arsip.gatra//artikel.php?id=138332 Fenomena ini menarik karena - TopicsExpress



          

arsip.gatra//artikel.php?id=138332 Fenomena ini menarik karena 'masjid' disimbolkan sebagai bagian dari sebuah sistem dalam pemerintahan Jawa. Sayangnya, harmoni keraton, masjid, dan pasar itu 'rusak' setelah ada pemberontakan PKI pada 1965 (Johns, 198). Robert R. Jay dalam bukunya, Religion and Politics in Rural Central Java, menunjukkan bukti-bukti menguatnya ortodoksi Islam setelah munculnya pemberontakan PKI. Asumsi Jay ini muncul setelah ia melihat dua masjid di Kelurahan Kebonsari, Jawa Timur. Keberadaan dua masjid ini, tulis Jay, merupakan indikasi cukup jelas mengenai kekuatan ortodoksi dan komunitas. Di Desa Tegalroso, Magelang, sebelum tahun 1965, hanya ada satu masjid dan tiga langgar. Masjid itu berada di Dusun Playon, sedangkan tiga langgar ada di Dusun Calonan, Petung, dan Gambas. Menurut Mbah Parto, sesepuh Desa Tegalroso, sekitar satu setengah bulan setelah PKI dituduh terlibat dalam pemberontakan September 1965, sebanyak 13 aktivis PKI di Tegalroso digelandang tentara. Karena takut dituduh sebagai simpatisan PKI, mereka yang tak pernah menunaikan salat kemudian rajin melaksanakan salat di masjid dan langgar. Orang-orang desa pun mulai belajar membaca Quran. Orang-orang yang dianggap paham agama dan fasih bacaan Qurannya diminta menjadi guru mengaji. Warga desa tidak hanya diajari salat, melainkan juga diminta ikut pengajian Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo. Dampaknya, bangunan masjid dan langgar pun bertambah, karena orang yang menunaikan salat dan mengaji juga bertambah. Di Dusun Calonan, yang sebagian warganya adalah orang NU, setelah peristiwa pemberontakan PKI, warga ramai-ramai membangun madrasah ibtidaiyah. Seorang warga desa, Pak Parjan, menginfakkan tanahnya untuk membangun madrasah itu. Menurut Pak Parjan, mengutip pendapat seorang kiai, 'Sebuah masjid bisa diumpamakan gudang beras, sedangkan madrasah digambarkan sebagai sawah. Gudang beras tidak akan berfungsi jika tidak ada beras yang akan disimpan di sana. Di madrasah, para murid dididik menjadi muslim yang baik. Jika banyak muslim yang baik, banyak pula orang yang mendatangi masjid. Jika satu masjid tidak mencukupi, mereka berusaha membangun masjid atau langgar yang lain. Apa yang dikatakan Pak Parjan itu ternyata benar. Madrasah dan masjid makin lama makin berkembang. Ketakutan warga desa dicap sebagai pengikut PKI menjadikan mereka mengirimkan anaknya ke madrasah, dan mereka pun rajin menunaikan salat di masjid. Semua ini meningkatkan pengaruh budaya santri. Salah satu keberhasilan pemberantasan PKI di desa-desa di Jawa adalah berkat kampanye rezim Orde Baru, yang menyatakan bahwa orang-orang PKI tidak bertuhan dan karenanya tidak boleh hidup di negara Pancasila. Atmosfer seperti inilah yang terjadi pasca-pemberontakan PKI, sehingga agama menjadi hal penting bagi setiap penduduk. Gelombang anti-komunis itu, tulis Clifford Geertz, akhirnya menimbulkan pengertian bahwa barang siapa yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui secara resmi oleh negara akan dicap sebagai ateis (Creating Islamic Tradition, 1991). Inilah yang menimbulkan dilema. Soalnya agama yang diakui resmi oleh rezim Orde Baru hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Agama Konghucu dan Yahudi, misalnya, tidak diakui. Dampaknya: orang-orang yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui resmi oleh rezim itu setiap saat hidupnya terancam karena bisa dicap sebagai PKI.
Posted on: Fri, 30 Aug 2013 11:05:41 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015