Secara kasat mata setidaknya kita dapat melihat dua permasalahan - TopicsExpress



          

Secara kasat mata setidaknya kita dapat melihat dua permasalahan keagamaan yang masih ada sampai saat ini, pertama adalah mereka yang masih terjebak pada ‘fanatisme’ aliran-aliran/atau firqoh-firqoh kalam yang dahulu pernah ada, seperti ; Mu’tajilah, Sunni, Syi’ah dll. Hal tersebut terlihat sangat prinsipil khususnya di dalam menjalankan eksistensi kehidupan, juga lebih parah lagi bahwa klaim ‘sesat’ sering kali ditempelkan pada masing-masing yang berbeda. Dalam konteks Indonesia yang ‘mayoritas’ berhaluan Sunni-Asy’ariyyah (Ahlu As-Sunnah Wal Jam’ah) hal terkait dengan ‘fanatisme’ aliran sering pula menjadi sebuah ledakan yang memukau, atas dasar doktrinasi perbedaan, aku A dan kamu B, juga seringkali menumpahkan cucuran darah dan penumpasan hak-hak sebagai warga negara. Sebagai contoh kasus Syi’ah di Sampang, yang bisa kita artikan bahwa warga negara kita belum cukup dewasa di dalam memahami perbedaan (jika itu dipandang berbeda), memang sangat ironis karena pada dasarnya kita sama-sama mempercayai bahwa Allah adalah Tuhan sang pencipta, dan Muhammad adalah nabi terakhir. Jika pun persepsi para pengikut Ahlu As-Sunnah Wal Jama’ah masih menganggap berbeda terhadap pengikut Syi’ah, saya sangat tertarik pada pendapat Said Aqiel Siradj yang mencoba mendefinisikan Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan kebaruannya, yaitu “Ahlussunnah Wal Jama’ah BUKAN HANYA kaum Asy’ariah saja, melainkan mereka yang mengamalkan sunnah”, sebuah definisi yang inklusif bagi perkembangan ‘penerimaan’ sejarah. Atau jika mencoba sedikit lebih ekstrem lagi kita dapat melihat pendapat DR. Harun Nasution yang kurang lebih mengemukakan begini “Sebagai mana aliran teologi yang berkembang dalam sejarah, itu hanya sejarah. Seharusnya kini teologi itu menemui bentuk barunya sesuai dengan zamannya”. Kembali pada point kedua pembahasan di atas, yaitu mereka yang hanya memaknai ‘teks kitab suci secara lahiriah (dzahir)”, ini pula menjadi masalah, sebab tidak banyak dari mereka yang dengan demikian melakukan kesalahan-kesalahan dalam mengemukakan dan meletakan ayat-ayat dalam setiap masalah yang ada sehingga tidak jarang pula diaplikasikan dalam bentuk arogansi dan radikalisme, khususnya terkait dengan ‘klaim-klaim kebenaran’ pada hal-hal yang mereka yakini. Maka terkait penafsiran yang di terima secara tekstual (dzahir) tanpa mengungkap hal bathiniahnya, Saudara Fauz Noor dalam bukunya “Tapak Sabda” serya mengutip pendapat Al-Imam Al-Ghazali dalam kitab Adab Tilawah Al-Qur’an mengungkapkah hal tersebut terjadi karena empat faktor; pertama, perhatian mereka dialihkan ke pengucapan huruf yang tepat (tahqiq al-huruf bi ikhrajiha min makhorijiha), pengalihan itu dilakukan oleh setan yang ditujukan kepada para pembaca Al-Qur’an untuk mencegah mereka dari memahami firman Tuhan secara benar. Kedua, kepatuhan buta kepada mazhab pemikiran (taqlid li mazhab) tertentu yang mencegah seseorang dari memikirkan gagasan lain yang belum diakrabinya. Ketiga, kebebalan seseorang terhadap dosa, watak keangkuhannya, atau keadaannya yang secara umum dipenuhi nafsu dari dunia yang dipatuhinya. Hal inilah penyebab kegelapan dan berkaratnya hati (sada’). Ia adalah noda (khabas) di atas cermin hati dan mencegah munculnya kebenaran yang jernih dari dalam hati. Keempat, kepercayaan bahwa satu-satunya penafsiran Al-Qur’an yang valid adalah penafsiran eksoterik atau harfiah. Kedua hal ini yang sebenarnya masih terlihat sangat memprihatinkan, dapat memberikan efek untuk rela mati atau apapun itu demi sebuah ketaatan yang buta (Taqlid al-‘ama’). Dari sisi ini posisi akal menjadi penting, sebab ia mampu menimbang-nimbang setiap perkara sebagaimana yang telah saya sampaikan pada status sebelumnya. Hal yang bisa mengetengahi itu tatkala kita mampu kembali pada makna ‘Islam’ itu sendiri, karena ia bukan agama sebagaimana yang bahasa sang sakerta maksud, sebab ia setatis dalam makna agama namun dinamis dalam makna Din. Firman Tuhan yang mengemukakan bahwa (Inna dina ‘indallahi Al-Islam) dapat kita berikan makna “Sesungguhnya ketundukan disisi Allah adalah totalitas kepasrahan” sekali lagi bukan Islam sebagai Agama. Lalu jika muncul pertanyaan, bagaimana dengan ayat terakhir pada nabi yang berbunyi “Al-Yaoma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa raditu lakum al-islama dina”?, ayat tersebut saya pikir tidak menjadi masalah, mungkin secara berani kita bisa mengartikan ayat tersebut seperti ini “ Hari ini aku telah menyempurnakan (pedoman) ketundukan berfikirmu. Aku telah lengkapkan nikmatku padamu dan keridhaanku dalam kepasrahanmu kepadaku sebagai (hasil) ketundukan berfikirmu”. Sekali lagi akal menduduki posisi penting di dalam memaknai ‘sesuatu’. Wallahu ‘alam...
Posted on: Sun, 24 Nov 2013 15:46:11 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015