Pelajaran dari Sang Innocent Killer & Keajaiban Sudirman - TopicsExpress



          

Pelajaran dari Sang Innocent Killer & Keajaiban Sudirman ‘89 “I wanted to be a national player like my older friends and play for the country, because that was the only way I could help my parents to improve our status and leave poverty,” she said. (Bangkok Post 10 Agustus 2013) Itulah impian Ratchanok Intanon, seorang juara dunia dari sebuah negara yang tradisi bulutangkisnya tidaklah segemerlap Indonesia. Dengan keterbatasan di lingkungan keluarga buruh pabrik, dia termotivasi untuk meningkatkan derajat keluarganya dari jerat kemiskinan dengan cara bermain bulu tangkis. Uang yang dihasilkan dari berbagai kejuaraan diberikan kepada ayah dan saudara laki-lakinya untuk membuka toko makanan. Perjalanan hidup Intanon dari kecil menempa mental untuk menjadi juara Dunia termuda sepanjang sejarah, baik di level junior maupun senior. Memang untuk menjadi juara bulutangkis saat ini selain harus memiliki teknik, kecepatan, stamina dan mental maka faktor lucky tetaplah merupakan faktor yang penting. Kali ini Intanon seharusnya berterima kasih pada 2 pembunuh raksasa Caroline Marin yang telah menghentikan jagoan Korea Sung Ji-hyun (5) dan tentu saja PV Sindhu yang telah mengkandaskan duo Wang asal China: Wang Yihan (2) dan Wang Shixian (7). Usaha yang dilakukan Sindhu memupus harapan Cina untuk tetap mendominasi ganda putri. Seandainya dua Wang ini masih ada hingga perempat final, maka bisa jadi cerita semifinal menjadi lain karena ternyata yang dihadapi Intanon adalah seorang Sindhu dan bukan duo Wang. Sindhu yang walaupun masih seusia dan postur tubuh yang lebih tinggi dari Intanon, namun Sindhu sangat tidak menyukai gaya permainan Intanon. April 2013 lalu kalah cukup telak di semifinal India Open 12-21 dan 6-21 . Sementara di semifinal kemarin juga kalah dengan skor yang juga cukup telak 10-21 dan 13-21. Namun terlepas dari keberuntungan itu, semua faktor lain dia miliki yaitu teknik bermain dengan pukulan yang mematikan, kecepatan, ketenangan, mental bertanding yang luar biasa dan sebagaimana atlet Thailand lainnya selalu disokong dengan mental, stamina dan daya tahan yang luar biasa. Jadi wajar saja kalau saat ini dia masih menyandang status juara dunia junior 3 kali berturut-turut dengan status masih juara dunia bertahan Junior. Kalau melihat gaya permainan yang ditampilkannya, kita rindu pada sosok Susi Susanti, Mia Audina dan Maria Kristin. Gaya ketiga pemain kita ini ada pada sosok Intanon. dari tiga sosok inilah terakhir kali kita melihat tunggal putri kita pernah menorehkan sejarah di Olimpiade. Susi di Barcelona (92/emas), Mia di Atalanta (96/perak) dan Athena (2004/perak, walaupun sudah menjadi warga Belanda) dan Maria Kristin (2008/perunggu). Dan kebetulan orang yang mengganjal Mia dan Maria menggapai mimpi juara olimpiade adalah Zhang Ning yang sekarang menjadi pelatih tunggal putri China termasuk pelatih Li Xuerui yang dikalahkan Intanon. Dilihat dari postur mereka relatif lebih kecil dari lawan. Postur memang merupakan faktor penunjang, tapi itu bukanlah satu faktor, karena dengan postur relatif lebih kecil dari lawan pun mereka terbukti masih bisa mengalahkan lawan-lawannya. Namun yang menjadi catatan, walaupun mereka bukanlah yang terhebat mereka memiliki mental yang tidak bisa diremehkan. Final Piala Sudirman 1989 mungkin merupakan salah satu contoh keajaiban dalam dunia olahraga. Malam itu Mei 1989 di Istora Jakarta, dalam dua partai yang sudah dimainkan Indonesia ketinggalan 0-2 setelah pasangan Eddy Hartono/Rudi Gunawan dan Verawaty Fajrin/Yanti Kusmiati dikalahkan ganda putra dan putri legendaris Korea, Park Joo Bong / Kim Mon Soo dan Hwang Hye Young / Chung Myung Hee dimana kedua pasangan Korea ini merupakan pasangan terkuat dan juara dunia. Tadinya berharap dengan dukungan penuh penonton, pasangan Eddy/Rudy bisa mencuri angka, namun nyatanya Park/Kim membuktikan ketangguhannya. Satu partai lagi buat Korea, dan semuanya akan berakhir. Saya sendiri yang menonton di TV sampai menangis, karena ketinggalan 2-0 langsung rasanya sulit sekali, apalagi Korea masuk Final dengan kepercayaan tinggi setelah melumpuhkan Cina di semifinal. Dan di partai ketiga yang menentukan, nasib tim Indonesia ditentukan seorang Susi Susanti yang kala itu masih 18 tahun, melawan Lee Young Suk. Di set pertama, bayang-bayang kekalahan Indonesia sudah di depan mata setelah dikalahkan dengan angka tipis 10-12. Dan di set kedua, para pendukung Indonesia sudah putus harapan karena Susi tertinggal jauh 2-10. Hanya tinggal 1 angka lagi. Istora sebentar ada suara dan sebentar senyap. Beberapa penonton terlihat sudah beranjak dari tempat duduknya. Namun keajaiban datang, Susi tidak menyerah dan tetap bersemangat main. Perlahan-lahan tapi pasti, Susi meraih poin dan mengunci angka lawan (dengan sistem bukan rally poin seperti saat ini, kondisi ini sangatlah memungkinkan). Kegilaan dan sorak sorai penonton kembali menjadi-jadi mendukung Susi memperkecil ketinggalan angkanya sampai akhirnya dia menyamakan kedudukan, 10-10! ajaib dan ini dilakukan oleh pemain 18 tahun! Benar-benar sebuah daya juang yang tiada bandingannya. Lee sudah jatuh mentalnya. Di set penentuan, daya juang Lee sudah lenyap. Susi membantai Lee tanpa ampun 11-0, tanpa perlawanan. Setelah pertarungan ini, mental seluruh tim Korea hancur lebur. Tim Indonesia diatas angin. Edy Kurniawan dan pasangan Eddy Hartono/Verawaty menghabisi tunggal putra dan pasangan campuran Korsel dan akhirnya edisi pertama Piala Sudirman jatuh ke tangan Indonesia. Momen ini tidak pernah pernah hilang dalam memori ingatan, karena itulah gelar Piala Sudirman satu-satunya yang bisa kita raih. Kelak 3 tahun kemuadian dengan bekal pengalaman inipula Susi mempersembahkan medali emas pertama olimpiade di Olimpiade Barcelona 1992 untuk Indonesia dengan situasi yang sama: mengalahkan pemain Korsel Bang So Hyun dan juga dengan lebih dulu mengalami kekalahan di set pertama. Kasus Susi di atas mirip dengan perjuangan Intanon di final kemarin kemarin, ketinggalan 12-19 di set pertama namun dengan gaya mirip Susi perlahan tapi pasti berhasil menyamakan kedudukan 19-19 dan balik unggul 22-20. Dengan sistem rally poin, hal ini sangatlah sulit dilakukan jika tidak memiliki mental bertanding dan motivasi diri yang tinggi. Dalam sesi wawancara, Intanon menegaskan jika saat bertanding dia hanya memikirkan latihan berat yang dia jalani latihan dan itu harus dibayar dengan titel juara, selain memang motivasi yang diutarakan di atas. Itulah kunci untuk menjadi seorang juara, sehingga Xuerui yang sebenarnya juga punya skill lebih tinggi, motivasi dan kepercayaan tinggi terlihat bingung dan kehilangan konsentrasi ketika menghadapi pemain ulet semacam Intanon. Susi pun demikian, di tengah kepungan pemain sekaliber Han Aiping, Li Lingwei, Tang Jiuhong, Huang Hua, Bang So Hyun tidak pernah kekeringan juara sehingga juara Olimpiade dan Dunia pun pernah diraihnya. Dua-duanya menunjukkan bahwa kondisi lingkungan, karakter dan mental juara-lah yang memotivasi mereka dalam meraih impian menjadi juara dan bukan sekedar menjadi penggembira kejuaraan dan sparring partner dalam latihan. Usai Kejuaraan Dunia ini, tugas kepelatihan di pelatnas sekarang di bawah Ricky dan Rexy harus cepat berbenah dan mengevaluasi seluruh pemain yang ada di pelatnas untuk menentukan mana pemain yang harus dipertahankan dan mana yang harus dikeluarkan Salam olahraga Kompasiana
Posted on: Tue, 13 Aug 2013 05:35:58 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015