NeoSentra “Spiritualitas & Pencerahan” Posted by NeoSentra on - TopicsExpress



          

NeoSentra “Spiritualitas & Pencerahan” Posted by NeoSentra on Sep 18, 2009 in Colosseum | 0 comments Pencerahan adalah sebuah proses dalam Spiritualitas yang sebetulnya harus dilalui terlebih dahulu sebelum proses-proses yang lainnya. Proses awal (inisiasi), sekaligus yang nanti akan menjadi proses akhir yang akan menghantar pada proses berikutnya yang lebih tinggi dan kembali lagi kedasarnya, bagaikan sebuah lingkaran “Cahaya” kehidupan. Namun muncul pertanyaan, apakah gunanya sebuah pencerahan bagi orang-orang yang hidupnya sudah cukup teratur dan bahagia? Pertanyaan yang klise tapi menggelitik juga untuk dijawab. Bagi seorang Atheis, Tuhan itu tidak ada (–ataukah sebenarnya Agama yang mereka tolak?), There is No Supreme Being that we call GOD for them. Mereka tidak mempercayainya, apalagi menyembahnya. Banyak dari mereka yang hidupnya sudah cukup bahagia, masalah-masalah hidupnya selalu dapat diatasi, mereka tidak memiliki hal-hal lain untuk dikeluhkan termasuk perekonomian dan pendidikan bahkan kesehatan mereka sangat baik. Hubungan antar keluarga dan masyarakat pun cukup rukun, dan minim sekali terjadi konflik. Mereka jarang menyakiti ataupun disakiti orang lain dan kedermawanannya cukup tinggi. Banyak orang-orang yang kurang mampu dalam perekonomian yang telah mereka bantu hingga berhasil. Mereka juga selalu dihormati dimanapun mereka berada. Sehingga pertanyaan yang menarik dari mereka adalah, “Untuk apa Ber-TUHAN, Untuk apa Ber-AGAMA, Untuk apa menjalani SPIRITUALITAS, bila ternyata dengan begini saja, hidup kami sudah sangat bahagia?” Sementara bila kita tengok ke luar sana, banyak sekali orang yang mengaku ber-Tuhan, ber-Agama, atau bahkan mereka-mereka yang mendalami Spiritualitas melalui olah rohani seperti meditasi dan semacamnya, justru malah hidup penuh dengan kesulitan, kekurangan, dikelilingi oleh wabah penyakit, konflik dan permusuhan, dimana yang satu merasa lebih benar dari yang lain dan berbagai pertentangan lainnya. Lantas untuk apa jadinya semua itu? Sekarang kita coba renungkan. Pertama, kita telah salah meletakkan sebuah ukuran kerohanian yang tempatnya berada didasar batin seseorang dengan menggunakan alat ukur fisikal atau material. Karena kalau kita bicara Ketuhanan, maka ini adalah wilayah yang teramat sangat pribadi. Dimana hanya orang yang menjalaninya lah yang dapat mengetahui dengan tepat dan jujur tentang keadaan diri dan batinnya saat itu. Hanya karena telah ber-Spiritual, ber-Agama, Ber-Tuhan, serta mendapatkan Pencerahan bukan berarti kita secara otomatis akan menjadi kaya, menjadi pandai, dihormati dimana-mana, tidak pula lantas hidup tanpa konflik, tanpa masalah, sama sekali bukan itu. Itu semua tidak bisa menjadi tolak ukur sedalam apa tingkat mentalitas, kejiwaan, dan keruhanian seseorang, serta sejauh mana dia membutuhkan Ketuhanan itu sendiri terlepas dari apapun kondisi kehidupan yang sedang dijalaninya saat ini, baik dia kaya maupun miskin, dan kondisi ideal versus non-ideal lainnya. Sehingga pada akhirnya yang bisa mengukur kedalaman jiwa kita hanyalah diri kita sendiri, dan kita tidak perlu memusingkan kedalaman jiwa orang lain. Oleh karena itulah Spiritualitas (termasuk juga mendapatkan pencerahan), seyogianya bisa didapatkan serta dilakukan oleh siapapun juga. Namun perlu kita cermati bahwa belum tentu semua orang merasa membutuhkannya. Dan sama sekali bukan tugas kita untuk menilai atau mengukur apakah orang itu akan membutuhkannya atau tidak. Biarkan orang itu sendiri yang akan menjawab kebutuhan dirinya sendiri. Maka jawaban bagi pertanyaan Si Atheis yang sukses dalam ilustrasi diatas hanya bisa dijawab oleh dirinya sendiri. Bisa saja dia bicara demikian dihadapan orang lain, tapi yang pasti dia tidak akan pernah bisa membohongi dirinya sendiri. Setidaknya sepanjang seseorang masih “Tidak Siap” atau mungkin juga “Takut” dalam menghadapi “Kematian”, maka itulah salah satu pertanda bahwa orang tersebut masih membutuhkan sesuatu yang Transendental, sesuatu yang Beyond Logical Knowledge. Dia masih membutuhkan Spiritualitas yang merupakan intisari dan hakikat ritual Keagamaan, dan itu mengindikasikan bahwa diapun akan membutuhkan Pencerahan juga. Karena pencerahan adalah gerbang awal untuk membuka rahasia dibalik kematian itu sendiri. Tetapi sekali lagi, hal ini hanya bisa dijawab oleh masing-masing diri, dimana ini adalah konsumsi pribadi, wilayah privat yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun juga tanpa kecuali. Kuncinya hanya ada pada kejujuran terhadap diri sendiri yang perlu mengakui bahwa apa yang telah dia dapatkan selama ini ternyata memang masih belum cukup. Masih ada “Sesuatu” yang dirasa kurang. Maka mulailah bertanya pada diri sendiri, apakah ini semua memang sudah cukup? Cukup bukan dalam ukuran fisikal maupun material. Maka tugas kita berikutnya adalah untuk kembali menyelami dan menyadari Esensi diri kita yang terdalam. Atau bisa kita sebut dengan nama “Pencerahan Yang Tertinggi”. Puncak dari kesadaran kita, The Ultimate Enlightenment, Lotus Kelopak Seribu (Sidharta Gautama), Sidrah al Muntaha (dalam Isra Mi’raj), Memasuki Kerajaan Allah –Metanoia (dalam Bible), Eling lan Waspodo (Kebatinan Jawa), Terbukanya Kebenaran Sunyata (Bhagavad Githa), Menemui Wajah Asli Semesta (Laotze & Li Hongzhi), dan lain sebagainya. Namun harap diingat bahwa yang terpenting bukanlah bagaimana kita merasakan SENSASI pengalaman spiritual tersebut. Tetapi lebih tentang bagaimana kita bisa membawa “Kesadaran Luhur” pada saat kita mengalami Pencerahan Tertinggi itu kedalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu pada saat kita di rumah dengan keluarga, saat kita bekerja, saat kita sedang duduk, diam, tidur, berdiri maupun berbaring diantara silih bergantinya siang dan malam. Karena disitu ada tanda-tanda bagi orang yang berfikir dan berpenglihatan mendalam. Banyak dari teman-teman kita yang sudah pernah mencicipi lezatnya Esensi diri yang terdalam ini, namun pada akhirnya masih gagal dalam membawa “Kesadaran Luhur”-nya pada kehidupan mereka sehari-hari. Mereka lagi-lagi masih terjebak sekedar pada SENSASI-nya dan bukan ESENSI-nya. Bagi mereka pencerahan tertinggi haruslah yang sensasional, yang super wah, dan yang ‘ajaib-ajaib’ kalau tidak mau dibilang aneh-aneh. Padahal seringkali kita diingatkan, bahwa itu semua hanyalah “Bonus”. Itu merupakan hiburan dan aksesoris. Tapi sayangnya justru banyak yang terjebak karena takjub melihat dan mengalami semua itu, dan ujung-ujungnya malah berhenti disitu. Dan ini pun pada akhirnya terefleksikan kembali dalam kehidupannya sehari-hari, sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya. Mereka masih banyak yang merasa belum puas, masih menipu dirinya sendiri, tanpa bisa mengendalikan maupun menempatkan emosinya disaat yang tepat. Dan lebih jauh lagi, kebanyakan dari mereka masih belum bisa menghadapi kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam hidupnya, masih kerap menempatkan dirinya sebagai ‘korban’ atas semua kejadian yang menimpa dirinya. Namun yang lebih parah lagi adalah mereka yang justru memang baru sampai pada tahap ‘mengetahui’, namun sudah merasa sudah sampai ditujuan akhir petualangan ruhani kita di alam dunia ini hanya karena kebetulan mereka merasa menggunakan cara atau metode yang sama, alat yang sama, yang menurutnya adalah alat atau metode yang tercepat dan tercanggih. Perlu kita cermati bahwa dalam Spiritualitas, pada hakikatnya istilah “Sampai” itu tidak ada dikarenakan ini adalah sebuah lingkaran proses (siklus). Tidak ada satu yang lebih tinggi dari yang lainnya. Namun demikian, kejujuran pada diri sendiri terhadap apa yang telah kita capai dan apa yang belum kita dapatkan pun menjadi krusial dalam hal ini. Karena kejujuranlah yang dapat menentukan apakah kita akan tetap berada di lingkaran, atau keluar daripadanya. Dan yang terpenting dari semua ini –agar kita tetap “On The Right Track”, adalah bukan pada apa yang kita alami atau temukan, melainkan menjawab pertanyaan yang paling mendasar, yaitu apa yang sebenarnya kita cari? Apakah kita sudah menemukan apa yang kita cari? Atau jangan-jangan kita sendiri masih sibuk berkutat mencari-cari apa yang ingin kita cari? Oleh karena itulah yang terpenting dalam menyelami “Kesadaran luhur” ini, adalah bagaimana kita mampu membawanya dari suatu pengalaman spiritual kedalam kehidupan nyata sehari-hari. Tentunya bukan sekedar tampilan luarnya saja. Bukan pula sekedar membayangkannya sebagai suatu konsep ataupun tata nilai pribadi kita yang ideal. Kita perlu untuk senantiasa berupaya memunculkannya 24 jam sehari, 7 hari seminggu, atau dengan kata lain setiap saat dan setiap waktu. Dan inipun baru merupakan suatu awalan, sebuah starting point. Hal ini dikarenakan pengenalan terhadap segala apa yang ada di dunia yang maya/fana ini adalah dengan terlebih dahulu mengenal akan “Yang Sejati” sebagai suatu entitas esensial dari hakikat diri kita yang terdalam. Untuk mengenali Kebenaran, adalah dengan cara mengalami Kebenaran itu sendiri secara utuh. Bukan cuma lewat konsep maupun kata-kata. Penting untuk selalu diingat, perjalanan sebelum menuju kepada Pencerahan Tertinggi ini pastinya juga akan melalui pencerahan-pencerahan kecil terlebih dahulu. Entah itu sebagai konsekuensi logis dari kita yang memang mencarinya, atau mungkin saja secara tidak sadar kita-lah yang telah dibimbing oleh ‘Alam’ ini untuk menuju kesana, bisa melalui film-film yang kita saksikan, melalui buku-buku atau artikel-artikel yang kita baca, maupun melalui orang-orang yang kita temui secara ‘kebetulan’, termasuk kejadian demi kejadian yang pada akhirnya menimbulkan semacam kegelisahan (termasuk skeptisisme yang sehat) atau mungkin lebih tepat bila disebut dengan kerinduan. Kerinduan terhadap Kebenaran asal-usul sejatinya Sang Diri, yang akan menghujani kita dengan singkapan-singkapan pencerahan ruhani yang akan membawa kita kedalam pemahaman yang mendalam tentang misteri kehidupan ini yang telah begitu mulia dianugerahkan kepada kita melalui kedua orang-tua kita masing-masing. Mampu memaknai hikmah dari tiap-tiap peristiwa yang dihadirkan dalam hidup ini adalah mutiara kearifan yang tercecer dan menjadi hak bagi setiap jiwa pejalan spiritual yang menemukannya. Di daratan ada sungai-sungai seperti Musi, Ciliwung, Mahakam, Barito, dan lain-lain. Masing-masingnya memiliki karakteristik tersendiri, nama tersendiri dan jalan hidupnya sendiri. Namun pada saat mereka telah bermuara sampai di lautan, maka tidak ada lagi nama-nama maupun kepribadian mereka masing-masing, yang ada hanyalah Lautan yang tak bertepi dimana masing-masing dari mereka adalah berasal dari sumber yang sama, dan telah kembali kepada sumber tersebut. Dari lautanlah mereka berasal, maka kepada lautanlah mereka akan kembali. Dan jalan yang telah mereka lalui akan menjadi saksi atas perjalanan dan petualangan mereka masing-masing, baik dalam suka maupun dukanya, dengan sebuah peran untuk memberikan kemaslahatan seoptimal mungkin bagi siapapun dan apapun yang bersinggungan dengannya. Dan marilah kita mengalir bersama sungai kehidupan agar kita bisa mempersembahkan apa-apa saja yang telah kita jadikan pelajaran darinya. Amin… “NeoSentra” neosentra
Posted on: Sat, 06 Jul 2013 08:41:30 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015