam hari ini Presiden Soekarno. Kita tahu, Soekarno seorang politikus. ‘Mungkin keluarnya kedua maklumat itu hanya berdasarkan perhitungan politis saja. Selain itu, sayapun dapat memahami bahwa dalam revolusi, segala keputusan mesti diambil serba cepat. Dalam proses pembentukan tentara, justru adanya kedua maklumat itu saya anggap menguntungkan. Pekerjaan kami menjadi ringan. Sebab dengan keluarnya keputusan Presiden Soekarno yang didasarkan kepada “desakan” Arifin dan Kafrawi, teman-teman mantan anggota PETA tentu akan merasa gembira. Saya tahu, jumlah anggota mantan PETA jauh lebih banyak ketimbang mantan KNIL. Dengan sendirinya hal ini akan memudahkan usaha konsolidasi pengorganisasian tentara. Beigtulah menurut perhintungan saya.” Keinginan untuk membangun tentara nasional dalam keputusan itu mempercayakan tugas itu pada Mayor KNIL pensiunan, Oerip Soemihardjo yang waktu itu berusia 52 tahun, dan berdinas di KNIL sejak 1914, dan secara perlahan karier militernya hingga meraih pangkat pada 1935 dengan pangkat Mayor. Ia pensiun pada 1939, tetapi dua tahun kemudian memangku jabatan sebagai komandan dalam milisi pribumi di dekat Bandung. Setelah Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati pada bulan Maret 1942, Oerip mengundurkan diri dan ingin mengakhiri kariernya sebagai militer. Sebagai veteran KNIL ia tetap dikenal di kalangan cendekiawan dan politisi. Itulah sebabnya hingga namanya langsung mencuat ketika Republik ingin membangun tentara nasional. Sementara kesibukan di kalangan bekas tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger), dan mendapat sambutan baik dari bekas-bekas tentaranya, yang menunggu kedatangan mereka di negeri jajahan "Hindia Belanda". Diantaranya terdapat aktivis terkemuka, yaitu Kapten Didi Kartasasmita, bekas perwira KNIL. Didi Kartasasmita adalah perwira turunan Sunda pertama lulusan Breda, di Negeri Belanda, yang merupakan pusat pendidikan Akademi Militer Kerajaan Belanda, Koninklijk Landmacht, KL pada 1930’an. Ketika perang pecah, Kapten Didi Kartasisamita bersama Kapten Kaseger memimpin pertempuran di Benteng “Vredenburg,” pada waktu Jepang menyerbu di Ambon pada awal Februari 1942. Kedua mereka ini ditahan setelah Belanda menyerah selama 10 bulan. Setelah itu Kaseger kembali ke Manado sedangkan Didi kembali ke Jawa dan bekerja sebagai pegawai sipil di kantor Karesidenan Bandung. Karena keturunan Menak (bangsawan Sunda), ia sering berhubungan dengan tokoh Sunda, Otto Iskandadinata, pimpinan BKR yang turut memperkenalkan Didi dengan pemuka-pemuka republik. Keinginan Didi Kartasasmita untuk berjuang bagi Republik disampaikan kepada Dr. Halim, Menteri Kesehatan RI pertama. Didi mengatakan: "Menteri, saya ingin sekali menyumbang untuk revolusi ini dalam bidang pengetahuan saya sebagai bekas KNIL". Dr. Halim menyambut keinginan itu dan berkata: "Nanti saya bicara dulu dengan Bung Karno". Usulan Didi Kartasasmita disambut baik oleh Soekarno yang meminta kesediaannya menyusun rencana konkrit. Bersama dua rekannya, Samidjo dan Sudibjo -keduanya bekas perwira KNIL- Didi Kartasasmita menyusun pernyataan yang menjadi dasar dan rencana orang-orang bekas KNIL, selanjutnya diserahkan pada pemerintah RI. Pemerintah menyetujui rencana tersebut. Dengan dikawal 6 prajurit Didi melakukan perjalanan keliling Jawa dengan modal sebanyak 3.000 rupiah Jepang, yang dijuluki "uang pisang". Dalam perlawatannya di Bandung, Didi Kartasasmita mendapat dukungan dan tanda tangan Suriadarma, Soerjosoelarso dan Hidayat yang juga bekas perwira KNIL. Diikuti Rachmat Kartakusumah, bekas calon perwira KNIL, mendukung isi pernyataan dan mendampinginya dalam perjalanan selanjutnya. Di Cirebon pensiunan Kapten KNIL Wardiman Wirjosapoetro tinggal di sebuah desa kecil turut menandatangani. Di Salatiga mereka menjumpai Kapten KNIL Olan Sumodilogo dan di Semarang menemui dokter tentara KNIL Darmasetiawan. Tetapi lawatan Perjalanan ke Jawa Timur terpaksa dibatalkan, karena waktu yang disediakan terlalu sempit. Dari 20 opsir KNIL yang ada -baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif ketika Jepang menduduki Indonesia-, hanya satu dua orang saja yang tak mau menyatakan setia kepada Republik. "Di antaranya Soeryo Santoso," kata Didi Kartasasmita. Mereka mendapat pernyataan yang harus di tandatangani yang isinya berbunyi: Kami bekas CADETTEN dan bklas ADSPIRANT-RESERVE-OFFICIEREN Tentara Hindia Belanda, menerangkan, bahwa kami menjetoejoei pendirian para opsir kami sebagai tertua dari kami dan berdiri sepenuhnya di belakang mereka. Bandoeng, 8 Oktober 1945. Sekembalinya di Jakarta, pernyataan yang ditandatangani bersama oleh para perwira bekas KNIL itu, setiap hari selama satu minggu dikumandangkan melalui RRI. Sasaran penyiaran keluar negeri dilakukan bertujuan agar supaya dunia luar tahu, bahwa "bumi-putra" bekas perwira KNIL, mendukung Proklamasi Republik Indonesia dan agar Belanda sadar, bahwa mereka tidak dapat lagi mengharapkan kesetiaan dari bekas tentaranya yang ditinggalkan di Indonesia saat Jepang menduduki Indonesia. Sedangkan siaran ke dalam, dimaksudkan agar mereka memberikan "petunjuk kepada bekas KNIL, baik bekas-bekas sersan, ajudan dan prajurit, supaya segera bergabung dengan badan-badan perjuangan Republik". Pada 15 Oktober 1945 para bekas perwira pribumi KNIL membuat pernyataan bersama: Bahwa dengan menyerahnya Belanda kepada Jepang tahun 1942 berarti membebaskan mereka dari sumpah kesetiaan kepada Ratu Belanda, dan slenjutnya menyatakan setia dan taat kepada Pemerintah Republik Indonesia. Menuju Pembentukan Tentara Nasional Indonesia Pembentukan BKR adalah hasil kompromi antara dua kelompok. Di satu pihak, kelompok Oto Iskandardinata dalam PPKI, dan sejumlah pejabat sipil yang ingin tetap berhubungan baik dengan Jepang guna mencegah berulangnya aksi penjarahan, perampokan, pembunuhan, dan anarkisme sporadic yang terjadi dimana-mana segera setelah jatuhnya kekuasaan Belanda di awal bulan Maret 1942. Untuk itu, fungsi utama BKR memperkuat posisi polisi memelihara hukum dan ketertiban dan mendukung wibawa pemerintah. Dilain pihak, ada sekelompok bekas perwira dari keduanya, PETA dan tentara kolonial Belanda (Koninklijk Nederlands Indisch Leger, KNIL) yang ingin membangun tentara nasional saat itu juga. Tak lama setelah PETA dibubarkan, suatu delegasi yang di pimpin perwira eks KNIL Mayor Oerip Soemohardjo menemui Soekarno-Hatta untuk menjelaskan gagasan ini. Kepadanya Soekarno mengatakan: “Saya telah memikirkan masak-masak situasi Republik kita dalam hubungan internasional. Kita segera harus punya alat keamanan negara disamping polisi negara, akan tetapi yang bukan tentara...” Dalam pidatonya yang disiarkan di radio pada 23 Agustus, Soekarno mendesak agar semua bekas anggota PETA dan Heiho mempersatukan kekuatan mereka dalam BKR, dan menekankan “nanti akan datang saatnya kamu di panggil untuk menjadi prajurit dalam tentara kebangsaan Indonesia.” Hasil dari kompromi itu, lebih berpihak pada gagasan kelompok pertama, yakni pembentukan organisasi gaya polisi, karena dilihat dari kondisi kenyataan dengan berbagai aksi penjarahan, perampokan dan pembunuhan di berbagai kota di Jawa. Tetapi keadaan menjadi lain ketika terjadi pendaratan Sekutu yang tidak di hadapi secara militer. Selain akibat di lucutinya PETA dan Heiho, organisasi tentara nasional sama sekali tidak tersusun. Soekarno nampaknya sangat awan dengan masalah militer. Misalnya melakukan imbauan khusus kepada bekas PETA dan Heiho dan bukannya kepada Seinendan dan Keibodan yang jumlahnya yang jauh lebih besar. Lagi pula program latihan pada bekas PETA dan Heiho dilatih dalam sistem polisi dan bukan dalam sistem kesatuan militer yang seharusnya untuk menghadapi pendaratan Sekutu. Bentuk korps perwira PETA juga cukup unik. Pada umumnya para perwira senior PETA adalah orang-orang yang kemampuan dan pendidikannya kurang di banding dengan prajurit-prajurit bawahan yang selain lebih energik juga memiliki pendidikan yang lebih baik. Pimpinan senior selain berusia lebih tua yang tidak simpatik terhadap “mental pemuda,” juga tidak menyelami kehidupan di asrama (tangsi) yang terpencil. Bahkan di masa pendudukan Jepang sudah sering terjadi ketegangan-ketegangan antara kedua kelompok ini. Dalam minggu-minggu setelah pembubaran PETA, hirarki militer ini yang membawahi perwira-perwira muda itu, mengalami perubahan hirarki berdasarkan kemampuan. Perwira-perwira muda ini kembali ke daerah-daerah asal mereka dan mulai mengumpulkan pemuda-pemuda setempat, baik dari PETA maupun Heiho, ataupun dari Seinendan dan organisasi-organisasi pemuda bersifat kemiliteran lainnya, atas dasar charisma dan kemampuan-kemampuan pribadi mereka masing-masing. Setelah itu tentara nasional mulai membangun diri dengan pengumpulan setempat secara berangsur-angsur, diluar pengawasan Jakarta. Hirarki tentara kemudian ditentukan oleh hubungan pribadi antara para komandan dan oleh jumlah senjata yang berhasil mereka rebut. Mulai dari saat itu, sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di tandai oleh usaha untuk membangun suatu komando pusat yang berwenang dan betul-betul dapat membawahi puluhan kelompok bersenjata yang berbeda-beda yang tumbuh dari bawah atas dasar kesetiaan-kesetiaan pribadi dan pengalaman bertempur. Dengan pembubaran PETA, Indonesia selama bertahun-tahun kehilangan kesempatan untuk membentuk tentara nasional sebagai alat politik negara dibawah wewenang dari figur kepemimpinan sipil. Persiapan Tentara Nasional mulai disiapkan sejak bulan September 1945 dan masa itu belum terpilih seorang Panglima Perang, dan bahkan tentaranya belum dibentuk. Dalam anggapan para perwira, keputusan serta pengumuman Bung Karno untuk membentuk angkatan perang pada 5 Oktober 1945, adalah hasil nyata pernyataan bekas-bekas KNIL yang bersedia dan berusaha meletakkan dasar-dasar Angkatan Perang Republik Indonesia. Dilain pihak, pendidikan perwira jebolan PETA, Gyugun dan Heiho lebih diarahkan pada "fighting Spirit" dengan militansi doktrin-doktrin semangat tempur gaya Bushido dan Samurai Jepang. Namun citra Jepang menurun karena kekejaman fasisme pemerintahan militer memberangus tuntutan kemerdekaan kalangan pemuda-pemuda. Disamping itu terdapat pula kalangan pemuda, pelajar dan mahasiswa yang membentuk laskar-laskar. Misalnya, Hizbullah, Pesindo, Barisan Pelopor, Barisan Pelopor, Barisan Banteng, serta dari perantau-perantau luar Jawa seperti KRIS, dari Sulawesi (Utara dan Selatan), Pasukan Istimewa (PI) dari Sumatra Utara. Perpaduan yang terbaur dalam barisan keamanan pendukung Republik ini kian memperkuat posisi Angkatan Bersenjata dan di satukan pada pembentukan TKR 5 Oktober. Dalam sidang Kabinet RI tanggal 15 Oktober 1945, Mayor Oerip Soemohardjo, perwira ex-KNIL yang pensiun sejak 1938 ditunjuk sebagai Kepala Markas Besar Umum Tentara Rakyat. Sebagai pimpinan markas, Oerip memperoleh pangkat Letnan Jendral dan markasnya semula berkedudukan di Hotel Garuda, Yogyakarta. Tugas Oerip di dampingi dr Tjipto (ex Cudanco Peta) menyusun organisasi TKR. Bekas perwira-perwira KNIL yang dipanggil sebagai Kepala Staf Umum yang baru adalah dari dua golongan yang berbeda. Kelompok pertama adalah golongan kecil terdiri dari orang-orang lebih tua dan berdinas di masa kolonial Belanda lama sebelum perang. Oerip merekrut mereka karena dinilai memiliki potensi dalam orientasi karier yang kuat. Golongan kedua perwira muda, seperti Didi Kartasasmita, Suriadarma, Hidajat dan Soerjosoelarso, yang kesemuanya lulusan Breda. Selain itu terdapat mereka yang ikut dalam latihan militer sebagai pengganti akademi militer yang dibangun pada masa darurat di Bandung setelah pasukan menyerbu negeri Belanda. Tokoh-tokoh utama yang terkenal lulusan Bandung disebut Kelompok 1940 ialah A H Nasution, Rachmat Kartaskusumah, T B Simatupang, Askari, Alex Kawilarang, Maludin Simbolon dll. Kesemua mereka ini kemudian dikenal sebagai pelaku-pelaku politik dalam pertarungan politik Indonesia. Kelompok Bandung ini memiliki persepsi yang berbeda dengan kelompok tua yang terlalu mengikuti aturan masa kolonial. Kelompok Bandung ini sebagian besar umumnya jebolan HBS (setingkat SMU), dan tidak di gembleng disiplin doktrin militer sepenuhnya, karena terjadi di masa darurat. Mereka ini dikenal gemar membaca hingga mendapat sebutan cendekiawan yang menjadi perwira-perwira angkatan-darat. Hampir semua dari perwira-perwira Kelompok Bandung adalah turunan keluarga kaum elit, bangsawan, ataupun dari keluarga kaya dari pulau-pulau luar Jawa. Dengan hubungan keluarga dan pendidikan-pendidikan Belanda, dan juga pengalaman belajar dalam suasana pemahaman “internasional” di Bandung. Kelompok ini memiliki hubungan yang lebih baik dan jauh lebih erat dan simpatik, dengan lingkungan cendekiawan Jakarta, dari pada para perwira-perwira KNIL tua dan sebagian besar lulusan peta yang memiliki keterbatasn akibat latar belakang pendidikan yang minim waktu itu. Kendati begitu, sekalipun sudah terjalin hubungan antara bekas perwira-perwira KNIL dengan pemuka-pemuka Republik, tetapi kedudukan mereka ini masih sangat lemah. Kecuali dengan Nasution yang pernah memimpin Seinendan di Bandung dan mempunyai banyak anak-buah yang siap bertugas dibawah kepemimpinannya. Sedangkan orang-orang KNIL lainnya, yang selama tiga tahun tercerai-berai. Tidak mudah untuk mengumpulkan mereka dalam waktu cepat seperti yang dialami sendiri oleh usaha Didi Kartasasmita melakukan konsolidasi mengumpulkan eks perwira KNIL di Jawa. Sekalipun sudah bergabung, tetapi pengelompokkan antara yang tua dan muda oleh kalangan nasionalis mencurigai dengan ungkapan sebagai Angkatan Darat kolonial bayaran yang dilatih untuk menindas nasionalisme Indonesia. Untuk itu menempatkan mereka pada posisi yang sangat merugikan secara moral karena berhadapan muka dengan perwira-perwira PETA, yang menganggap diri mereka sebagai pelopor-pelopor tentara nasional Indonesia asli. Tugas yang dihadapi Oerip dan kelompoknya sangat berat, karena dibubarkannya PETA oleh militer Jepang dan perkembangan cepat dari gerakan-gerakan pemuda yang dipersenjatai. Tidak ada badan pengawas pusat yang efektif yang segera dapat mewujudkan ide Oerip. Pengumuman pembentukan TKR hamper tidak berpengaruh dari pada memberikan nama lain kepada BKR setempat dengan kelompok-kelompok bersenjata lainnya, tanpa mengubah hubungan mereka ke Jakarta. Seperti yang diuraikan oleh A H Nasution: “Sesungguhnyalah, bahwa pada dewasa itu TKR telah berdiri, akan tetapi lebih tepat disebut berdirinya beratus-ratus TKR setempat yang bertindak sendiri-sendiri. Pimpinan markas besar tidak terasa. Cuma diketahui, bahwa disana telah terjadi “obral banyak jendral” yang mengirikan hati orang di daerah-daerah pertempuran. Daerah-daerah kebanyakan masih membeayai dirinya masing-masing, mempergunakan fonds-fonds daerah yang ditemukan, dan mempergunakan bahan-bahan dan barang-barang peninggalan Jepang. Ada kesatuan yang kaya, karena mempunyai barang-barang peninggalan Jepang. Ada kesatuan yang kaya, karena mempunyai banyak barang warisan dan serobotan, dan ada pula yang miskin. Ada yang telah mempunyai peralatan lengkap, ada yang baru bersenjatakan tombak dan bambu runcing. Ada yang berpakaian hitam, putih, hijau, kuning dsb, menurut persediaan-persediaan yang bisa diperolehnya setempat. Sesungguhnya, TKR lahir dari revolusi sendiri diatas haribaan rakyat sendiri, tumbuh secara setempat, dengan tiada cancangan, pimpinan dan perlengkapan dari negara. Masing masing berusaha sendiri-sendiri. Sudah tentu tidaklah diketahui berapa jumlahnya, berapa perorangan dan peralatannya. Pada masa itulah subur pendirian bapakisme dan kedaulatan kesatuan. Bapak-bapak yang pintar memimpin bawahannya, pandai memuaskan keinginan-keinginan dan alirannya, bijaksana memenuhi kebutuhan-kebutuhan materialnya, menjadi kuat kedudukannya, sehingga dipatuhi sebagai bapak. Biasanya bukan sebagai komandan yang memerintah, melainkan sebagai Bapak yang mempertahankan keinginan-keinginan anak-buah. Dengan posisi yang demikian, maka bapak yang demikian mempunyai posisi yang kuat terhadap atasannya. Ia tidak bisa dipindahkan. Ia tak bersedia melaksanakan instruksi-instruksi atasan yang tidak sdesuai dengan kemauannya. Maka atasan tersebut tiadalah mampu mengatasinya. Pula lambat laun banyak di antara bapak-bapak itu yang menjadi pelaksana belaka dari kehendak-kehendak bawahannya. Jalannya perintah tidak lagi dari atas kebawah, melainkan dari bawah keatas. (Nasution, Tentara Nasional Indonesia, Jilid Pertama, 1955) Pengadaan kesatuan-kesatuan bukan semata-mata atas dasar wibawa pribadi dari komandan-komandan. Dimasukkannya orang-orang non-PETA kedalam TKR, yang –menurut teori- terbuka bagi setiap pemuda yang ingin masuk tentara, berarti mereka sudah harus sadar adanya gagasan-gagasan dasar tentang bagaiman seharusnya suatu tentara nasional setelah memasukkan organisasi pemuda zaman Jepang seperti Seinendan dan Barisan Pelopor. Untuk itu Nasution mengungkapkan: “Malah dewasa itu dikalangan ketentaraan di-maki-maki, bahkan dicurigai pendapat-pendapat yang hendak mengatur siasat, mengatur organisasi dan lain-lain menurut cara-cara yang lazim. Segala sesuatu haruslah menurut yang luar biasa. Ketentaraan bukanlah soal kepintaran, melainkan soal keberanian. Disipilin yang dikenal di zaman kolonial adalah disiplin cadaver.” “Pemberian hormat secara militer tidak sesuai dengan revolusi, yang meminta kepalan tangan dan pekik “berontak, merdeka” dan “berjuang terus sampai penjajah musnah” dan sebagainya. Cara ber-uniform yang teratur tidaklah tepat, melainkan perlu roman dan pakaian yang menggmbarkan pemberontak, dengan rambut panjang, pinggang penuh pelor dan sebagainya. Pangkat tidak diingini, karena kita tidak berjuang untuk pangkat melainkan untuk tuas. Tanda jasa tidak perlu, karena tidak ada yang berjasa, semua hanya melakukan kewajibannya yang suci.” (A H Nasution: Tentara Nasional Indonesia, Jilid Pertama 1955). Dalam menghadapi keadaan seperti itu, mereka yang tak memiliki pengalaman atau latihan militer dihadapi oleh bekas orang-orang KNIL untuk mengendapa ke Staf Umum yang sedang disusun dan nantinya akan menjadi Kementerian Pertahanan. Disanalah kemampuan-kemampuan mereka akan dihargai. Bekas perwira-perwira PETA, karena jumlahnya merupakan bagian terbesar dari kader-kader kepemimpinan tentara nasional yang baru itu, memiliki kekuatan-kekuatan yang sedikit banyak menjadi pelengkap terhadap kelemahan-kelemahan bekas perwira KNIL, dan begitu pula sebaliknya. Pengalaman dalam PETA memberikan mereka, terutama komandan-komandan seksi dan kompi, kemahiran-kemahiran militer yang cocok dengan jenis peperangan yang dihadapi pemerintah di masa datang: operasi gerilya skala kecil dan terbatas dalam lingkup strategi pertahanan yang lebih luas. Karena baru saja terpisah dari anak buah mereka, secara relatif mudah bagi mereka untuk menghimpun kembali bekas anak buahnya itu. Bahkan hal ini lebih mungkin lagi, karena PETA di organisir atas dasar daerah, sehingga anak buah seorang perwira biasanya berasal dari daerahnya sendiri. Sebaliknya, pasukan-pasukan KNIL tidak di kelompokkan bersama-sama atas dasar setempat, juga tidak biasa bagi seorang perwira KNIL untuk memimpin anak buah yang berasal dari daerahnya. Dan karena bekas anak buah PETA erat terlibat dalam gerakan untuk menghimpun pengikut-pengikut dan menjalankan wewenang yang local tetapi sangat efektif. Yang tidak kurang pentingnya, doktrin ideologis di tanamkan secara berangsur-angsur kepada para perwira PETA seperti diungkapkan oleh Soehoed Prawiroatmodjo dalam tulisan bukunya, “Perlawanan Senjata Terhadap Fasisme Jepang (1953)”ungkapkan: “Para siswa diingatkan kepada pentingnya pendidikan rohani: mengutamakan didikan rohani itu hanyalah dapat dicapai dengan rohani juga dan beribu-ribu perkataan tidak akan lebih besar manfaatnya daripada suatu contoh tauladan atas didikan rohani itu; oleh karena itu para siswa yang kemudian akan menjadi pemimpin tentara PETA wajib menghadapi segala sesuatunya dalam berbakti dan berkorban untuk tanah airnya dengan hati yang ikhlas dan jujur, supaya dengan demikian dapatlah pula menuntun sekalian bawahannya ke jurusan itu juga... Dalam menyelesaikan segala sesuatu harus senantiasa bertindak dengan ikhlas, terang dan dapat membedakan kepentingan umum dan untuk diri sendiri. Disamping mengindahkan segala peraturan tentara, supaya menuntun sekalian bawahannya dengan perasaan persaudaraan sedaerah-sedaging, agar dapat mewujudkan hasil pimpinan sebagai pelindung dari anak buahnya.” Selain nasionalisme yang berkobar-kobar yang ditanamkan oleh konsep-konsep ini, yang sangat berbeda dari profesionalisme pada KNIL. Yang menonjol adalah betapa dekatnya pandangan tentang kepemimpinan dan persahabatan militer ini pada jiwa gerakan pemuda umumnya. Terlebih lagi hubungan antara bapak dan anak buah dalam berbagai segi nampak jelas sejajar melalui hubungan intim seperti juga antara kiyai dan santri dan antara guru yang jago dengan murid-muridnya. Akibatnya para perwira PETA, yang mayoritas adalah pemuda lebih selaras (dari pada bekas anak buah KNIL) dengan gerakan pemuda. Sebaliknya, para perwira PETA, karena lebih ditekankan kepada latihan lapangan serba intensif hingga kurang mengembangkan pendidikan formal dan tidak mengenal pengetahuan sejarah dan strategi militer. Selain itu, PETA tidak memiliki kesatuan-kesatuan organisasi militer di atas tingkat batalyon, ataupun memahami pengetahuan staf pusat. Kurangnya kemampuan-kemampuan ini hingga sistem pengelolaan struktur dan organisasi justeru dimiliki kelompok perwira KNIL. Pengrapian Organisasi Militer Dalam sidang Kabinet RI pada 15 Oktober 1945 yang secara resmi membicarakan bidang militer yang dihadiri oleh beberapa tokoh eks Perwira PETA dan eks Perwira KNIL, antara lain Raden Oerip Soemohardjo (eks Mayor KNIL) dan dr Tjipto (eks Chudanco PETA), telah diputuskan untuk membentuk Markas Besar Umum Tentara Keamanan Rakyat (MBUTKR) di Yogyakarta, dan mengangkat R Oerip Soemohardjo menjadi Kepala Staf TKR dengan pangkat Letnan-Jendral. Keputusan tersebut kemudian di lengkapi dan di kukuhkan pada 20 Oktober dengan ketetapan Pemerintah RI yang mengangkat Mohammad Soeljoadikoesoemo menjadi Menteri Keamanan Rakyat ad interim dan eks Syodanco PETA, Soepriadi menjadi Pimpinan Tertinggi TKR.v Pengangkatan itu karena kepahlawannya ketika memimpin aksi pemberontakan Peta terhadap Jepang bulan Februari 1945. Namun tokoh pemberontakan PETA tak pernah muncul di Yogyakarta. Pada 16 Oktober 1945, Letnan Jendral Oerip Soemohardjo didampingi Mayor Jendral Didi Kartasasmita menuju ke pos di Yogyakarta. Beberapa hari kemudian terbentuk Markas Besar Umum Tentara Keamanan Rakyat (MBUTKR) di Yogyakarta, yang mulanya mengambil tempat di Hotel Garuda, dan kemudian pindah ke gedung di Jl. Gondokusuman (kini markas Korem 72). Di MBUTKR, Let-jen Oerip merencanakan dak menyusun organisasi TKR dan sejak saat itupun dari tempat itu mengeluarkan berbagai pengumuman dan instruksi yang mengatur pertumbuhan TKR menjadi suatu tentara nasional yang teratur. Pada 20 Oktober secara resmi bidang militer berada lingkungan Kabinet RI Pertama. Praktis Oerip Soemihardjo memimpin markas besar tertinggi Angkatan Darat di Yogyakarta hingga kedatangan Jendral Soedirman yang diangkat menjadi Panglima Besar TKR. Oerip ditunjuk membentuk staf umum Angkatan Darat di Yogyakarta. Ia dengan cepat menyusun rencana staf komando yang terdiri dari 10 divisi di Jawa dibagi dalam tiga wilayah komando sesuai provinsi-provinsi di Jawa. Organisasi TKR diperluas dengan pembagian empat Komandemen masing-masing Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masing-masing wilayah menyusun barisan komando baik unit-unit TKR yang sudah terbentuk maupun pada berbagai badan perjuangan yang tergabung dalam berbagai Laskar. Batalyon-Batalyon TKR terbagi dalam resimen dan divisi. Di Sumatera terbagi dalam 6 divisi, tiga di Jawa Barat, empat di Jawa Tengah dan tiga divisi di Jawa Timur. Tetapi pengadaan Kommandemen tidak berjalan sesuai harapan. Masalah utama adalah sistem penunjukan pimpinan. Misalnya Komandemen Sumatra yang berada dibawah pimpinan Mayor-Jendral Soehardjo Hardjowardjojo tidak disetujui laskar setempat karena dinilai tidak becus. Selain tak dikenal, campur tangan politisi setempat turut mendorong hingga kepemimpinan Soehardjo tak berlanjut. Peristiwa tragis juga di alami pimpin komandemen di Jawa Tengah dan Jawa Timur sempat menimbulkan ketegangan yang juga dinilai tak becus memimpin. Bahkan pimpinan Komandemen di Jawa Timur ditahan oleh polisi militernya sendiri. Waktu itu Komandemen semestinya adalah di Jawa Barat pimpinan bekas perwira KNIL, Kapten Didi Kartasasmita di dampingi bekas "Kadet Bandung," Abdul Harris Nasution berperan sebagai Kepala Staf. Hal ini dapat dimengerti, karena Bandung pernah berperan sebagai Markas Besar Militer dan juga menjadi pusat pendidikan taruna. Kelebihan lainnya, Bandung sempat menjadi Markas Besar pasukan sekutu ABDA di awal perang dunia kedua ketika Indo Cina, Semenanjung Malaya dan Singapura. Latar belakang ini menjadi faktor hingga pengembangan Komandemen di Jawa Barat lebih baik secara organisasi maupun disiplin militer ketimbang wilayah-wilayah lainnya. Pada 12 November 1945 para komandan resimen dan divisi se Jawa dan Sumatra mengadakan pemilihan seorang Panglima Besar dan Kepala Staf Umum Angkatan Darat. Jumlah yang diajukan untuk dipilih adalah tujuh nama, untuk tiga jabatan: Menteri Pertahanan, Panglima Besar dan Kepala Staf. Dalam rapat ini ternyata muncul tiga kelompok, yakni kelompok PETA ysng merupakan kelompok mayoritas, kelompok bekas KNIL dan kelompok Badan-badan Perjuangan. Jadi, tidak ada pengelompokan angkatan darat, angkatan laut, angkatan duara ataupun kelaskaran. Pada balot pertama menggugurkan dua nama, setelah balot ketiga tinggal tiga nama. Sebagai hasil musyawarah-mufakat diusulkan Soedirman –bekas Daidancho PETA di jadikan Panglima Besar, Oerip Soemihardjo (bekas komandan KNIL) sebagai Kepala Staf Umum dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan. Dari pertemuan itu, terpilih perwira ex PETA, Soedirman sebagai Panglima Besar dengan 23 suara dan Oerip Soemihardjo Kepala Staf TKR dengan 21 suara sedangkan Menteri Keamanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. ***
Posted on: Sat, 05 Oct 2013 04:22:37 +0000

Trending Topics



LION. THIS LOOKS CLOSER TO THE TRUTH. What the
As a 30 year Veteran of these great United States and a law
Yes! Its me I did it.. Never thought Ive done this.. Woohooo...
About t head out the door on my way t my gig with The Allnighters

Recently Viewed Topics




© 2015