PEREMPUAN DAN POLITIK Dalam budaya patriarkhi, perempuan selalu - TopicsExpress



          

PEREMPUAN DAN POLITIK Dalam budaya patriarkhi, perempuan selalu di tempatkan sebagai warga atau manusia kelas dua. Perempuan memiliki peran sebagai pembantu, pelayan dan pemuas bagi kaum laki-laki. Ruang yang di miliki oleh kaum perempuan adalah rumah tangga, ruang privat, ruang pribadi. Dengan demikian dalam tataran budaya patriarkhi, manusia perempuan adalah manusia yang berada untuk menjadi pelayan dan pembantu bagi kaum laki-laki. Bahkan perempuan mengambil alih semua peran laki-laki dalam ruang privat. Peran dalam ruang privat mendapat penegasannya dalam ruang publik. Perempuan dalam perspektif sebagian besar orang Indonesia dengan budaya patriarki yang masih kuat, ”dianggap” lebih rendah kedudukannya dibandingkan laki-laki. Sehingga stigma negatif yang selalu muncul bahwa tugas pokok dari seorang perempuan tidak lebih dari sekedar urusan rumah tangga. Perempuan masih dianggap tabu untuk terjun dalam dunia politik. Politik adalah medium publik atau ruang publik. Politik dapat diartikan sebagai ruang yang disediakan bagi manusia baik perempuan maupun laki-laki untuk mengaktualisasikan dirinya. Didalam ruang itu, manusia mendapat perannya masing-masing. Politik juga dapat diartikan sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan di dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai defenisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Dalam politik terkandung makna kebebasan, penghargaan terhadap keragaman dan solidaritas antar warga. Hannah arendt seorang filsuf mengemukkan bahwa politik adalah kondisi kebebasan. Politik adalah medium kebersamaan dalam keberagaman. Politik bagi arendt adalah kebebasan individu dan solidaritas antar warga. Karena ruang publik diperuntukan bagi pengaktualisasian kebebasan, politik terlaksana ketika terwujud ketika adanya koeksistensi individu-individu yang setara dan bertindak bersama-sama di ruang publik. Dengan demikian, perempuan sebenarnya mendapat tempat yang sama dalam ruang publik ini. Regulasi pemilu dan partai politik menjadi persoalan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik. Perkembangan peraturan hukum di Indonesia untuk melindungi kepentingan politik perempuan sudah mengalami perubahan yang baik, yakni dengan mulai diakomodirnya angka keterwakilan atau kehadiran minimal 30% perempuan di dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu. Seperti diketahui, sebagai upaya untuk menciptakan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di Indonesia dalam segala aspek kehidupan khususnya di bidang politik, DPR bersama Pemerintah telah mengambil kebijakan affirmasi yang kemudian dituangkan dalam Pasal 53 dan 55 ayat (2) Undang-Undang Pemilu serta dipertegas lagi dalam Pasal 214 huruf e, yang menyatakan ”Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut”. Harapannya jelas, yaitu untuk mendorong keterwakilan perempuan di parlemen lebih representatif. Kebijakan ini diambil untuk menjamin hak-hak politik perempuan yang selama ini dalam kultur dan pemahaman ajaran keagamaan yang masih keliru dalam kehidupan kita masih sering mengalami diskriminasi oleh kaum pria. Keterlibatan perempuan dalam politik formal di Indonesia mulai memperoleh ruang sejak dikeluarkannya Undang-undang Pemilu No.12 tahun 2003, yang menyebutkan pentingkan aksi affirmasi bagi partisipasi politik perempuan dengan menempatkan jumlah 30% dari seluruh calon partai pada parlemen, baik di tingkat Nasional maupun lokal. Keterwakilan perempuan secara Nasional mengalami kenaikan dari pemilihan umum 1999 sebesar 9%. Diawali dengan keputusan Negara mengenai perpolitikan diNegeri ini, tepatnya pada tanggal 4 Januari 2008 dengan di undang-undangkannya Lembaran Negara No.2 Tahun 2008 yang mengatur tentang keterwakilan perempuan didalam partai politik, berbagai hal diatur didalam undang-undang ini. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang Pemilu yang memperkuat keterlibatan perempuan dalam politik formal yaitu: UU Pemilu No 10 tahun 2008 pada pasal 8 ayat (1) butir (d) menyatakan bahwa partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan dan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Walaupun ada peluang bagi perempuan untuk berkiprah di bidang politik, khususnya menjadi calon anggota legislatif tetapi tetap saja kesempatan tersebut bergantung pada kepemimpinan partai politik dimana peran partai politik sangat penting dalam menentukan apakah perempuan bisa duduk di lembaga legislatif. Para perempuan yang berada di parpol dan dinominasikan sebagai caleg oleh partainya menyebutkan hambatan yang mereka rasakan antara lain adalah kriteria sangat maskulin yang diterapkan, tidak ada kriteria yang memasukkan kerja khas perempuan yang artinya kekuasaan dominan ada di tangan laki-laki yang lebih di utamakan untuk menjadi anggota legislatif, dimana perempuan biasanya hanya di jadikan sebagai pelengkap persyaratan dan sekedar memenuhi Undang-Undang (Sistem kuota), jarang sekali sebuah parpol benar-benar mengusung perempuan dengan menempatkan perempuan pada nomor urut satu peserta pencalegkan. Belum lagi soal politik uang, yaitu besarnya sumbangan uang yang diberikan kepada partai, sementara partai tidak transparan menyebut berapa sumbangan yang diharapkan dari seorang caleg. Kesimpulan Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non konstitusional. Di samping itu politik juga dapat di tilik dari sudut pandang berbeda yaitu antara lain politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama ( teori klasik aristoteles), atau politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara, politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat, politik adalah segala sesuatu proses perumusan dan pelaksanan kebijakan publik. Kapasitas politik mencakup kapasitas untuk berpikir , berkehendak, menilai secara otonom serta menerobos batas-batas ideologis, hukum, metode penalaran dan logosentrisme tertentu. Dalam konteks memahami politik perlu di pahami beberapa kunci antara lain, kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik. Hal ini sejalan dengan Undang-undang tentang Pemilu Nomor 12 tahun 2003 yang mensyaratkan soal partisipasi kaum laki-laki dan perempuan. Ia menempatkan kaum perempuan sebagai person yang terdepan dalam menjalankan peran sebagai pemikir, penilai yang otonom serta penerobos batas-batas ideologis dan hukum yang bersifat feminim. Karena kebanyakan produk ruang publik (politik) lebih bersifat maskulin maka kehadiran perempuan dalam ruang ini akan memberi warna terutama terhadap kebijakan dan keputusan-keputusan bagi kepentingan masyarakat banyak dari sisi feminitas.
Posted on: Mon, 21 Oct 2013 04:18:02 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015