halaman 1 KUGAPAI CINTAMU By Ashadi - TopicsExpress



          

halaman 1 KUGAPAI CINTAMU By Ashadi Siregar ________________________________________ Ketika Flamboyan Berbunga SEPERTI rumput hidup manusia. Seperti bunga padang yang mulia, kata kitab suci. Lalu, dalam realita : rerumputan yang kuning digaring matahari akan kembali hijau di musim hujan. Cemara tak pernah kehabisan daun kendati angin tak bosan-bosannya meluruhkannya. Flamboyan sekali tempo akan gundul, tetapi kemudian kembali rimbun berbunga molek. Jadi, tak patut meratap jika nasib terpuruk ke dalam kekecewaan, sesekali. Ah, terlalu optimistisagaknya. Ya, walaupun mungkin berlebihan, begitulah bagi Tody. Lelaki muda ini sesungguhnya menerima rumput kering dari realita. Tetapi, dia berusaha agar di hatinya berbunga flamboyan cantik. Bunga flamboyan mekar di kepala gadis-gadis. Oh, bukan. Cuma pita-pita berwarna merah, kuning, atau hijau mengikat kucir-kucir rambut mereka, calon-calon mahasiswi yang sedang menjalani Mapram. Mapram atau perpeloncoankah namanya, bagi Faraitody tak perlu dipersoalkan. Soal nama, itu urusan menteri PDK. Dia cuma tahu, masa itu menggembirakan. Kegembiraan sesaat, dan kemudian terkulai layu dalam realita rumput kering. Dia menatap tubuh calon-calon mahasiswa yang duduk di lantai. Satu-satu wajah itu diamatinya. Dan, seperti tahun-tahun yang dulu di Kampus Gadjah Mada itu, dia melihat pancaran yang serupa. Pancaran wajah yang pasrah, patuh, dan penurut. Untuk beberapa hari ini, dia merasadirinya bisa menjadi penguasa. Hitam katanya adalah hitam yang harus dikerjakan cama-camiyang diperintahnya. Tetapi, kekuasaan yang hanya beberapa saat itu tak lagi menarik, sekarang. Tahun-tahun yang berlalu telah mengajarkan untuk jangan percaya pada kelembutan gadis-gadis mahasiswi baru itu. Selama masa penggojlogan, mereka akan semanis anak kelinci jinak. Tetapi, serentak mereka mendadak jadi putri kahyangan begitu perpeloncoan berakhir. Putri kahyangan yang senyumnya aduhai sinis, yang sombongnya allahurabbi. Memang ada satu-dua mahasiswa senior berhasil memetik mawar baru di kampus ini. Tetapi, yang dialami Tody: dia selamanya salah pilih. Dia mendekati gadis yang ternyata pura-pura melayani. Jadi sambutan untuk sekuriti saja. Seperti tahun yang lalu misalnya. Dia menerima ucapan. "Maaf, Mas Tody. Malam Inaugurasi nanti saya dijemput teman." Atau tahun sebelumnya, "Perkenalkan, Mas Tody, ini Mas...." dan seterusnya, dan seterusnya. Itulah realita rumput kering. Maka sekarang tak lagi ada niat mendekati seorang gadis pun. Dia mengikuti Mapram itu hanya sebagai panitia tak lebih. Dia bekerja dengan kerutinan yang pernah dialaminya selama bertahun-tahun menjadi aktivis di kampus itu. Dia mengawasi acara olah raga, perlombaan seni, mengawasi ini-itu tanpa ambisi bercinta. Pengalaman membuat dia sebagai introvert jera. Dia lebih banyak merenungi dirinya sendiri. Lebih banyak berbicara dengan diri sendiri. Apakah yang salah dalam diriku? Kenapa aku selalu mengalami kepahitan dalam berhubungan dengan gadis-gadis? Dia membandingkan dirinya dengan teman-temannya. Dengan Daniel, sebenarnya aku tidak kalah, pikirnya. Tapi, kenapa Daniel bisa memperoleh seorang gadis yang setia mendampinginya? Atau Fauzi. Dia juga punya pacar yang sangat manis. Kenapa dia bisa? Kenapa aku tidak? Secara fisik, aku tak terlalu buruk. Dan, Tody mengawasi bayangan dirinya di kaca jendela. Dia bertemu dengan mata yang lunak, dan profil yang lunak pula. Dagunya tidak sekasar dagu lelakilelaki yang lahir di daerahnya, di Nusatenggara Timur sana. Malahan terlalu halus. Maka dia ingat waktu kecil dulu. Kerap sekali dia diganggu teman-temannya hanya karena kehalusan wajah dan tubuhnya. Oleh karena itu dia kerap berkelahi, dan kerap dikucilkan teman-temannya. Sekarang, dia tidak dikucilkan oleh siapa pun. Tetapi, realita rumput keringlah yang dihadapinya dari hari ke hari. Cuma, tak seorang pun tahu. Tiap orang tetap mengenal dia sebagai aktivis mahasiswa yang ramah, yang selalu hadir dalam setiap kegiatan di kampus. Dalam kegiatan sekarang, dia lebih berhati-hati. Terutama dalam menghadapi gadis-gadis cantik. Dia tak mau sekali lagi terkecoh. Terkecoh oleh kejinakan gadis yang hanya sekadar mencari pelindung selamapenggojlogan. Boleh jadi lantaran hatinya kelewat lunak maka dulu gampang tertipu. Dan, itu tak boleh terulang lagi. Keledai pun akan malu tersandung berkali-kali. Apakah aku harus mengalami peristiwa serupa sampai tiga kali? Bah, konyolnya! Tody melirik lewat pintu yang terbuka. Seorang cami dibopong ke kantor panitia itu. "Semaput," kata Sartono, mahasiswa senior yang mengantar. Tody tak bergerak dari kursinya. Mukanya bereaksi pun tidak. Cami itu dibaringkan di divan yang memang tersedia di kantor itu. "Mana seksi kesehatan?" "Mungkin di WC," kata Tody datar. Sartono berlari keluar. Tody tersenyum. Dia ingat, tahun-tahun yang lalu dia pun akan sesigap senioren itu kalau menghadapi gadis-gadis yang mengalami kesulitan. Siapa tahu bisa memetik kelapa. Padahal, tak tahunya yang tertanam cuma mumbang. Tak lama kemudian Sartono muncul. "Tak ada di situ," katanya dalam napas terengah. "Katanya tadi mau buang air." Masih datar suara Tody. "Atau dia sedang makan di kantin. Bagi anak-anak kedokteran, makan dan buang air memang sama maknanya." "Bagaimana ini, Mas Tody?" Tody memperhatikan tanda "K" yang berarti keamanan di baju Sartono. "Apanya bagaimana?" "Cami ini...." "Tak apa-apa. Dia cuma kelenger karena panas matahari. Sebentar lagi dia akan bangun." Tody mengalihkan pandang ke tubuh yang terbaring itu. Seorang mahasiswi senior mengipasi cami itu. Dengan rambut yang dikuncir kecil-kecil dan mata terpejam, cami itu seperti anak kecil. Atau mungkin karena wajahnya yang mungil seperti boneka kurus itu? Tulang pipinya samar menonjol. Bibirnya pias, tetapi bentuknya bagus. Lekukan yang sering ngambek naga-naganya. Dan, hidungnya harmonis dengan wajah dan bibir itu. Bulu matanya yang lentik membuat kelopak matanya indah. Gadis yang mengipasinya, Widuri, anak tingkat tiga atau dua, Tody kurang tahu. Dia cuma pasti bahwa gadis itu sefakultas dengannya. Pernah dia pelonco. Wajah gadis itu rusuh. Mungkin dia mengkhawatirkan cami yang pingsan itu. Sesekali dia menatap Tody. Dan, Tody tak suka menerima tatapan yang menuntut itu. "Kipasi saja. Nanti dia akan sadar," kata Tody. Dia kembali membaca bukunya. "Mas Tody," kata Widuri takut-takut, "sebaiknya seksi kesehatan dipanggil." Tody mengangkat kepala. Sekejap mata mereka bersamplokan. "Dia tidak akan apa-apa. Aku sudah berpuluh-puluh kali menghadapi orang semaput." "Tapi, cami ini kelihatannya sangat lemah." Tody menggerakkan tangannya, dan Widuri tahu bahwa lelaki ini tak ingin diganggu. Gadis itu menghela napas dalam-dalam, dan mengalihkan pandangan kepada Sartono. "Apa yang kautunggu lagi, Ton?" Sartono mengangkat alisnya. "Carilah seksi kesehatan," lanjut Widuri. "Ke mana harus kucari?" Widuri menghembuskan napas kuat-kuat. "Ke mana harus kaucari?" ulangnya dengan bibir melekuk. "Cari ke mana saja." Sartono keluar. Lewat jendela gerutunya tertinggal. "Seksi kesehatan sialan! Enak-enak meninggalkan posnya. Tak punya tanggung jawab! Bangsat! Ini perlu dirapatkan. Ini skandal tugas!" "Jangan mengomel lagi, Ton!" Hampir berteriak Widuri. "Ya, Tuan, Putriii!" balas Sartono tak kalah kerasnya. Akibat teriakan-teriakan itu, cami itu menggeliat. Kemudian matanya terbuka. "Eh, dia sudah sadar," kata Widuri. Bola mata cami itu mengitar-ngitar di balik bulu matanya yang lentik. "Beri dia minum," kata Tody tanpa memandang. Cami itu duduk dengan bertumpu pada rangkulan Widuri. Dia minum sementara matanya takuttakut menatap seluruh ruangan. "Agak segar?" tanya Widuri. Cami itu mengangguk. "Istirahatiah." "Dia sudah cukup istirahat. Dia harus kembali ke barisannya," kata Tody dari sudut ruangan itu. Matanya tetap pada bukunya. "Dia masih lemah," kata Widuri. "Dia sudah kuat untuk bergabung dengan teman-temannya." "Nanti dia sakit." "Dia sudah cukup beristirahat waktu tidur tadi." "Dia pingsan tadi." "Di lapangan tadi mungkin dia pingsan. Tapi, di sini dia tidur." "Saya tahu pasti, dia pingsan." "Apakah orang pingsan terbangun mendengar teriakan?" kata Tody tajam. Widuri menatap cami itu. "Aku sudah berpengalaman menghadapi akal bulus cami-cami yang malas mengikuti acara-acara. Mapram ini untuk menanamkan disiplin. Setiap calon mahasiswa harus mengikutinya. Tak ada tempat untuk mereka yang bermanja-manja." "Adik sudah bisa bangun?" tanya Widuri. Cami itu mengangguk. Lalu dia bangkit. Dan, pemandangannya gelap. Seribu kunang-kunang mengerjap di matanya. Dia terduduk kembali di divan. "Dia masih lemah," kata Widuri. Nada protes pada suara itu menyebabkan Tody memandangnya. Widuri menunduk. "Dia belum bisa mengikuti acara-acara," katanya pelahan. "Apamu dia rupanya, Widuri? Makanya kaulindungi begitu?" "Saya tidak melindunginya. Saya cuma melihat kenyataannya." "Kau memang lemah! Teman-teman bilang, kau membuat cami-cami menjadi manja. Membuat mereka berani membangkang." "Anggota panitia banyak yang sewenang-wenang. Sudah tahu sakit, cami-cami masih dipaksa ikut," ujar Widuri sengit. "Mereka semua sudah pernah mengalami sendiri." "Karena itu seharusnya punya teposeliro. Jangan memaksa." "Tahun-tahun dahulu, masa perpeloncoan kami jauh lebih berat lagi. Sekarang sudah lebih enak, tapi masih mau bermanja-manja," kata Tody tak acuh. Cami itu menatap berganti-ganti, dari Widuri beralih ke Tody. "Jadi, lantaran dulu lebih berat maka sekarang orang sakit harus disuruh lari-lari di siang bolong begini? Coba diri sendiri, bagaimana rasanya lari di bawah matahari." "Itu �kan perlu untuk menggembleng." "Menggembleng bukan begitu caranya." "Dulu jauh lebih berat. Kami harus berjalan jongkok atau merangkak dengan mata tertutup. Ditendangi senioren. Disuruh minum kastroli. Disiram kencing. Dibanding dulu...." "Dulu, dulu, dulu!" tambah sengit suara Widuri. "Tapi, sekarang dia sakit. Dia tak bisa mengikuti acara-acara!" Tody terheran-heran melihat kemarahan gadis itu. Lebih heran lagi melihat matanya yang merah, hampir membanjirkan air mata. O, mungkin karena terlalu letih maka dia jadi pemarah, pikir Tody. Lalu dia bangkit. "Jangan melindungi orang-orang yang melanggar disiplin. Aku tahu pasti, cami ini tadi tidur. Dibandingkan dengan teman-temannya, dia masih beruntung. Sebab, dia bisa beristirahat beberapa menit sementara yang lain harus berpanggang hampir jadi sate." Tody mendekati cami itu. "Ayo, Nona, kembali ke kelompokmu!" Cami itu berusaha berdiri, tetapi baru tegak beberapa centi, kunang-kunang kembali menyergap matanya. Dia sempoyongan, dan Widuri merangkul kembali. "Lihat, dia sakit. Dia sakit!" kata Widuri. Cami itu merasa denyutan di kepalanya tak kepalang tanggung, dan udara yang menyungkupnya betapa pengab. Bibirnya yang mungil gemetaran. Dan, sesungguhnya, bukan udara pengab itu yang menggeletarkan bibirnya, melainkan kesakithatian di dadanyalah yang lebih terasa. Dia belum pernah diperlakukan sekasar itu. Belum pernah disewenang-wenangi seperti sekarang ini. Maka dia ingat rumahnya yang sejuk. Ingat pepohonan yang menaungi rumah itu. Ingat tempat tidurnya yang empuk. Ingat ibunya yang selalu membujuknya jika dia merajuk. Ingat sopir mereka yang akan patuh mengantar ke mana pun dia perintahkan. Adapun di sini, dalam keadaan pening begini masih juga dipaksa mengikuti acara di lapangan yang terik itu. Masih dipaksa menerima terkaman matahari yang tak kenal ampun di kulminasi langit itu. Kalau tahu begini, lebih baik tak usah jadi mahasiswa. Buat apa? Lulus universitas toh belum tentu senang. Cami itu terisak. Dia menekap mukanya. Widuri melontarkan pandang protes lagi. Ah, bukan sekadar protes. Dari mata itu mengalir air. Wah! Tody terbengong-bengong. "Kok jadi nangis?" "Tak punya perikemanusiaan!" gumam Widuri. Isak cami itu semakin keras. Tak punya perikemanusiaan? Bah, parah ini, pikir Tody. "Sudahlah. Cami ini boleh istirahat di sini." Widuri mengusap matanya dengan saputangan. Tetapi, cami itu masih terisak. Mata Widuri memerah. Lalu, ia berkata, "Istirahatlah dulu. Kalau Adik mau minum, ini minumanmu." "Terima kasih, Mbak, terima kasih," desah cami itu. Widuri melangkah ke pintu. "Kau pun perlu istirahat agaknya, Widuri," kata Tody. Gadis itu berhenti di pintu. Membalik. Maka Tody bisa melihat wajahnya yang bulat telur, dan kulitnya yang antara warna kuning ke sawo matang. Bibirnya yang bagus itu kemudian mencibir, "Huh!" katanya. "Wah," kata Tody. Widuri keluar. Tody termangu. Widuri, gadis yang waktu pelonco dulu bukan main patuhnya, bahkan bisa digolongkan penakut. Orang tuanya tinggal di desa. Selain cantik dan bisa melanjutkan ke universitas, ini berarti orang tuanya termasuk terpandang di desa itu. Tetapi, berada di tengah-tengah Kampus Gadjah Mada, gadis itu seperti rusa masuk kampung. Bingung. Takut. Waswas. Akibatnya, patuh pada perintah setiap senioren. Sekarang gadis itu tak sepenakut dulu. Dia ikut dalam kepanitiaan Mapram. Dia tak canggung mengatur acara-acara. Tetapi, rupanya dia tak kehilangan kelembutannya. Dan, tak kehilangan kesabarannya. Isak cami itu masih terdengar. Tody tak lagi melihat Widuri yang telah lenyap di balik gedung. Cami itu menekap mukanya. Dia duduk di pinggir divan seksi kesehatan. "Hei, berhenti menangis!" kata Tody. Gadis itu berusaha menyekap suara isaknya menyebabkan dadanya turun-naik. "Duduklah di kursi plastik itu. Kau bisa lebih santai." Gadis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang basah. Entah keringat atau air mata. Cuma, matanya yang merah menandakan bahwa dia betul-betul sedang parah menangis. Tody menunjuk kursi plastik di dekat divan. Gadis itu bangkit dan duduk di situ. "Nah, sekarang, siapa namamu?" "Centil," kata gadis itu hampir dalam bisik. "Bah, itu aku sudah tahu. Sudah kulihat atributmu itu. Nama aslimu, kumaksud." "Irawati." "Fakultas?" "Sastra." "Jurusan?" "Inggris." "Inggris? Coba omong Inggris." "Belum bisa." "Tapi, jurusan Inggris." "Belum belajar." "Di SMA �kan sudah pernah belajar? Bisa masuk jurusan itu tentu karena Inggrisnya lumayan." Cami itu diam. "Ayo, ngomonglah." Gadis itu tetap membisu dengan kepala tertunduk. Karena tetap seperti itu, Tody pun kembali menghadapi buku-bukunya. Dia membiarkan ruangan itu sepi. Di luar, matahari membuat tanah berpasir garing menguapkan sari-sari panas kemarau. Angin bertiup sesekali menerbangkan debu. Teriakan-teriakan senioren yang membentak-bentak cama-cami merayap masuk kantor panitia. Mapram sekarang jauh lebih ringan dari perpeloncoan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi, orangorang sudah mengeluh. Lantaran terjadi kemunduran generasi? Karena mahasiswa-mahasiswa baru sekarang lebih lemah mentalnya dibandingkan dengan mahasiswa sebelumnya? Atau karena mereka terbiasa hidup manja? Seperti cami ini. Tody mengangkat matanya. Rupa-rupanya gadis itu mengawasi Tody sejak tadi. Maka sekarang dia bagai kucing yang ketahuan mencuri ikan asin. Matanya ketakutan mengelak dari tatapan Tody. "Masih pening?" Gadis itu mengangguk cepat-cepat. "Minumlah dulu. Itu minumanmu di meja." Gadis itu minum seteguk demi seteguk. Sesekali matanya melirik Tody. "Kau sering sakit?" Gadis itu mengangguk. "Tapi, kau sering begadang, �kan?" kata Tody. Mata gadis itu terbelalak. Dan, mata yang berbulu lentik itu aduhai indah. "Aku tahu kau suka pesta. Betul tidak?" Gadis itu membisu. Tangannya mengusap-usap gelas. "Biarpun kuliahku di ekonomi, aku tahu psikologi. Dengan melihat kemanjaanmu, aku tahu kesukaan-kesukaanmu. Kau suka kehidupan yang selalu gembira, tapi kurang bertanggung jawab. Kau termasuk tipe orang yang mau bunuh diri kalau menghadapi badai kehidupan." Gadis itu - Irawati - tercengang. Dia sendiri tak pernah memikirkan: orang macam apakah dia. Dia hanya tahu menjalani kehidupan ini. Itu saja. Dia hidup dengan ayah-ibunya yang mencintainya. Itulah segalanya. Lalu sekarang seseorang mengatakan bahwa dia akan bunuh diri kalau menghadapi badai kehidupan. Ah, badai bagaimana yang dimaksudkannya? Irawati ingin melirik lelaki itu, tetapi dia ingat betapa dingin mata lelaki itu. Mata yang tak acuh. Alangkah tak nyaman berbenturan pandang mata yang tak bersahabat! Tody memperhatikan lima pita yang mengikat kucir kecil rambut gadis itu. Rambut yang legam mengkilat. Gadis itu memijit-mijit pelipisnya. Lewat jendela dia memandangi pucuk cemara yang melambai-lambai mengikuti terpaan angin. Langit biru bersih, gumpalan awan putih seputih kapas. Di Kaliurang, pada siang ini, pinus juga bergoyangan, dan langit pun membiru. Tetapi, udara pastilah sejuk. Di bungalow, dengan halaman dipenuhi bunga bermekaran dengan warna merah, kuning, putih, ungu, betapa nyaman. Tidak seperti di ruangan ini. Alangkah panas. Alangkah pengab. Karena matahari tak kenal ampun. Atau mungkin karena tatapan tawar lelaki itu? Lelaki itu, kenapa setawar itu memandang perempuan? Tidak kayak anggota panitia lainnya. Mereka berlomba-lomba memberikan perhatian. Ada yang pura-pura membentak, tetapi sebenarnya menunggu senyuman. Dan, lelaki ini? Memang tidak membentak-bentak. Cuma, dingin tatapannya membuat takut orang yang memandangnya. Siapa dia? Siapa dia? Mas Sartono, anggota keamanan tadi, takut kepadanya. Mbak bagian keputrian tadi pun segan-segan nampaknya di depan lelaki ini. Kursi berderit, Tody berdiri. Sekejap dia meliukkan pinggang untuk menghilangkan rasa pegal. Tanpa memandang, dia berkata, "Istirahat saja di sini. Kalau ada yang bertanya, bilang sudah aku izinkan." Irawati mengawasi punggung lelaki itu melalui lubang pintu. Kerikil di halaman terasa panas menembus sol sepatu. Tody berjalan tergegas melintasi halaman terbuka agar secepatnya tiba di bawah kerindangan pohon penaung. "Kalau ada yang bertanya, bilang saja sudah aku izinkan." Siapa "aku" itu? Apakah dia kira setiap orang sudah mengenalnya? Atau dia memang terkenal di kampus ini? Ya, mungkin aku yang tak mengetahuinya. Tentunya dia punya kedudukan penting dalam kepanitiaan sekarang. Penting atau tidak, sekarang tak jadi soal. Kesulitan mulai muncul. Biang penyakit itu datang. Seorang mahasiswa senior terlihat makin dekat oleh Irawati. Johan, mahasiswa tahun kelima. Lelaki ini sangat getol mendekati cami-cami. Boleh jadi, dia sangat percaya bahwa gadis-gadis akan takluk memandang senyumnya yang mirip senyum Omar Sharif. Irawati mengenalnya sebab pacar Johan dulu indekos di seberang rumahnya, Dan, Irawati juga tahu putusnya hubungan Johan dengan pacarnya. Apa penyebabnya, dia kurang jelas, Cuma, tindak-tanduk lelaki itu membuat Irawati mual. Ada kesan bahwa Johan tak segan-segan menggunakan kekuasaannya untuk mencapai maksud hati. Lelaki itu agresif sekali. Nampak sekali tanda-tanda bahwa dia memang berniat mendekati Irawati. Irawati berusaha membalas senyuman lelaki itu. Johan berdiri di pintu. "Kau sakit?" tanyanya. Irawati mengangguk. Johan meneliti seluruh ruangan. Ketika matanya singgah di meja Tody, dia bertanya. "Mana Tody?" O, kalau begitu si Dingin itu bernama Tody, pikir Irawati. "Mana ketua panitia itu?" tanya Johan sembari mengembalikan tatapannya pada Irawati. Irawati mengangkat bahu. Aduh, ulangi lagi gerak macam itu, kata hati Johan. Alangkah indah gerak bahu yang kemanja-manjaan itu. Dan, matanya yang hitam bersorot-sorot seperti akan merajuk; bibirnya yang siap-siap melekuk memiliki magnit, membuat siapa saja kepingin memeluknya, membujuknya dan menciumnya. Wah! "Ada apa dengan Mas Tody?" kata Irawati. Sekejap tadi dia mendapat cara untuk menghadapi Johan. "Kau kenal dia?" tanya lelaki itu. Irawati mengangguk. Lalu senyum. Senyum itu dibuat malu-malu. Maka Johan merasa dagunya gatal, dan dia mengusap-usapnya. "Kenal baik?" tanyanya lagi. Irawati menunduk lebih dalam, dan senyumnya lebih samar. Ah! Johan menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Lalu dia bersiul. Lagunya tak menentu. Dari sepotong lagu Beatles ke lagu Melayu. Dia mondar-mandir di seputar ruangan. Membuka spanduk yang tergulung, membacanya, lalu menggulungnya kembali. "Kalau sakit, kau boleh pulang, Ira." Irawati diam. "Biar kuantar," lanjut Johan. Tak ada reaksi. Johan melongok melalui jendela. "Hei!" teriaknya membelah panas. Seorang cama berhenti dan menoleh takut-takut. "Mana atributmu, he?" Cama itu gelagapan. Dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri lantaran telah lewat di dekat kantor itu. "Kau tahu atributmu itu tidak boleh pisah dari badanmu? Itu lebih berharga dari nyawamu. Mengerti?" Cama itu mengangguk dengan takzim. "Sekarang jelaskan kenapa kautanggalkan atributmu itu!" "Saya.... jatuh ke selokan tadi, lalu diizinkan mandi sebentar." "Hm." Johan seperti kucing yang mengawasi tikus yang menggigil di depannya. "Sekarang ambil nyawamu itu. Cepaaat! Kuhitung sampai lima kali!" Cama itu lari terpontang-panting. Johan mengurut-urut lehernya. Berteriak-teriak di bawah sungkupan udara yang panas sesungguhnya telah membuat tenggorokan mau pecah. Dia tersenyum menyaksikan kepala plontos yang berlari di lapangan itu. Dia berbalik, dan merasa dirinya he-man. John Wayne, Richard Burton, atau siapa saja yang hebat-hebat, itulah dia! Tetapi, matanya terbentur ke meja Tody. Dan, berkisar sedikit kepada Irawati yang sedang memperhatikannya. Gadis itu menatapnya hambar. Seorang gadis melihat Richard Burton atau Omar Sharif selayaknya mengagumi. Tetapi, gadis yang berpakaian lusuh dengan atribut Mapram ini sama sekali tak mengaguminya. Sialan! "Sudah lama kau kenal Tody?" katanya kemudian. "Ya, lumayan lama." "Sejak kapan?" "Entahlah. Pokoknya sebelum Mapram ini." "Pacarmu?" "Ah!" Irawati mengusahakan agar ketersipu-sipuan lebih kentara di wajahnya. Johan mengetok-ngetok meja dengan irama gendang lagu Melayu. Irawati membuka-buka halaman "buku suci" miliknya. Dari luar semayup terdengar suara nyanyian cama-cami. "Ayolah, kuantar kau pulang, Ira." "Waaah," Irawati melirik meja Tody. Johan mempergendang meja lagi. "Selama ini dia yang mengantarmu pulang?" Irawati tak menjawab. Dia cuma tersenyum simpul. "Pantas kau menolak terus." Johan menggaruk-garuk kepala lagi. "I�m sorry," kata Irawati. "Kok nggak dari dulu kaubilang?" Irawati mengipas-ngipaskan buku sucinya. Terdengar cericit burung gereja di bawah atap, serta gelepar-gelepar sayapnya yang menerjang-nerjang pinggiran atap. Bahkan burung gereja pun merasakan teriknya matahari sekarang, merasakan kepengapan udara. Maka Johan beranjak dan berkata. "Ah, panas sekali. Aku pergi dulu." Irawati menahan senyumnya. Sementara lelaki itu melintasi halaman yang panas, Irawati hampir tak bisa menahan keinginannya untuk tertawa. Johan merambahi semak setinggi betis. Dia berjalan melintasi di bawah perlindungan pohon cemara. Diam-diam Tody rupanya sudah menggarap bunga itu, pikirnya. Tapi, kapan dilakukannya? Selamanya dia sibuk mengurus jalannya Mapram ini. Bersaingan dengan lelaki itu tak terlalu berat agaknya. Orang yang selalu murung, bahkan ada yang bilang hatinya rapuh. Siapa yang bilang ya? Edu, Hasan, Zul, atau Fauzi? Ya, pokok ada yang bilang. Tody terlalu lemah sebagai lelaki. Sebagai pejuang mahasiswa, bolehlah. Tetapi, sebagai lelaki yang harus bertarung dengan seseorang dalam memperebutkan seorang gadis, nanti dulu. Berkali-kali dia sudah terpuruk. Sewaktu perpeloncoan dulu, dia berdekatan rumah dengan seorang pelonci. Mereka selalu datang dan pulang bersama. Karena persamaan nasib mungkin, mereka menjadi akrab. Tetapi, di akhir penggojlogan, pelonci itu digaet seorang senioren. Dan, Tody termangu. Lalu setelah dia menjadi senioren pula. Beberapa kali merasa tertarik pada seorang cami. Tetapi, reda begitu saja setelah perpeloncoan selesai. Tak tahu apakah memang Tody yang tak bisa membina hubungan yang diharapkan, atau memang gadis itu sudah punya pacar selama ini. Jadi, melayani Tody cuma sebagai teknik pengaman saja. Biar tak kena gojlok. Kalau begitulah keadaannya, betapa malang. Soal Irawati ini, setahu Johan, gadis itu memang tak punya pacar tetap selama ini. Cuma, betulkan dia sedang ada hubungan dengan Tody? Gadis semacam itu, bagaimana bisa ketemu hati dengan Tody yang murung berkepanjangan begitu? Irawati! Siapa yang tak kenal nama itu. Gadis
Posted on: Fri, 13 Sep 2013 14:27:48 +0000

Trending Topics



br>

Recently Viewed Topics




© 2015