Refrain (Saat Cinta Selalu Pulang) #Chapter9 Wish #30: menemani - TopicsExpress



          

Refrain (Saat Cinta Selalu Pulang) #Chapter9 Wish #30: menemani Iqbaal di rumah sakit (Amanda) Amanda mengendap masuk ke ruang tepat Iqbaal dirawat, meraih gagang pintu dan memutarnya sepelan mungkin supaya tidak menimbulkan suaara. Barusan dia berbohong pada suster bahwa dia adalah adik Iqbaal, supaya bisa diizinkan masuk. Sebuah kantong plastik bening berisi beberapa batang es krim kesukaan Iqbaal sudah dibelinya dalam perjalanan ke sini. Iqbaal pasti kebosanan bukan main di kamarnya, hanya ditemani satu unit televisi yang menyajikan siaran sinetron sepanjang malam. (Nama kamu) bilang dia akan pulang pukul delapan, jadi Amanda bermaksud menggantikannya untuk menemani Iqbaal. Langkahnya terhenti. Dia melihat pemuda itu terbaring di atas tempat tidur dalam pakaian rumah sakit berwarna biru muda, di wajahnya sebuah ekspresi lembut yang sulit dijelaskan. Lalu, Amanda melihat (Nama kamu) yang sedang terlelap, dan sayup-sayup mendengar kalimat yang dikatakan Iqbaal. Dan, dia mengerti. Ia mengambil beberapa langkah mundur yang agak terburu-buru, lantas menabrak seseorang di depan pintu. Ketika menoleh, Amanda bertatapan langsung dengan Aldi. *** Wish #31: membaca pikiran seseorang (Aldi) Aldi menyandang tas berisi pakaian dan handuk kotornya setelah dua jam penuh bermain futsal. Dia melangkah masuk ke dalam rumah sakit untuk menjenguk adik satu-satunya yang hari ini bermalam di sini. Kasihan, pasti suram banget hidupnya di sini, begitu putusnya, jadi ia pun membawakan beberapa jilid komik baru kesukaan Iqbaal untuk santapan malam ini. Lumayan untuk melewati bosan. Di lantai tiga, dia bertemu dengan seorang suster yang menghalangi jalannya. “Maaf, Dik, jam besuk sudah habis.” “Saya kakaknya,” Aldi berkata, menunjuk bawaannya, “Saya Cuma sebentar kok, hanya mau membawakan barang.” Suster itu tampak ragu, tetapi luluh melihat senyum Aldi yang memohon. “Ya sudah, tapi jangan lama-lama ya. Barusan adik perempuannya juga datang berkunjung, mungkin sekarang masih ada di dalam.” Adiknya? Aldi tidak habis pikir, tapi dia diam saja dan segera berjalan ke kamar rawat Iqbaal. Baru saja ia ingin masuk, tapi pintu terbuka dan muncul salah satu teman Iqbaal—gadis bule itu—dengan ekspresi tidak keruan. Aldi mengingat namanya. “Amanda?” “Amanda.” Dia mengangguk singkat, masih tampak terkejut. “Ada apa? Iqbaal ada di dalam, kan?” Sebelum Amanda mampu merangkai kata untuk menjawab, Aldi menjulurkan kepala dan melihat adiknya, yang sedang menarik selimut miliknya sendiri untuk menghangatkan (Nama kamu) yang sepertinya sedang pulas. “Nggak mau masuk?” Amanda menggeleng. “Aku mau pulang saja.” Aldi mengamati perubahan raut wajah Amanda, tiba-tiba saja mengerti apa yang membuat gadis ini berubah pikiran begitu saja. Digosok-gosokkannya kedua telapak tangan yang mulai dingin karena sejuknya malam. “Kuantar pulang, ya?” Melihat Amanda mempertimbangkan ajakannya dengan ragu, senyum Aldi mengembang. “Aman kok, pasti selamat tiba di rumah. Tapi sebelummnya, temenin aku makan dulu sebentar.” Amanda terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan senyum kaku dan mengikutinya menuju 24-hour café di lantai bawah. “Percaya atau tidak, rumah sakit ini punya café dengan makanan yang enak banget, walaupun banyak orang bilang makanan rumah sakit nggak bisa dimakan sama sekali.” Aldi memilih runa casserole hangat dan secangkir espresso, lalu memilih sebuah meja di sudut yang agak jauh dari pintu keluar. Dilihatnya Amanda hanya memesan semangkuk sup krim asparagus dan segelas teh tawar hangat sehingga ia memotong sedikit makananannya dan meletakkannya di piring gadis itu. “Kamu belum benar-benar mengenal yang namanya makanan enak kalo belum nyobain ini.” Sekali lagi, Amanda mengulas senyum tipis, lalu menyesap minumannya. “Di New York ada sebuah kedai yang menjual kudapan seperti ini. They have the best burritos and casserols in town.” Aldi mengunyah makanannya tanpa suara. “Kamu kangen New York?” Ekspresi Amanda melembut ketika menjawab. “Kadang-kadang. City view di sana sangat indah, terutama Natal di daerah Rockefeller.” “Kamu pernah memotretnya?” Amanda mendongak, seakan terkejut ditanya demikian. “Pernah, beberapa kali.” Senyum Aldi melebar. “Kapan-kapan boleh kulihat?” Amanda memiringkan kepala, mengamati pemuda yang begitu ramah walaupun belum pernah benar-benar berkenalan. “Kamu juga suka fotografi?” “Ah, ya. Sebenarnya hanya belajar secara otodidak. Lebih tepatnya bisa dibilang hanya pengagum.” “Pengagum pun harus ngerti fotografi untuk bisa benar-benar mengapresiasinya.” “Betul, makanya aku kagum melihat hasil fotomu waktu pameran tempo hari. Foto-foto itu punya nyawa, terutama foto seorang anak kecil yang sedang tertawa di balik air matanya.” Amanda menunduk, tidak menyangka Aldi masih mengingat foto-fotonya yang dipajang untuk pensi bulan lalu. “Iqbaal juga bilang begitu... tentang foto-fotoku.” “Kamu dan (Nama kamu) adalah dua orang yang penting buat adikku.” Ketika Amanda memandangnya dengan bingung, Aldi menjelaskan. “Sejak kecil, Iqbaal benci sama yang namanya perempuan. Dia paling ogah deket-deket dengan perempuan, bahkan cenderung menyendiri dibanding bergaul dengan teman-teman seumurnya. Iqbaal orangnya susah bergaul, nggak terbuka dan nggak gampang percaya sama orang. Karena sifatnya ini, orang-orang jadi males ngedeketin, karena mereka sulit ngerti dia. Waktu kecil, temen-temen sekelasnya nggak ada yang mau main sama Iqbaal. Iqbaal juga nggak pernah mau berbagi mainannya sama orang lain. Cuma (Nama kamu) yang keukeuh ngajak dia main bareng, naik sepedalah, main bonekalah, sampai nangkep jangkrik di pinggir kali. Walau dicuekin Iqbaal berkali-kali, (Nama kamu) nggak nyerah atau pun marah.” Aldi tersenyum mengingat kejadian itu. (Nama kamu) dengan senyum lebar dan gigi ompong terus-menerus berjongkok di samping Iqbaal, tidak peduli bahwa anak cowok itu tidak mempedulikannya dan menyembunyikan seluruh mainannya dari jangkauan (Nama kamu). Setiap sore, (Nama kamu) tetap datang ke rumahnya dan berteriak dengan lantang. “Iqbal, main yukkk!”, sampai akhirnya adiknya itu memberikan satu mobil mainannya kepada (Nama kamu). “Mungkin yang dibutuhkan Iqbaal adalah orang-orang percaya sama dia. Sahabat seperti kamu dan (Nama kamu).” Melihat Amanda termenung memikirkan perkataannya, Aldi bangkit dan tersenyum pada Amanda. “Yuk, kita pulang.” *** MAMA Amanda terjaga dari tidur lelapnya ketika mendengar ribut-ribut di luar kamar. Terang dari lampu ruang keluarga menyisip masuk melalui celah-celah pintu, membuatnya membuka mata untuk melirik ke arah jam weker yang ada di tepi tempat tidurnya. Hampir tengah malam. Ia bangkit dan mengucek mata yang masih sarat akan kantuk, lalu menyeret langkah untuk melihat siapa yang malam-malam begini masih terjaga. Ternyata Tante Nadja sudah mendahuluinya, kacamatanya yang bersiluet tegas terlihat kurang cocok dengan rambut yang berantakan dan muka mengantuk. Amanda berusaha membiasakan pandangannya pada terang yang tiba-tiba menyala, dan melihat sebuah sosok di balik pintu. Perempuan itu mengenakan mantel dengan gaun selutut dalam siluet warna krem, serta sepasang boots suede berwarna senada. Rambutnya diikat dalam sebentuk chignon longgar, dengan kacamata diangkat ke atas seperti bando. Tingginya tidak kurang dari seratus delapan puluh sentimeter, terlihat semakin jenjang dengan hak sepatu yang runcing. Bunyi yang ditimbulkannya cukup membuat Amanda tersadar dari keterkejutannya. “Mama?!” Tantenya tampak sama kagetnya dengan dirinya. Mereka berdua sama-sama masih mengenakan piyama tidur, dengan keadaan yang disoriented, terlihat seperti dua orang kebingungan yang terkejut luar biasa. Mereka melongo melihat Mama dengan ribut membuka pintu dan menarik masuk kedua kopor besarnya. ”Surprise!!” Mama merentangkan tangan lebar-lebar, tersenyum senang melihat kekagetan yang telah disebabkannya. Beliau berhenti dan memandang Amanda lekat-lekat. Amanda tidak bergerak saat jemari Mama mengusap helai-helai rambut yang berantakan di keningnya, lalu mendekapnya erat. Harum parfum Mama masih tidak berubah—Miracle dari Lancome. Rasanya sudah lama sekali, tetapi anehnya bau itu masih tidak asing di hidung Amanda. Ia memejamkan mata dalam dekapan Mama, terlalu terkejut untuk membalas pelukannya. *** Wish #32: mama untuk tetap tinggal (Amanda) Sudah beberapa hari ini Amanda tidak henti-hentinya tersenyum, tidak kalah dengan (Nama kamu) yang masih berseri-seri sejak peresmian hubungannya dengan Bastian. “Kalau ada di samping kalian, gue keliatan kayak manusia paling murung di dunia,” begitu komentar Iqbaal ketika melihat kedua sahabatnya memasang ekspresi gembira yang identik. Amanda bertukar pandang dengan (Nama kamu) dan mereka berdua menyeringai. Iqbaal dan (Nama kamu) adalah orang pertama yang diberitahukannya mengenai kepulangan Mama beberapa hari yang lalu. Rumahnya tidak lagi penuh dengan kesunyian yang sering kali mengisi percakapan, kini sarat dengan obrolan yang bermakna untuk melepas rindu. Pada pagi hari setelah Mama kembali, Amanda bahkan mengecek kamar Mama untuk memastikan bahwa kejadian semalam bukan hanya imajinasinya. Bertapa leganya saat menemukan Mama di balik selimut, raut damai dalam nyenyak tidurnya. Amanda tidak pernah berharap lebih dari ini. “Mamamu sekarang akan tinggal di Jakarta?” Ketika Iqbaal menyeletukkan pertanyaan sederhana itu, Amanda terhenyak. Dia tidak berani menanyakan apakan Mama akan tinggal lebih lama di Jakarta kali ini. Dia tidak tahu apakah Mama akan segera terbang ke luar negeri lagi untuk pekerjaan, lantas tidak kembali beberapa bulan lamanya. Dia juga belum sempat bertanya mengapa Mama melupakan hari ulang tahunnya waktu itu, mengapa Mama tidak menepati janji kepulangannya. “Nggak tahu,” Amanda dengan jujur menjawab, “mudah-mudahan kepulangan Mama kali ini for god.” Harapannya ini dikukuhkan juga oleh kegiatan Mama yang tidak sepadat biasanya. Setiap sore, Amanda menemukan Mama sedang melukis di patio rumah mereka, bergulat dengan kuas, palet warna, dan secangkir kopi. Dia akan duduk saja di samping Mama, memperhatikan garis wajahnya dan kadang-kadang memotretnya. Sesekali, mereka mengobrol, bertukar cerita mengenai banyak hal yang tidak bisa diceritakan panjang-lebar melalui telepon. Sore ini, Amanda pun duduk di kursi beranda, melihat Mama menyapukan warna merah jambu untuk pemandangan matahari terbenam di atas kanvas. “Udah lama nggak ke Jakarta, ternyata Mama kangen juga sama kota ini.” Mama tersenyum sekilas sambil terus melukis, rambutnya yang panjang tergerai dan melambai ringan ketika ditiup angin. Wajahnya bersih tanpa make-up, sesuatu yang jarang Amanda lihat, tetapi sangan disukainya. Inilah Mama apa adanya, Mama yang dikenalnya. “Kamu sudah terbiasa di sekolah baru? Punya banyak teman?” “Ada dua sahabat baruku, namanya Iqbaal dan (Nama kamu). Mereka penggemar berat Mama.” “Oh ya?” Mama tampak senang mendengarnya. “Mama.” Amanda terdiam sejenak, ragu untuk menanyakan pertanyaan Iqbaal yang membebani pikirannya belakangan ini. Dia takut mendengar jawabannya, tapi lebih takut lagi menemukan Mama mendadak pergi seperti yang sering dilakukannya. ”You’re going to stay, aren’t you?” Kali ini, Mama meletakkan kuas dan mengelap kedua tangan dengan celemek yang melilit di pinggang. Dipandangnya Amanda dengan seksama, tatapan matanya lembut. Mama tidak menjawab, hanya memeluknya seakan tidak ingin melepaskannya lagi. *** PHOTOGRAPHS Tanggal batas terakhir pengiriman materi untuk lomba fotografi sudah dekat. Iqbaal dan (Nama kamu) sibuk membantu Amanda memilih foto untuk kompetisi tahun ini, yang diusung dengan tema lokalitas. Tadinya, Amanda enggan untuk ikut, merasa bahwa foto-fotonya masih belum pantas untuk dijagokan dalam lomba bertaraf nasional, bersaing dengan ribuan bahkan jutaan remaja lain yang sama-sama punya bakat di dunia fotografi. Namun, tentu saja, (Nama kamu) mendesaknya untuk ikut mendaftar. Belum lama ini, dia melihat selembar flyer yang mengiklankan lomba ini di mading sekolah, dan dengan persuasif diajaknya Amanda ikut. Hampir separuh siswa dari grup ekstrakulikuler fotografi di sekolah mereka akan berpartisipasi, katanya, dan tidak ada alasan bagi Amanda untuk menolak ikut. Amanda sengaja mengulur-ulur waktu hingga waktunya dekat, berharap mereka akan melupakannya. Namun, Iqbaal, dengan netral sempat berkata padanya, “Kalau lo merasa terbebani untuk ikutan, lebih baik gak usah, daripada terpaksa. Tapi, menurut gue, foto-foto lo nggak kalah dengan milik fotografer andal, dan lo harus percaya pada kemampuan lo sendiri.” Akhirnya, Amanda pun memutuskan untuk ikut. Hanya saja, hingga sekarang dia masih belum bisa memilih foto mana yang akan diikutsertakannya dalam lomba. Tema lokalitas adalah subjek yang tricky baginya, karena fotonya harus mencerminkan kepribadian bangsa dan kultur negara, tetapi juga harus memiliki sisi emosional yang mampu menangkap perhatian para juri. Karena itulah mereka bertiga kini mengobok-obok seluruh isi lemari foto Amanda, mencoba menemukan sebuah shot yuang sempurna, sekaligus memikirkan objek yang menarik untu dijadikan fokus utama. “Kalau candi-candi atau kerajinan tangan gimana?” (Nama kamu) mengusulkan, keningnya berkerut selagi ia membuka album demi almbum foto lama milik Amanda. “Misalnya batik, tanah liat, kendi atau anyaman.” “Terlalu biasa,” Iqbaal berkomentar singkat dari sudut ruangan, berkutat dengan rol flm lama yang disimpan dalam kotak. “Pasti banyak banget karya serupa, nanti jadi kurang menonjol.” “Kalau pemandangan alam?” (Nama kamu) melempar ide lagi, kali ini mengangkat beberapa tumpuk foto sekaligus dan mengaduk-aduknya di lantai. “Biasa juga, kecuali ada fenomena yang fantastis.” Sahut Iqbaal. Amanda tidak terlalu memperhatikan, sedang sibuk menyortir foto-foto hitam putih yang dulu sempat menjadi obsesi eksperimennya bertahun-tahun lalu. “Sawah dan pedesaan?” (Nama kamu) memutar otak lagi, berusaha keras untuk memikirkan sebuah tema yang unik. “Perkampungan kan sekarang sudah lebih maju, tapi kita bisa menampilkan sisi modern sekaligus tradisional yang gak ditemukan di kota.” “Lumayan sih. Tapi takutnya banyak peserta lain yang memikirkan ide yang sama.” (Nama kamu) mengerut. “Semua ideku nggak ada yang kamu anggap bagus.” Iqbaal terkekeh. “Habisnya kita butuh sesuatu yang bener-bener ‘beda’, yang bisa bikin orang tertegun dalam sekali lihat.” “Iya juga, sih.” (Nama kamu) setuju, lalu memasukkan hasil sortirannya ke dalam sebuah folder plastik. Ia beralih ke sebuah kotak sepatu tua yang cukup ringan dan tersembunyi di balik lemari, lalu membuka tutupnya perlahan. Isinya adalah puluhan lembar foto dengan fokus sebuah siluet wajah, dan beberapa benda lainnya. Penasaran, (Nama kamu) menumpahkan seluruh isinya ke dalam pangkuan dan mulai menelitinya. Wajah Iqbaal memenuhi setiap lembaran foto. Ada foto mereka semasa pentas seni catur wulan lalu, foto Iqbaal ketika sedang memegang gitar dan menulis tangga lagu di buku tulisnya, figurnya dari kejauhan saat lomba basket sedang berlangsung, Rio yang sedang tertidur di kelas, juga Iqbaal yang sedang duduk di atas trampolin, beberapa menit sebelum matahari terbenam.(Nama kamu) menahan napas, berusaha mengingat-ingat setiap kejadian saat foto-foto itu diambil tanpa sepengetahuan mereka karena hampir di setiap foto,Iqbaal sepertinya tidak sadar sedang dipotret dan tidak melihat langsung ke arah lensa. (Nama kamu) melarikan ujung jarinya memutari garis wajah Iqbaal di atas foto, memperhatikan dalam-dalam tegas raut matanya, tulang pipinya yang tinggi, dan hidungnya yang sedikit mancung. Kedua ujung bibirnya yang tipis, sedikit melengkung ke bawah ketika tidak sedang tersenyum. Ikal rambutnya yang halus melingkari wajah, lalu bentuk telinganya yang lebar dan berdaun keras. Apakah Amanda mengambil foto-foto ini untuk mengambil detail yang sama? Apakah... “Gimana kalo Pecinan? Foto pasar malam dan wihara di daerah kota pasti mernarik, ya kan?” Tiba-tiba Iqbaal berseru, mengganggu konsentrasi (Nama kamu) sehingga gadis itu menjatuhkan foto-foto di tangannya. Secara otomatis Amanda mendongak, dan begitu melihat apa yang ada di pangkuan (Nama kamu), wajahnya memucat. “Ah, iya, ide kamu bagus juga...,” (Nama kamu) menjawab, mencoba mengumpulkan kembali barang-barang pribadi milik Amanda yang tidak seharusnya dilihatnya. “Lagi lihat apa, sih?” Iqbaal yang kebosanan bangkit dan menjulurkan kepala untuk melihat foto-foto yang masih berserakan di sekitar (Nama kamuu). Gerakan ini membuat (Nama kamu) gugup, dan Iqbaal semakin curiga. Ia tertegun ketika melihat apa yang ada di sana. Amanda pun tampak salah tingkah. “Itu....” Iqbaal segera mengerti. Ia mencari-cari kebenaran di wajah Amanda, ingin mengetahui apa tebakannya tidak salah, tetapi Amanda menghindari tatapannya dan malah berlari keluar dari ruangan. “Amanda...?” (Nama kamu) yang kebingungan segera berdiri, lalu memandang Iqbaal dengan raut bersalah. “Maaf, aku nggak sengaja....” Iqbaal menghela napas. Dia membungkuk untuk membereskan foto-foto yang berantakan di atas lantai. Apakah Amanda menyukainya? Ia tidak pernah menyangka, karena selama ini Amanda selalu bersikap netral di hadapannya, bahkan lebih sering menjadi tempat curhatnya mengenai (Nama kamu). Dia memandang lekat-lekat wajahnya dalam foto—wajah yang sama sekali tidak menyadari apa-apa. *** Wish #33: tidak melukai perasaan Amanda (Iqbaal) (Nama kamu) berdiri dengan serbasalah di antara hamparan foto-fotoyang seharusnya tidak pernah dilihatnya, sedangkan Iqbaal menuruni tangga untuk mencari Amanda. Gadis itu sedang terpaku di balik pantry dapur, dengan posisi membelakanginya. Kedua bahu itu tampak rapuh. Bahasa tubuh Amanda membuatnya tidak berjalan kian dekat. “Mand,” Iqbaal memanggil lembut, “foto-foto itu...” Dia tidak bisa menyelesaikan pertanyaan itu, takut salah bicara. Amanda memejamkan mata, merasa malu pada dirinya sendiri. Jika selamanya dia bisa bersahabat dengan Iqbaal, dia tidak akan pernah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya pada pemuda itu. Sebisa mungkin dia berusaha menghindari kejadian seperti ini, saat mereka berdua akan berubah canggung dan melupakan kedekatan mereka ketika sedang berteman. mungkin dia memang munafik—ketika Iqbaal tidak ingin berkata jujur pada (Nama kamu) mengenai cintanya karena alasan yang sama dia justru menasihatinya untuk tidak berbuat demikian. Sedangkan dia sendiri dengan pengecut menyembunyikan perasaannya baik-baik. Tapi salahkah, bodohkah, jika dia hanya berharap Iqbaal ada di sampingnya dan cukup puas dengan diam-diam menyayanginya? Masih dengan membelakangi Iqbaal, Amanda menarik napas pajang. Kini mungkin yang terbaik adalah mengatakan yang sebenarnya. “Gue....,” Amanda berbalik dan tersenyum, kali ini lebih pasti dari sebelumnya. “Aku sayang kamu, Baal.” Iqbaal tidak jadi menyelesaikan kalimatnya, terdiam dan menganga setelah pernyataan simpel itu keluar dari mulut Amanda. “Maaf kalau aku membuat kamu merasa nggak nyaman. ” Amanda meregangkan pegangannya pada gelas di tangannya, yang tanpa terasa sudah menyisakan bekas di kulit. “Kamu nggak usah bilang apa-apa. Aku nggak butuh jawaban, karena aku lebih suka kita berteman seperti biasa. Bisa, kan?” Iqbaal mengangguk, senyumnya perlahan mengembang. Amanda lega melihatnya. “Ini pertama kalinya ada cewek yang nembak gue langsung seperti ini. I appreciat that, amanda, karena lo jujur sama gue.” Amanda membalas senyuman, walau matanya berkaca-kaca untuk sebuah penolakan yang tidak terucapkan, namun sudah diketahuinya dengan jelas. “Kamu berhak tahu yang sebenarnya.” “Friends?” Amanda mengulurkan tangannya untuk menyetujui janji itu, tapi Iqbaal mendekat dan membuat gestur seakan sedang memeluknya. Amanda menegang ketika kulit mereka bersentuhan tingan, lalu ia menyandarkan kepalanya pada bahu Iqbaal dan membiarkan pundaknya ditepuk lembut, canggung, tetapi bersahabat. Iqbaal memang tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaannya barusan, tapi pelukannya yang kikuk sudah cukup untuk mengenyahkan ketidaknyamanan di antara mereka. Tidak perlu ada penjelasan. Tidak perlu ada kata maaf. Baik Iqbaal maupun Amanda sama-sama mengerti. *** Thankyou for reading(: With Love, #SarahDR follow my twitter -> @sarahdwnr ID Kakao Talk -> sarahdwnr No WhatsApp -> 081908017874
Posted on: Tue, 29 Oct 2013 15:13:07 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015