Pada 1960, Bung Karno membangun stadion termegah dengan kapasitas - TopicsExpress



          

Pada 1960, Bung Karno membangun stadion termegah dengan kapasitas penonton terbesar di Asia. Semangatnya adalah menggelorakan nasionalisme menjelang perhelatan akbar Asian Games 1962. Bung Karno dikenal sebagai pemimpin yang menjadikan olahraga sebagai alat membentuk mental dan karakter bangsa. Olahraga menjadi alat untuk mengangkat martabat bangsa. Di mata Bung Karno, tahap kedua revolusi setelah kemerdekaan adalah pembangunan dan pengembangan karakter bangsa. Olahraga mendapat peran penting dalam revolusi karakter bangsa. Misi Bung Karno saat itu, prestasi olahraga Indonesia terangkat di mata dunia. Kebanggaan pun bermunculan lewat rentetan prestasi. Pada 1958, tim bulutangkis Indonesia mematahkan dominasi Malaysia di Piala Thomas. Ferry Sonnevile dkk memutus tiga gelar berturut-turut Malaysia dan mempertahankannya pada 1961 dan 1964. Minarni dan Retno Kustijah merajai bulutangkis putri dunia. Di lintasan atletik, muncul nama M Sarengat, pelari tercepat Asia untuk nomor 100 meter putra. Dari balap sepeda, ada Hendrik Brocks yang merebut 3 emas Asian Games. Prestasi terbesar olahraga Indonesia yang bakal sulit terulang adalah peringkat kedua perolehan medali Asian Games 1962. Selepas Asian Games 1962, Bung Karno membelot dari Komite Olimpiade Internasional. Dia mencanangkan pesta olahraga Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Ini adalah pesta olahraga negara-negara yang baru bangkit. 51 negara mengirimkan delegasi dengan total 2700 atlet berlaga. Memoar Ganis Harsono, juru bicara Deplu di era Soekarno menjelaskan strategi Bung Karno di balik gelaran Ganefo. Saat itu Bung Karno ingin menunjukkan bahwa Indonesia pantas menjadi pusat keempat dunia. Pusat pertama adalah Amerika Serikat, berikutnya Soviet, Eropa dan Afrika. Ketiga adalah China, Asia, dan Australia. Keempat adalah Indonesia dan negara-negara yang baru bangkit. Olahraga menjadi awal strategi Bung Karno mewujudkan Indonesia sebagai pusat keempat dunia. *** Kini, sulit merasakan aroma kepemimpinan olahraga yang membanggakan. 9 September misalnya, bukan lagi diingat sebagai hari penuh makna dalam menjadikan olahraga sebagai alat perjuangan. Padahal pada 9 September 65 tahun lalu, PON pertama di Solo menjadi pertemuan para atlet untuk membulatkan tekat, menggalang solidaritas dalam semangat menggempur Belanda agar meninggalkan bumi Indonesia. Momentum itu sekaligus membuktikan bahwa olahraga kita mampu berbicara, bersikap patriotik, dan ikut menjalankan peran strategis dalam revolusi kemerdekaan. Kepemimpinan olahraga sekarang tidak ada yang berusaha mengingatkan gegap gempita sejarah membanggakan. Kepemimpinan olahraga pasrah ketika prestasi olahraga nasional terperosok sangat dalam. Olahraga saat ini dipenuhi problem yang kontradiktif dengan upaya membangun karakter bangsa. Pembinaan dikebiri, yang marak justru jual beli prestasi. Tidak pernah ada upaya pemassalan olahraga prestasi. Beberapa cabang salah urus, ada yang terjebak kepentingan sesaat dan tersesat karena konflik. Sponsor enggan bertamu. Dana olahraga yang sudah sulit mengucur, digangsir untuk ongkos politik. Kita merindukan kepemimpinan olahraga yang bisa menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa besar. [tts]
Posted on: Fri, 13 Sep 2013 19:01:19 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015