PERAN AGEN IBLIS DIBALIK MURTOPO, MOERDANI, GORIS MERE DAN - TopicsExpress



          

PERAN AGEN IBLIS DIBALIK MURTOPO, MOERDANI, GORIS MERE DAN KAFIRISASI PEMIMPIN KRISTEN / ANTI SYARIAT ISLAM _Ringkasan Arsip kejahatan Penguasa Setan Kafir_ 1955, Indonesia menggelar pemilu pertama yang hasilnya sangat mencemaskan negara-negara blok Barat, khususnya Amerika Serikat yang merupakan negara boneka Freemason, dan Belanda yang juga ditunggangi organisasi persaudaraan kaum elit Yahudi itu. Sebab, hasil pemilu menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia. Bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya. Maka orang-orang terbaik mereka dikerahkan untuk menggulingkan the founding father ini. Di antaranya CIA dan Beek. Fakta bahwa Beek adalah agen CIA antara lain diungkap Dr. George J. Aditjondro, penulis yang juga mantan anak buah Beek, dalam artikel berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani. Dalam artikel ini, George menulis begini; “Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”. Selama kurun waktu delapan tahun sejak ditahbiskan hingga ditugaskan kembali di Indonesia, ia mengasah diri dengan mempelajari banyak hal, terutama mempelajari metode-metode efektif untuk menghancurkan Islam. Diduga kuat, sejak ia kembali ke Belanda dan menjelang kembali lagi ke Indonesia, ia didekati dua organisasi yang hingga kini pun sangat berpengaruh di dunia, yakni Freemasonry dan CIA. Tak heran jika M. Sembodo dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’ menyebut, ketika Beek menjejakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi, statusnya bukan hanya seorang misionaris Kristen Katolik, tapi juga anggota CIA dan Freemason. Sebagai musuh nomor satu Pater Beek setelah Komunis dihancurkan, Islam memang mengalami tekanan yang amat hebat. Celakanya, umat Islam sendiri kurang cerdas dalam menyikapi keadaan, sehingga baru merasakan akibatnya di belakang hari. Pengebirian terhadap partai berideologi Islam dilakukan bidak-bidak Pater Beek dengan dua cara. Pertama, melarang berdirinya kembali Masyumi, sehingga ketika partai yang menjadi empat besar pada Pemilu 1955 itu mengajukan izin pendirian kembali, Presiden Soeharto sang penguasa Orde Baru menolaknya dengan alasan karena partai tersebut terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Ini alasan yang dibuat-buat, karena alasan yang sesungguhnya adalah Masyumi memiliki basis pendukung yang besar dari kalangan umat Islam. Jika izin pendirian kembali Masyumi diberikan, partai ini akan menjadi ganjalan besar bagi Golkar. Namun, seperti diungkap Sembodo dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”, para pendiri Masyumi tidak kekurangan akal. Agar tetap dapat berkiprah di kancah perpolitikan nasional, mereka mendirikan partai baru yang dinamakan Parmusi (Partai Muslim Indonesia). Pater Beek tentu saja tak tinggal diam. Dia menyusupkan DJ. Naro, salah seorang bidaknya, untuk memecah-belah partai itu, sehingga Parmusi terpecah menjadi dua kubu. Dengan dalih untuk meredam kemelut, pemerintahan Soeharto turun tangan, maka jatuhlah Parmusi ke tangan “Beek” karena Parmusi kemudian dipimpin MS Mintaredja yang merupakan “orangnya pemerintahan Soeharto”. Cara kedua Pater Beek cs mengebiri politik umat Islam adalah dengan merangkul, namun sekaligus mendiskreditkannya. Pekerjaan ini dilakukan oleh Ali Moertopo dengan cara mendekati mantan orang-orang DI (Darul Islam). Pada 1965, sebagaimana diungkap Ken Comboy dalam bukunya yang berjudul “Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”, Ali Moertopo berhasil menyelundupkan orangnya yang bernama Sugiyarto dalam lingkaran mantan orang-orang DI. Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’. Sembodo menjelaskan bahwa Jamaah Imran adalah kelompok yang dibentuk setelah Komando Jihad ‘dilumpuhkan’ Ali Moertopo. Adanya penangkapan-penangkapan ini memberikan pembenaran bagi Ali Moertopo untuk mengeluarkan pernyataan melalui pemerintah, bahwa telah muncul bahaya makar yang dilakukan oleh ekstrimis Islam guna memecah belah NKRI. Dengan cara ini, Ali Moertopo berhasil membangun image bahwa umat Islam adalah warganegara yang tidak setia kepada NKRI, dan karena takut dianggap ikut-ikutan melakukan makar, maka umat Islam pun berbondong-bondong memilih Golkar. L.B. Moerdani beragama Katolik dan sangat membenci Islam. Inilah yang membuat dia mudah diterima CSIS. Bahkan masuknya Moerdani ke lembaga yang dibentuk Pater Beek itu ibarat ikan menemukan air. Tentang hala ini, George J. Aditjondtro berkata begini; “Moerdani adalah orang Katolik yang kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam. Karena itu lancar saja kerjasama Moerdani dengan CSIS. Sebagai orang Katolik ekstrim kanan, Moerdani di CSIS merasa di rumah sendiri. Itulah sebabnya mengapa Moerdani sekarang tenang bisa berkantor di CSIS (menggunakan bekas kantor Ali Moertopo)”. Dalam memilih kader, cara Moerdani dan Ali Moertopo relatif tak berbeda. Jika Moertopo ‘memukul’ Islam dengan menggunakan orang Islam juga, Moerdani pun begitu. Cara ini terbukti efektif karena selama Moerdani ‘merajalela’, Islam di Indonesia benar-benar berada dalam suasana suram karena terdiskreditkan dan terpojokan. Salah satu peristiwa yang dicurigai melibatkan Moerdani adalah kasus ‘Jamaah Imran’ yang berlanjut pada pembajakan pesawat Garuda bernomor penerbangan GA 206 tujuan Medan pada 28 Maret 1981 yang kemudian dikenal dengan kasus Pembajakan Wolya. Sepak terjang Moerdani yang selama bertahun-tahun mendiskreditkan dan membunuhi umat Islam, tak pernah diungkit-ungkit. Meski dia sempat diadili oleh Mahkamah Militer karena kasus Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang menurut Solidaritas Nasional untuk Tragedi Tanjung Priok (SONTAK) menelan korban tewas hingga sekitar 400 umat Islam, namun dia tidak menjadi tersangka dan tetap dapat menghirup udara bebas. Padahal seperti disebut Janet Steele dalam buku berjudul Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru, kasus berdarah di kawasan Jakarta Utara ini jelas merupakan hasil operasi intelijen. Bahkan saat diwawancarai majalah Tempo untuk edisi 19 Januari 1985, Moerdani mengakui kalau ia menyebut Tanjung Priok sebagai asbak. Ini lah kutipan kata-kata LB Moerdani ketika itu. Ibarat seperti orang merokok, abunya tentu saja tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Asbak diperlukan untuk tempat abu. Nah, Tannjung Priok memang sengaja dijadikan semacam asbak, tempat penyaluran emosi. Untuk diketahui, Tanjung Priok merupakan salah satu basis Islam di Jakarta dan menurut Sembodo, kawasan itu juga sedang dijadikan salah satu basis Kristenisasi. Tak heran jika dalam waktu singkat di situ didirikan sejumlah gereja yang pembangunannya pun tidak dirundingkan dulu dengan warga. Kasus Tanjung Priok meledak setelah anggota Babinsa Koja Selatan, Jakarta Utara, bernama Sersan Satu Hermanu, meminta warga mencopot poster berisi imbauan agar wanita mengenakan jilbab yang dipasang di Mushala As-Saadah. Ketika permintaan ditolak, anggota Babinsa itu mencopot poster, namun tanpa mencopot sepatu dahulu kala memasuki mushala. Warga pun marah, dan kasus berkembang menjadi pembataian massal di Jalan Yos Sudarso, jalan utama di Jakarta Utara, yang dilakukan oleh militer. LB Moerdani sendiri kala itu sempat mengklaim bahwa yang tewas hanya 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Namun banyaknya warga yang hilang setelah kejadian itu membuat klaim ini tak dipercaya. Apalagi setelah SONTAK melakukan pendataan, yang tewas dan hilang ternyata mencapai sekitar 400 orang, sementara yang luka juga mencapai ratusan orang. Banyaknya warga yang hilang karena setelah pembantaian berlangsung, jasadnya diangkut dengan kendaraan militer dan kemudian dibuang entah kemana, dan hingga kini masih menjadi tanda tanya besar. Mungkin, dari apa yang telah diungkap ulang pada blog ini, sejarah bangsa Indonesia harus ditulis ulang agar para siswa dan mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang benar tentang sejarah negerinya sendiri, sehingga mereka dapat belajar dari masa lalu, dan memberikan yang terbaik untuk masa kini. Sebab, apa yang terjadi di masa kini juga merupakan buah dari perjalanan sejarah masa lalu. Membiarkan saja sejarah yang ditulis di atas kebohongan akan membuat Indonesia makin terjerumus dalam beragam kesulitan yang sulit diakhiri, karena sama saja artinya membiarkan negara ini tetap dalam genggaman para pembohong pencipta kebohongan sejarah itu. Waktu telah membuktikan, rezim pembohong takkan dapat memakmurkan rakyat. Kasus penguasaan lahan tambang di Papua oleh Freeport adalah salah satu contohnyanya (lebih detil disini -16), karena demi kepentingan pribadi, lahan yang seharusnya dapat memakmurkan masyarakat sekitar, justru hanya membuat masyarakat kian merana, terjerembab dalam kemiskinan yang kian dalam DENGAN para boneka-boneka Dajjal Amerika Serikat. Kalau dulu di zaman Orde Baru muncul nama Jenderal (TNI) Leonardus Benny Moerdani sebagai tokoh pembantai para aktivis Islam, sekarang kembali muncul nama Komjen (Pol) Gories Mere sebagai tokoh pembunuh aktivis Islam yang difitnah sebagai teroris. Kedua Jenderal tentara dan polisi itu memiliki banyak kesamaan. Keduanya sama-sama penganut Kristen Katolik fanatik fundamentalis, berlatar belakang intelijen, membenci Islam, bernafsu menghabisi para aktivis Islam, ahli rekayasa terorisme. Kalau di zaman Orde Baru sengaja dibuat Komando Jihad, Teror Warman, Gerombolan Woyla dan lain-lain; sekarang dibuat istilah teroris. Semuanya itu dimaksudkan untuk menciptakan stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam Indonesia. Padahal semua itu sengaja diciptaan rezim penguasa untuk terus menerus mendiskreditkan umat Islam sehingga menjadi lemah dan akhirnya mudah dikendalikan. Sebaliknya gerombolan Kristen dan Katolik fanatik fundamentalis terus berkembang pesat dan akhirnya berkuasa di Indonesia. Kalau dulu ada Benny Moerdani, sekarang muncul Gories Mere. Dan kedepan agen-agen setan tersebut adalah tanoe dan ahok jokowe yang anti Syariat Islam diterapkan, dimana mereka kini yang membuat masyarakat terpesona dengan media-media setan padahal mereka sedang dalam agenda para Iblis Zionis Yahudi Internasional. PENTING : https://mbasic.facebook/photo.php?fbid=10151727541864685&id=114921689684&set=a.10150804976324685.423723.114921689684&source=42&refid=17&ref=stream
Posted on: Sat, 19 Oct 2013 09:53:40 +0000

Trending Topics



"stbody" style="min-height:30px;">
Matthew 25:14-21 – Parable of the Talents “For it will be like
La Cariñosa Neiva ha escrito:Sector salud realizó
After returning to Fuller Theological Seminary from a short
Not sure how I feel about this... Shannon is making his argument
Full story below, or click on the link: MEDIA RESEARCH CENTER
Pattaya 5 day 4 night golf package...... Duration: 5 days & 4
KOHLER K-2298-0 Compass Self-Rimming Undercounter Lavatory,
To the good people out west and within our coverage areas, here is
1.hour.loan.to.payday.pennsylvania.pa

Recently Viewed Topics




© 2015