Mengapa Matahari di Atas Kiblat? 14 Juli 2013 Kategori : - TopicsExpress



          

Mengapa Matahari di Atas Kiblat? 14 Juli 2013 Kategori : Nature Oleh : Indra Mari lanjutkan perbincangan akan fenomena Matahari yang bisa menempati posisi tepat di atas kiblat. Salah satunya, bakal terjadi pada 14 hingga 16 Juli 2013 pukul 16:27 WIB. Cendekiawan falak menyebut peristiwa langka ini sebagai istiwa’ azzam, yakni saat Matahari berkedudukan di titik istiwa’ utama (zenith). Namun, fenomena tersebut juga populer dengan sebutan rashdul qiblat. (Baca: Matahari Tepat di Atas Mekkah, Cek Arah Kiblat 14-16 Juli!) Nah, pertanyaannya, bagaimana Matahari bisa mengalami situasi seperti itu? Kuncinya terletak pada Bumi sendiri. Sebagai imbas dari masa lalunya yang demikian menakjubkan, terutama setelah terjadinya hantaman protobumi dengan prototheia di masa bayi tata surya, maka poros Bumi kita tak lagi tegak lurus ekliptika melainkan termiringkan. Cepatnya rotasi Bumi yang membuat area di sekeliling khatulistiwa menggelembung, sementara kawasan kutub-kutubnya memepat membuat Bumi turut diganggu oleh gravitasi planet-planet tetangga, khususnya si terang Venus dan si raksasa gas Jupiter. Akibatnya, kemiringan sumbu rotasi Bumi pun berubah-ubah secara gradual, yakni antara 22,1 hingga 24,5 derajat terhadap bidang tegak lurus ekliptika. Perubahan ini memiliki periodisitas 45.000 tahun dan menjadi bagian siklus Milankovitch yang turut mengontrol perubahan iklim Bumi hingga ke titik ekstrimnya. Besarnya kemiringan sumbu Bumi saay ini adalah 23,44 derajat dan dalam 9.800 tahun ke depan akan terus menurun hingga mencapai nilai terendahnya yakni 22,1 derajat. Saat ini, kutub utara langit, yakni proyeksi sumbu rotasi bumi di langit bagian utara, mengarah tepat ke bintang Polaris di gugusan bintang Ursa Minor. Sehingga, Polaris pun mendapat kehormatan menyandang status bintang kutub. Namun, dalam 10.000 tahun mendatang kutub utara langit akan bergeser sedemikian rupa sehingga bakal sangat berdekatan dengan bintang al-Fawaris atau Rukh (delta Cygni) di gugusan bintang Cygnus. Pergeseran bintang kutub ini merupakan konsekuensi dari miringnya sumbu Bumi yang masih ditambah dengan gangguan gravitasi Venus dan Jupiter. Penjaga waktu Miringnya sumbu rotasi Bumi berimplikasi pada banyak ha. Salah satunya adalah berubah-ubahnya posisi semu Matahari saat dilihat dari Bumi. Hal ini merupakan efek yang muncul dari kombinasi kemiringan sumbu rotasi Bumi dengan gerak Bumi mengelilingi Matahari. Maka, sepanjang tahun Masehi (Tarikh Umum) kita akan menyaksikan proyeksi posisi Matahari di muka Bumi senantiasa bergeser dan bersifat siklik. Yakni, mulai dari garis khatulistiwa’ (pada 20/21 Maret) beringsut ke utara hingga menempati garis lintang 23,44 LU (20/21 Juni), lantas kembali lagi ke khatulistiwa’ (22/23 September). Kemudian, ke selatan hingga mencapai garis lintang 23,44 LS (21/22 Desember) untuk kemudian kembali lagi ke khatulistiwa. Jika sepanjang waktu tersebut posisi Matahari diabadikan pada jam yang sama untuk tanggal-tanggal yang berbeda dengan selisih tanggal tetap, maka kita akan menjumpai pola khas menyerupai angka delapan yang bernama analemma. Sumber: NASA Astronomy Picture of the Day, 2012. Pola analemma sebagai bagian dari gerak semu Matahari, disini diabadikan dari pelabuhan Baku (Azerbaijan) di tepi Laut Kaspia. Hanya separuh pola analemma yang terlihat di sini karena pemotretan hanya berlangsung dalam selang waktu 2 April (paling kiri) hingga 16 September (paling kanan) atau tidak sepanjang waktu di tahun 2012. Siklus gerak semu Matahari ini menjadi penjaga waktu (time-keeping) untuk sistem penanggalan berbasis Matahari seperti kalender Masehi (Tarikh Umum). Siklus ini juga menjadikan setiap titik mana pun di muka Bumi yang terletak di antara garis lintang 23,44 LU hingga 23,44 LS akan mengalami situasi di mana Matahari dapat menempati titik zenithnya dalam bola langit horizon setempat. Dengan kata lain, di mana pun kita berdiri, sepanjang masih berada di antara garis lintang 23,44 LU hingga 23,44 LS, maka akan terjadi situasi dimana Matahari bakal tepat berada di atas kepala kita dalam dua kesempatan berbeda setiap tahun Masehi (Tarikh Umum). Jika hal ini terjadi, maka tak ada benda yang berdiri tegak lurus muka Bumi atau paras air laut rata-rata yang memiliki bayangannya saat Matahari mencapai puncak kulminasinya. Jadi, ‘hari tanpa bayangan’ tak hanya sekedar terjadi di garis khatulistiwa’ saja. Bagi Jakarta, misalnya, fenomena hari tanpa bayangan akan terjadi setiap tanggal 4/5 Maret dan 8/9 Oktober. Ka’bah sebagai pusat kosa tuci Mekkah terletak pada garis lintang 21,427 LU sehingga juga mengalami fenomena hari tanpa bayangan yang sama, yakni pada tanggal 27/28 Mei pukul 12:17 dan 14/15 Juli pukul 12:27 waktu Mekkah setiap tahunnya. Namun, dengan konsepsi kiblat sebagai lingkaran berdiameter 45 km yang berpusat di Ka’bah, maka fenomena tersebut bakal terjadi pada 26-28/27-29 Mei dan 13-15/14-16 Juli, bergantung apakah tahun Matahari yang sedang dijalani merupakan tahun kabisat atau bukan. Rentang waktu ini merupakan konsekuensi dari bergesernya proyeksi posisi Matahari di muka Bumi sebesar rata-rata 20 km/hari ke arah utara/selatan dari suatu tempat dalam kulminasi atasnya. Penjaga kiblat Inilah waktu di mana Matahari memerankan dirinya sebagai penjaga kiblat (qibla-keeping). Sehingga, setiap titik di muka Bumi yang tersinarinya dapat menyejajarkan arah kiblat setempatnya dengan leluasa. Peran ini sebenarnya juga bisa dilakukan oleh Bulan mau pun benda langit lainnya seperti planet-planet dan bintang-bintang tertentu. Namun, dengan dominasi Matahari sebagai pusat tata surya sekaligus benda langit terbenderang bagi Bumi, maka kedudukan Matahari sebagai penjaga kiblat jauh lebih menonjol. Segenap Umat Islam memahami bahwa ibadah shalat belum memenuhi syarat sahnya bila tidak menghadap kiblat. Namun, shalat tidaklah bertujuan menyembah kiblat melainkan tetap tertuju pada Allah SWT. Karena Allah SWT menitahkan untuk menjadikan Ka’bah sebagai kiblatla,h maka Umat Islam mendudukkan Ka’bah sebagai titik fokus yang menjadi bagian ketaatan, baik dalam hal shalat dan ibadah lainnya maupun untuk kepentingan non ibadah yang menjadi bagian kehidupan manusia sehari-hari ataupun pasca kehidupan. Oleh karena itu, arah kiblat tak sekedar terbatas pada masjid/musala saja. Tak kalah pentingnya bagi kedudukan toilet maupun pemakaman Muslim. Pentingnya ketaatan dalam berkiblat dan bukan pada sosok bangunannya, nampak pada peristiwa penting menjelang bulan suci Ramadhan yang pertama dijumpai Nabi SAW dan para sahabat pasca peristiwa hijrah. Yakni, saat kiblat dipindahkan dari yang semula berada di Baitul Maqdis di Yerusalem menjadi Baitullah (Ka’bah) di Mekkah. Ketaatan pada Allah SWT merupakan hal utama bagi Nabi SAW dan para sahabat, sehingga tidak menjadi masalah meski harus mengubah arah hadap shalat dengan begitu radikal, yakni dari arah utara-barat laut menjadi selatan, senyampang shalat masih berlangsung. Peristiwa ini menyuguhkan banyak makna. Salah satunya adalah, bahwa hanya dengan perpindahan kiblat inilah di hari-hari ini kita dapat menikmati peranan Matahari sebagai penjaga kiblat yang berkesinambungan. Hal ini takkan terjadi jika kiblat masih ada di Baitul Maqdis. Sebab, dengan lokasinya Sumber : Kompas
Posted on: Sun, 14 Jul 2013 12:02:55 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015