Oleh Emha Ainun Nadjib Benar-benar keliru, kalau menyangka - TopicsExpress



          

Oleh Emha Ainun Nadjib Benar-benar keliru, kalau menyangka Saridin itu sakti mandraguna. Memangnya jatuh dari puncak pohon kelapa, bisa tetap sehat walafiat begitu saja. Lha, wong Jim Bowie, pahlawan di Benteng Alamo, saja ketika jatuh terjengkang dari atas dinding benteng, lantas tak bisa ikut perang dan hanya berbaring-baring setengah lumpuh. Gatot Kaca (ririnbrain.blogspot) Coba si Superman atau Gatotkaca, kalau memang meraka berani: jatuhkan diri dari puncak kelapa. Saya berani jamin mereka akan patah kaki atau pinggang. Bisa-bisa malah remuk kepalanya. Superman dan gatotkaca itu hebat, karena mereka tidak ada. Adanya hanya dalam fantasi. Coba kalau mereka ada dalam kenyataan: pasti tanggal segala kehebatannya. Jadi alhasil diam-diam Saridin juga merasa kesakitan sesudah terkapar di tanah. Ia sudah menerapkan ilmu meringankan tubuh, tapi karena ‘ringan’ maupun ‘tubuh’ itu sama-sama makhluk Tuhan, maka sesudah tubuh diringankan –lantas malah tiba-tiba menjadi tubuh. Lha, ‘tubuh’ yang kedua inilah, yang suku cadangnya terdiri dari ‘ringan’, yang terkapar di tanah. Meskipun tatkala detik kejatuhan itu terjadi hanya terdengar suara lirih belaka, tapi ya tetap ada tubuh yang terjatuh. Untung Saridin tidak menerapkan ilmu memberatkan tubuh, sehingga yang jatuh bukan ‘berat’ yang menjadi ‘tubuh’. Ini bukan pelesetan. Ini ilmu hakekat. Ngelmu kasunyatan. ******* Terpaksa kita buka saja rahasia itu. Saridin agak keseleo kaki kirinya. Dengkul-nya seperti mau patah, pinggangnya sakit bukan alang kepalang. Bahkan tulang kaki kiri bagian bawah, agak retak sedikit. Itulah sebabnya, Sunan Kudus menyebut-nyebut jamu air gampang alias air kapur. Itu urusannya tentu soal penyempurnaan kembali keutuhan tulang. Cosmos (ekomarwanto) Allah sanggup berbuat apa saja. Allah Maha mampu menciptakan segala keajaiban. Saridin bisa dibuatnya tak cedera sedikitpun dan ketika terkapar, ia merasa seolah-olah barusan bangun tidur. Tapi Ia mengajarkan logika kepada manusia. Nalar dan akal sehat. Rasionalitas dalam berbagai lapisan kosmos. Dan itulah tanda utama kemanusiaan atau makhluk yang dijadikan-Nya mandataris bagi pengelolaan alam semesta. Maka jatuhnya Saridin juga tidak dimerdekakan oleh-Nya dari kadar logika. Kalau peristiwa Saridin itu oleh Allah dibikin sepenuhnya bersifat keajaiban, mental manusia akan tidak sanggup menyangga. Jadi dianugrahkan oleh-Nya sejumlah sakit, keseleo dan retak tulang. Itu agar Saridin tidak ditinggalkan oleh kewajaran sebagai manusia biasa. Wong Nabi Muhammad saw. saja diperkenankan oleh Allah untuk berdarah keningnya, sehabis dilempari batu oleh penduduk negeri Thaif. Mosok Saridin mau mbagusi. ******* Maka ketika kemudian, seusai bersarasehan di masjid, Sunan Kudus mempersilahkan Saridin untuk beristirahat-diam-diam. Saridin meluangkan waktu, untuk memberi hak bagi rasa sakitnya untuk melenguh atau sedikit meraung-raung. Sebenarnya soal menahan sakit, sudah lama Saridin sangat jagoan. Itu merupakan kerjasama antara kekuatan mental untuk mengendalikan diri, termasuk menguasai rasa sakit, dengan kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh hukum alam. Kepala Suku Apache (satriyoteguhsanyoto.blogspot) Misalnya kuku jempol tangan Saridin pernah copot separo terkena pethel atau sejenis kapak kecil, ketika ia menjadi tukang kayu pada suatu zaman. Ia tidak menampakkan rasa sakit di wajahnya sama sekali. Mungkin Saridin membayangkan dirinya adalah Kepala Suku Apache: sakit kayak apapun, pantang merasa sakit! Ia letakkan pethel. Ia pandangi jempol tangannya yang berdarah dan kukunya mendongak separo. Kemudian ia tertawa dan bergumam: “Aduh enak benar rasanya, seperti bothokan pete・–kemudian ia cabut kuku itu. Ia buang ke parit. Lantas jempolnya ia cucup, darahnya ia hisap, dan akhirnya ia meniupnya seperti seorang dukun sedang mengobati. Kemudian ia meneruskan kerja, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Sekali lagi bukan karena Saridin hebat. Tapi bagi wong ndeso dan wong cilik macam dia, tak ada kesempatan dan energi untuk menikmati rasa sakit, penderitaan atau kecengengan. Waktu Saridin sakit gigi karena bolong, ia mengambil serat, ia ikatkan pangkal gigi itu, kemudian konsentrasi dan ia tarik ke bawah sehingga gigi itu tanggal. “Asal tarikannya utuh dan langsung,” katanya, arahnya juga harus pas. Memang sakit sekali, tapi hanya sesaat. Sesudah itu terasa sangat enak, karena keenakan yang paling enak adalah sesudah kita sanggup mengalahkan ketidakenakan yang paling tidak enak. ******* Adapun untuk mengatasi keseleo dan retak tulangnya, Saridin sejenak melompat ke abad 20. Kenapa dipilih abad 20? Tidak kenapa-kenapa. Iseng-iseng saja. Kalau misalnya di tengah perjalanan ke abad 20 itu ia berubah pikiran, umpamannya pengin belok ke lima abad sebelum Masehi, ya biarkan saja. Anda tak usah mempersoalkannya seolah-olah Anda kurang kerjaan dan seakan-akan di negeri Anda yang bernama Indonesia Raya itu kurang problem. Saridin kerja sebentar sebagai makelar penumpang di terminal. Sesudah dapat duit, lantas pergi ke warung kecil pinggir jalan untuk makan dan beli pil penghilang rasa sakit atau entah pil apa saja, sampai duitnya habis. Pokoknya dia percaya saja. Manusia abad 20 kan pinter-pinter, canggih-canggih. Segala penyakit bisa diobati, kecuali yang belum bisa, dan itu jumlahnya sangat banyak. Tapi malapetaka terjadi. Ternyata badan Saridin tidak tahan pada pil antibiotik. Kulitnya jadi mlenyek-mlenyek seperti habis kebakaran. Suhu badannya panas bukan main. Maka ia tanya kanan kiri dan orang-orang yang menyarankan agar ia kerumah sakit. Maka kerumah sakitlah ia. Alhamdulillah cukup lancar prosesnya. Dokter menanganinya. Satu dua hari lagi, insyaAllah, ia normal seperti sebelumnya. Ia pun berterimakasih dan pamit pulang. Tapi, tentu saja, ia ditagih, diminta membayar oleh petugas adminitrasi Rumah Sakit. “Membayar bagiamana?” Saridin bertanya. “Ya membayar! Namanya orang berobat ya membayar!” si petugas menjawab ketus karena jengkel. Rumah Sakit? (watatita.wordpress) “Sampeyan ini punya otak atau tidak?” Saridin ganti marah, “Kalau minta bayaran itu, ya, harus kepada orang yang punya uang. Lha, saya kan tidak punya uang. Bagaimana mungkin orang tak punya uang, Sampeyan suruh membayar? Pakai apa membayarnya? Sampeyan ini punya otak atau tidak?” Si petugas gedeg dadanya dan puyeng kepalanya, “Kamu ini makhluk dari mana, tho? Kalau ndak punya uang, ya, jangan berobat ke rumah sakit, goblog!!” “Ooo, memang benar-benar tidak punya otak orang ini.” Saridin tertawa, “Kalau berobat itu, ya, rumah sakit. Mosok berobat ke kuburan atau pos polisi! Dasar guuuwoblog!” Hampir meledak dada si petugas. “Kalau kamu sakit dan mau berobat itu, ya, harus bawa uang. Kalau tidak punya uang, ya, jangan ke rumah sakit. Gitu lho, menyuuuuun!” Tertawa Saridin menjadi-jadi. “Kalau mau berobat harus bawa uang,” katanya, seperti mengeja deretan huruf, “Apa hubungan antara sakit dengan uang? Yang diperlukan oleh sakit adalah obat dan penyembuhan. Obat dan penyembuhan itu letaknya di rumah sakit. Apa saya salah langkah? Tidak, saya tidak salah langkah. Tapi sampai di rumah sakit, kok yang dipersoalkan adalah masalah uang. Apa hubungannya uang dengan sakit saya? Wong, saya sibuk menderita oleh sakit saya, kok Sampeyan sibuk dengan uang. Kalau mau ngurusi uang ya sana, jangan dicampur-campur dengan sakit saya. Pokoknya sekarang saya mau pulang・—mendadak Saridin bermuka serius dan matanya setengah melotot— “Yang mana di depan ini jalan saya. Siapa saja ada disitu, mau manusia mau jin mau peri prayangan: akan kena terjang langkah saya!” Saridin pun kembali ke abad kelahirannya.
Posted on: Wed, 17 Jul 2013 06:25:25 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015