Perbedaan Cara Pandang Para Sufi dengan Filsuf dan Saintis tentang - TopicsExpress



          

Perbedaan Cara Pandang Para Sufi dengan Filsuf dan Saintis tentang Fisika dan Kosmologi - Analisa Mohamed Haj Yousef tentang Time and Cosmology Ibn Arabi - 3 October 2011 at 10:40 Kisah tentang pertemuan pertama Ibn ‘Arabi dengan filsuf (yang juga sufi) besar aliran Aristotelian, Ibn Rusyid (Averrous). Pada waktu pertemuan itu, Ibn ‘Arabi relatif masih muda, tapi sudah terkenal dengan pengetahuannya yang tinggi dan pandangan-pandangannya yang unik. Karena itulah, maka Ibn Rusyid ingin bertemu dengan Ibn ‘Arabi, dan merancang pertemuan itu dengan salah seorang temannya yang merupakan ayahi Ibn ‘Arabi. Ibn Rusyid ingin Ibn ‘Arabi mendengarkan pandangannya tentang filsafat Aristotelian. Sebagaimana kisahnya dalam Futuuhaat: I.153.33 “Pada suatu hari, aku ke Cordoba mengunjungi kediaman Hakim Abuu al-Waliid Ibn ‘Rusyid, sebagaimna keinginannya untuk bertemu setelah ia mendengar berita tentang apa yang Allah bukakan pada saat aku uzlah. Ia begitu terpesona dengan berita itu. Lalu ayahku – salah satu dari teman Averrous – mengirimkanku kepadanya dengan maksud tujuan itu. Aku masih muda; belum sehelai jenggotpun yang tumbuh di daguku, dan kumis pun belum tumbuh. Ketika aku bertemu dengannya, ia berdiri memandangku dengan penuh cinta dan penghargaan, memelukku dan berseru, ‘Ya!’ Aku menjawab, ‘Ya’. Ia begitu senang dikarenakan aku memahaminya. Lalu aku menyadari apa yang membuat ia senang, dan aku pun menjawab, ‘Demi Allah, tidak!’ Wajahnya berubah menjadi sedih dan ia meragukan filsafatnya. Kemudian ia bertanya, ‘Bagaimana kau menemukannya dalam kasyf dan melebur ke dalam Illahi (fayd Ilaahii)? Apakah sama dengan ajaran yang telah memimpin kami para filsuf?’ Aku menjawab, ‘Ya… Tidak, dan antara ya dan tidak, ruh-ruh berterbangan jauh dari tubuh materi dan melepaskan diri darinya.’ Wajahnya berubah pucat, menggigil dan terduduk membaca hawqala (Laa hawla wa laa quwwata illaa bi Allah), dan ia tahu untuk apa aku membuat perumpamaan tersebut.’ Perbincangan minim kata dan bahasa tubuh antara dua tonggak pemikir Islam, seorangnya sufi dan seorangnya lagi filsuf, merupakan sebuah usaha untuk memberikan penjelasan dalam bahasa simbolik hal-hal yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa sehari-hari. Ibn ‘Arabi memberikan perumpamaan di sini, bahwa selalu ada “hakikat” pada pengalaman harian manusia, yang, merupakan suatu hal yang sulit dipercaya. Selain itu, merupakan sesuatu yang hanya bisa diungkapkan dengan dua kata, ‘Ya’ dan ‘Tidak’, atau ‘Ya’ saja, karena ‘Tidak’ adalah ‘bukan ya’. Bukti, bahwa Ibn ‘Arabi menjawab, ‘Ya/ Tidak’ (atau ‘1/0’, ‘Benar/ Salah’, yang merupakan jumlah akhir wujuud/ non-wujuud) merupakan jawaban terbaik dan ekspresi terpendek dari ciptaan – merangkum intisari dari adanya perbedaan kesadaran metafisika pada manusia, yang ditunjukkan Ibn ‘arabi pada puisi pembuka (dalam salah satu Bab Futuuhaat: I.5.31) bab 5 ini. Kesulitan mengekspresikan sesuatu yang haqq yang berlaku universal dalam kata-kata, menunjukkan buktii bahwa kita hidup dalam suatu dunia yang tak terbatas keanekaragaman perbedaan, sementara pada saat yang bersamaan, haqq di balik segala sesuatunya terlalu sederhana untuk diyakini (Al-Masaa’il : 163). Al-Haqq adalah Allah, dan Allah al-Ahad, sementara dunia berwajah banyak – sehingga metafisika itu lebih kepada bagaimana untuk menghubungkan multipisitas dunia dengan Al-Haqq, melalui media yang tidak tercerap olh indera lahir (alias hati). Para filsuf dan saintis, umumnya mencoba untuk memahami dunia melalui pelbagai pengamatan mereka, sementara metoda Ibn ‘Arabi dan sufi lainnya bergantung kepada model-model ‘persepsi’ yang melompat langsung menuju al-ghaib agar mendekati al-Haqq langsung. Sebagaimana yang sering Ibn ‘Arabi tekankan, pengamatan-pengamatan lahir hanya akan membuat banyak kesalahan, karena menggunakan peralatan yang tidak akurat, baik itu berupa indra manusia atau peralatan teknis, sementara penglihatan-penglihatan bathin akan haqq – sebagaimana yang sering menjadi masalah dalam penginterpretasiannya – selalu benar (I.307.12, III.7.21). Selain itu, para filsuf dan saintis menggunakan logika dan eksperimen-eksperimen untuk menarik kesimpulan dan menjelaskan teori-teori dan pengamatan mereka, sementara para sufi, umumnya sering menggambarkan penglihatan-penglihatan mereka tanpa membutuhkan bukti-bukti logis. Sehingga, sufi tertentu seperti Ibn ‘Arabi mungkin mencapai keadaan hakikat sangat tinggi dan lebih cepat serta akurat daripada para filsuf (sebagaimana dalam kisah Ibn ‘Arabi dan Ibn Rusyid), tetapi para sufi mengalami kesulitan teramat sangat untuk menjelaskan pandangan mereka kepada orang lain yang tidak memiliki ‘rasa’ yang sama dengan mereka. Jadi ketika mereka mencoba untuk menjelaskan kesadaran-kesadaran mereka, tidak banyak orang yang akan memahami perkataan mereka. Permasalahan hukum dalam teori fisika dan kosmologi sudah begitu jauh, meskipun mereka telah membuktikan penggunaannya dengan lebih akurat dan kuat, mereka gagal untuk membuka hakikat di baliknya. Semua teori sains lebih bersifat deskriptif daripada determinatif. Alasan sains tidak mampu untuk menentukan hakikat di balik sesuatu, itu dikarenakan semua model kosmologi membutuhkan suatu kondisi terikat, yaitu sebuah deskripsi yang tepat teliti tentang kondisi awal dunia dimulai, sesuatu yang tampak mustahil diketahui oleh akal pikiran belaka. Karena itulah para saintis melihat ke masa lalu. Mereka mencoba untuk menemukan kondisi awal alam semesta (kosmos) dengan mengekstrapolasi (memprediksi pelbagai kemungkinan) banyak cara dari pengamatan-pengamatan yang ada. Hasilnya, semua teori fisika dan model kosmologi yang diketahui, meskipun mereka memiliki level pemahaman yang lebih tinggi, tetap menemukan adanya kontradiksi-kontradiksi dan masalah-masalah baru. Mereka berhasil dalam menampilkan kemungkinan skenario penciptaan, tapi gagal dalam menggambarkan hakikatnya. Meskipun Ibn ‘Arabi menawarkan adanya intelek (akal jiwa = ‘aql) yang tidak terikat dan tidak dibatasi oleh kondisi apapun sebagai sebuah perangkat penerima (reseptif), tetapi tetap saja ‘aql dimaknai oleh mereka sebagai akal pikiran, yang, memang sangat terbatas; akal hanya berfungsi sebagai perangkat berpikir logis-rasional karena bergantung kepada indra yang terbatas (I.288.27). Karena itu, akal pikiran – sebagai sebuah perangkat berpikir – tidak dapat menjelaskan asal mula dunia. Ibn ‘Arabi menyatakan hal demikian ketika ia berkata bahwa batas pengamatan para filsuf (atau astronom) adalah di atas Lintasan Isotropik dengan lintasan material pertama (paling luar) (II.677.1); mereka tidak dapat melihat atau mendeteksi segala sesuatu yang terdapat sebelum lintasan itu. Karena itulah para sufi lebih menggunakan qalb (hati, sebagai pusat dari ‘rasa (dzawq)’) ruhani dan wahyu) mereka daripada akal pikiran. Di samping itu, para sufi dituntut untuk mencapai sebuah kondisi hakikat yang tinggi dan bahkan harus menyaksikan struktur metafisika dan asal mula dunia (disebut oleh para fisikawan sebagai kondisi terikat/ asal mula). Kebanyakan mereka, bagaimanapun, tidak sebenar peduli untuk menjelaskan gambaran jagat raya yang teramati dan menghubungkannya dengan kondisi awak alam semesta (kosmologi). Bahkan Ibn ‘Arabi tidak juga terlalu peduli tentang itu: tujuannya bukan untuk menjelaskan dunia, melainkan lebih kepada menghasilkan pengetahuan tentang dunia sebagai sebuah struktur yang dicipta berdasarkan Citra Allah, sehingga pengetahuan yang dihasilkan lebih kepada pengetahuan tentang Allah, Dia-Nya. Di semua tulisan, bagaimanapun, melalui Futuuhaat dan beberapa tulisan singkat, seringkali Ibn ‘Arabi memberikan banyak penjelasan kosmologi dan terkadang menganalisa penglihatan-penglihatan metafisikanya dengan cara logis. Karena itulah, penting bagi kita untuk mempelajari tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi, yang, menyediakan kaitan antara pemikiran filsafat dan sains, mistik, dan teologi.
Posted on: Sun, 03 Nov 2013 23:50:21 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015