ORGANISASI ADVOKAT Bukan Tempat Buangan (berbahayanya misi - TopicsExpress



          

ORGANISASI ADVOKAT Bukan Tempat Buangan (berbahayanya misi tersembunyi dibalik RUU Advokat) Banyak pensiunan Hakim dan Jaksa yang ingin menjadi advokat. Organisasi Advokat terkesan Organisasi Buangan. Rancangan Undang-Undang Advokat yang tengah digodok di Dewan Perwakilan Rakyat sebentar lagi akan disahkan menjadi undang-undang. Namun, tak ada yang tahu pasti kapan pengesahan dilakukan. Rupanya, rencana pengesahan rancangan ini masih menyisakan rasa ketidakpuasan di kalangan advokat, khususnya di benak Thomas Tampubolon. Dalam diskusi RUU Advokat menjelang pemilihan Ketua DPC AAI Jakarta Pusat, Jum’at (01/11) lalu, Thomas tegas menyebut penyusunan RUU Advokat dilakukan secara terburu-buru.“Kalau orang Batak bilang, RUU Advokat ini produk hau-hau (produk asal jadi, red),” tutur Thomas. Thomas menilai UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat lebih bagus ketimbang RUU Advokat. Salah satunya terlihat dari sistem perekrutan anggota organisasi advokat. RUU Advokat memberikan kesempatan kepada organisasi advokat untuk mengangkat sendiri anggotanya. Syaratnya, advokat tersebut harus mengikuti pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) dan lulus dari ujian profesi advokat yang diselenggarakan organisasi. Sekilas, syarat ini cukup menarik. Akan tetapi, klausul tersebut cukup mengerikan karena dapat menyebabkan persaingan tidak sehat. Setiap organisasi akan bersaing dalam menggaet para calon untuk menjadi anggota organisasi. Caranya adalah dengan perang tarif PKPA dan standard kelulusan. Akibatnya, kualitas advokat akan menurun dan pihak yang paling dirugikan adalah para pencari keadilan. Tidak hanya perang tarif, RUU Advokat juga tidak mengatur batas maksimal usia untuk menjadi advokat. Padahal, jika melongok ke institusi-institusi yang lain, mereka mengatur batas maksimal usia seseorang. Thomas berpandangan batas usia maksimal perlu diatur agar organisasi advokat bisa menjadi organisasi yang berwibawa, bukan organisasi buangan. Pasalnya, ketiadaan batas umur menjadi advokat menyebabkan banyak para pensiunan dari profesi lain dapat “menceburkan” dirinya ke organisasi ini, seperti para pensiunan jenderal, hakim, dan jaksa. “Organisasi ini bukan organisasi buangan. Jangan jadikan organisasi ini seperti keranjang sampah” tegas Thomas. Melihat celah tersebut, Thomas merujuk ke Jepang dalam proses perekrutan calon advokat. Di negara Sakura itu, proses perekrutran dilakukan secara satu sistem. Sistem ini terdiri dari tiga institusi, yaitu Kehakiman, Kejaksaan, dan advokat. Setiap orang yang hendak mengikuti tes menjadi hakim, jaksa, atau pengacara harus melewati proses ini. Mereka diminta memilih dari tiga profesi tersebut. “Biasanya, nilai paling tinggi menjadi hakim. Namun, metode ini tidak harus diterapkan di Indonesia,” ucapnya lagi. Senada dengan Thomas, mantan Ketua AAI DPC Jakarta Pusat, Jamaslin James Purba menyuarakan kekhawatirannya atas RUU Advokat. Kegelisahan James juga terletak dalam sistem perekrutan, ujian, dan pengangkatan sumpah. RUU Advokat memberikan kewenangan kepada setiap organisasi untuk merekrut, memberikan ujian, hingga pengangkatan sumpah sendiri. Menurutnya, hal ini perlu diperhatikan lagi. Pasalnya, klausul tersebut dapat membuka peluang bagi setiap organisasi untuk memudahkan standar kelulusan. “Orang yang tidak memenuhi kualifikasi bisa menjadi advokat. Dan pihak yang paling dirugikan adalah pencari keadilan. Bisa kita bayangkan bagaimana profesi ini ke depannya,” tutur James saat diskusi berlangsung. Meskipun dalam RUU Advokat tersebut ada klausul yang mengatakan dalam proses PKPA tersebut harus mengikuti standard Dewan Advokat Nasional, James mengatakan itu adalah standard kurikulum, bukan untuk standard kelulusan.“Klausul tersebut bisa menghancurkan apa yang telah dibangun oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dengan baik,” pungkasnya. hukumonline/berita/baca/lt52784b89f06b8/organisasi-advokat-bukan-tempat-buangan
Posted on: Wed, 06 Nov 2013 05:15:52 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015