PENASARAN #99CahayadiLangitEropa : Novel tentang Sejarah Islam - TopicsExpress



          

PENASARAN #99CahayadiLangitEropa : Novel tentang Sejarah Islam di Benua Biru Mengutip kata-kata George Santayana: “Those who don’t learn from history are doomed to repeat it.” Barang siapa melupakan sejarah, dia pasti akan mengulanginya. Banyak di antara umat Islam kini yang tidak lagi mengenali sejarah kebesaran Islam pada masa lalu. Tidak banyak yang tahu bahwa luas teritori kekhalifahan Umayyah hampir 2 kali lebih besar daripada wilayah Kekaisaran Roma di bawah Julius Caesar. Tidak banyak yang tahu pula bahwa peradaban Islam-lah yang memperkenalkan Eropa pada Aristoteles, Plato, dan Socrates, serta akhirnya meniupkan angin renaissance bagi kemajuan Eropa saat ini. Cordoba, ibu kota kekhalifahan Islam di Spanyol, pernah menjadi pusat peradaban pengetahuan dunia, yang membuat Paris dan London beriri hati. Paragraf di atas merupakan paragraf favoritku dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa (Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa) karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Aku membeli novel terbitan Gramedia Pustaka Utama ini atas rekomendasi dari Tika. Dan ternyata tidak mengecewakan. Novelnya memang sesuai seleraku. Bisa, lah, kali lain aku meminta rekomendasi darinya tentang novel yang menarik. Novel setebal 414 halaman ini merupakan novel best seller. Yang kubeli sendiri merupakan cetakan keenam (Februari 2012). Cetakan pertamanya sendiri bulan Juli 2011. Dalam novel ini Hanum menceritakan pengalaman-pengalamannya selama tinggal di Eropa dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Eropa. “Petualangan” Hanum dimulai di Wina, Austria, untuk mengikuti Rangga, suaminya, yang mendapat beasiswa studi doktoral di sana. Di Wina Hanum berkenalan dengan Fatma Pasha, seorang imigran dari Turki. Fatma inilah yang menemaninya berkeliling kota Wina. Tempat yang pertama mereka kunjungi adalah bukit Kahlenberg. Dari Kahlenberg orang bisa melihat pemandangan kota Wina dengan jelas. Sayangnya, udara dingin memaksa mereka mencari tempat berlindung. Awalnya mereka berlindung di Gereja Saint Joseph. Kemudian mereka bersantai di sebuah kafetaria di seberang gereja tersebut. Ketika mereka sedang berbincang-bincang, Hanum mendengar ada tamu kafe yang berkata dalam Bahasa Inggris, “If you want to ridicule Muslims, this is how to do it.” Orang tersebut memakan croissant dengan gaya rakus yang dibuat-buat. Tamu itu berkata lagi, “Croissant itu bukan dari Prancis, guys, tapi dari Austria. Roti untuk merayakan kekalahan Turki di Wina. Kalau bendera Turki itu berbentuk hati, pasti roti croissant sekarang berbentuk ‘love’ bukan bulan sabit, dan tentu namanya bukan croissant, tetapi l’amour.” Hanum pun menceritakan perkataan tamu tersebut pada Fatma – yang tidak menguasai Bahasa Inggris. Awalnya Hanum mengira Fatma akan melabrak mereka. Dan ternyata, Fatma justru membayar makanan mereka yang sudah menertawakan negara dan agamanya. Fatma pun mengajak Hanum kembali ke Kahlenberg. Dia pun menceritakan pada Hanum bahwa dari bukit itulah pasukan gabungan Jerman dan Polandia memukul pasukan Turki dan bisa jadi roti croissant memang simbol kekalahan Turki saat itu. Dalam perjalanan pulang dari Kahlenberg Hanum bertanya tentang sikap Fatma yang tak menunjukkan kemarahan pada orang yang menghina agamanya tadi. Fatma sebenarnya juga merasa tersinggung atas hinaan tersebut, tapi dia kemudian menjelaskan kepada Hanum, “Hanya satu yang harus kita ingat. Misi kita adalah menjadi agen Islam yang damai, teduh, indah, yang membawa keberkahan di komunitas nonmuslim.” Agen muslim yang baik, itu yang selalu ditekankan oleh Fatma. Ternyata misi menjadi agen muslim yang baik bukan hanya dipegang oleh Fatma melainkan juga kawan-kawannya, yaitu Latife dan Oznur. Hanum kemudian mendapat kesempatan ke Paris karena Rangga akan mengikuti konferensi di sana. Di Paris Hanum berkeliling ditemani Marion. Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah Musee de Louvre atau Museum Louvre. Di sanalah Hanum melihat ada banyak karya ilmuwan Islam yang menakjubkan, salah satunya adalah peta antariksa ilmu falak yang dikembangkan astronom Islam pada abad ke-12. Di museum itu pula Marion menunjukkan piring berhias kuffic (seni kaligrafi Arab kuno) yang salah satunya memiliki arti “ilmu pengetahuan itu pahit pada awalnya, tetapi manis melebihi madu pada akhirnya”. Marion juga menunjukkan pada Hanum bahwa pada lukisan Bunda Maria di kerudungnya ada kuffic berbunyi “Laa ilaaha illaLlah”. Kuffic tersebut menunjukkan pengaruh Islam pada seni yang berkembang di Eropa. Menurut hipotesis Marion, kuffic berlafaz “Laa ilaaha illaLlah” itu merupakan kuffic favorit di Timur Tengah dan ditiru oleh seniman Eropa – tanpa mereka ketahui artinya. Itulah sebagian cerita perjalanan Hanum di Eropa.
Posted on: Thu, 21 Nov 2013 04:03:17 +0000

Trending Topics



height:30px;"> 2. Alfred Hitchcock (I) With more than fifty feature films

Recently Viewed Topics




© 2015