Stupid Drama (4 of 7) 30 November 2012 pukul 20:08 STUPID - TopicsExpress



          

Stupid Drama (4 of 7) 30 November 2012 pukul 20:08 STUPID DRAMA A mild story by Andystar Vegantara PART4 “Gimana, sudah sejauh mana latihan kalian?” Tanya Reisha pada kedua sahabat cowoknya. Sabtu siang seperti biasa mereka kumpul di belakang gedung aula sekolah yang sepi bagai pemakaman. Raka dan Raihanpun mengutarakan progress latihan mereka, sampai adegan ciuman semalam diceritakan pula. “Bagoooosss bagos. Liat dong!” Seru Reisha bersemangat. “Apanya?” tanya Raihan. “Hasil latihan kalian ciuman dooong! Pelukan juga ya!” “Ah nggak ah, malu aku!” Raihan lagi- lagi menolak perintah Reisha. Tindakan yang salah. “Lah, gimana aku tahu perkembangan akting kalian kalo nggak ditunjukin??” Reisha berkacak pinggang sebel. “Yah review yang lain dulu laaah.” Raihan menawar. “Nggak bisa! Ayo lakuin! Sekarang!” Alis Reisha menukik, mulutnya berusaha menjajari ujung hidungnya. Raka dan Raihan saling pandang. Mereka menyerah. “Oke oke! Liat nih ya!” Raihan yang duluan mendekatkan mukanya ke wajah Raka dengan tergesa- gesa, dan bibir mereka kembali menyatu. Hanya 5 detik mereka terdiam bagai patung, dan mereka memisahkan diri. “Tuh. Puas??” Raihan mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. “Belom! Itu mah bukan ciuman, itu cuman kayak cicak nyium tembok, nempel doang!” “Mau kamu gimana lagi??” “Yang romantis dong, pake perasaan, kayak kalian nggak bakal ketemu lagi. Kan di cerita itu si Robert pamitan mau pergi ke Paris melanjutkan studinya, dan si Randy gak rela sehingga Randy nekad menampakkan perasaannya yang sesungguhnya pada si Robert.” Tuntut Reisha. “Denger ya, pertama nih, aku memainkan drama ini cuman sebatas bersandiwara, nggak melibatkan emosi. Kedua, aku Raihan, bukan Randy seperti yang kamu harap.” “Pleaseee, demi aku lah Han. Aku yakin kamu bisa kok. Drama tanpa emosi dan penjiwaan itu bagai soto tanpa kuah, seret rasanya.” Analogi Reisha benar- benar jenius tiada tara. “Oke, bantu aku buat bisa jadi kayak si Randy di imajinasimu yang kacau itu.” Raihan lepas tangan sudah. Pasrah deh sama cewek yang ia sukai ini. “Hmm, gimana yaa…” Reisha memandang ke atas seakan mencari- cari sesuatu. Wangsit mungkin? Ia memonyong- monyongkan bibirnya sedikit, gestur khas Reisha kalo lagi nyari ide. “Tuh kan kamu sendiri nggak tau kudu ngapain.” Raihan bersedekap ringan di depan dadanya yang bidang terbalut seragam pramuka. “Oke oke, aku contohin nih.” Kejadiannya cepat sekali! Reisha melangkah ke depan dengan gesit, ia berjinjit sedikit untuk mengimbangi tinggi Raihan. Ia raih leher Raihan yang tebal, merangkul dan bergelayut di sana dan dengan segera memejamkan mata lalu menyampuli bibir cowok idamannya itu. Raka langsung meloloskan rahang bawahnya jatuh tergantung ketika melihat apa yang terjadi di depannya sekarang. Kedua bola matanya seakan mau terjun payung dari tempatnya. Sedangkan Raihan sendiri? Jangan tanya. Jutaan desiran hangat di dadanya telah menguasai dirinya seketika bibir Reisha menyentuh bibirnya, tanpa penghalang sama sekali. Secepat kilat pikirannya konslet, membebaskan hatinya untuk menguasai raganya. Rasanya udara menyempit di dadanya, menyesakkan namun begitu hangat menohok, membuatnya lupa bernafas sejenak. Jantungnya mencelos melewatkan beberapa detakan. Sedetik benar- benar terasa setahun! Reisha benar- benar mengajarinya untuk berciuman dengan penuh perasaan. Ia bahkan menjepit bibir bawah Raihan yang bergetar, dan beberapa kali memainkan bibirnya dengan lincah, merasakan tiap mili bibir Raihan yang manis. “Gimana? Itu baru yang namanya ciuman!” Kata Reisha kemudian sesaat setelah ia menarik manis madu bibirnya dari bibir Raihan yang kini terasa dingin kembali. Raihan masih belum bisa berkata- kata, lidahnya kelu. Ia masih memejamkan mata, bibir merahnya masih terbuka sedikit. Akal sehatnya masih belum terinstall sempurna, sekujur tubuhnya masih kebas, masih mengecap sensasi bibir Reisha di permukaan kulit bibirnya. Raka juga masih kehilangan kata- kata, seakan setiap abjad yang telah ia hafal seumur hidup menguap begitu saja dari otaknya. “Sorry ya, ciuman kedua kamu buatku hehehe. Habiis, mau gimana lagi, kalo nggak gitu kamu nggak akan paham. Sorry banget yaaa….” Kata Reisha yang mukanya dibuat se-innocent mungkin. Raihan cuman mengangguk pelan, masih dengan tampang syok dan tatapan kosong kayak orang ling lung. “Oke, sekarang giliran kamu Ka. Kucium ya! Biar sama- sama paham.” Nggak habis Raka bengong kini ia sampai tak bisa bergerak dari tempatnya. Ingin ia melarikan diri namun kakinya terasa direkatkan dengan lem. Reisha mau menghampiri Raka namun Raihan memegang tangannya untuk menghentikannya. “Eh tunggu, kalo Raka biar aku yang ajarin ntar malem.” Kata Raihan pada Reisha. “Beneran nih? Kamu bener- bener udah paham??” Reisha memberinya tatapan ragu. “Yakin, aku bisa ajarin dia.” Kata Raihan sambil mengangguk mantap. Sebenarnya alasannya simple: ia tak mau membagi Reisha dengan yang lain, apalagi ciumannya yang sensasional tadi. Hanya untuknya, ya, hanya untuknya! “By the way, makasih ya buat tadi…” “Iya. Buat kalian apa sih yang enggak. Lagian ini juga demi drama ku hehehe.” Reisha tersenyum manis pada Raihan. “Yaudah kalo gitu lepasin.” “Apanya?” “Tanganku lah.” “Eh iya, sorry.” Raihan dengan kikuk melepaskan tangan Reisha yang daritadi tak terasa ia pegang. *********** “SUMPAAAAH MIMPI APA AKU SEMALAAAM!!” Raihan berseru di guling yang ia peluk sambil guling- guling di atas kasurnya. Raka sampai geleng- geleng melihat ulah sahabat straightnya ini. Malam minggu ini mereka habiskan lagi- lagi di rumah Raihan untuk berlatih drama. “Hahaha, tadi aku bener- bener syok lho. Nekad banget si Reisha. Kamu juga diem aja kayak robot hahaha.” Raka berkomentar. “Iyalah sob, aku kayak tersihir tadi. Sumpah bibirnya tadi… Ouuuh manis banget deh rasanya!” Raihan masih asyik dengan dunianya sendiri, dunia dimana hanya ada dia dan Reisha. Raka sama sekali ada di luar mereka tanpa ia sadar. “Hehehe senengnyaa. Bener kan sebenarnya si Reisha ada rasa sama kamu. Pasti kerasa banget tadi ketulusan cintanya ke kamu pas ciuman.” Tebak Raka. “Iya sih, kalo dari yang kurasakan, dia lembut banget nyiumnya, bener- bener pake perasaan, nggak sekedar ngajarin. Tapi… kok dia tadi mau nyium kamu juga ya?” “Ah paling itu cuman test buat kamu.” “Test??” “Iya, dan kamu terjebak hahaha. Ia tau kamu bakal menghentikannya. Karena ia tau kamu gak bakal rela. Dia tersenyum kan pas kamu pegang tangannya?” “Ah iya juga sih. AAAAAAAAAAAAAAAAAA! Aku bisa gila nih lama- lama!” Raihan bangkit terduduk di kasurnya sambil senyam- senyum sendiri, ia peluk gulingnya erat- erat. Wah udah gila nih si Raihan dimabuk asmara, pikir Raka. Tak bisa dipungkiri bahwa ia sedih melihat seseorang yang ia puja dan sayangi kini telah menemukan tambatan hatinya. Tak bisa disangkal bahwa sore tadi ia nangis habis- habisan di kamarnya sebelum datang ke rumah Raihan. Namun, ia ambil sisi positifnya. Yaitu ia harus rela meninggalkan Raihan dan mengikhlaskannya untuk hidup bahagia dengan Reisha. Toh pada penghujung minggu depan setelah class meeting ia akan hengkang dari kehidupannya di sini. Ia akan pindah ke bali. Surat- surat pindahnya telah diurusi keluarganya jauh- jauh hari tanpa sepengetahuan teman- teman sekelasnya termasuk Raihan dan Reisha. Wali kelas Raka pun sudah dihimbau oleh keluarga Raka untuk tidak membocorkan ini sebelum Raka benar- benar pindah dari sekolahnya, dengan alasan itulah yang diinginkan Raka, supaya teman- temannya tidak sedih. Wali kelasnya jelas awalnya menolak, biar Raka bisa pamitan dengan teman- temannya, namun orang tua Raka meyakinkan beliau bahwa segalanya sudah diatur oleh Raka sendiri, sehingga akhirnya wali kelasnya menurut saja. Transkrip nilai dan raport semesteran Raka akan dikirim ke Bali setelah semua berhasil terekap. Sebagian via jasa paket, sebagian via fax. “Jadii… kamu udah siap ngajarin aku??” Seketika senyum Raihan menghilang entah kemana. Ia memandang sahabatnya yang tengah duduk- duduk di kursi putar tempat ia biasa duduk untuk belajar. “Hmmm… aku coba deh, sini.” Ujar Raihan sambil menepuk- nepuk kasur di sampingnya. Raka mengangguk dan berjalan ke atas kasur. Ia duduk bersila di samping Raihan. Raihan melepaskan guling yang tadi ia peluk dan sekarang ia memutar badannya sejajar menghadap ke Raka. “Siap ya.” Raka mengangguk pelan. Ia menutup mata, pasrah. Ia rasakan tengkuk lehernya dipegang Raihan lagi, membuat sengatan listrik kecil menjalar dari tempat sentuhan itu sampai ke seluruh tubuh. Sekarang bibirnya dimanjakan dengan hangatnya bibir Raihan yang menyentuh lembut permukaan daerah sensitifnya itu. Ia menikmati saat Raihan menggerakkan bibirnya untuk menggamit bibir Raka, saat bibir Raihan bergerak kecil memainkan bibir Raka yang bergetar. Ingin rasanya ia tenggelam dalam tangis, tangis bahagia campur sedih. Sekarang ia bisa merasakan manis bibir Raihan sang pangeran hatinya, namun, ia tak akan pernah bisa dimilikinya. Hanya sejauh ini… ya, sejauh ini. Inipun ia rasa sudah cukup. Raihan tanpa ragu telah mencium dirinya. Walau ia tahu perasaannya hanya untuk Reisha, namun inipun sudah cukup membuatnya melayang meninggalkan bumi. Raihan mengakhiri momen manis Raka. Tangannya juga telah lepas dari tengkuk Raka. Raka membuka matanya dan mendapati Raihan tersenyum, ada semacam kebanggaan di senyumnya yang agak timpang. “Gimana?” Tanya Raihan. “Wow, hahaha… Gak kusangka Reisha bisa ngajarin kamu ciuman kayak gitu.” “Rasanya gimana?” tanya Raihan penasaran. “Mmm, geli- geli gimanaa gitu. Rasa hangat tetep ada sih. Yang jelas… sorry nih, mungkin kamu bakal bilang aku aneh, tapi aku menikmatinya tadi.” “Hahahaha, sehebat itukah?” “Nggak tau lah, orang aku nggak pernah ciuman. Emm… kamu nggak ngerasa jijik kan tadi?” tanya Raka hati- hati. “Nggak tau kenapa, tapi aku seneng- seneng aja tuh. Nggak jijik juga, kan sama sahabat sendiri. Ntah kenapa setelah dicium Reisha sore tadi segalanya jadi berasa gampang dan nggak begitu memusingkan lagi. Dia telah menunjukkan kesungguhannya buatku, bahkan ia menciumku untuk membakar semangatku. Jadi yaah, kucoba lakukan yang terbaik.” Ia menerawang sambil tersenyum. “Buat dia.” Ia menambahkan. “Baguslah kalau gitu. Aku juga ngerasa kamu sekarang nggak ragu lagi buat melakoni drama ini.” “Iya sih, awalnya aku ragu banget, malah nolak. Tapi ini demi Reisha, aku akan menunjukkan padanya kalo aku mampu mewujudkan angannya!” kata Raihan bersemangat. Mereka diam sejenak, membiarkan pikiran mereka berkelana sendiri- sendiri. Raihan dengan pikirannya tentang Reisha, tentang kapan ia bisa merasakan bibir Reisha lagi ketika ia telah resmi memilikinya kelak. Sedangkan Raka masih terjebak antara kesenangan dan kesedihan berada dengan Raihan sekarang. Pikirannya masih koyak seputar ciumannya dengan Raihan barusan. Begitu indah, itulah adanya. Namun juga begitu sakit, itulah kodratnya. “Yasudah, yok lanjutin lagi mengulang adegan yang lain.” Kata Raka sambil membuka- buka lembaran naskah di tangannya. Ia meneliti adegan yang sekiranya ia dan Raihan belum lancar memeragakannya. “Eh tunggu…” Raihan ngomong lagi menghentikan aktifitas Raka. “Hem? Ada apa?” “Kayaknya ciuman yang tadi belom sempurna deh.” Raka mengernyit. “Belom sempurna gimana??” “Kamu nggak bales ciumanku.” Kata Raihan polos. Raka malah curiga bahwa Raihan ingin bereksperimen dengannya. Masa iya sih? Gimana dengan isu ‘dia jijik melakukan adegan homo’ yang selalu ia gembar- gemborkan di awal??” “Harus ya?” Raka belum tuntas terperangahnya, namun ia memasang tampang biasa aja. “Biar perfect.” “Katanya cukup nempelin bibir aja? Cukup penonton tau?” “Yaaa… itu sih penonton. Mereka tak menuntut banyak… sedangkan Reisha?” “Duh… iya juga ya…” Raka terpikirkan itu juga. “Mau diulangi lagi?” “Mmmm, oke deh. Mau gimana lagi.” Raka berusaha keliatan tak tertarik. Raka kembali memposisikan dirinya berhadapan dengan Raihan. Raihan secara perlahan mulai mendekat ke Raka lagi. Tangan kanannya kembali ia letakkan di tengkuk Raka, namun kini ia menarik kepala Raka untuk mendekat ke arahnya. Bibir mereka bertemu lagi, namun kali ini Raka tidak menutup rapat bibirnya. Ia biarkan bibirnya lemas tanpa daya, membiarkan Raihan memainkan bibirnya dengan leluasa. Raihan mulai memaguti bibir Raka yang merah bersih, semerah bibirnya (mereka berdua bukan perokok). Beberapa kali Raihan mengulum kecil bibir bawah Raka dan Raka membalas menggamit bibir atas Raihan dan sesekali mengisapnya. Terdengar suara desahan kecil, entah milik siapa. Nafas mereka jadi terasa sedikit memburu. Kepala mereka sampai agak miring- miring untuk mengimbangi permainan lawannya. Mata terpejam sempurna. Mereka menikmatinya! Cengkraman tangan Raihan menguat di leher Raka, menariknya lebih lekat. Tangan Raka meremas sprei kasur Raihan. Badan Raihan mulai condong maju, seakan ingin menubruk tubuh Raka yang kian lengser. Mereka berciuman lebih lama dari yang ditargetkan di naskah drama. Tiba- tiba Raihan melepaskan kuncian bibirnya di mulut Raka. Matanya memejam rapat, seakan ia baru saja berusaha menahan gejolak yang ia rasakan dari mencium Raka barusan. Mereka terengah- engah, mata masih tertutup. Mereka membuka mata perlahan- lahan sembari mengatur nafas, dan segera membetulkan posisi masing- masing saat sadar bahwa mereka dalam posisi hampir menimpa satu sama lain. Mereka berdua tertunduk dalam posisi duduk masing- masing, saling memisahkan diri dengan jarak yang aman. “Hahaha…” Raka tertawa lemas. “Tadi itu… apa…” tanya Raka tak jelas ke siapa. “Aku… nggak tau…” Jawab Raihan, masih menatap sprei kasurnya. Kamar Raihan yang sunyi, menjadi saksi bisu ciuman mereka. Sebuah ciuman yang tanpa sadar mereka nikmati, tanpa sadar membawa mereka ke rasa nyaman yang terlarang. Apa- apaan ini?? Itulah yang ditanyakan Raihan berulang kali ke dirinya sendiri. “Kok bibir lo terasa manis ya Ka?” tanya Raihan kemudian tanpa aba- aba. Ia menatap sahabatnya itu yang balas menatapnya. “Nggak tau…” jawab Raka jujur… “Punyamu juga kok..” “Kok bisa ya… emm, rasanya hampir sama saat ciuman sama Reisha, namun yang ini…. aneh.” “Aneh… aneh gimana?” “Entahlah, aku juga menikmatinya… atau….” Raihan menghela nafas lalu lanjut ngomong “Aku benci mengakuinya, tapi, ciumanmu tadi lebih terasa… emm, gimana ya ngungkapinnya…” “Terasa apa?” Raka terus mengejar. Ia ingin tahu apa yang Raihan rasakan. “Terasa lebih ngena gitu… aku merasa nyaman… walau tak ada desiran di dada kayak pas aku dicium Reisha… tapi yang tadi itu… apa ya namanya, emmm,… ah tauk lah, intinya aku menikmatinya…” “Aku… juga kok…” Raka mengakuinya. “Apa ini artinya kita telah…. jadi….” Raihan tak sanggup melanjutkan omongannya. “Nggak!” Raka memotong cepat. “Kalau kamu mendasari ciuman tadi pakai cinta, itu salah. Yang tadi itu, anggep aja ciuman saudara… saudara karib.” “Saudara karib nggak ciuman kayak tadi Ka…” “Iya aku tahu itu…. Aku juga bingung…” Mereka terdiam lama. Sangat lama. Perasaan takut mulai menggelayuti Raihan dan Raka. Raihan takut ia mulai menikmati keintiman dengan sahabatnya sendiri si Raka, sedangkan Raka takut Raihan mulai terbiasa dengan aktifitas gay dan ia takut sobatnya itu terjerumus lebih jauh ke hal- hal seperti itu. Seingin- inginnya dia untuk memiliki Raihan, ia tak mau merenggut masa depan si Raihan yang normal. Ia tak mau sahabatnya menapaki jalan yang sama seperti yang ia tempuh. Cukup dirinya saja… ya, cukup dirinya yang menderita. Ia tak mau menyeret sahabat straightnya ini ke dunianya, walaupun ia begitu menginginkannya. Sial, Raka tak tahan untuk menangis! “Han, aku ke kamar mandi bentar ya.” Pamit Raka tanpa melihat ke arah Raihan. Ia menyembunyikan matanya yang hampir basah. Raka keluar dari kamar Raihan dan menuju ke kamar mandi, meninggalkan Raihan yang duduk dengan prahara di pikirannya juga. CUUUUURRRR Air dari keran mengalir deras. Raka menyerahkan wajahnya pada guyuran air itu, berharap air itu cukup ampuh untuk membasuh segala penat di pikirannya. Rambutnya sampai ikutan basah. Dingin. Ya, dia butuh itu. Dia ingin meluruhkan segalanya…. meluruhkan beban berikut air mata sia- sianya, yang bersatu mengalir bersama air keran yang mengucur itu, tersapu ke pembuangan. Terbuang, bersama hatinya yang perih. Raka kembali ke kamar Raihan setelah ia lap bersih wajahnya dan yakin tak ada sembab di matanya. Ia mendapati Raihan sedang tiduran. Matanya masih terbuka lebar. Terdapat kekusutan di wajahnya. “Kamu nggak apa apa kan Han?” Tanya Raka kemudian, seraya ikutan tiduran di samping Raihan. Tangannya bersedekap di atas dada. Mereka sama- sama memandang langit- langit. “Entahlah Ka…” “Masih kepikiran yang tadi?” “Iya…” Raihan menjawab lesu. “Apa kita bilang aja ke Reisha kalau kita tak mampu??” Raka mengusulkan. “Sudah terlambat… Sudah sejauh ini… Aku tak ingin angannya hancur berkeping- keping di depan mataku… pasti dia bakal nangis… aku tak bisa melihatnya menangis…” “Jadi … apa boleh buat…” “Iya… kita harus tahan…” Malam minggu itu, menjadi malam minggu sendu bagi mereka berdua.
Posted on: Sat, 09 Nov 2013 13:39:10 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015