RESENSI BUKU KOMPASIANA, ETALASE WARGA BIASA: MELAJU PASTI DENGAN - TopicsExpress



          

RESENSI BUKU KOMPASIANA, ETALASE WARGA BIASA: MELAJU PASTI DENGAN JURUS “ANTI MATI GAYA” -- Oleh Amril Taufik Gobel Judul Buku : KOMPASIANA, Etalase Warga Biasa Penulis : Pepih Nugraha Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan : Pertama, Oktober 2013 Tebal : xi + 268 halaman ISBN : 978-979-22-9987-8 Masih segar di ingatan saya kejadian itu. Di rumah makan Sami Kuring Cikarang, Minggu 5 Juli 2009, Kompasiana yang belum genap setahun berdiri, menggelar kegiatan Roadshow Blogshop bekerjasama dengan komunitas bisnis Cimart, Cikarang. Ini merupakan Blogshop pertama yang diselenggarakan diluar “markas besar” Kompasiana di gedung Kompas-Gramedia, Jakarta. Seperti yang saya tulis disini, acara tersebut berlangsung sukses dan meriah, dihadiri 36 peserta blogshop berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi yang begitu antusias mengikuti pelatihan ini. Mas Okky (Marketing Communication Kompas dot com) , Mas Iskandar Zulkarnaen (admin Kompasiana) dan Kang Pepih Nurgraha (founder/admin Kompasiana) datang jauh-jauh dari Jakarta ke Cikarang untuk hadir dan berbagi sekaligus memperkenalkan Kompasiana sebagai blog berbasis jurnalisme warga. “Kompasiana harus kita kembangkan terus, bersama-sama, bersinergi satu sama lain. Pokoknya jangan sampai “mati gaya” deh!,” kata Kang Pepih kepada saya dengan nada berseloroh sambil mengutip istilah yang cukup populer pada masa itu di kesempatan waktu istirahat. Mata beliau terlihat berbinar dan menyiratkan keyakinan yang sangat mendalam. Meski jurnalis senior Kompas ini melontarkan kalimatnya secara bercanda, saya menangkap ada keseriusan didalamnya. Sebuah tekad membara. Juga janji. Tak terlerai. Tulisan saya “Mohon Maklum Mereka Anak Generasi Platinum” yang tampil di Kompasiana pada tanggal 8 Desember 2008 Dan kini, saat membaca buku “Kompasiana, Etalase Warga Biasa” yang ditulis Kang Pepih, saya merasakan aura semangat itu tetap bergelora menyala disana. Pergulatan membangun dan mengembangkan Kompasiana sebagai Media Sosial khas Indonesia diceritakan secara lugas, lengkap dan komprehensif disini. Sebagai “bidan” yang melahirkan Kompasiana, Kang Pepih menyampaikan suka duka dan jatuh bangunnya membangun media ini yang pada ultah ke-5 tanggal 22 Oktober 2013 lalu, Kompasiana perlahan tapi pasti menapaki ranking 30 Alexa di Indonesia dan peringkat 2077 di level global. Saat buku ini disusun, anggota Kompasiana yang rata-rata terdaftar sebagai penulis mendekati angka 170.000 dan setiap harinya “dibanjiri” 1000 artikel atau tulisan warga. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan, namun tentu saja, hasil tersebut tak bisa diraih dalam tempo sekejap dan begitu mudah. Dibutuhkan nyali, kerja keras dan semangat tinggi, juga sinergi konstruktif untuk mewujudkannya menjadi nyata. Buku Kompasiana, Etalase Warga Biasa yang siap didistribusikan dengan autograph asli sang penulis (foto diambil dari Facebook Pepih Nugraha) Pada bab awal, Kang Pepih menceritakan bagaimana nama Kompasiana itu dipilih. Di halaman 4, Kang Pepih menuturkan nama itu diperoleh dari usulan wartawan senior, Budiarto Shambazy. Nama itu merujuk pada rubrik di Harian Kompas yang diciptakan pendirinya, Petrus Kanisius Ojong. Budiarto beranggapan, rubrik Kompasiana di Harian Kompas sudah bergaya blog, sangat personal dan lugas dalam mengupas berbagai persoalan. Di awal kelahirannya, blog Kompasiana dikhususkan untuk jurnalis Kompas serta sejumlah tokoh secara terbatas. “Tatkala kran Opini dan berita warga dibuka di Kompasiana, warga antusias menyambutnya. Segera mereka menemukan media yang tepat untuk menyalurkan aktualisasi mereka dalam bentuk tulisan; reportase; opini, catatan harian, maupun fiksi. Mereka menemukan keasyikan sendiri disini. Mereka berkumpul di “dunia orang biasa”. Mereka menemukan kenyataan bahwa menulis bukan lagi monopoli para jurnalis atau kolumnis. Menulis adalah “pekerjaan” orang-orang biasa, warga pada umumnya yang bukan berprofesi sebagai jurnalis atau penulis” (halaman 6). Ya, Kompasiana, menjadi fenomena luar biasa di dunia media sosial di Indonesia. Perkembangannya yang signifikan dalam kurun waktu 5 tahun diuraikan oleh Kang Pepih secara lengkap dan runtut. Bab demi bab di buku ini disajikan dengan judul yang unik dan “eye catching”. Lihat saja di Bab kedua “Mulainya si Pemula Yang Malu-Malu” yang menuturkan pertama kali Kompasiana diperkenalkan, bahkan karena ketika itu tulisan-tulisannya didominasi oleh Kang Pepih, sempat terbit sindiran “Pepihsiana” alias “Pepih Kompasiana”. Atau di bab 5 “Olok-Olok Senjakala Blog” yang mengangkat soal polemik tentang perkembangan dunia blog yang sempat dipandang secara pesimis, serta pada bab 9 “Berikutnya Berani Tampil Beda” yang mengungkapkan bagaimana strategi branding Kompasiana dengan menerapkan teknik diferensiasi dan tampil beda. Yang menarik adalah Kang Pepih juga menceritakan diskusinya bersama Blogger Professional pertama Indonesia, Budi Putra dalam bab 8 “Benchmarking, Imitating, Innovation”. Tulisan-tulisan yang disajikan begitu renyah, bernas dan memikat. Sebagai jurnalis senior, kang Pepih mampu membetot perhatian para pembaca dengan menghadirkan rangkaian kalimat yang tertata rapi, mudah dimengerti dan ringan untuk dicerna. Perjalanan Kompasiana, sejak awal kelahiran, sampai memasuki usianya yang kelima (2013) dikisahkan dalam alur dan ritme yang dinamis. Tiap bab di buku ini bisa dibaca pula secara terpisah atau sendiri-sendiri, tak mesti harus membaca bab tertentu dulu. Seperti ada “benang merah” yang menghubungkan tema yang disajikan. Yang membuat kian menarik adalah, Kang Pepih menuturkannya dengan sentuhan personal, santai, ala blog. Membaca buku ini membuat saya seakan-akan bercakap-cakap langsung dengan beliau. Anggaplah sambil bermain catur bersamanya di keremangan senja sembari menyeruput kopi hangat di beranda :) . Lalu bagian mana di buku ini yang membuat saya terpukau? Di bab 8 “Benchmarking, Imitating, Innovation” Kang Pepih menceritakan perjalanannya mengembangkan Kompasiana dengan melakukan perbandingan intens melalui analisa mendalam dan kritis dengan media berbasis jurnalisme warga sejenis seperti Asia Blogging Network yang digagas oleh Budi Putra serta Panyingkul yang diprakarsai oleh Lily Yulianti Farid di Makassar juga dengan media Oh My News di Korea Selatan. Kang Pepih kemudian mengambil kesimpulan—yang menurut saya dramatis, berani dan cerdas –”Saya tidak ingin memformalkan berita warga di Kompasiana sebagaimana Oh Yeong-Ho (Oh My News) yang mendirikan sekolah jurnalistik bagi para jurnalis warganya. Saya juga tidak ingin menyeragamkan gaya bahasa dan bercerita warga atas nama genre narrative journalism , sebuah gaya bercerita. Saya ingin membiarkan warga menulis sesuka mereka, dengan gaya bahasa apa adanya, asalkan postingannya bermanfaat dan bertanggung jawab” (halaman 100). Strategi ini cukup mumpuni, apalagi ketika dipadukan dengan strategi “Imitating & Innovation” yang kemudian menjadikan Kompasiana sebagai media sosial khas Indonesia dengan platform tegas : Menulis dan tagline jelas : “Sharing & Connecting”. Interaksi antara pembaca dan produsen konten blog di Kompasiana begitu intens dan akrab. Kompasiana telah menjelma menjadi sebuah wahana raksasa jurnalisme warga, orang biasa yang bukan jurnalis media, menorehkan catatan, fikiran, opini dan perasaan. Dialog interaktif terbangun antara komentator dan penulis atau antara komentator dan komentator di setiap posting seakan menjadi indikator pembuktian atas apa yang sudah ditulis oleh Prof.Dan Gilmor, penulis buku “We The Media: Grassroots Journalism by the people, for the people (2004)” yang antara lain menyatakan evolusi media di masa depan akan dicirikan dengan terbentuknya sebuah ekosistem yang menghadirkan dialog multi arah, serta penguatan dialog masyarakat sipil di tingkat lokal,nasional maupun internasional. Dan Kompasiana adalah ekosistem media baru yang menjadi wadah besar dialog multi arah masyarakat tersebut. Tak salah bila tagline “Sharing, Connecting” menjadi sangat relevan karena apa yang dikabarkan melalui Kompasiana menjadi sebuah representasi aktual atas praktek demokrasi partisipatif yang melibatkan warga biasa dengan tidak hanya bercerita dan melaporkan namun juga berbagi kesan, sekaligus berdialog secara interaktif dengan para pembaca, memanfaatkan teknologi internet. Lepas dari elitisme dan keangkuhan media mainstream yang kerap kali “terdikte” oleh “otoritas” sang pemilik media , “kecenderungan” orientasi pasar pembaca atau “sponsor” pesanan untuk pihak-pihak tertentu. Revolusi radikal di dunia teknologi informasi komunikasi saat ini menjadi momentum dashyat. Konsumen media yang selama ini duduk pada posisi obyek yang pasif justru menjelma menjadi kekuatan baru sebagai penyedia berita. Perkembangan media online, blog, user generated contents dan social networking system yang melaju sangat pesat memungkinkan siapapun menjadi pewarta, creator, bahkan produser sekalipun. Proses produksi media berbasis internetpun menjadi kian murah. Di buku ini, Kang Pepih juga menuturkan betapa strategi kolaborasi dan jurnalisme hybrid (hybrid journalism) juga menjadi kunci sukses Kompasiana untuk tetap bertahan. Termasuk menerbitkan buku hasil tulisan Kompasianers serta menayangkan dalam edisi Freez di Kompas Cetak. Pada bab 17, “Fenomena Laporan Seand Munir dan “Duet” Okti Li/Blindie Lee” , Kang Pepih mengupas fenomena tulisan unik Kompasianers yang berhasil memegang rekor keterbacaan hingga satu juta. Di halaman 193, kang Pepih menulis opininya : “Kasus Seand Munir ini makin meneguhkan keyakinan atau anggapan bahwa di internet adagium content is king masih tetap relevan, meskipun akhir-akhir ini khususnya pada jurnalisme arus utama lebih ditekankan context is king. Konten yang baik, dalam pengertian bermanfaat,aktual dan relevan dengan peristiwa kekinian, meski tanpa embel-embel headline dan ilustrasi sekalipun, tetap dibaca secara masif dan massal. Konteks yang disodorkan Seand Munir juga aktual dan relevan, yakni mengenai kecelakaan yang menimpa pesawat jet komersial milik Rusia itu di gunung Salak, Bogor yang menewaskan seluruh penumpang dan awaknya”. Terus terang membaca buku ini membuka wawasan saya semakin luas tentang bagaimana memaknai Kompasiana sebagai Etalase Warga Biasa. Kehadiran Kompasiana saat ini tentu sudah jauh melampaui ekspektasi kang Pepih bersama jajaran adminnya saat pertama kali didirikan. Dengan gesit dan cerdik, Kompasiana melalui segala cobaan yang merintangi dengan jurus “anti mati gaya” melalui strategi pengembangan yang tepat sasaran. Ini sejalan dengan spirit Kompasiana sebagaimana yang diungkapkan di halaman belakang buku ini (dimana ada foto saya berseragam coverall biru ala petugas pengeboran minyak lepas pantai mejeng disana. Mengelola Media Sosial merupakan suatu proses in the making atau on progress menuju kesempurnaan. Selain visi, diferensiasi, dan platform yang tegas, media sosial selalu bergerak dinamis. Bergerak dari “me”-media menuju “we-media” dan sekarang bergerak lagi dari we-media ke crowdsource media. Kehadirannya harus dianggap sebagai media alternatif dan ditangkap sebagai pelengkap media arus utama yang telah ada terlebih dahulu”. Salut dan sukses untuk Kompasiana! *** Sumber: Blog daengbattala
Posted on: Thu, 07 Nov 2013 00:45:17 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015