‘Metamorfosa’ Pemikiran Perempuan Indonesia Oleh: - TopicsExpress



          

‘Metamorfosa’ Pemikiran Perempuan Indonesia Oleh: Wirianingsih TIDAK ditemukan secara rinci dalam buku-buku sejarah tentang arus pemikiran kaum perempuan pada masa sebelum Indonesia merdeka. Kecuali, melalui buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang merupakan kumpulan surat R.A Kartini. Munculnya Kartini (1879 – 1904) seakan mewakili “kebangkitan” pemikiran kaum perempuan pada masa itu. Pemikiran tentang wanita pun berkembang seiring dengan menguatnya pemahaman Islam di kalangan kaum pergerakan. Tampilnya tokoh-tokoh pergerakan perempuan dalam perjuangan bangsa dari kalangan Islam membuktikan bahwa ajaran Islam telah memberi inspirasi tentang peran dan kedudukan perempuan secara adil. Salah satu tema utama ajaran Islam adalah tentang persamaan (equality) antara manusia, baik antara laki-laki dan perempuan, antara bangsa, suku, dan keturunan. Perbedaan yang pelu digarisbawahi, yang kemudian meninggikan dan merendahkan derajat kemanusiaan adalah nilai pengabdian dan ketaqwaannya di hadapan Allah Subhanau Wata’ala. Pemikiran ini diawali dengan semangat perjuangan Cut Nyak Dien hingga di akhir hayatnya. Di pedalaman hutan Aceh, beliau melakukan pembinaan kepada bangsanya untuk melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda. Seolah Cut Nyak Dien ingin mengatakan bahwa kaum perempuan juga punya hak untuk merdeka dan dapat menjadi pejuang sekaligus pemimpin perjuangan. Tokoh-tokoh lain semisal Rasuna Said, Rahmah El Yunusiyah lebih memfokuskan kepada pendidikan. Sampai menjelang kemerdekaan, wacana tentang persamaan kedudukan dan peran perempuan lebih tampak pada aktifitas gerakan ketimbang retorika. Tidak ditemukan dokumen tertulis karya para aktifis pergerakan ini tentang wacana perempuan kecuali lahirnya Majalah Pembela Islam (1929) yang diterbitkan Persis sebagai reaksi atas pernyataan Soekarno yang mengkritik ajaran Islam yang membenarkan poligami. Pernyataan Soekarno disampaikan dalam pidato di hadapan rapat organisai pergerakan Isteri Sedar. Pada saat itu hadir Muhammad Natsir mewakili Persis. Pernyataan Soekarno telah menyinggung rasa keagamaan dan pemahaman Natsir tentang Islam. Natsir menjawab semua tuduhan Soekarno terhadap Islam yang mendeskreditkan perempuan. Dijelaskan bahwa Islam agama yang sempurna dan memberikan solusi. Islam sangat memuliakan dan mengangkat harkat martabat perempuan. Harus dibedakan antara Islam sebagai sebuah sistem nilai dan perilaku pemeluknya yang tidak mengamalkan secara benar. Dalam prakteknya memang Natsir tidak berpoligami, tapi Soekarno yang mengkritik poligami justru berperilaku poligami. Organisasi pergerakan perempuan Islam lahir pada masa ini antara lain Aisyiyah (1914), merupakan bagian organisasi perempuan yang bersifat otonom dari Muhammadiyah, juga lahirnya Kongres Perempuan Indonesia (1928) yang merupakan cikal bakal KOWANI (Kongres Wanita Indonesia). Lahirnya kongres perempuan Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928 kelak dicanangkan sebagai “ Hari Ibu “. Setelah Indonesia merdeka, arah pemikiran tentang perempuan mulai fokus kepada perubahan nasib perempuan Indonesia. Beberapa hal antara lain tentang persamaan hak, masalah buruh/tenaga kerja, masalah upah minimum bagi perempuan pekerja. Hal ini tampak pada Kongres Perempuan Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1956. Dalam dekade berikutnya sekitar 1960-an, semua organisasi perempuan yang bergabung di bawah bendera KOWANI memprioritaskan pada perjuangan melawan organisasi perempuan PKI. Mulai memasuki dekade 1980-an, arus pemikiran perempuan mengalami diskursus yang cukup signifikan, seiring dengan arus globalisasi dan gerakan pembebasan perempuan yang mulai mendunia. Dipelopori Amerika Serikat yang mencanangkan dalam forum PBB lahirnya Hari Perempuan Sedunia pada tanggal 8 Maret 1983. Isu utama yang diangkat adalah persamaan, emansipasi, dan kebebasan. Indonesia adalah salah satu yang menjadi sasaran mainstream ini, karena jumlah penduduknya yang sangat besar, dimana lebih dari 50 % penduduknya adalah kaum perempuan. Yang lebih menarik adalah mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dimana diyakini oleh mereka doktrin agama merupakan pembatas, bahkan membelenggu kaum perempuan sehingga perempuan tidak merdeka dan terbelakang dalam kaitan sedikitnya kaum perempuan dalam partisipasi di wilayah publik. Kelak dalam perkembangan berikutnya gerakan pembebasan kaum perempuan ini mulai menukik pada merubah penapsiran terhadap teks-teks kitab Al-Qur’an dan Hadits yang sudah baku atau dikenal dengan “ Pembaruan Pemikiran Islam “. Yang menjadi payung semakin derasnya isu pembebasan perempuan adalah Konfensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention On The Eliminations Of All Forms Of Discriminations A giants Women/CEDAW) yang disahkan dan dimasukan kedalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34/180 pada tahun 1979. Sebagai Negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia terikat untuk mensosialisasikan dan merealisasikan segala muatan konvensi. Dengan dalih keyakinan atas hak-hak asasi manusia yang dicantumkan dalam mukadimah konvensi disebutkan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang termuat di dalamnya, tanpa pembedaan apapun termasuk perbedaan jenis kelamin. Sebagai penutup mukadimah tercantum bahwa para negara peserta bertekad untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang tercantum dalam deklarasi mengenai penghapusan diskriminasi dan untuk itu membuat peraturan yang diperlukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk dan perwujudannya. Indonesia meratifikasi konferensi PBB ini dalam bentuk UU NO 7 Tahun 1984 didalam GBHN secara spesifik status dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ditegaskan dalam GBHN 1978, GBHN 1983, GBHN 1988, GBHN 1993. Selama periode GBHN 1978 – 1993, rumusan tentang peran perempuan masih “lunak “, yaitu bahwa yang disebut kodrat perempuan mencakup peran biologis sekaligus peran sosial perempuan sebagai istri dan ibu. Dengan kata lain rumusan dalam GBHN tersebut menggunakan asumsi-asumsi gender tentang peran perempuan. Namun demikian, aplikasi kebijakan dari GBHN ini adalah mulai dibentuknya Mentri Negara Urusan Peranan Wanita oleh pemerintahan Soeharto. Berdasarkan ini mulai diangkat diskusi-diskusi tentang kesetaraan gender (relasi peran laki perempuan berdasarkan jenis kelamin), bermunculan LSM-LSM perempuan yang spesifik membahas kasus-kasus perempuan seperti dalam bidang hokum (LBH APIK), trauma center (Rifka Annisa). Untuk menguatkan penyebaran arus pengutamaan gender, gerakan perempuan ini menerbitkan majalah “Jurnal Perempuan“ dan menerbitkan buku-buku seputar pembebasan perempuan. []
Posted on: Wed, 04 Sep 2013 06:13:23 +0000

Trending Topics



iv>

Recently Viewed Topics




© 2015