Puasa Juga Diwajibkan atas Umat Terdahulu Allah subhaanahu wa - TopicsExpress



          

Puasa Juga Diwajibkan atas Umat Terdahulu Allah subhaanahu wa ta’ala juga mewajibkan syari’at yang agung ini kepada umat-umat terdahulu, generasi yang hidup sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ “Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.” Hal ini mengandung beberapa hikmah, di antaranya adalah: Pertama, puasa merupakan amalan ibadah yang mengandung maslahat bagi segenap makhluk di setiap zaman. Dari generasi ke generasi, umat manusia senantiasa merasakan manfaat yang besar dan maslahat yang nyata dari puasa. Karena di dalamnya terdapat unsur penyucian jiwa dari segala hal yang mengotorinya, serta pembersihan diri dari akhlak yang buruk. Kedua, ketika umat Islam mengetahui bahwa ibadah puasa ini juga diwajibkan atas umat terdahulu, tentu hal ini akan mendorongnya untuk berlomba-lomba dengan mereka, siapa yang lebih baik dalam menunaikan perintah Allah subhaanahu wa ta’ala tersebut. Sudah pasti ini merupakan sebuah perlombaan yang terpuji, yaitu berlomba-lomba dalam kebajikan sebagaimana yang Allah subhaanahu wa ta’ala perintahkan dalam ayat-Nya (artinya), “Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 48) Ketiga, ketika Allah subhaanahu wa ta’ala memberitakan bahwa puasa juga diwajibkan atas umat terdahulu, maka padanya terdapat tasliyah (hiburan) bagi umat ini. Amalan puasa -yang secara naluri manusiawi merupakan amalan yang berat- ini ternyata tidak hanya dibebankan atas umat ini. Kalau misalnya Anda diperintah untuk melakukan suatu pekerjaan yang berat, maka tentu pekerjaan itu serasa lebih mudah, ringan, dan Anda pun lebih terhibur jika pekerjaan itu juga dibebankan kepada orang lain. Agar Menjadi Orang Bertakwa Hanyalah orang-orang bertakwa yang akan mewarisi surga. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” (Maryam: 63) Masing-masing mukmin tentu mendambakan dirinya menjadi orang yang bertakwa, karena merekalah penghuni kekal negeri kenikmatan yang luasnya seluas langit dan bumi itu. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133) Satu langkah untuk bisa meraih predikat takwa adalah dengan berpuasa. Inilah yang ditegaskan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala dalam ayat di atas ketika menyebutkan tujuan diwajibkannya puasa: لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Agar kalian bertakwa.” Di antara hal yang mencerminkan perangai takwa dalam ibadah puasa adalah: Pertama, seorang yang berpuasa meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala (pembatal puasa), yaitu makan, minum, dan yang lainnya, padahal jiwa ini cenderung senang kepada hal-hal yang membatalkan puasa tersebut. Seorang yang berpuasa meninggalkan itu semua semata-mata karena Allah subhaanahu wa ta’ala (lillahi ta’ala), ia berupaya mendekatkan diri kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, dan mengharap limpahan pahala dari-Nya. Ini adalah perangai takwa. Kedua, seorang yang berpuasa berarti sedang melatih jiwanya untuk senantiasa muraqabatullah (sikap merasa diawasi oleh Allah subhaanahu wa ta’ala). Ia tinggalkan segala yang disenangi oleh hawa nafsunya padahal ia mampu untuk melakukannya. Ia tinggalkan itu semua karena keyakinan bahwa Allah mengawasinya. Siapa saja yang berpuasa, pasti ia meninggalkan makan, minum, dan pembatal puasa yang lain karena Allah mengetahui apa yang ia lakukan, walaupun orang lain tidak melihatnya. Ketiga, puasa itu mempersempit jalan setan di tubuh manusia. Ketahuilah bahwa setan itu berjalan dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darahnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Sesungguhnya syaithan berjalan di dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darah.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Puasa akan melemahkan pengaruh setan pada diri seseorang, sehingga perbuatan maksiat akan terminimalisir pada bulan puasa dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Keempat, seringkali amal ketaatan seorang yang berpuasa itu bertambah. Dan ini banyak kita saksikan. Di mana-mana masjid diramaikan dengan shalat berjama’ah, qiyamullail (shalat tarawih), bacaan Al-Qur’an, ceramah-ceramah, dan kajian intensif keagamaan. Tanpa dilombakan, kaum muslimin dengan sukarela berlomba-lomba mengeluarkan infaq dan shadaqahnya. Tentu ini semua juga merupakan perangai takwa. Kelima, ketika orang yang kaya berpuasa, ia akan merasakan beratnya rasa lapar. Ia merasakan penderitaan yang biasa dirasakan oleh fakir miskin. Sehingga keadaan seperti ini akan mendorongnya untuk membantu kalangan papa dan sengsara itu. Tidak diragukan lagi bahwa ini juga merupakan perangai takwa. Wallahu a’lam bish shawab. Penulis: Ustadz Abu Abdillah Kediri hafizhahullaahu ta’ala Hadits-hadits Dha’if yang Banyak Tersebar di Bulan Ramadhan Hadits pertama: صُوْمُوْا تَصِحُّوْا “Berpuasalah maka niscaya kalian akan sehat.” HR ath-Thabarani Al-Hafizh al-Iraqi rahimahullaah berkata dalam Takhriju al-Ihya` (3/75), “(Hadits ini) diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath dan Abu Nu’aim dalam ath-Thibbu an-Nabawiy dari hadits Abu Hurairah z dengan sanad yang lemah.” (Lihat Silsilatu al-Ahadits adh-Dha’ifah no. 253) Hadits kedua: مَنْ أَفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ فِيْ غَيِْر رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلُّهُ وَإِنْ صَامَهُ “Barang siapa berbuka (tidak berpuasa) sehari saja dari bulan Ramadhan tanpa rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah baginya, maka ia tidak bisa menggantinya dengan puasa setahun penuh meskipun dia berpuasa selama setahun itu.” HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi. Hadits ini lemah, dan al-Bukhari rahimahullaah sudah memberi isyarat dengan ucapan beliau “disebutkan dari Abu Hurairah.” Dilemahkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih beliau (3/238) dan dilemahkan juga oleh al-Mundziri, al-Baghawi, al-Qurthubi, adz-Dzahabi dan ad-Damiri sebagaimana dinukil oleh al-Munawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar dan beliau menyebutkan tiga ‘illah (penyebab lemahnya hadits tersebut) yaitu: al-idhthirab (kegoncangan), al-jahalah (tidak diketahuinya keadaan salah seorang perawi hadits ini), dan al-inqitha’ (terputus periwayatannya).” (Lihat Fathul Bari 4/161) Sumber : mahad-assalafy/2012/07/12/tafsir-ayat-puasa/
Posted on: Thu, 18 Jul 2013 08:44:12 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015