Mempertanyakan Pangkalan Militer AS di Darwin dan Cocos Island - TopicsExpress



          

Mempertanyakan Pangkalan Militer AS di Darwin dan Cocos Island udah menjadi pengetahuan bersama bahwa semua kebijakan politik Amerika Serikat (AS) termasuk policy di bidang pertahanan diabdikan untuk kepentingan ekonomi negara itu. Dengan kacamata inilah saya membaca kepentingan AS di balik keberadaan pangkalan militer di Darwin (Australia Utara) dan di Paulau Cocos (Selatan Barat Daya Pulau Jawa). Di kedua pangkalan militernya itu, AS telah menempatkan ribuan pasukannya. Khusus di Cocos Island, belum lama ini AS menambah lagi 2.500 pasukan marinir. Di lihat dari jaraknya, dari Cocos Islan ke Jakarta hanya berjarak k.l. 1.270 kilometer. Sedangkan dari Darwin ke tambang emas milik AS di Papua (PT. Freeport di Timika) hanya sekitar 1.000 km. Pertanyaan yang senantiasa mengusik pikiran saya, ada agenda apa ini? Hasil analisis sejumlah pengamat, sedikitnya ada lima alasan keberadaan pangkalan militer AS di kedua tempat itu. Pertama, karena saat ini perkembangan kawasan Asia Pasifik sangat dinamis, terutama di bidang ekonomi. Asia Pasifik telah menjadi magnet baru bagi AS yang telah bertahun-tahun memusatkan perhatiannya ke kawasan Timur Tengah dan Teluk (Kompas, 19/11/11). Belum lagi kondisi ekonomi AS yang sedang dilanda krisis utang berat dan Uni Eropa mitra dagangnya juga sedang dalam kondisi ekonomi yang mengenaskan. Kedua, Tampilnya China sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, menyaingi AS, dinilai oleh AS akan meningkatkan kekuatan militer Negeri China untuk melindungi kepentingan ekonominya. Ketiga, India sebagai kekuatan baru dari Asia, selain China, juga menjadi faktor yang mendorong AS memberikan perhatian besar pada kawasan ini. Keempat, Negara-negara ASEAN dengan wilayah yang kaya potensi alam, yakni mineral dan Migas, menjadi daya tarik negara-negara besar untuk ikut campur meraih kepentingannya masing-masing. Laut China Selatan (LCS) menjadi wilayah yang saat ini menjadi incaran AS dan China karena kandungan mineral dan migasnya yang sangat berlimpah. Kelima, kawasan LCS yang sedang disengketakan oleh negara-negara terdekat yaitu Philipina, Brunei, Malaysia, Vietnam dan China (yang turut mengklaim, walaupun posisinya relatif paling jauh) yang juga menjadi incaran AS,  ternyata juga merupakan jalur laut, jalur perdagangan negara-negara Asia. Nilai perdagangan yang melalui jalur itu setiap tahun mencapai 5,3 triliun dollar AS dengan 1,2 triliun dollar AS adalah nilai perdagangan AS. politik.kompasiana/2011/11/22/ as-dan-isu-pangkalan-militer-di- australia/ Analisis di atas tidak lantas membuat saya puas. Lebih-lebih terkait Cocos Island itu. Maret 2013 ketika banyak pihak ramai mempertanyakan keberadaan pangkalan militer AS di Cocos Island, Menko Polhukam Djoko Suyanto menjelaskan Presiden SBY sudah mendapatkan penjelasan dari Presiden AS Barack Obama dan PM Australia Julia Gillard. Menurut penjelasan kedua kepala negara itu, kata Menkopolhukam, penambahan pasukan ke Cocos Island merupakan wujud implementasi kerja sama dan koalisi pertahanan AS – Australia yang telah terbina selama beberapa dekade. Ditambahkan, Indonesia dalam kerangka ASEAN akan menyelenggarakan latihan penanggulangan bencana, serta berharap Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) atau Tentara Nasional RRC dapat ikut serta dalam pelatihan tersebut. Tetapi penjelasan itu dipertanyakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana. “Pertama adalah apa yang dimaksud dengan keadaan darurat? Apakah suatu keadaan yang dikarenakan bencana atau darurat karena ada konflik bersenjata di kawasan? Apakah ini mengindikasikan darurat yang dimaksud adalah darurat konflik bersenjata?,� tanya Hikmahanto. Jika ingin membantu bencana, Hikmahanto mempertanyakan, mengapa justru pasukan marinir yang ditempatkan di sana. Pasukan ini, dinilai memiliki kemampuan yang spesial. Masih menurut Hikmahanto, jika benar tujuan penempatan pasukan itu untuk tanggap darurat, apa juga bisa dilakukan oleh pemerintahan berikutnya. Saat Amerika di bawah kendali Partai Republik, mempunyai kebijakan yang sangat agresif dalam konflik bersenjata. Demikian pula Partai Konservatif di Australia yang lebih senang mengidentikkan Australia dengan Barat daripada Asia. Kekhawatiran Wakil Rakyat Sejalan dengan Hikmahanto, kalangan DPR juga mengungkapkan kekhawatiran mereka ikhwal keberadaan pangkalan militer AS di Australia itu, serta adanya penambahan jumlah pasukan secara bertahap. Anggota Komisi I DPR RI Husnan Bey Fananie melihat pangkalan baru militer dan penempatan pasukan di pulau Cocos itu bukan tanpa maksud dan tujuan. “Pemerintah dan rakyat Indonesia harus waspada. Karena pasukan itu tidak ubahnya sebagai pasukan spy drone atau pasukan mata-mata (striking drone), pasukan yang ditempatkan sebagai pasukan penyerang nantinya,� kata Husnan. Husnan mengaku ikut mempertanyakan keberadaan 2.500 marinir AS yang ditempatkan di Pulau Cocos, saat menerima kunjungan Ketua Kongres Amerika Serikat untuk Bidang Luar Negeri, Edward Royce di Jakarta, medio Agustus 2013 lalu. Husnan mengungkapkan, dari berbagai informasi yang didapatkannya, keberadaan Marinir AS di pulau tersebut, memang sengaja untuk memata-matai negara- negara di kawasan Asia, khususnya Indonesia. “Saya tanyakan apa alasan kuatnya dan argumentasinya penempatan marinir AS di pulau tersebut. Namun jawabannya sangat normatif dan diplomatis, bahwa pasukan marinir ditempatkan atas dasar kerja sama militer AS dengan militer Australia, juga untuk membantu negara-negara di kawasan Asia saat menghadapi bencana alam,� tuturnya. Atas jawaban itu, politisi PPP itu mengaku tetap mengganjal. Karena, tidak mungkin sesederhana itu penempatan pasukan marinir AS di Australia dalam skala sebesar. “Menurut saya, pasti AS memiliki agenda besar dalam penempatan pasukannya di Australia, baik dalam jangka pendek dan panjang,� jelasnya. Gejolak Papua Dinamika politik terkait isu Papua menunjukkan peningkatan selama setahun terakhir, baik di tingkat lokal maupun di tingkat kawasan Pasifik Selatan, bahkan sampai ke beberapa negara Eropa. Pernyataan- pernyataan positif beberapa pemimpin negara baik secara langsung maupun melalui perwakilannya di Indonesia (Dubes) bahwa mereka mengakui kedaulatan NKRI di wilayah Papua tak sepenuhnya dapat dijadikan pegangan jika dikaitkan dengan meningkatnya aktivitas milter AS di wilayah Australia itu. Pernyataan-pernyataan seperti diutarakan PM dan Dubes Inggris, PM dan Dubes Belanda, Dubes AS, Dubes Norwegia, PM dan Dubes Australia, PM Papua Nugini, PM Kepulauan Solomon dan entah siapa lagi, seakan tak bermakna apa-apa jika kita melihat masih banyaknya tokoh OPM di luar negeri yang mendapatkan suaka politik dari negara-negara itu. Seperti Benny Wenda yang dengan leluasa membuka kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris, Herman Wainggai yang “rajin� menyelundupkan pencari suaka Politik ke Australia, peluncuran kaukus parlemen asia pasifik untuk Papua Barat di Australia. Yang tak kalah menariknya adalah hasil KTT lima negara rumpun Melanesia di Noumea yang kita kenal dengan Melanesian Spearhead Group (MSG) akhir Juni lalu, serta kedatangan kelompok Freedom Flotilla dari Australia untuk mendukung Papua merdeka saat ini. Dengan fenomena-fenomena itu kiranya sudah cukup alasan bagi kita bangsa, untuk berani menyimpulkan, bahwa keberadaan militer AS di Darwin dan Cocos Island mempuyai hubungan yang kuat dengan agenda Papua merdeka. Mari kita mewaspadanya.
Posted on: Mon, 23 Sep 2013 11:40:41 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015