PEMBATALAN IZIN EDAR OBAT DEXTROMETORFAN DAN KARISOPRODOL Jakarta - TopicsExpress



          

PEMBATALAN IZIN EDAR OBAT DEXTROMETORFAN DAN KARISOPRODOL Jakarta - Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 16 Juli 2013 Deputi I BPOM Dra. A. Retno Tyas Utami, Apt.,M.Epid melayangkan surat penarikan obat yang mengandung Karisoprodol dan Dekstrometorfan kepada GP Farmasi Indonesia. Surat tersebut disertai surat keputusan Kepala BPOM RI No. HK. 04. 1. 35.06.13. 3534 (Pembatalan Izin Edar Obat Yang Mengandung Dekstrometorfan) dan No. HK. 04. 1. 35.06.13. 3535 (Pembatalan Izin Edar Obat Yang Mengandung Karisoprodol) ditujukan pada pimpinan dan apoteker penanggungjawab industri farmasi. Surat Keputusan tersebut ditandatangani oleh Kepala BPOM RI Dra. Lucky S. Slamet, M.Sc tanggal 26 Juni 2013. Dikeluarkannya SK Kepala BPOM dilatarbelakangi laporan temuan dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang bekerjasama dengan Universitas Indonesia (UI) mengenai penyalagunaan obat yang mengandung Dekstrometorfan dan Karisoprodol yang banyak digunakan oleh masyarakat tanpa menggunakan resep dokter. Dekstrometorfan, Dari laporan temuan dan analisa BNN dan Universitas Indonesia, Dekstrometorfan banyak dijumpai sebagai obat batuk maupun flu yang sering dikombinasikan dengan parasetamol, CTM, Fenil Propanol Amin, Guafenisin. Dekstrometorfan merupakan obat penekan batuk atau antitusif dengan indikasi pengobatan batuk kering tidak produktif dan umumnya diformulasikan dalam bentuk sediaan tablet, sirup atau kaplet. Hasil survei yang dilakukan oleh BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia pada 2010 di 15 provinsi di Indonesia menyebutkan bahwa penyalahgunaan Dekstrometorfan, yang oleh penggunanya lebih dikenal dengan sebutan pil dekstro, dilakukan oleh anak dengan usia 10 -14 tahun sebanyak 184 orang; usia 7-9 tahun sebanyak 7 orang, dan usia 15-18 tahun sebanyak 695 orang. Dari hasil survei tersebut diatas dapat diartikan bahwa penyalahgunaan Dekstrometorfan dilakukan oleh kelompok usia 7 – 18 tahun (kelompok usia SD – SMA) dan populasi terbanyak penyalahgunaan Dekstrometorfan adalah kelompok usia remaja (15 – 18 tahun ) yang pada umumnya hanya memiliki pendidikan setingkat SD. Bahaya yang perlu diwaspadai akibat penyalahgunaan DMP adalah jika pasien tidak tertangani dengan baik kemungkinan besar dapat terjerumus menjadi pecandu narkoba. Karisoprodol merupakan obat pelemas otot yang bekerja secara sentral dan digunakan untuk mengatasi nyeri otot. Karisoprodol tidak direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang (paling lama 2-3 minggu), karena belum ada bukti kuat mengenai efektivitasnya jangka panjang. Namun, dari penelitian yang dilakukan oleh antropolog Universitas Hasanuddin Makasar, Prof. Nurul Ilmi Idrus, Ph.D terungkap adanya penyalahgunaan obat ini baik di kalangan remaja, waria dan pekerja seks (PSK) seperti di beberapa wilayah di Makasar, Pantai Bira serta Bulukumba. Di Indonesia Karisoprodol merupakan obat anti nyeri dan diresepkan dokter, papar Ilmi pada Seminar Chemical Youth Comparative case-studies Indonesia di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kamis (4/10). Rapat Pembahasan Dekstrometorfan Rapat Dekstrometorfan Dalam rapat pembahasan Dekstrometorfan pertama 21 Nopember 2012, peserta yang hadir terdiri dari Direktorat di Kedeputian I, Biro Hukmas, Pusdik, Tim ahli dari Pusat Studi Farmakologi dan Kebijakan Obat, Universitas Gadjah Mada. Hasil dari pembahasan tersebut antara lain: Perlunya kebijakan perketatan peredaran DXM sebagai OBT karena banyaknya kasus penyalahgunaan DXM secara kimiawi merupakan turunan opioid -> memungkinkan untuk dimasukan dalam golongan narkotika, sehingga ada kejelasan sanksi hukum dalam pengawasannya. Perlu dilakukan kajian risk and benefit. Konvensi Narkotika 1961: levometorfan Schedul I, dekstro di-excluded-metorfan tidak bekerja pada reseptor myu sebagaimana opioid pada umumnya Karena penyalahgunaan, banyak negara mulai mempertimbangkan pengawasan lebih ketat Rapat pembahasan kedua, 20 - 21 Desember 2012, peserta yang hadir terdiri dari Direktorat di Kedeputian I, Pusat Penyidikan Obat dan Makanan, Biro Hukum, Hubungan Masyarakat dan peserta Balai Besar POM Jakarta dan Bandung. Peserta lintas sektor yang terdiri dari Pusat Penelitian Data dan Informasi BNN, Direktorat IV TP Narkoba/KT dan Bareskrim POLRI. Peserta dari tim ahli terdiri dari Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat dan Universitas Gadja Mada. Hasil pertemuan kedua tersebut menghasilkan: 1. Tidak dipertahankan beredar di Indonesia: Dekstrometorfan memiliki resiko penyalahgunaan lebih besar bagi kesehatan masyarakat dibandingkan terapinya, dimana obat ini ternyata tidak efektif sebagai antitusif karena efeknya tidak berbeda bermakna dengan plasebo(informasi dari Prof. Rianto Setiabudi yang mengacu dari Cochrane) sehingga peredaran obat ini perlu ditinjau kembali. Mengingat kecilnya manfaat terapi diatas, diusulkan agar Dekstrometorfan: Dikeluarkan dari Daftar Obat Essensial Nasional(DOEN); Tidak diedarkan lagi di wilayah Indonesia. Untuk itu perlu ditinjau kembali izin edarnya yang akan dibahas dalam Komnas POJ 2. Tetap diedarkan di Indonesia: Dekstrometorfan diusulkan dimasukan ke dalam golongan Narkotika Usulan beberapa alternatif perkuatan pengawasan: Pengawasan peredaran melalui kewajiban pelaporan(setiap kali realisasi impor bahan baku dan pendistribusiannya, penyaluran dan penyerahan obat jadi) Larangan peredaran Dekstrometorfan tablet kemasan hospital pack di apotek dan toko obat Rapat ketiga Komnas POJ, 20 Maret 2013 peserta yang hadir terdiri dari Direktorat di Kedeputian I, Pusat Penyidikan Obat dan Makanan, Biro Hukum, Hubungan Masyarakat. Peserta tim ahli dari Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat UGM, Perhimpunan Ahli Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kerongkongan dan Leher (PERHATI KL). Hasil pertemuan tersebut antara lain : 1. Penggunaan Dekstrometorfan tunggal untuk terapi di kalangan medis sudah sangat jarang. 2. Kebutuhan akan sediaan dekstrometorfan dalam bentuk kombinasi masih diperlukan untuk pengobatan. 3. Perlunya perketatan pengawasan agar sediaan mengandung dekstrometorfan tidak dimungkinkan penyaluran ke toko obat dan dijual secara bebas. 4. Tim revisi DOEN berencana untuk mengeluarkan Dekstrometrofan dari DOEN (menunggu rapat pleno) * catatan hasil pleno 18 April 2013 disetujui untuk dikeluarkan dari DOEN. Dektrometorfan tunggal dicabut izin edarnya dan tidak diizinkan lagi diproduksi dalam bentuk sediaan tunggal. Dekstrometorfan dalam sediaan kombinasi menjadi golongan obat keras. Pertimbangan Keputusan dari ketiga rapat tersebut memutuskan: 1. Menjadi Golongan Obat Keras Dampak: a. Sediaan tunggal (dosis 10mg, 15mg dan 5mg/5ml) dan kombinasi harus mengikuti ketentuan sebagai golongan obat kerasKonsekuensi: Perubahan NIE (regiatrasi variasi) b. Proses ke SK Menkes c. Tidak bisa diiklankan lagi 2. Dosis tunggal dibatalkan a. Kombinasi masih eksis sebagai golongan Obat Bebas terbatas b. Tidak mengubah investasi di industri farmasi Rapat keempat Rakorpimtas tanggal 7 Juni 2013, peserta yang hadir Ka BPOM, Deputi I, Direktur di Kedeputian I, Kabiro Hukmas, staff di Kedeputian I, TU Pimpinan. Dan hasil pembahasan tersebut antara lain: 1. Dekstrometorfan tunggal dicabut izin edarnya dan tidak lagi diproduksi dalam bentuk sediaan tunggal 2. Dekstrometorfan dalam sediaan kombinasi tetap sebagai obat bebas terbatas. Finalisasi dari rapat keseluruhan maka diterbitkannya Surat Keputusan Kepala Badan POM RI no. HK.04.1.35.06.13.3534 tentang pembatalan izin edar obat mengandung Dekstrometorfan. Rapat Pembahasan Karisoprodol Dalam rapat pembahasan pertama, tanggal 21 Nopember 2012, peserta yang hadir dalam rapat pembahasan yaitu Direktorat di kedeputian I, Biro Hukmas, Pusdik, Tim ahli dari Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat Universitas Gadjah Mada. Dan menghasilkan pembahasan sebagai berikut: Karisoprodol memiliki efek farmakologi sebagai relaksan otot namun hanya berlangsung singkat dan didalam tubuh akan segera dimetabolisme menjadi metabolit berupa senyawa meprobramat yang menimbulkan efek sedatif. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan untuk mencabut izin edar obat tersebut dari peredaran mengingat dampak penyalahgunaannya lebih besar daripada efek terapinya. Dalam pembahasan rapat kedua, tanggal 20 - 21 Desember 2012 yang dihadiri oleh Direktorat di kedeputian I, Pusat Penyidikan Obat dan Makanan, Biro Hukum, Hubungan Masyarakat, Balai Besar POM Jakarta dan Bandung. Dari lintas sektor dihadiri oleh Pusat Penelitian Data dan Informasi BNN, Direktorat IV TP Narkoba/KT, Bareskrim POLRI. Juga dari tim ahli dari Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat UGM. Dalam rapat pembahasan tersebut menghasilkan: Tidak dipertahankan beredar di Indonesia: Karisoprodol merupakan prodrug meprobamat(Psikotropika golongan IV), berdasarkan efek farmakologisnya karisoprodol hanya memiliki efek relaksasi otot relatif singkat, sehingga tidak direkomendasikan untuk dipertahankan penggunaanya untuk pengobatan. Mengingat kecilnya manfaat terapi, tingginya penyalahgunaan dan dibeberapa negara (Swedia dan Norwegia) sudah dilarang beredar. Diusulkan agar Karisoprodol tidak boleh beredar dan semua produk yang mengandung Karisoprodol dibatalkan nomor izin edar (NIE). Tetap diedarkan di Indonesia: Meningat penyalahgunaan yang telah meluas, diusulkan agar Karisoprodol menjadi golongan psikotropika sebagai prodrug meprobamat. Rapat pembahasan ketiga, 20 Maret 2013 peserta yang hadir terdiri dari Direktorat di Kedeputian I, Pusat Penyidikan Obat dan Makanan, Biro Hukum, Hubungan Masyarakat. Tim ahli yang hadir dari Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat UGM, Perhimpunan Ahli Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kerongkongan dan Leher (PERHATI KL). Hasil pembahasannya: Untuk Karisoprodol, mengingat efeknya sebagai muscle relaxan tidak lama dan masih ada alternatif obat lain dengan efek yang sama maka disetujui untuk ditarik dari peredaran Karisoprodol dicabut izin edarnya, ditarik dari peredaran dan tidak diizinkan lagi untuk diproduksi. Rapat keempat Rakorpimtas tanggal 7 Juni 2013, peserta yang hadir Ka BPOM, Deputi I, Direktur di Kedeputian I, Kabiro Hukmas, staff di Kedeputian I, TU Pimpinan. Dan hasil pertemuan tersebut antara lain: Karisoprodol merupakan prodrug meprobamat (Psikotropika Gol. IV) Efek farmakologinya, Karisoprodol hanya memiliki efek relaksasi otot relatif singkat, sehingga tidak direkomendasikan untuk dipertahankan penggunaannya untuk pengobatan. Mengingat kecilnya manfaat terapi, tingginya penyalahgunaan dan di beberapa negara sudah dilarang beredar, diusulkan agar Karisoprodol tidak boleh beredar dan semua produk yang mengandung Karisoprodol dibatalkan nomor izin edarnya (NIE). Finalisasi dari rapat keseluruhan maka diterbitkannya Surat Keputusan Kepala Badan POM RI no. HK.04.1.35.06.13.3535 tentang pembatalan izin edar obat mengandung Karisoprodol.
Posted on: Sun, 04 Aug 2013 18:58:28 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015