Persaingan di arena politik rupanya sulit dihindarkan dari - TopicsExpress



          

Persaingan di arena politik rupanya sulit dihindarkan dari eksplorasi dan eksploitasi kelemahan para pesaing. Para pemain, supporter, atau sekadar penonton, cenderung terbawa pada demonstrasi serangan bahkan terhadap pribadi, keluarga, apa pun yang terkait serta patut dianggap terkait dengan peluang peningkatan daya dongkrak popularitas dan penerimaan oleh publik. Begitu rupa, hingga panci di dapur Anda pun bisa tidak steril dari kemungkinan kena hujat, bila barang ini ikut mendorong Anda menjadi kandidat hebat. Persaingan di arena politik seolah ditakdirkan terjelma dalam cara pandang begini; samasekali tak ada yang baik pada lawan – dan, pada waktu bersamaan, samasekali tak ada cacat pada kawan. Lawan adalah sosok hitam legam, mungkin hanya selevel di bawah iblis, dan kawan adalah putih bersih, yang nyaris pasti dua level di atas malaikat. Politik yang kita lihat hari-hari ini adalah ruang penuh mata curiga, dendam, kebencian, taburan duri, udara pengap, dan bau busuk, di mana mata jadi buta dari kemampuan melihat kebaikan-kebaikan sejati dari siapa pun lawan, kecuali yang tiba dari sang kawan. Setitik terbaca sebagai bertangki-tangki nila pada lawan, setitik pun terlihat sebagai sesamudra madu pada kawan. Politik telah menjadi lahan gersang bagi persemaian akal sehat, apalagi menjadi pelopor pendewasaan cara pandang dan cara pilih yang merdeka. Tetapi, alamak! “Jangan membenci mereka yang mengeritik dan menyerang saya,” kata Dahlan Iskan kepada para Dahlanis, suatu ketika. Bagai sekelebat cahaya yang kuat, kalimat penganjur ‘kerja-kerja-kerja’ itu seketika membuka cakrawala baru. Ya, roh kalimat itu sebenarnya pernah ada, namun terkubur demikian lama. Terbenam oleh ambisi-ambisi yang menjadikan politik sekadar jalan menuju kekuasaan – bukan jalan bagi kemaslahatan bersama. Dan dia, Dahlan Iskan, membongkarnya lagi. Kemaslahatan bersama bukanlah asesori, seperti bros atau emblem, yang hanya dipasang pada musim mengemis suara rakyat. Dengan “Jangan membenci mereka yang mengeritik dan menyerang saya” Dahlan Iskan menggiring memori kolektif kita pada warisan para Bapak Bangsa. Bukan hanya dari Bung Karno, melainkan juga para pribadi hebat seperti HOS Cokroaminoto, Dr Soetomo, RA Kartini, Wahidin Soediro Hoesodo, Ki Hadjar Dewantara, Hadratus Syaikh Hasim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Tan Malaka, Syahrir, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bung Hatta, serta dari siapa saja beliau (silahkan Anda tambahi) yang telah berkeringat dan berdarah-darah itu! Dahlan Iskan adalah penganjur akal sehat yang sangat intens. Dan kini, dia inginkan ‘barang langka’ itu berlaku pula di arena politik. Dengan meminta para Dahlanis menghindari kebencian atas pribadi-pribadi, dia praktis juga menjadi penganjur kebencian ideal, yakni yang tertuju pada kecenderungan akal sakit, sentimen sempit yang tak mampu melihat kesejatian persoalan. Buatlah politik, begitu seolah dia mau bilang, sebagai ajang persaingan ide-ide konkret yang menghitung track record, sambil menjadi ‘cara belajar’ menghargai kebaikan – kendati pun ia datang dari pesaing paling tangguh dan mengancam. Jadikanlah politik arena yang menyuburkan persemaian harapan rakyat. Menjadi pelaku manufacturing hope! Bukan yang membuat mereka teriris-iris dalam pengelompokan fanatisme buta, yang menjebak mereka dalam kotak-kotak kepentingan semusim pendek! ***
Posted on: Thu, 19 Sep 2013 18:25:49 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015