Mengkritisi Wacana Khilafah Islamiyah : Khilafah yang tak Butuh Singgasana Khalifah (Bagian 5) Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS 2: 30), adalah khilafah ruhaniah, keagamaan dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan lahiriah. Ulasan Habib Umar Bin Hafidz Tentang khilafah, kerancuan pada dua hal yang amat penting. Pertama, penyempitan makna khilafah, yang hanya pada pelaksanaan hukum Islam melalui kekuasaan. Yang kedua, pandangan atas wajibnya menegakkan khilafah ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat Islam. Mengenai yang pertama, perlu ditegaskan bahwa kata “khilafah”, bila dikaitkan dengan agama dan syariat, maknanya tak hanya terbatas pada konteks kekuasaan dengan segala penerapan hukum-hukum publik, sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang jauh lebih luas. Al-Qur’an menggunakan kata ini, bahkan untuk orang yang berbuat buruk, orang yang menyimpang dari jalan yang benar, juga generasi yang datang setelah para nabi dan rasul, seperti pada ayat, ”Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS 19: 59). Jadi, mereka adalah generasi pengganti yang tinggal di tempat orang-orang sebelumnya, namun mereka tidak mengikuti prinsip dan perilaku generasi sebelumnya. Sehingga, makna khilafah adalah pergantian seseorang terhadap orang lain dalam konteks apa pun. Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, juga perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS 2: 30), adalah khilafah ruhaniah, keagamaan dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan lahiriah. Khilafah tersebut terkait erat dengan tugas mengemban amanah sesuai kapasitas dan kemampuan seseorang, dalam konteks menegakkan kebenaran, yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Inilah khilafah yang disinggung Allah dalam Al-Qur’an, ketika meletakkan nenek moyang kita, Nabi Adam, ke bumi, ”Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan tersesat dan tak akan celaka.” (QS 20: 123). Mengamalkan tuntunan Allah, melaksanakan perintah, dan menghindari larangan-Nya, itulah arti khilafah yang telah ditugaskan Allah kepada Nabi Adam. Nabi Adam turun padahal di bumi belum ada bangsa apa pun yang bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya disertai Ibu Hawa. Lalu, mulai lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia menjalani posisinya sebagai orang pertama yang memegang khilafah sebelum adanya bentuk pemerintahan dan kekuasaan publik. Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluarga itu, yaitu Adam dan putra-putranya. Merekalah yang menghuni bumi. Lalu keturunannya mulai banyak. Nabi Syits, putra Adam AS, menggantikannya memegang tampuk khilafah. Ia menerima kenabian dan amanat untuk melaksanakan ikrar manusia kepada Allah. Khilafah merupakan tugas masing-masing diri kita. Tak ada alasan bagi siapa pun untuk menganggap remeh hal ini, hingga melalaikan dan meninggalkannya lantaran ketiadaan simbol-simbol fisik khilafah (kekuasaan). ”Melepas” Khilafah Jika dikaitkan dengan salah satu jenis kekhilafahan agung Nabi Muhammad, khilafah adalah terwujudnya penerapan hukum secara umum, karena kekuasaan dipegang oleh orang-orang jujur, lurus, dan mendapat petunjuk. Beliau kabarkan, khilafah ini hanya berlangsung 30 tahun terhitung sejak beliau wafat. Ini salah satu mukjizat yang menunjukkan kebenaran beliau sebagai nabi. Rasulullah SAW menyebut batas waktu. Tatkala masa 30 tahun itu telah usai dan khilafah semacam ini telah hilang, beliau tidak memberi perintah, “Memberontaklah kepada para penguasa, perbaiki berbagai masalah, berjuanglah untuk mengganti mereka dengan orang-orang yang mirip dengan masa 30 tahun itu!” Rasulullah tidak memerintahkan itu. Bahkan, meski dalam haditsnya beliau memberi isyarat bahwa cengkeraman kerajaan akan berlangsung lama. Dalam sebagian riwayat, beliau menyebutnya adhudh (kekuasaan yang suka menggigit). Dalam kitab Musnad-nya Imam Ahmad, juga dalam Al-Mustadrak ’ala ash-Shahihain karya Al-Hakim, disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Khilafah sepeninggalku 30 tahun, kemudian menjadi kerajaan” (HR Ahmad). Mari kita cermati sabda beliau yang menyebutkan secara jelas periode khilafah ini. Ternyata, Ali KW dibunuh pada bulan Ramadhan, sementara Rasulullah SAW wafat pada bulan Rabi’ul Awwal. Untuk sampai 30 tahun, masih ada jeda enam bulan. Masa enam bulan ini adalah masa kepemimpinan Al-Hasan bin Ali RA, cucunda Nabi, hingga ia mundur dari khilafah pada bulan Rabi’ul Awwal, persis di akhir masa 30 tahun sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW. Lagi-lagi ini merupakan salah satu tanda kenabian, mukjizat agung Rasulullah Muhammad SAW, sekaligus pemberitahuan beliau mengenai hal-hal rahasia (ghaib) yang beliau dapat dari Allah SWT. Di Al-Mustadrak juga ada riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi: Setelah Al-Hasan mundur sebagai khalifah, ada orang berkata kepadanya, “Orang-orang berkata bahwa Anda menginginkan khilafah.” Al-Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata, “Aku meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapatkan khilafah dengan keputusasaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak menginginkan khilafah itu.” Kisah ini memiliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai para perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim. Dalam kisah ini terdapat sebuah penjelasan bahwa mundur dari khalifah pada saat terjadinya perpecahan adalah khalifah sejati. Khalifah hakiki yang diajarkan Nabi ini bersemayam dengan sempurna dalam diri Al-Hasan bin Ali. Dengan menyerahkan kekuasaan lahiriah, tidak berarti warisan Nabi menjadi berkurang pada dirinya, tidak berarti ada kekurangan pada posisinya sebagai pengganti kakeknya, Muhammad SAW. Justru dengan demikian, Al-Hasan menampakkan ciri khas yang paling agung dari kekhilafahan Rasulullah SAW, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti, belas kasih, dan perhatian terhadap umat. Karena itu, sangatlah layak apa yang disabdakan Rasulullah SAW mengenai Sayyidina Hasan, ”Sungguh anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu besar kaum muslimin dengan perantaranya.” (HR Al-Bukhari). Pandangan Nabawiyyah Dalam hadits tadi dijelaskan bahwa Nabi mengabarkan, ”Masa setelah itu kekuasaan berada di tangan para penguasa yang berbuat hal-hal yang kalian (para sahabat) ingkari. Kalian melihat mereka tidak teguh dalam mengikuti ajaran Islam.” Mereka (para sahabat) bertanya, ”Apa yang engkau (ya Rasulullah) perintahkan kepada kami? Haruskah kami membuat kekhalifahan baru, pemerintahan lain, dan berjuang untuk menyingkirkan mereka?” Nabi SAW bersabda, “Kalian harus patuh dan taat (kepada pemimpin kalian).” (HR Al-Bukhari dan Ahmad). Siapa yang menegaskan hal ini? Ini bukan gagasan kelompok-kelompok tertentu dalam Islam. Ini adalah arahan dari pemegang kenabian dan kerasulan, seorang yang menerima wahyu dari Allah SWT. Lalu, sampai kapan harus patuh kepada pemimpin? ”Sampai yang menjadi pemimpin kalian adalah seorang yang jelas-jelas kafir, sudah tidak mungkin ditakwil bahwa dia seorang muslim. Atau, orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, mengingkari ajaran-ajaran pokok agama yang sudah pasti. Ia secara terang-terangan memusuhi agama dan melanggarnya.” Dalam sebuah hadits disebutkan, ”Hingga kalian melihat kekufuran yang sangat jelas.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Al-Baihaqi). Dalam riwayat yang lain, ”Selagi mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim, Ad-Darimi, dan Al-Baihaqi). Pada riwayat lainnya, ”Berikanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka. Mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian (karena mereka sudah tidak berlaku adil kepada kalian dan tidak memberikan hak-hak kalian).” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi). Batasan-batasan itulah yang Rasulullah sampaikan kepada kita. (Bersambung) Sumber : Majalah Al Kisah
Posted on: Wed, 14 Aug 2013 09:47:44 +0000
Trending Topics
Recently Viewed Topics
© 2015