Oleh Satrio Arismunandar CARA DPR MENYELEKSI ANGGOTA KOMISI - TopicsExpress



          

Oleh Satrio Arismunandar CARA DPR MENYELEKSI ANGGOTA KOMISI PENYIARAN INDONESIA (SEKSIS DAN TIDAK BERMUTU) -- “Tolong jawab yang serius, Anda sudah punya pacar?,” bunyi pertanyaan yang diajukan Oheo Sinapoy (Golkar) kepada seorang calon perempuan komisioner muda Agatha Lily. Langsung saja pertanyaan tersebut disambut tawa terbahak anggota lainnya, bahkan ditimpali sang moderator TB Hasanuddin (PDIP), “Wah, tinggal tukeran nomor telepon aja nanti.” Selama dua hari ujian berlangsung, “lelucon” itu pun mereka (anggota Komisi I) mainkan berulang. Mereka bahkan menciptakan istilah baru: “Virus Agatha”, dan diucapkan untuk mengenye anggota lain dan memancing tawa. Seorang calon perempuan lainnya mendapat perlakuan senada. “Selamat malam para calon komisioner, khusunya Ibu Ririt yang cantik,” ujar seorang perwakilan PKS. Berkali-kali setelahnya si calon disuguhi gombalan-gombalan manis yang datang dari berbagai perwakilan fraksi di Komisi I. Pun muncul pertanyaan seperti ini, “Anda kan lemah lembut seperti ini, apakah Anda bisa menghadapi tantangan-tantangan yang ada di KPI nanti?” ujar yang lain kepada calon yang sama. Dua hari itu, ruangan rapat Komisi I dipenuhi tawa. Namun siapa sangka seksisme menjadi materi utamanya? Perempuan komisioner tidak dihargai, bahkan dipandang sebatas wajah dan tubuh, lebih dari akal sehat dan pengetahuan yang dimilikinya. Kritik yang sering ditujukan kepada televisi itu, kini malah dilakukan oleh lembaga yang sedang memilih orang yang akan bertugas menegur pandangan macam demikian di televisi dan radio. “Defisit akal di parlemen adalah sebab dari defisit etika,” tulis Rocky Gerung suatu kali dalam sebuah pidato kebudayaan pada 2010. Dan premis ini mungkin cocok. Pasalnya, etika berunding—atau entah apalah namanya itu—dipertontonkan Komisi I sebagai sesuatu yang lebih kacangan dari pemilihan Ketua OSIS di SMA: jadwal ujian ngaret hingga paling lama 1,5 jam, jumlah anggota komisi I yang hadir pernah hanya 16 orang, sampai fraksi PPP yang meminta izin untuk berhalangan hadir karena ada pembekalan calon legislatif partainya. Lain hal, menguasai tetek bengek dunia penyiaran adalah wajib bagi sang penguji. Namun, nampaknya hal ini tidak terlihat dalam pertanyaan yang dilontarkan. Ada cerita tentang Evita Nursanti (PDIP) yang menyatakan perlu didirikannya Komisi Air, Komisi Hutan, dan lainnya, sebagai konsekuensi logis dari adanya Komisi Penyiaran, yang kesemuanya adalah sumber daya alam terbatas. Ada pertanyaan tidak relevan yang ditanyakan seorang bergelar doktor, Ajeng Ratna Sumirat (Demokrat), “Kalau Anda sedang mandi, lantas ada iklan yang masuk ke BBM Anda, apa yang akan Anda lakukan untuk mengatasi hal tersebut?” Bahkan, Ajeng dan Nurul Arifin (Golkar), ketika saya tanya secara pribadi, tidak paham apa itu blocking time. Nurul pun tak paham apa cemarnya praktik demikian bila dimanfaatkan partai politik: “Ya nggak apa. Apalagi kalau itu (yang disiarkan adalah) ulang tahun partai.” Sedangkan pertanyaan yang persis menyangkut masalah penyiaran, malah jatuh pada pertanyaan-pertanyaan hapalan dan normatif yang sebenarnya tidak perlu diajukan. Pertanyaan hapalan, yang lebih bertujuan menggali pengetahuan (bukan sikap, apalagi paradigma) calon komisioner, seharusnya sudah selesai pada seleksi tahap awal (administrasi dan ujian tertulis). Dan pertanyaan normatif seperti “apakah Anda yakin tak akan terkontaminasi konglomerasi?” atau “apakah Anda sanggup menolak godaan?” pada dasarnya sebangun dengan pertanyaan “suka bohong nggak?” kepada seorang bocah.
Posted on: Fri, 19 Jul 2013 09:42:09 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015