Puisi dan Lukisan TAHUN 1947, Chairil Anwar menulis Dua Sajak - TopicsExpress



          

Puisi dan Lukisan TAHUN 1947, Chairil Anwar menulis Dua Sajak Buat Basuki Resobowo. Puisi bagian permulaan: Apa tinggal jadi mata?/ Lihat mata betina tidak lagi menengadah/ Atau bayu sayu, bintang menghilang! Puisi kecil lahir dari tatapan mata atas lukisan. Chairil Anwar menggerakkan imajinasi rupa ke imajinasi kata. Chairil Anwar dalam puisi bagian dua memberi judul Sorga. Kita bisa temukan jejak-jejak mata (imajinasi) rupa: Seperti ibu + nenekku juga/ tambah tujuh keturunan yang lalu/ aku minta pula supaya sampai sorga/ yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu/ dan bertabur bidadari seribu. Kita tidak tahu persis asal-usul penulisan Dua Sajak Buat Basuki Resobowo jika Basuki Resobowo tak menuliskan kenangan. Pelukis itu mengakui diri dalam buku Bercermin di Muka Kaca: “Saya adalah seniman Indonesia yang pertama memamerkan lukisan telanjang di bumi Indonesia dan mendobrak kebudayaan yang dekaden.” Kalimat ini mungkin arogan berbau ideologis. Lukisan telanjang dianggap memiliki energi mendobrak kebudayaan dekaden. Lukisan itu dihadirkan ke mata publik di tahun 1947. Indonesia masih selesaikan revolusi dalam idiom-idiom politik tapi Basuki Resobowo mengajukan lukisan perempuan telanjang. Pengertian “dekaden” hendak digoncang dengan lukisan. Heroik! Alkisah, SIM (Seniman Indonesia Muda) menggelar pameran di Madiun (1947). Lukisan telanjang garapan Basuki Resobowo turut dipajang. Konon, lukisan itu hilang selama dua hari dan mengalami kerusakan di bagian gambar kemaluan. Orang-orang mencurigai penghilangan dan perusakan itu dilakukan oleh kelompok berdalih islami. Mereka anggap lukisan perempuan telanjang merusak akhlak. Peristiwa itu membuat Basuki Resobowo takut dan bangga. Lukisan perempuan telanjang itu nekat dipamerkan lagi di Jakarta. Para pengunjung memberi mata untuk lukisan telanjang. Konon, orang-orang asing merasa kaget bahwa ada pelukis Indonesia di “pedalaman” berani menampilkan objek perempuan telanjang. Chairil Anwar juga hadir di pameran dengan “mata jalang” dan “mata puitik”. Si pujangga menatap takzim lukisan perempuan telanjang. Chairil Anwar pun “menyambut” lukisan Basuki Resobowo: menjelmalah Dua Sajak Buat Basuki Resobowo. Perjumpaan lukisan dan puisi dalam gairah tak biasa. Mata Chairil Anwar bisa memasuki dunia rupa tanpa sungkan. Puitik Perempuan dan ketelanjangan mencipta erotisme puitik dalam sosok Chairil Anwar. Kita mafhum bahwa tak ada keasingan antara pujangga dan lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu justru menenggelamkan si pujangga dalam pikat erotisme. Chairil Anwar saat di Jogjakarta mengucap untuk Basuki Resobowo: “Bas, aku berhenti berdiri ada 10 menit di muka lukisan telanjang.” 10 menit melahirkan jejak puisi. 10 menit telah menguak asmara dan kerja kreatif Basuki Resobowo. Pelukis itu memberi cerita tentang perempuan di lukisan telanjang. Perempuan itu bernama Irah. Tahun 1945, Basuki Resobowo hidup di Jogjakarta untuk menunaikan ibadah hidup sebagai pelukis. Basuki Resobowo hidup bersama para pelukis bujangan di daerah Alun-Alun Lor (Jogjakarta). Sanggar itu jadi ruang pertemuan antara pelukis dengan perempuan desa bernama Irah. Perempuan ini sering bersua dengan para penghuni sanggar. Basuki Resobowo mengartikan perjumpaan dalam berahi kelelakian dan gairah estetika. Permintaan Basuki Resobowo agar Irah mau dijadikan model untuk lukisan telanjang seolah puncak pemaknaan berahi menjelma ibadah rupa. Irah pun mau dan menurut jadi model meski sempat malu. Basuki Resobowo lega dan memberi ciuman untuk Irah atas kerelaan menjadi model lukisan. Basuki Resobowo tercengkam saat melukis Irah. Perempuan telanjang ini mengingatkan perempuan di relief-relief Candi Borobudur. Sejarah peradaban rupa bergerak di kepala Basuki Resobowo. Irah menjadi representasi masa silam dan eksotisme tapi mengandung iba, getir, rintihan. Pengakuan si pelukis: “… perasaan saya tercengkam oleh kulit dari wajah Irah yang penuh dengan rautan yang memperjelas rintihan hidup. Buah dada yang menggantung lelah, perut kembung yang melongsor ke bawah karena kehabisan urat-urat daya tahan, menjadi kesaksian getir hidup. Hanya kerlingan mata Irah yang masih mengajak kita memgubur rasa haru dan lari dalam ramah malam.” Narasi itu membuat Chairil Anwar takjub. Si pujangga lekas memeluk si pelukis dan berteriak: “Hebat kau, Bas. Semua yang kau ceritakan ada dalam lukisan itu.” Dua lelaki mengucap diri sebagai seniman dan pemuja perempuan. Mereka hidup dengan kata dan rupa. Begitu. Bandung Mawardi Pengelola Jagat Abjad Solo
Posted on: Sat, 21 Sep 2013 13:44:16 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015