SEKILAS SEJARAH --------- "PEMBUANGAN BABILONIA GEREJA" DI AVIGNON - TopicsExpress



          

SEKILAS SEJARAH --------- "PEMBUANGAN BABILONIA GEREJA" DI AVIGNON - Bagian 3 3. Aspek-Aspek Mencolok Periode Avignon 3.1. Paus sebagai Kapelan Raja Perancis Para paus, kendati de iure mereka bebas dan independen, tetapi de facto mereka sepenuhnya dipengaruhi oleh raja-raja Perancis. Tidaklah berlebihan mengatakan bahwa paus seakan menjadi kapelan raja Perancis. Tujuh paus [Klemens V; Yohanes XXII; Benediktus XII; Klemens VI; Innocentius VI; Beato Urbanus V; Gregorius XI] semua berkebangsaan Perancis. Tidak dapat dimungkiri bahwa Klemens V benar-benar menjadi boneka raja Perancis, Philips IV. Paus tersebut bahkan mencabut Unam Sanctam, dan dengan demikian bulla tersebut tidak diindahkan sama sekali di Perancis. Pengaruh kerajaan Perancis terhadap kebijakan kepausan begitu besar, sehingga ketika raja mendesak agar Tarekat Templar dibubarkan, maka paus mengangguk-anggukkan kepala saja. Tentu saja tidak semua paus avignonese setuju saja dengan apa yang telah diputuskan Klemens V. Tetapi memang para paus itu tidak leluasa bertindak. Menetapnya paus di Avignon dengan demikian memperkokoh pandangan umum bahwa paus berperan sebagai dayang-dayang pemuas ambisi kerajaan Perancis. Dalam pandangan ini dapat digali dan dilahirkan elan nasionalisme Perancis. Pada gilirannya elan ini dipersempit sehingga mengantar Perancis ke gerbang pertempuran terbuka selama seratus tahun [1339-1453] melawan Inggris. Italia, Jerman dan Spanyol melayangkan protes atas raibnya ciri universal kepausan. Konon, raibnya ciri tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Keadaan ini sebenarnya hanya menyiapkan lahan subur bagi suatu krisis, yang sebentar lagi akan lahir di panggung sejarah Gereja. 3.2. Paus sebagai Boneka Penguasa Perancis Jika Klemens V menjadi boneka permainan Philips IV, maka penggantinya, yakni Paus Yohanes XXII, melakukan kesalahan fatal. Kesalahan itu berupa aksi menyulut konflik panjang, kasar, sia-sia dan seluruhnya negatif melawan Kaisar Jerman, Ludwig IV dari Bavaria [1314-1347]. Sebenarnya konflik ini muncul lantaran perkara yang semata-mata marginal. Tegasnya, konflik ini menyangkut hak-hak Takhta Suci atas wilayah Italia Utara selama kekaisaran mengalami sedes vacante. Kemudian konflik ini segera merembet ke masalah prinsipiil, yakni hubungan antara kepausan dengan kekaisaran. Paus mengancam kaisar jika ia tidak segera datang ke Avignon mempertanggungjawabkan dan menjelaskan duduk perkaranya. Tetapi kaisar tidak menanggapinya, bahkan menganggap paus sebagai bidah dan anti-Kristus. Kemudian paus mengundang sinode untuk mengucilkan kaisar [23 Maret 1324]. Kaisar tetap bersikukuh pada keyakinannya dan tidak perlu menghiraukan ekskomunikasi. Ludwig IV menganggap Yohanes XXII sebagai bidah. Anggapan ini berkaitan dengan disput berkepanjangan tentang kelompok Fransiskan Spiritual, yang dipelopori antara oleh Petrus Olivi, Angelo Clareno, Mikhael Cesena. Mereka memberikan stigma pada paus sebagai anti-Kristus. Sementara itu karena dipilih kembali menjadi Minister General Mikhael Cesena segera menghilang dari Avignon bersama Ockham [1285-1347] dan Bonagratia Bergamo; Fransiskus Ascoli dan Henry Thalheim. Paus segera melayangkan ekskomunikasi ke atas lima orang tersebut [April 1329], yang segera bergabung dengan Kaisar Ludwig IV. Ungkapan ini ditaruh pada mulut Ockham, "Paduka Yang Mulai Kaisar Ludwig, lindungilah saya dengan pedang Paduka. Dan saya akan membela Paduka dengan ketajaman pena saya". Hasil penelitian J. Trithemius menegaskan bahwa Ockham meninggal setelah bertobat dan telah minta direkonsiliasikan dengan Gereja. Akhirnya Ludwig IV turun ke Italia dan mendesak para petinggi Gereja [yang sedikit banyak Anti-Yohanes XXII] untuk mengadakan pemilihan paus yang baru di Roma. Maka dipilihlah Nicolaus V [Petrus Rainalducci, Fransiskan]. Paus ini kemudian memahkotai kaisar. Situasi memanas lantaran pada awal tahun 1329 kaisar meninggalkan Italia dan kembali Jerman. Sementara itu Yohanes XXII terus menentang Nikolaus V agar ia turun dari takhta kepausan. Karena ditinggalkan pelindungnya, akhirnya Nikolaus V keder dan segera takluk pada paus di Avignon, yang menjanjikan pengampunan. Karena itu ia lalu dimaafkannya. Tiga tahun sisa hidupnya [+16 Oktober 1333] dihabiskan di istana kepausan di Avignon. Konflik antara paus dan kaisar berkelanjutan, dan hanya berakhir dengan kematian Kaisar Ludwig. Itulah sebabnya selama 20 [duapuluhj tahun Jerman di bawah interdik. Kaisar dan para pendukungnya beberapa kali diekskomunikasikan dari Gereja. Selain kaisar didukung oleh kelompok Fransiskan Spiritual, yang berpegang teguh pada penghayatan kemiskinan suci lantaran Yesus dan para murid-Nya tidak memiliki harta milik, juga oleh Marsilius dari Padua. Dalam parlemen Frankfurt [1338] ditegaskan bahwa pemilihan kaisar hanya dilakukan oleh 7 pemilih: uskup Koln, uskup Trier, uskup Mainz, raja Bohemia, pangeran dari Saksonia, Brandeburg dan Palatinus. Ini berarti paus tidak berhak campur tangan dalam pemilihan kaisar. Kelihatan bahwa Imperium Romanum Sacrum semakin sekular dengan melupakan sedikit demi sedikit asal usulnya, yakni hubungan yang erat dengan Takhta Suci. Tentu saja hal ini bukanlah yang pertama kali terjadi, bahwasanya paus menghadapi perlawanan sengit dari kaisar. Tetapi memang zaman telah berubah. Faktor-faktor politik pada zaman ini jauh lebih banyak menentukan daripada faktor-faktor keagamaan dan kegerejaan. Pendapat umum tidak lagi mendukung posisi paus sebagaimana terjadi pada zaman Gregorius VII, Aleksander III, Innocentius III dan Gregorius IX. Dan jika pada abad-abad sebelumnya para paus mengakhiri konflik semacam ini dengan sejumlah kemenangan, tetapi saat ini perjuangan paus ditandai oleh kegetiran. Hal ini terbukti antara lain dengan terpilihnya kaisar Jerman. Pemilihan ini sepenuhnya mengindahkan ketentuan parlemen Frankfurt tersebut. 3.3. Tertib Administrasi dan Fiskalisme Kuria Roma yang berkedudukan di Avignon mengembangkan fiskalisme secara ketat. Pendapatan bagi kuria melonjak tinggi. Tertib administrasi terjaga. Mekanisme ini berjalan dengan dukungan sentralisasi.Tegasnya, kuria melakukan campur tangan langsung dalam urusan-urusan pelbagai keuskupan. Otoritas paus atas seluruh Gereja diakui semakin luas. Tetapi perlu dicatat di sini bahwa otonomi setiap keuskupan relatif tidak besar. Sebab pada kurun waktu avignonese ini ditekankan proses, yang sebenarnya sudah dimulai oleh Gregorius VII, yang langsung dan berkesinambungan. Sentralisasi semacam ini mengandung unsur positif, misalnya mengerem munculnya fraksi-fraksi dalam keuskupan-keuskupan; semua mengesankan terkendali. Sekaligus hal itu menghalangi munculnya pemerintahan bebas dari para uskup. Pengaturan fiskal yang diciptakan Yohanes XXII dan dikembangkan oleh para penggantinya memancing pelbagai kritik. Kritik-kritik ini pada akhirnya bermuara pada tuduhan palsu terhadap paus dan kroninya. Penerapan fiskal pola avignonese ini menjadi seperti Delenda Karthago dalam Zaman Baru: Reformatio Ecclesiae! Tidaklah mudah mengawinkan pembenahan unsur-unsur kehidupan moral kegerejaan dengan penertiban faktor-faktor dogmatis-institusional. Sebab apa yang secara dogmatis kelembagaan dapat dipertanggungjawabkan belum tentu perlu bagi kehidupan moral.(PS) (tamat) ~Dv
Posted on: Wed, 04 Sep 2013 02:33:33 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015