WINTER IN TOKYO Part 1 (Likenya dong ^_^) ===PROLOG=== IA - TopicsExpress



          

WINTER IN TOKYO Part 1 (Likenya dong ^_^) ===PROLOG=== IA menyesap minumannya pelan dan memandang ke luar jendela. Salju mulai turun lagi. Ia berdiri di sana beberapa saat, memandangi butiran salju yang melayang-layang di luar. Ada yang hilang. Keningnya berkerut samar. Tentu saja ada yang hilang. Ia tahu benar ada sesuatu yang hilang. Hanya saja ia tidak tahu apa yang hilang itu. Dan apakah sesuatu yang hilang itu penting atau tidak. Ia menarik napas dalam-dalam. Yah... mungkin bukan sesuatu yang penting. Ia berputar membelakangi jendela dan memandang ke sekeliling ruangan. Aula besar itu mulai ramai. Orang-orang terlihat gembira, saling tersenyum, tertawa, dan mengobrol. Seorang kenalannya tersenyum dan melambai ke arahnya. Ia balas tersenyum dan mengangkat gelas. Tepat pada saat itulah ia melihat orang itu. Orang itu baru memasuki ruangan. Matanya tidak berkedip mengamati orang itu menyalami beberapa orang sambil tersenyum lebar. Aneh... Ia menyadari dirinya tidak bisa mengalihkan pandangan. Ia melihat orang itu mengambil segelas minuman dari meja bulat bertaplak putih sambil bercakap-cakap dengan seseorang yang berdiri di sampingnya. Kemudian orang itu mengangkat wajah dan memandang ke seberang ruangan. Tepat ke arahnya. Mata mereka bertemu dan waktu serasa berhenti. Aneh sekali. Otaknya tidak mengenal orang itu. Ia yakin ia tidak mengenal orang itu. Tetapi kenapa sepertinya hatinya berkata sebaliknya? Kenapa hatinya seakan berkata padanya bahwa ia merindukan orang itu? ===BAB 1=== MUSIM dingin sudah tiba dan menyelimuti kota Tokyo. Angin bertiup agak kencang malam ini. Ishida Keiko mengibaskan rambut panjangnya ke belakang agar tidak menghalangi pandangan sementara ia bergegas menyusuri jalan kecil dan sepi yang mengarah ke gedung apartemennya. Ia menggigil karena rasa dingin mulai menembus jaket dan sweter tebalnya. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah, minum secangkir cokelat panas, dan makan ramen1. Memikirkannya saja sudah membuat perut keroncongan. Dingni-dingin begini memang paling enak... “Hei!” Keiko terlompat kaget dan berputar cepat. Matanya terbelalak menatap wanita dengan rambut pendek dicat pirang manyala yang sudah berdiri di sampingnya. Begitu mengenali wanita itu sebagai Sato Haruka, tetangganya yang tinggal di apartemen lantai bawah, Keiko menghembuskan napas lega. “Haruka Oneesan2,” Keiko mendesah sambil memegang dada. “Oneesan membuatku terkejut setengah mati.” Sato Haruka mendecakkan lidah dan tersenyum lebar. “Kau terlalu gampang terkejut.” “Oneesan tahu aku selalu merasa waswas kalau berjalan sendirian di jalan sepi,” kata Keiko. “Dan aku punya alasan bagus untuk itu.” “Baiklah, baiklah. Aku minta maaf. Ayo, cepat. Aku sudah hampir beku,” kata Haruka sambil menggandeng lengan Keiko. “Kelihatannya barang bawaanmu banyak sekali. Kau bawa buku lagi hari ini?” Keiko mengeluarkan dua buku dari tas tangannya yang superbesar. Dua-duanya buku klasik terkenal. “Dua buku ini baru masuk hari ini, jadi aku orang pertama yang membacanya.” Ia bekerja di sebuah perpustakaan umum di Shinjuku dan ia sangat menyukai pekerjaannya. Sejak kecil ia memang sangat gemar membaca buku dan impiannya adalah bekerja di perpustakaan, tempat ia bisa membaca buku sepuas hatinya, tanpa gangguan, dan tanpa perlu mengeluarkan uang. “Oneesan mau membacanya?” tanyanya pada Haruka yang menatap kedua buku itu dengan kening berkerut. “Akan kupinjamkan kalau aku sudah selesai.” Alis Haruka terangkat tinggi dan ia melotot ke arah Keiko. “Buku bahasa Inggris? Yang benar saja,” katanya. “Kau tahu benar bahasa Inggris-ku sekadar yes, no, thank you, I love you. Terlebih lagi, aku tidak suka membaca buku. Otakku yang sederhana ini hanya bisa memahami manga3.” Keiko tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan. “Hari ini Oneesan pulang terlambat,” katanya. Haruka mengangguk. “Ya, tadi ada janji dengan teman,” sahutnya ringan. “Oh, Tomoyuki pasti hampir mati kelaparan sekarang. Dia sudah meneleponku sejak tadi dan bertanya kapan aku pulang. Entah kapan anak itu bisa dewasa dan berhenti merecoki kakaknya ini. Aku sudah tidak sabar menunggunya lulus kuliah dan menjadi pengacara. Saat itu aku yang akan merecokinya.” Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan gedung apartemen mereka. Sebenarnya bangunan yang disebut-sebut sebagai gedung apartemen itu tidak benarbenar mirip gedung apartemen dalam bayangan kebanyakan orang. Gedung itu hanya bangunan tua tingkat dua berukuran kecil. Setiap lantainya memiliki dua apartemen yang berhadapan. Tidak ada lift, hanya ada tangga yang tidak terlalu lebar. Di lantai dasar, apartemen 101 ditempati oleh sepasang suami-istri tua bernama Osawa, yang sekaligus merupakan penanggung jawab gedung. Apartemen di seberang mereka, nomor 102 ditempati oleh kakak-beradik Sato. Sato Haruka berumur 28 tahun—tiga tahun lebih tua daripada Keiko—dan bekerja sebagai penata rambut di Harajuku, sedangkan adik laki-lakinya, Sato Tomoyuki, adalah mahasiswa jurusan hukum. Keiko sendiri menempati apartemen 202 di lantai dua. Apartemen 201 saat ini kosong. Saat Keiko pertama kali pindah ke gedung apartemen ini lima tahun yang lalu, penghuni apartemen 201 adalah seorang arsitek muda yang sudah cukup lama tinggal di sana, kemudian tahun lalu sepasang suami-istri muda menggantikan si arsitek. Pasangan suami-istri itu menempati apartemen di seberang apartemen Keiko selama setahun dan bulan lalu mereka memutuskan untuk membeli rumah kecil kemudian pindah. Walaupun gedung itu sudah tua, kondisi apartemen di sana sama sekali tidak buruk. Ruangannya cukup luas kalau dibandingkan dengan apartemen lain pada umumnya, fasilitasnya memadai, dan biaya sewanya termasuk murah. Tidak mungkin menemukan apartemen seperti itu di pusat kota Tokyo. Setiap apartemen di sana memiliki susunan yang sama: dapur, ruang duduk yang mengarah ke balkon sempit yang berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian, satu bilik kecil khusus untuk kloset, satu kamar mandi kecil yang dilengkapi dengan mesin pemanas air, dan dua kamar tidur yang juga berukuran kecil. Apartemen 101 dan 201 memiliki balkon menghadap ke utara, sedangkan balkon apartemen 102 dan 202 menghadap ke selatan. Selain itu semua penghuni apartemen di sana adalah orangorang yang menyenangkan dan Keiko sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri. Ketika mereka tiba di depan pintu apartemen 102, Haruka berbalik menghadap Keiko. “Oh ya, apakah aku sudah tahu penyewa baru apartemen 201 sudah datang?” Mata Keiko melebar. “Benarkah?” Haruka mengangguk. “Aku sendiri belum pernah melihat orang baru itu, tapi Tomoyuki melihatnya tadi pagi.” “Laki-laki?” tanya Keiko. Haruka mengangguk lagi. “Kata Tomoyuki, orang itu datang sendirian dan langsung masuk ke apartemen 201. Tidak keluar lagi sejak saat itu. Aneh, bukan?” Kening Keiko berkerut samar. “Bukankah Tomoyuki-kun pergi kuliah pagi tadi? Bagaimana dia bisa tahu orang itu keluar lagi atau tidak?” Haruka menggeleng dan mengibas-ngibaskan tangan. “Tomoyuki memang pergi kuliah, tapi Nenek masih ada di rumah saat itu,” katanya, merujuk pada Nenek Osawa yang tinggal di seberang apartemennya. “Nenek juga tahu ada orang yang masuk ke apartemen 201 tadi pagi dan sepanjang hari Nenek sudah memasang mata dan telinga. Orang itu tidak keluar-keluar sampai sekarang.” “Begitu?” gumam Keiko sambil merenung. “Mungkin Kakek Osawa tahu siapa yang menyewa apartemen itu.” “Kurasa tidak,” sahut Haruka. “Kata Nenek, orang yang sejak awal datang untuk melihat keadaan apartemen dan mengurus semua tentang masalah sewa-menyewa bukan laki-laki ini. Mungkin dia memakai jasa agen atau semacam itu.” “Oh...” Haruka mengeluarkan kunci pintu dari tas tangannya dan tersenyum. “Baiklah, aku harus masuk dan memberi makan adikku yang manja itu. Selamat malam, Keiko.” “Selamat malam.” Keiko melambaikan tangan dan bergegas menaiki tangga sambil menggosok-gosok kedua tangannya yang terasa dingin walaupun sudah terbungkus sarung tangan. Ketika mencapai pintu apartemennya, ia berhenti lalu menoleh dan menatap pintu apartemen 201. Keningnya berkerut. Ia sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari balik pintu. Benarkah sudah ada yang menyewa apartemen itu? Kenapa tidak ada suara? Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di dalam. Tiba-tiba pikiran buruk melintas dalam benak Keiko. Bagaimana kalau penyewa baru itu jatuh sakit? Keiko cepat-cepat menggeleng untuk mengenyahkan gagasan itu. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Mungkin saja orang itu sedang tidak ada di rumah. Bisa saja orang itu keluar rumah ketika Nenek Osawa sedang tidak memerhatikan. Tapi tetap saja ada kemungkinan penyewa baru itu benar-benar belum keluar sejak pagi. Bagaimana kalau orang itu sakit dan terlalu lemah untuk bangun dari tempat tidur? Bagaimana kalau orang itu tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong? Bagaimana kalau orang itu menderita penyakit jantung dan sekarang sedang kesakitan? Bagaimana kalau ia jatuh pingsan di dalam sana? Bagaimana kalau ia sedang sekarat?! Keiko menggigil memikirkan kemungkinan itu. Kemudian ia menepuk pelan kepalanya yang tertutup topi rajutan putih. Ah, tidak mungkin. Jangan berpikiran buruk. Sejak kecil daya imajinasinya memang hebat karena terlalu banyak membaca buku. Mungkin seharusnya ia menjadi penulis buku fantasi. Tapi... Keiko maju selangkah mendekati pintu apartemen 201 dengan ragu-ragu. Ia menyapu poninya yang terpotong rapi dari kening dan menarik napas panjang. Kemudian setelah membulatkan tekad, ia menempelkan telinga kanannya ke pintu dengan hati-hati. Tidak terdengar apa-apa. Ia memutar kepalanya dan kali ini telinga kirinya yang ditempelkan ke pintu. Masih tetap sunyi senyap di dalam sana. Apakah ia harus memanggil Kakek Osawa? Rasanya tidak enak mengganggu Kakek malam-malam begini. Tapi... Keiko masih sibuk menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan ketika pintu itu mendadak berayun terbuka dengan satu gerakan cepat, membuat kepalanya yang masih menempel di daun pintu kehilangan sandaran dan tubuhnya jatuh ke depan. Ia sempat memekik kaget sebelum jatuh terduduk di lantai batu yang dingin. “Aduh, aduh, aduh... Kepalaku, aduh, pantatku...” Keiko mengerang sambil mengusap sisi kepalanya, sama sekali tidak sadar bahwa ia mengerang dalam bahasa ibunya. Dua-tiga detik kemudian, Keiko tersadar kembali dan langsung mendongak. Matanya terbelalak kaget, terpaku pada sosok jangkung yang berdiri di ambang pintu apartemen 201 yang terbuka. Awalnya Keiko tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang berdiri di sana karena bagian dalam apartemen itu gelap gulita. Namun kemudian ia bisa melihat lebih jelas ketika sosok itu maju selangkah dan sinar lampu di koridor meneranginya. Laki-laki bertubuh tinggi yang berdiri di sana terlihat berantakan. Rambutnya yang gelap awut-awutan, sweter hitam dan celana jins yang dikenakannya juga kelihatan lusuh. Keiko tidak bisa menebak umur laki-laki itu karena penampilannya sungguh kacau dan sepertinya ia belum bercukur hari ini. Keiko juga tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan orang itu. Terkejut? Heran? Marah? Beberapa saat kemudian laki-laki itu berkata dengan nada rendah dan serak. “Kau tidak apa-apa?” Keiko tidak sempat menjawab, karena mendadak saja suasana menjadi heboh. * * * Nishimura Kazuto terbangun dengan kepala pusing dan badan kaku. Hal pertama yang disadarinya adalah keadaan kamarnya yang gelap gulita. Ia melirik ke luar jendela. Langit di luar gelap. Sudah malamkah? Jam berapa ini? Ia mengerang, lalu memejamkan mata sejenak. Ia masih lelah sekali. Badannya menolak untuk bergerak. Pelipisnya berdenyut-denyut. Penerbangan dari New York ke Tokyo menguras tenaganya dan membuatnya jet-lag. Ia memang tidak pernah suka melakukan penerbangan jauh. Tenggorokannya kering. Ia harus minum sebelum tubuhnya dehidrasi. Kapan terakhir kali ia minum? Ia tidak ingat. Mungkin sewaktu di pesawat. Kazuto memaksa dirinya bangun dan duduk di tepi ranjang. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan untuk sedikit menyadarkan diri. Lalu perlahan ia bangkit dan menyeret kakinya yang berkaus kaki tebal keluar dari kamar. Sinar bulan dan lampu jalan yang masuk lewat pintu kaca balkon menerangi ruang duduk. Penerangan remang-remang itu sudah cukup bagi Kazuto. Ia tidak mau menyalakan lampu karena matanya bahkan belum terbiasa dengan penerangan samar yang ada, apalagi sinar lampu yang terang benderang. Ia haus dan ia baru menyadari bahwa perutnya juga lapar. Kapan terakhir kali ia makan? Sewaktu di pesawat? Ia ingat ia hanya makan sedikit di pesawat karena sama sekali tidak berselera. Pantas saja sekarang ia kelaparan. Kazuto baru akan berjalan ke dapur ketika mendengar bunyi gemeresik samar di luar pintu apartemennya. Ia menoleh dan melihat bayangan gelap terpantul dari bawal celah pintu. Matanya menyipit. Ada orang di luar pintunya. Bayangan di bawah celah pintu itu bergerak-gerak. Niat awalnya mencari minuman batal. Ia berbalik, menghampiri pintu, dan memasang telinga. Tidak terdengar suara orang berbicara, tapi sudah jelas ada orang yang berdiri di luar sana. Tangannya terangkat ke pegangan pintu, lalu dengan satu sentakan cepat, ia menarik pintu itu membuka. Pintu itu membentur sesuatu, yang disusul pekikan seorang wanita. Kazuto membuka pintunya lebar-lebar dan mengerjapkan mata, silau karena dihadapkan pada terangnya lampu di koridor. Kemudian ia melihat seorang gadis berambut hitam panjang tersungkur di lantai di hadapannya sambil merintih pelan. Sepertinya sentakannya membuka pintu membuat gadis itu terjatuh. Dan sudah pasti gadis itulah yang memekik tadi. Kini gadis itu mengucapkan serentetan kata yang tidak dipahaminya. Tiba-tiba gadis itu mendongak dan menatap Kazuto. Mata gadis itu terbelalak kaget. Sesaat Kazuto merasa gadis itu bukan orang Jepang. Mata gadis itu besar dan bulat, tidak seperti mata orang Jepang pada umumnya, apalagi tadi gadis itu mengatakan sesuatu dalam bahasa yang sudah jelas bukan bahasa Jepang. Kazuto bingung. Otaknya masih bekerja lebih lambat daripada biasa. “Kau tidak apa-apa?” Kazuto mendapati dirinya bersuara. Suaranya terdengar serak di telinganya sendiri. Dan ia mengatakannya dalam bahasa Jepang. Apakah gadis itu mengerti? Ia tidak sempat mendengar jawaban gadis itu, karena mendadak keadaan sekelilingnya menjadi riuh. Bunyi pintu-pintu membuka, lalu berbagai seruan yang terdengar tumpang-tindih. “Ada apa? Apa yang terjadi?” “Suara apa itu?” “Siapa yang berteriak?” “Ada pencuri? Pencuri?” “Keiko-chan? Kaukah itu?” “Keiko Oneesan?” “Tomoyuki! Ayo, kita naik.” “Mana tongkat bisbolku?” “Pakai dulu jaketmu.” “Jaketku?” “Bu, kau tunggu di sini saja.” “Hati-hati!” Dalam sekejap mata, tiga orang bermunculan di depan Kazuto. Ia hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata memandang dua pria dan satu wanita yang menyerbu koridor sempit di lantai dua itu. Mereka balas menatapnya dengan heran. Kini, selain gadis bermata besar yang masih terduduk di lantai, ada seorang pemuda bertubuh kurus berambut agak gondrong yang megacungkan tongkat bisbol, seorang wanita berambut pirang pendek, lalu seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih. “Keiko, apa yang terjadi?” pekik si wanita berambut pirang sambil menghampiri gadis yang terduduk di lantai. “Kau baik-baik saja?” Gadis yang dipanggil Keiko itu melongo sesaat, lalu cepat-cepat menjawab, “Oh, Haruka Oneesan. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.” Oke, gadis bernama Keiko itu bisa berbahasa Jepang, pikir Kazuto tanpa sadar. Sepertinya dia memang orang Jepang. Si pemuda kurus dan berambut gondrong membantu Keiko berdiri dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain masih mencengkeram tongkat bisbol dengan erat. Ia menatap Kazuto yang masih tertegun. “Anda siapa? Keiko Oneesan, apakah orang ini macam-macam terhadapmu?” Kazuto terkejut. Nah, tunggu sebentar! Macam-macam? Tunggu dulu... “Sabar, Tomoyuki,” sela orang tua berambut putih yang berdiri di samping si pemuda yang mengacungkan tongkat bisbol. Kakek tua itu menatap Kazuto dengan mata disipitkan, lalu berkata pendek, “Tolong perkenalkan dirimu, Anak muda.” Kazuto menelan ludah. Tenggorokannya sakit dan ia ingat tadi ia belum sempat minum. Ia berdeham sejenak, lalu berkata datar, “Nama saya Nishimura Kazuto. Saya baru pindah ke apartemen ini.” “Oh? Si orang baru?” tanya pemuda yang tadi dipanggil Tomoyuki. “Tadi pagi aku melihatmu datang.” Kazuto melihat tongkat bisbol yang tadinya terangkat tinggi itu kini diturunkan. Ia berkata, “Saya baru tiba di Tokyo dengan pesawat pagi tadi. Karena tidak enak badan saya langsung tertidur begitu tiba di apartemen. Saya minta maaf karena tidak sempat memperkenalkan diri lebih awal.” “Sudah kubilang orang baru itu tidak keluar-keluar sejak masuk tadi pagi,” kata wanita berambut pirang yang berdiri di samping Keiko. Wanita itu bertanya lagi dengan nada curiga, “Lalu sejak tadi pagi kau tidur terus di dalam?” “Benar,” sahut Kazuto. “Lalu apa yang terjadi di sini?” Si kakek tua kembali bertanya sambil memandang Kazuto dan Keiko bergantian. Perhatian Kazuto kembali terarah kepada Keiko yang terlihat serbasalah. Gadis itu bersedekap dan mengangkat bahu dengan salah tingkah. “Kakek, itu... Itu, ehm... Maksudku, aku hanya khawatir,” katanya terbata-bata. Ia melihat ke sekeliling dan menyadari orang-orang di sana masih menunggu penjelasannya, karena itu ia melanjutkan, “Aku dengar dari Haruka Oneesan,” ia menatap wanita berambut pirang itu sekilas, “sudah ada yang menempati apartemen 201 dan orang itu belum keluar dari kamar sejak pagi. Dan aku tidak mendengar suara apa pun dari dalam. Jadi kupikir...,” suaranya semakin lirih dan ia tersenyum kikuk, “...mungkin oran gitu sakit, atau, eh, jatuh pingsan.” Kazuto berusaha menahan senyum mendengar penjelasan gadis itu. “Lalu ketika aku sedang mencoba mendengarkan suara dari balik pintu, orang—eh, Nishimura-san tiba-tiba membuka pintu dan membuatku terkejut. Dan aku terjatuh.” Keiko berdeham di akhir penjelasannya. “Begitulah.” Seketika itu juga suasana tegang di koridor lantai dua mencair. “Ya ampun, Keiko. Kau membuat kami kaget sekali tadi,” kata wanita berambut pirang yang bernama Haruka sambil mengguncang lengan Keiko. “Maafkan aku,” gumam Keiko lirih sambil membungkuk beberapa kali, lalu melirik Kazuto sekilas dan membungkuk badan lagi. “Sebaiknya kita saling memperkenalkan diri,” kata Tomoyuki sambil memandang Kazuto. “Namaku Sato Tomoyuki dan ini kakakku, Sato Haruka.” Ia menunjuk wanita berambut pirang yang kini tersenyum manis kepada Kazuto. “Kami tinggal di bawah, di apartemen 102,” Haruka menambahkan. Kazuto membungkuk dan menyambut uluran tangan kakak-beradik Sato. “Mohon bantuannya.” “Anak-anak ini biasanya memanggilku Kakek Osawa,” si kakek tua memperkenalkan diri sambil tersenyum lebar. Walaupun kulitnya sudah keriput, Kakek Osawa ternyata masih memiliki deretan gigi yang rapi. “Aku tinggal bersama istriku di bawah.” Setelah itu pandangan semua orang terarah kepada Keiko yang tetap diam. Keiko tersadar dan buru-buru membungkuk dalam-dalam, lalu berkata dengan agak tergagap, “Namaku Ishida Keiko. Salam kenal. Aku minta maaf soal... soal kejadian tadi.” Kazuto tersenyum. “Tidak usah dipikirkan. Aku juga minta maaf karena membuatmu terkejut.” “Selamat bergabung bersama kami, Nishimura-san,” kata Kakek sambil menepuk bahu Kazuto. “Jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu-ragu mengatakannya.” Inilah pertama kali Kazuto menginjakkan kaki kembali di Tokyo setelah pindah ke New York bersama keluarganya bertahun-tahun yang lalu. Kali ini ia kembali bukan karena rindu pada kampung halaman. Ia hanya ingin pergi jauh dari New York untuk sementara waktu. Dan Tokyo adalah kota pertama yang terlintas dalam benaknya. Kini Kazuto memandang orang-orang yang berdiri mengelilinginya dan yang balas memandangnya dengan tatapan penuh minat dan senyum ramah. Tiba-tiba saja ia sadar ia takkan bisa mendapat ketenangan yang diinginkannya. Tetapi entah kenapa ia merasa hidupnya takkan pernah sama lagi. ****** BERSAMBUNG
Posted on: Thu, 11 Jul 2013 06:11:09 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015