kugapai cintamu 05."Ah, sebenarnya kau mau pergi, “kan?" kata - TopicsExpress



          

kugapai cintamu 05."Ah, sebenarnya kau mau pergi, “kan?" kata Tody. Gadis itu gelagapan. "Biar lain kali saja aku datang." Lalu Tody berdiri. "Jangan. Di sini saja, Mas Tody. Nggak apa-apa. Saya nggak mau pergi kok." Tetapi, Tody telah berdiri. Gadis itu pun berdiri dan menahan lengan Tody. Tody berpikir, andainya benar gadis ini mau pergi, aku harus mengantarnya. Tapi, dia bilang tak mau pergi, dan dia seperti menanti seseorang. Apakah dia bermaksud mengkonfrontasikan aku dengan pemuda lain? Bah! Maka Tody melangkah. "Jangan pergi, Mas Tody!" Tody menepiskan tangan gadis itu. Maka tas yang sedari tadi dipegang Irawati terjatuh. Isinya tumpah ke lantai. Gadis itu buru-buru memungutinya. Tody merasa menyesal. Lalu dia membantu memunguti benda-benda yang berserakan. Dan, dia tertarik pada beberapa benda. Seperti obat-obatan. Ada cairan dalam ampul. Dan, ini tablet bersampul kertas timah, bertuliskan Valium 10. Tody terpaku. Irawati berusaha merampas tablet itu dari tangan Tody. Tody menggenggamnya, tak mau menyerahkan. "Kembalikan!" Suara gadis itu terengah. Tody mengawasi wajahnya yang keruh. "Sebentar," katanya, lalu dia merebut tas gadis itu. Gadis itu berusaha merampas kembali tasnya, tetapi Tody menepiskan tangannya. Dia tuangkan isi tas itu ke meja. Bungkusan kertas jatuh dan serbuk-serbuk daun semak berhamburan. "Kembalikan!" jerit gadis itu. Tody melemparkan tas itu ke lantai. Irawati dengan gugup mengumpulkan benda-benda itu di meja. Dan, tergesa-gesa memasukkan ke tasnya. Napasnya terengah. Dia mendekap tasnya erat-erat. "Hm, morfinis," kata Tody pelahan. Gadis itu mengedikkan bahu, lalu melangkah ke arah pintu masuk. "Tunggu!" Tody menyemba bahu gadis itu. Irawati menatapnya. "Untuk apa barang-barang itu?" tanya Tody dingin. "Itu bukan urusanmu!" Suara Irawati ketus. "Katakan! Dari mana kauperoleh barang-barang itu!" "Bukan urusanmu!" jerit gadis itu. Tody mencengkeram bahu gadis itu kuat-kuat. "Katakan! Di mana sumber barang-barang terkutuk itu!" "Itu urusanku!" "Aku harus mengetahui siapa sumbernya. Sumber yang merusak orang-orang muda di kota ini. Katakan, dimana!" "Saya tak akan mengatakannya!" "Ayo, katakan!" Tody memencet bahu gadis itu. "Terkutuk! Lepaskan! Aduh, lepaskan!" Irawati menggeliat-geliat menahan rasa sakit di bahunya. "Ayo, dari mana kauperoleh ganja, morfin, dan valium itu! Aku harus tahu. Aku harus memberi tahu polisi!" Tiba-tiba gadis itu memutar kepalanya dan menggigit tangan Tody. Terpaksa Tody melepaskan cekalan tangannya. Irawati berlari masuk rumah, dan menghempaskan daun pintu. Tody terpaku sembari mengusap-usap tangannya yang tergigit. Gadis semacam inilah ternyata yang kupergauli selama belakangan ini? Kalau begitu, dia berkali-kali pingsan waktu Mapram dulu, oleh sebab biasa menggunakan narkotika. Mungkin lantaran masa pemakaian narkotiknya terlewati maka dia pingsan. Bah! Tody berjalan cepat-cepat. Gadis yang punya mata sendu, ternyata mata mengantuk yang ditayang ganja. Bibir yang menggigil itu, ternyata bukan karena takut menghadapi senioren, melainkan karena ketagihan narkotik. Bah! 102 Gadis yang begitu cantik, punya orang tua kaya dan menyayanginya, kenapa sampai terlibat dalam kebiasaan terkutuk itu? Apa sebenarnya yang merusuhi hatinya? Seseorang bisa terlibat narkotik biasanya lantaran hantaman-hantaman hidup yang menggoncangkan dirinya. Nah, gadis itu? Frustasi macam apa yang mau singgah kepadanya? Ah! Berkurung di kamar Asrama Realino. Itu yagg bisa diperbuat Tody masa ini. Dia tak punya gairah menjenguk gedung fakultasnya. Dia membenam diri dengan membaca novel-novel. Mulai dari cerita silat sampai poketbook Amerika dan Inggris. Lemari perpustakaan asrama yang selama ini diabaikannya, ternyata sekarang merupakan tempat yang paling menyenangkan. Untuk sementara, selamat tinggal, textbook yang memusingkan kepala di perpustakaan universitas. Tak ada yang mengganggunya. Cuma, sore itu, ketika matahari sangat bagus merahnya di langit barat, pintu kamar Tody tiba-tiba terbuka dengan kasar. Terkutuk! Tak ada yang berani kurang ajar di asrama ini. Selamanya, penghuni-penghuni lain akan mengetuk pintu terlebih dahulu. Anton cengar-cengir di ambang pintu. Tody melepaskan napas panjang. "Well?" tegur Anton. Tody cuma menggeser kursi untuk tempatnya duduk. "Bagaimana perkembangan cintamu?" Tody mengangkat bahu. "Down lagi?" Tody tak menjawab. Dia kembali membaca. Anton menyentakkan buku itu. "Kalau Tuan Besar lagi ngomong, jangan membaca dulu!" katanya. Dia mengamati muka Tody yang murung. "Frustrasimu lipat ganda rupanya." Tody tertawa pahit. "Kalau begitu, yuk, kita nonton." "Ah, malas." "Ke rumah cewek-ku?" "Malas." "Aku traktir di Restoran Singapura?" "Ah." "Ke gereja?" "Ah, jangan ganggu aku," kata Tody lemah. "Wah, gawat ini." Keduanya diam. Anton menjenguk keluar lewat jendela. Dan, dia berteriak mengejek pukulan mis pemain badminton di halaman. Kemudian dia kembali mengawasi wajah Tody. Tanpa mengangkat kepala, Tody bertanya, "Kau tahu banyak anak muda di Yogya ini yang terlibat narkotik?" "Yah. Ada kutahu. Tapi, tunggu dulu. Banyak yang kaumaksud itu, berapa orang? Setahuku cuma segelintir saja." "Kau tahu di antaranya ada mahasiswa?" "Yah. Ada yang sudah konsultasi ke biro kami. Sudah sembuh." "Sebaiknya kauselidiki di mana mereka memperoleh barang-barang itu." "Kenapa aku? Itu urusan polisi." "Apa salahnya membantu polisi?" "Tugasku menyembuhkan gangguan jiwa orang. Bukan intel." "Di mana tanggung jawab sosialmu?" "Alaaa, sok tanggung jawab sosial segala. Kalau aku berbuat sebaik-baikya dalam tugasku, itu sudah bertanggung jawab sosial namanya. Tanggung jawab sosial bukan berarti harus jadi intel polisi. Aku memang tahu sejak lama ada beberapa orang yang suka pakai morfin. Tugasku menyembuhkan gangguan kejiwaan mereka, bukan menangkap mereka, atau menyerahkannya pada polisi. "Tapi, selama sumber barang-barang itu belum diberantas, masih akan banyak orang-orang muda yang rusak," kata Tody. "Tugas polisi atau Kopkamtib memberantasnya." "Mereka mungkin belum tahu." "Itu gunanya intel, informan, atau segala macam yang serem-serem itu. Tugasnya mencari itu, bukan cuma nunjukin gagang pistol di balik bajunya. Bukan nakut-nakutin rakyat kecil." "Karena itu kita terpanggil untuk membantu polisi." "Wah, wah, wah. Kayak seruan penyebar Al-kitab saja. “Kan sudah ada pembagian kerja? Kenapa harus sibuk di luar bidang kita?" "Ini untuk keselamatan masyarakat," kata Tody. Anton memegang bahu Tody dan berkata, "Kau seorang modernis Tody?" "Kuharap begitu." "Nah, kau tahu ciri masyarakat modern?" "GNP tinggi...." "Huh! Apa GNP? Oh, ya, kau anak ekonomi. Kalau orang sospol akan bilang begini: modern, kalau dalam sistem masyarakat kita, ada sistem-sistem dengan spesialisasi yang tegas, dan masing-masing bergerak dengan karakteristiknya sendiri sehingga tercipta mekanisme untuk hidup lebih baik bagi individu-individu dalam masyarakat. Semakin modern, semakin tegas pula masing-masing spesialisasi itu. Hm, agak ilmiah juga. Jadi, kalau polisi, dia harus berlaku sesuai dengan sistem spesialisasinya. Kalau pejabat ya jangan memborong. Atau, jenderal jangan jadi pengusaha. Itulah konkritnya!" Tody diam. "Bukan aku tak mau membantu polisi. Tapi, bantuanku adalah dengan sistem yang ada dalam spesialisasiku. Kalau dibilang harus membantu pembangunan, misalnya, “kan bukan berarti wartawan harus ikut menguruk semen. Dia bekerja di bidangnya, sesuai dengan sistem spesialisasinya. Begitu juga spesialisasi lainnya." Tody membisu. Anton tertawa kecil. "Kayak kuliah ya?" Beberapa saat mereka diam. Di luar, penghuni asrama berteriak-teriak menyemangati permainan badminton yang terus berlangsung. "Tapi, omong-omong, kenapa kau tertarik soal itu?" "Yah," kata Tody menunduk. "Sebab, baru-baru ini aku tahu ada sorang mahasiswi juga terlibat." "Eh, itu hebat. Siapa?" "Irawati," kata Tody hambar. Ludahnya terasa pahit. "Bah!" Anton menggaruk-garuk kepalanya. "Bagaimana bisa?" katanya kemudian. Tody cuma mengangkat bahu. "Dia dari keluarga yang pecah?" tanya Anton lagi. "Setahuku tidak. Ibunya sangat lembut. Baik sekali." "Dari seorang ibu yang baik, bagaimana bisa ada gadis sebrengsek itu?" Tody termangu-mangu. "Ah, sudahlah! Lupakan dia. Biar orang tuanya atau polisi yang mengurusnya." Tody tak jua keluar dari ketermenungannya. "Atau, kau masih mencintainya?" tanya Anton. Tody mengeluh halus. "Apa cinta itu sebenarnya, Anton?" Dan, bayangan Murtini yang menangis di depannya berkelebat di kepala Tody. Pun, rumah desa yang dinaungi pohon sawo itu. Anton tertawa-tawa kecil. "Sudah berkali-kali kubilang, jangan sentimentil!" katanya. "Ayo, kita jalan-jalan. Sesekali begadang apa salahnya?" Lalu dia menyeret Tody. "Banyak melamun akan berakibat dua kemungkinan. Kalau tidak jadi pengarang, ya jadilah orang gila, Karena kau tak punya bakat menulis, maka kau bisa senewen. Ayo!" Kemudian mereka menyusuri jalan ke arah selatan. Anton menepuk-nepuk kantong celananya. "Kebetulan aku baru terima honor dari risetku. Nah, kita bisa minum-minun bir dan makan panggang ayam, sambil membicarakan keadilan sosial buat rakyat yang makan gaplek. Sesekali menikmati ironi kayak pejabat-pejabat penting “kan lumayan?" katanya. Mereka tak mempedulikan serombongan orang muda yang mendatangi mereka dari arah depan. Tepat lima langkah di depan mereka, orang-orang muda ini berhenti. "Nah, ini dia!" kata seorang pemuda gondrong. "Hantam saja, Yan!" kata temannya. "Tunggu. Kita tanyai dulu," kata Yanuar seraya mengibaskan gondrongnya. Lalu dia mendekati Tody. "Kamu yang mengancam Irawati?" tanyanya. Darah Tody berdesir. "Kamu yang mau melaporkan Irawati pada polisi?" Tody menggigit-gigit bibir. Anton mengamati kelima anak muda itu. "Nah, memang dia. Lihat saja, dia gugup," kata Yanuar, "Sikat saja!" kata temannya. Cepat sekali kelima anak muda itu menerjang. Pukulan sisi tangan Yanuar hinggap di mulut Tody. Kaki seseorang masuk ke perut Anton. "BaJingan!" sungut Anton sembari bangun dari kejatuhannya. Tody mundur sambil mengusap bibirnya yang berdarah. Lalu, terjangan berikutnya disambut oleh keduanya dengan jurus karate dan kempo. Perkelahian tak bisa dielakkan. Dua melawan lima. Tetapi, kelima anak muda itu dalam beberapa jurus sudah tersengal-sengal napas mereka sehingga Anton dan Tody dapat bolak-balik mengirimkan pukulan dan tendangan. Kelima pemuda itu bergelimpangan. Tody meludahkan darah dari bibirnya yang perih. "Edan!" katanya. Lalu dia menyusul langkah Anton. Seperti tak terjadi apa-apa, Anton berjalan. Anton tertawa begitu Tody menjejerinya. "Tody, aktivis kampus, bertarung dengan brandal-brandal kota. Kalau difilmkan, wah, hebat!" katanya. Tody menggumamkan gerutuan. "Sempat juga yokogeri bangsat itu ke perutku. Bajingan!" sungut Anton. Tody menepis-nepis debu dari celananya. "Gara-gara cewek," kata Anton. "Bikin malu," kata Tody. "Tapi, kempomu masih tangguh. Digabungkan dengan karateku, kita bisa jadi pendekar dalam film silat," kata Anton. "Ah, taik film!" gerutu Tody. "Bisa sakit dada si Gondrong yang kena chudantsuki yang kuberikan." "Sudahlah. Kita jadi minum bir nggak?" kata Tody. "Tentu saja. Bahkan cari tukang pijit halus pun aku siap." Mereka berjalan lebih bergegas. Betapapun kepinginnya Tody bertemu dengan Widuri, itu sudah tidak mungkin lagi. Sayang keinginan itu terlampau terlambat datangnya. Setelah gerombolan teman Irawati memukul mulutnya, setelah menenggak bir dan menerima advis Anton, barulah keinginan itu timbul. Tetapi, Widuri tidak lagi berada di Yogya. Dia telah kembali ke desanya. Kepahitan beruntun datang pada gadis itu. Empedu paling amis yang disodorkan realita, berkali-kali harus dia telan. Tak terelakkan. Dia menangis tanpa suara selama berhari-hari. Satu-satunya kata yang terus berputar hanyalah: karma, karma, karma! Karma apakah yang kualami ini? Karma apakah yang menimpaku ini? Dia tak mampu melihat jahatnya realita. Dia hanya bisa mencari kejahatan pada dirinya. Maka dia tak menemukannya hingga dia menerima surat dari ayahnya. Dia harus pulang ke desanya. Itulah rumput semak yang meranggas dalam hidup Widuri. Sekarang tak ada lagi kecerahan. Segalanya berbaur dalam bayangan kelabu. Segalanya. Kecuali mata Suster Maria yang bening. Suster Maria yang tua, yang mencium pipinya sebagai ucapan selamat berpisah di stanplat bus. Suster Maria yang mengantarkannya hingga bus lenyap dari pandang matanya. Tak akan lenyap mata perempuan tua berkerudung dan pakaian putih itu, mata yang berlinang itu, dari ingatan Widuri. Dan, sekarang Tody layak melagukan nyanyian murung sepanjang hari. Di matamu kujenguk jendela yang baur. Karena mataku kabur. Kubiarkan sinar kasihmu terbenam pilu. Karena hatiku beku. Pangganglah aku dengan kesengsaraan, pangganglah aku dengan penyesalan. Biar diriku terlantar! Memang, Tody akan telantar. Dia harus menghadapi hidup yang me-rumpun-semak-meranggas pula. Daun-daun hidupnya kering, maka yang tinggal hanyalah ranting-ranting runcing mencuat menahan teriknya matahari. Ah, apakah hidup ini memang rentetan nasib demi nasib? Tody mengeluh sembari melipat surat dari ayahnya. Harga ternak sedang naik di Jawa maka ayahnya mempertaruhkan ternak-ternak mereka yang terbaik untuk dikirim ke Surabaya. Tetapi, badai telah menelan ternak-ternak itu. Sederhana sekali memang. Siapa yang bisa menghalangi badai Lautan Hindia yang menerkam laut di sepanjang Nusa Tenggara? Siapa pun tak akan bisa. Satu-satunya yang bisa diperbuat, sebenarnya, adalah tidak mengirim ternak itu dengan kapal yang kecil. Tetapi, semuanya telah terjadi. Yang tinggal sekarang hanyalah ternak-ternak kerdil yang membuat setiap peternak berpengalaman murung. "Tody, apa boleh buat. Kau terpaksa berhenti sekolah. Ayah tidak bisa lagi mengirimkan biaya. Weta-mu Margriet pun sudah Ayah panggil pulang. Kita miskin sekarang. Lebih miskin dari kerabat kita yang kaukenal hidupnya susah selama ini." Itu kata ayahnya dalam surat. Tody menelan empedu pahit itu. Weta-nya (adik), Margriet, sudah dipanggil pulang. Tetapi, dia toh hanya adik perempuan. Aku, seorang lelaki. Apakah aku harus kembali ke kampung karena ketiadaan biaya sekolah? Apakah harus ditinggalkan waktu enam bulan lagi ini? Harus meninggalkan skripsi yang terbengkalai ini? Lelaki muda itu menghembuskan napas getir. Lalu, dia menceritakan kesulitannya kepada dekan fakultasnya. Dekan sekaligus kosultannya dalam riset untuk skripsi. "Kenapa kau tak kerja saja?" kata dekan itu. "Saya sudah coba melamar ke beberapa perusahaan, tapi sia-sia. Malahan mental saya jadi rapuh lantaran seringnya menghadapi tulisan TIDAK ADA LOWONGAN di tiap kantor. Tulisan itu seperti mengejek ke mana pun saya pergi. Lebih-lebih jika menghadapi ucapan-ucapan bagian personalia yang saya datangi." "Ke perusahaan mana saja kau sudah melamar?" Tody menyebutkan satu per satu nama perusahaan itu. "Semua menolak?" "Ya." "Apa alasannya?" "Karena saya tidak punya pengalaman kerja." "Apakah ijasah sarjana mudamu tidak mereka hargai sama sekali?" "Ah," keluh Tody. Dia menunduk murung. Lelaki tua itu mengamatinya lekat-lekat. "Kau betul-betul mau kerja?" "Yah," desah Tody. Dekan itu berpikir-pikir. Kemudian katanya. "Aku punya teman baik. Perusahaannya ada beberapa buah di berbagai kota. Kau bisa mencoba ke situ. Bawalah rekomendasiku." Jantung Tody gemetaran saking girang. Gedebur-gedebur di dadanya tak henti-henti sementara menunggu dekan itu menulis katabelece. Jika musim hujan tiba, rumput semak yang meranggas akan hijau kembali. Selembar katabelece telah mengubah kehidupan. Apakah bedanya diriku yang sekarang dengan diriku yang dulu? Apakah beda otakku yang sekarang dengan otakku yang dulu? Masih yang dulu jua. Tetapi, begitu berubah sikap pegawai perusahaan itu, pikir Tody. Lebih-lebih bagian personalia itu. Tiap kali menatap muka orang itu, Tody langsung ingat senyuman sinis waktu pertama kali Tody memijak kantor itu. Dan, sekarang muka itu begitu gugup begitu melihat Tody keluar dari kamar direksi dan menyodorkan perintah penempatannya di kantor itu. Langsung perintah dari presiden direktur! Tak perlu lagi liku-liku yang menyakitkan hati. Dengan selembar katabelece, itulah segala-galanya teraih! Mungkin karena rekomendasi dekan itu maka Tody dipercaya oleh presdirnya. Presdir itu jarang datang ke kantor. Dia harus membagi waktunya untuk perusahaan-perusahaan yang lain di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Bulan ketiga Tody di kantor itu, dia merasa telah terangkat ke atas dengan mendadak. Sebab, presdirnya memintanya melaporkan perkembangan perusahaan itu selama presdirnya itu tak ada. Tody menyukai lelaki gemuk yang tak pernah lepas dengan cerutu di tangannya itu. Presdir itu bagai seorang ayah layaknya. Suaranya yang berat, matanya yang selalu seperti bercanda, dan yang gampang memekarkan senyuman itu, adalah bayangan ayahnya bagi Tody. Ah, andai saja lelaki yang duduk di kursi menghadap meja jati besar, berbaju putih dengan dasi rapi itu ayahnya! Tetapi, dia bukan ayahnya. Ayahnya adalah lelaki yang suka berpakaian warna gelap, merokok lintingan, dan kalau sore hari selamanya berada di rumah. Akan halnya presdir ini, adalah tipe bisnismen tulen. Sibuk sepanjang hari. Bepergian tak henti-hentinya. Hanya sebentar duduk di kantor, itu pun untuk menginterlokal perusahaannya yang di kota lain. Melompat dari kesibukan yang satu ke kesibukan yang lain. Lelaki semacam itu jelas bukan ayah yang ideal. Sebagai boss, memang boleh. Tody patut menyerap vitalitas lelaki tua itu. Cuma, kini presdir itu dihadapkan pada kericuhan dalam rumah tangganya. Kericuhan yang datang dari anak gadisnya. Kemelut menjaring keluarganya. Dia sedang menghadapi air mata istrinya, serta tangisan anak-gadisnya yang tak henti-hentinya. Kini dia menyadari bahwa kesibukannya membuat istrinya harus memikul beban yang berat selama ini. Istrinya kesepian di rumah yang besar. Seharusnya, di hari tua ini dia setia menemani istrinya di rumah. Seharusnya dia menikmati mekarnya bunga-bunga yang dirawat istrinya, dan melihat bunga yang tumbuh di dalam rumahnya, yakni anak-gadisnya yang kian dewasa. Apakah yang kucari selama ini dengan kesibukan yang mendera? Bekerja tak berkeputusan. Untuk apa? Uang? Untuk kebahagiaan keluarga? Uang telah terkumpul selama ini. Anak-anak lelaki sudah disekolahkan semuanya. Sekolah ke Amerika, Jerman, atau ke mana saja. Semuanya telah hidup memuaskan, menimbulkan rasa iri keluarga-keluarga Yang lain. Betapa bahagianya keluarga itu. Punya anak-anak lelaki yang semuanya sukses karir. Itu kata orang. Tapi, kenapa aku sendiri tak pernah puas? Kenapa aku tak jua berhenti bekerja? Presdir itu diam-diam berdesah di kamar kerjanya. Presdir itu termangu. Tody mengira, dia sedang memikirkan perusahaan lain miliknya. Dan, lelaki tua berambut putih itu tetap menyudutkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Kenapa aku tak memulai kehidupanku yang tua dengan tenang di rumah? Kenapa? Oh, karena aku takut menjadi tua! Aku takut mati sebagai kakek-kakek pikun. Karena itu maka aku harus memelihara diriku sebagai lelaki perkasa, penuh vitalitas. Sekali aku berhenti bekerja, aku tak ubahnya kakek-kakek pensiunan. Alangkah mengerikan. Aku takut menjadi tua. Ya, itulah soalnya! Tapi, bagaimana dengan istriku? Dia menjadi tua begitu cepatnya. Lebih-lebih masa belakangan ini. Kerut-kerut di pinggir matanya sangat kentara. Seperti sentakan saja ketuaan itu nampak di wajahnya. Sedang aku....? Lelaki tua itu mengusap mukanya yang bulat. Ah, aku egois! Aku membiarkan istriku menjadi tua seorang diri. Seharusnya kami menjadi tua bersama-sama. Kami, seharusnya sudah menjadi kakek-nenek yang menatap cucu-cucu bermainmain. Kapankah aku memperhatikan anak-anakku? Kalau anak-anak lelakiku sukses, aku akan memetik kebanggaan. Inilah anak-anak bisnismen tulen yang bisa mengendalikan perusahaan raksasanya dan pula bisa mendidik anak-anaknya. Aku akan merasa diriku sebagai Kennedy Tua yang mendidik Kennedy-Kennedy Muda jadi orang besar semua. Aku pun mencibiri pengusahapengusaha dan pejabat-pejabat tinggi yang keluarganya mengalami dekaden. Toh keluarga mereka mengalami kehancuran, dan keluargaku tidak. Cuma, berkat pendidikankukah itu? Lelaki tua itu mengeluh. Dia mengusap-usap telinganya. Istriku! Dialah yang mendidik anakanakku selama ini. Aku hanya menyediakan materi. Adapun jiwa mereka, istrikulah yang mengisi. Dan, dia telah berhasil. Dia telah melahirkan dan mendidik anak-anak lelaki yang kini dikagumi orang banyak. Cuma, kenapa sekarang dia gagal mendidik si bungsu yang paling disayanginya? Kepada sibiran tulang yang dimanja itu, kenapa didikannya gagal? Apakah memang benar bahwa anak-anak lelaki harus dididik ibu, sedang anak-anak perempuan harus diperhatikan oleh ayah? Kalau benar, berarti aku telah lalai. Siapa pun tidak kudidik dengan baik. Bahkan satu-satunya anak perempuan juga tidak. Aku hanya membebani perempuan yang kucintai sejak gadis hingga menjadi nenek-nenek itu dengan kemelut rumah tangga, keluh lelaki tua itu tersekap. Tak pernah diketahui oleh Tody bahwa bossnya sedang mengalami kegalauan pikiran. Sebab, dia tidak tahu bahwa lelaki tua yang gemuk itu punya anak perempuan bernama IRAWATI! Tody gugup menerima panggilan dan presdirnya. Lelaki tua itu tidak masuk kantor. Tody harus datang ke rumahnya. Was-was berkecamuk di dada Tody. Bukan hanya alamat rumah itu yang merusuhkan hatinya, melainkan juga persoalan yang sedang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Persoalan kepercayaan. Padahal - inilah yang mengganggu tidurnya selama beberapa hari ini - dia tak bisa memelihara kepercayaan itu. Dia sendiri tidak tahu bagaimana segampang itu dia menduduki jabatan yang sangat meriskir kepercayaan itu. Jalan untuk menuju kedudukan itu seperti jalan yang baru saja diresmikan menteri PU layaknya: mulus. Dan, kemudian Tody mengambil uang dari situ juga seperti menciduk air di dalam saja. Uang itu memang bukan untuk pribadi. Tetapi, apa bedanya? Yang jelas, kas telah berkurang. Dengan apa lagi keburukan itu harus dibandingkan? Tody mengeluh berkepanjangan. Nanti sore dia harus ke rumah presdir. Tody kemudian ingat wajah Sartono yang beriba-iba, dan setumpuk uang di dalam tasnya. "Tolonglah, Mas Tody. Tolonglah." "Aku tak bisa. Sungguh! Bagaimana aku menolongmu?" "Cuma tiga hari saja. Aku sedang menawarkan motorku. Kalau laku, ditambah dengan bantuan orang tuaku, aku akan mengganti uang itu." Tody lama terdiam. "Ini menyangkut reputasi, Mas Tody," kata Sartono. Tody membisu. Sartono telah memakai dana Dewan Mahasiswa yang ada di bawah tanggung jawabnya. Tim peneliti keuangan yang dibentuk rektor akan memeriksa dana-dana yang diberikan kepada Dewan Mahasiswa itu. Di sinilah kenapa Sartono panik. "Kau tahu sendiri, aku bukan orang kaya," kata Tody pelahan. "Kan bisa, kau usahakan dari kantor?" desak Sartono. "Mana bisa ngebon sebanyak itu?" "Ambil saja uang kantormu." "Bah! Korupsi?" kata Tody keras. "Bukan korupsi. Kita cuma memakai sementara. Dalam tiga hari sudah kukembalikan. Takkan ada yang tahu." "Aku tak berani," kata Tody. "Aduh, Mas, kau tak mau menolong? Aku bisa dipecat dari universitas. Aku tidak skripsi, Mas. Harapan orang tuaku satu-satunya cuma padaku." Tody menatap mata yang berlinangan. "Tolonglah aku, Mas Tody. Kumohon, Mas...." Tody membisu. Sartono mengeluh-ngeluh. "Kalau tiba-tiba kasku diperiksa, aku bisa kiamat," kata Tody kamudian. "Takkan ketahuan. Pada hari apa diperiksa?" "Memang belum diperiksa." "Ah, kalau begitu, tak ada risikonya. Tolonglah aku, Mas, tolonglah. Aku masih ingin menyelesaikan kuliahku." Tody tak bersuara. "Orang tuaku akan mengganti uang itu," kata Sartono. "Kenapa bisa habis dana dewan itu?" "Ah, entahlah. Sedikit demi sedikit aku tak sadar memakainya. Kesalahan universitas juga. Kenapa selama pengurus dewan yang lama tak pernah diadakan pemeriksaan? Kenapa setelah rektor baru sekarang harus diperiksa?" "Karena rektor yang sekarang lebih tegas. Dan, barangkali pengurus dewan yang lama memang tak terlalu banyak main." "Ah, siapa bilang? Semua pengurus dewan korup!" kata Sartono. "Kenapa kau memakai uang dewan?" tanya Tody jengkel. "Oh, kecuali kau. Kecuali kau," kata Sartono cepat-cepat. Untuk sesaat mereka membisu. Ruangan itu senyap. Tody menatap buku-bukunya di meja. Dia membaca, tetapi wajah Sartono terus mengganggu dengan beriba-ibanya. "Kau tak mempercayai aku, Mas?" "Bukan soal percaya atau tidak, Ton. Aku tak berani memakai uang kantor." "Cuma tiga hari. Takkan seorang pun tahu. Kau bisa mengembalikan uang itu diam-diam tanpa seorang pun tahu." Tanpa seorang pun tahu. Tak seorang pun tahu. Tetapi, muka Sartono yang memelas itu tak muncul-muncul setelah lewat tiga hari. Dia telah lenyap dari Yogya. Kegelisahan menggelepar di dada Tody. Dia mencari Sartono ke kampus, ke tempat mondoknya, tetapi Sartono telah lenyap. Bagaimana mengganti uang itu? Setengah juta! Angka yang mendirikan bulu kuduk kalau harus menggantinya. Berhari-hari Tody gelisah. Namun, dia berusaha menyembunyikan kegelisahannya dari siapa pun. Di mana Sartono? Lelaki yang matanya bisa berlinangan itu lenyap bagai ditelan bumi. Terkutuk! Hanya tiga hari. Tak seorang pun tahu. Sekarang, sudah lewat dari tiga hari. Bahkan sudah seminggu. Dan, Tody dipanggil presdirnya. Oh, bagaimana mempertahankan nama baik? Bagaimana memelihara nama baik dekannya yang telah merekomendasikan dia sebagai mahasiswa pinter, jujur, dan bertanggung jawab? Tody mengeluh. Namun, dia harus tetap melangkah mencari nomor rumah presdirnya. Dan, jantungnya hampir copot sebab rumah yang harus dimasukinya, rumah bertaman indah itu, rumah Irawati! Risau dan rusuh bercampur dalam adonan yang pekat di dada Tody. Sebelum bel dibunyikan, pintu telah terbuka. "Tuan dan Nyonya menunggu di ruang dalam," kata pelayan menyebutnya. Tody bensaha meredakan jantungnya yang tak beraturan lagi denyutnya. Dia melintas di atas permadani yang menyekap suara sepatunya. Terus melangkah mendikuti langkah pelayan. Maka Tody tak mampu meredakan debur-debur di dadanya. Ibu Irawati tersenyum murung. Presdir itu mengisap cerutunya sebelum bertanya, "Bagaimana keadaan kantor, Tody? "Baik-baik saja, Pak." "Hm." Lelaki tua itu menaksir-naksir. Tody sempat melirik ibu Irawati yang mengusap matanya. "Kau sudah ada rencana kawin, Tody?" tanya lelaki tua itu. Tody gelagapan. "Belum," katanya kemudian. "Kalau tak salah; kau teman Irawati ya?" "Ya," desah Tody. "Kenapa tak pernah lagi datang ke sini?" "Oh," keluh Tody. "Selama ini kau tahu kalau aku ayah Ira?" "Tidak." "Hm." Lelaki tua itu menaksir-naksir lagi. "Rupa-rupanya Nak Tody bertengkar dengan Irawati?" Tiba-tiba ibu Irawati menyeling. "Oh, tidak, tidak, tidak," kata Tody gugup. "Lalu, kenapa mendadak tak muncul-muncul kemari?" "Saya... saya... saya..." Tody merasa napasnya menghimpit. "Ah, sudahlah," kata ayah Irawati. "Itu urusan dulu. Aku mau membicarakan urusan sekarang. Urusan kantor." Napas Tody sesak. Paru-parunya memberontak. "Begini, Tody," kata lelaki tua itu pelan-pelan. "Beberapa hari yang lalu, ada pegawai yang mengabarkan bahwa uang setengah juta di bawah tanggung jawabmu tidak ada di kas." Tody menggigil. "Uang itu tidak banyak sebenarnya," kata lelaki tua itu meneruskan. Tody mengulum ludah yang terasa pahit. Getir. "Betulkah uang itu kauambil?" Seluruh jaringan tubuh Tody menggeletar. "Ya," desahnya. Matanya terhunjam ke lantai. Keringat merembes dari sejumlah pori-pori kulitnya. "Ah," keluh lelaki tua itu. Ibu Irawati mengusap matanya lagi. "Saya akan menggantinya," kata Tody. Bibirnya garing. "Ya? Kapan?" Tody terhimpit. Ibu Irawati pindah duduk ke samping Tody. "Begini, Nak Tody," katanya lunak. "Kami menyukai kau. Sejak lama saya menyukaimu. Saya akan senang kalau kau jadi anak saya." Tody menatapnya nanap. Lalu berpindah ke tangan perempuan tua itu yang memegang bahunya. "Kami mengetahui bahwa kau seorang yang jujur." Tody terengah. "Karena itu saya senang waktu kau bergaul dengan Irawati dulu. Walaupun kemudian putus, tetapi saya masih tetap berharap kau jadi bagian keluarga kami." Lelaki tua itu menangkap kegelisahan di mata Tody. Maka katanya, "Langsung saja. Begini, Tody. Kami punya anak perempuan. Sudah dewasa. Kami ingin kau menjadikannya istrimu." Jantung Tody telah berkali-kali terperanjat. Tetapi, sekarang lebih-lebih kadar kagetnya. "Sebenarnya.... sebenarnya... sebenarnya... apa maksud Bapak dan Ibu?" katanya terbata-bata. "Itulah. Kau jadi suami Irawati," kata lelaki tua itu datar. "Saya belum berniat kawin masa sekarang ini," kata Tody pelahan. "Tapi, kami memohon dengan teramat sangat." Tody terpaku. Apa-apaan ini? "Kenapa?" Ibu Irawati mengusap matanya yang dirembesi air. "Aku telah berbuat baik kepadamu selama ini," kata lelaki tua itu. "Dan, sekarang aku memohon kepada kau." Tody mengahhkan matanya ke arah ibu Irawati. Perempuan tua itu menatapnya nanap dengan mata yang bersimbahan air. "Dan, soal setengah juta uang kantor itu bisa kita lupakan saja," kata lelaki tua itu. Tody membisu. "Kenapa saya harus mengawini dia?" tanya Tody terputus-putus. "Karena... karena..." Perempuan tua itu semakin terisak. "Langsung saja," kata ayah Irawati. "Karena dia hamil," lanjutnya datar. Bah! Sejuta petir boleh berdegar, tetapi tidak sekaget ini Tody mendengarnya. Hari-hari Berempedu O, NAMA BAIK, alangkah pahitnya kau! Hargaku setengah juta rupiah. Aku harus menjadi suami perempuan yang tak kucintai, dan sudah menyimpan benih akibat keliarannya! Setelah terbanting-banting mempertahankan idealisme, setelah tersaruk-saruk merindukan cinta, maka inilah hasilnya: seonggok sisa! Jika uanglah yang menjadi ukuran kebahagiaan, maka hanya seorang yang bahagia dalam peristiwa ini, yaitu Sartono. Dia mendapat setengah juta dan tak perlu dikembalikan. Kemudian masih mendapat tambahan lagi sesuai dengan janji ayah Irawati. Lelaki tua itu sungguh-sungguh bisnismen. Dia mampu menggunakan otaknya dan tenaga orang untuk kepentingannya. Tody seorang yang harus meratapi rumpun semak hidupnya. Semaknya kembali meranggas. Dari kekeringan menuju kekeringan yang lain, itulah yang dialaminya. Untuk setengah juta rupiah, dia harus menjual dirinya. Oh, malangnya lelaki miskin, malangnya si idealis yang ingin bernama bersih. Dia takut nama baiknya sebagai pejuang mahasiswa menjadi rusak. Dia khawatir dekannya yang mengharapkannya jadi intelektuil mengetahui lenyapnya uang kas yang harus dipertanggungjawabkannya. Dia tak mau orang menilainya sebagai koruptor. Dia tak ingin ada orang yang mencibir, "Hm, si intelektuil yang ikut gerakan antikorupsi itu tak lebih dari anjing rakus juga. Bah!" Tak akan ada yang percaya kendatipun dia berteriak setinggi langit bahwa setengah juta itu sama sekali bukan dia yang menggunakan. Dia ditipu Sartono. Tak akan ada yang mau mempercayainya. Itu semua sudah dalam perhitungan ayah Irawati. Maka, yang mengenyam kebahagiaan dari kemelut ini adalah Sartono yang tetirah ke Bali. Akan halnya Tody? Dialah seorang suami yang murung. Sejak perkawinannya, tak satu pun sentuhan diberikannya kepada Irawati. Bahkan matanya pun berusaha untuk tidak menatap perempuan itu. Mereka tinggal di bawah atap yang sama, namun hati tak pernah berdekatan satu sama lain. Itulah yang dirasakan Tody. Entahlah yang dirasakan Irawati. Matanya selalu ingin bertemu dengan mata lelaki itu, tetapi tak pernah kesampaian. Dan, Irawati menghela napas yang berat. Dia ingat akan upacara perkawinan mereka. Tanpa senyuman Tody memasukkan cincin ke jarinya. Malahan matanya berlinangan. Jelas bukan gembira. Dia seperti anak kecil yang dipaksa orang tuanya agar berbaikan dengan musuh yang telah menjewer telinganya di depan temantemannya. Murung. Pahit. Getir. Dan, di kamar mereka, Tody membuka sepatu tanpa memandang Irawati. Mengganti baju tanpa suara. Lalu, membaringkan dirinya tanpa menyentuh Irawati sedikit pun. Hari-hari adalah pantang senyum. Makan pagi dengan menekuri piringnya, makan siang jarang di rumah, dan makan malam tanpa suara. Rumah mereka sepi. Tody lebih suka berada di luar rumah, di kantornya, atau di perpustakaan universitas. Tiap kali memandang punggung perempuan yang menjadi istrinya itu, Tody merasa memandang seonggok dosa. Inilah iblis yang memakai kulit perempuan cantik. Iblis yang menyeringai siap menerkam. Tody merasa berada dalam cengkeraman kuku-kuku iblis. Maka akan tersiksalah selamanya. Ah, perkawinan adalah sesuatu yang suci. Tak boleh dua kali dalam hidup. Hanya kematian yang boleh memisahkan. Begitu ujar kitab suci. Lalu, sampai mati harus bersama seseorang yang akan menyiksa dirinya? Harus bersama perempuan yang telah memerangkap dirinya dan menusuknya dengan belung berkarat? Ah! Cuma, malam itu Tody mengira istrinya sudah tidur. Maka dia masuk kamar dengan langkah bersijingkat. Baru saja dia membaringkan diri, perempuan itu membalik badan, menelentang menatap langit-langit dan berkata pelahan, "Mas Tody." Tody diam. "Aku tahu kau membenciku," kata Irawati. Tody cuma menghembuskan napas kuat-kuat. "Tapi, bagaimanapun kita telah menjadi suami istri. Aku istrimu, dan kau suamiku. Untuk selamalamanya kita akan bersama." Tody tak bereaksi. "Anak yang kukandung ini tak kuketahui siapa ayahnya. Aku penuh noda untuk didampingkan dengan kau. Aku sama sekali tak berharga." "Hargamu setengah juta!" kata Tody dingin. Irawati merasakan tusukan nyeri di dadanya. "Waktu Papa dan Mama bertengkar, baru aku sadar bahwa yang kulakukan selama ini telah berakibat jauh. Papa dan Mama tak pernah kulihat bertengkar. Kali ini, karena diriku maka mereka berselisih hebat. Sampai-sampai Papa menempeleng Mama. Ah, Mama yang kusayangi ditempeleng Papa. Papa bilang, Mama tak bisa mendidik anak. Mama menangis. Menangis terus. Lalu Papa menyuruh menggugurkan kandunganku. Dia mau mengirimku ke Jerman. Tapi, Mama melarang. Papa bilang, “Kau mau arang tercoreng di kening kita dan semua orang melihatnya? Anak kita yang lain akan malu!” Mama tetap tak setuju. Dosa anak kita adalah dosa kita, sudah sebegitu mengerikannya. Masih harus ditambah dosa yang lain. Bagaimana pertanggungjawaban kita pada Tuhan?” kata Mama. Papa terdiam. Mama tak hentihentinya menangis. Kemudian... itulah, kita dikawinkan," kata Irawati. Suara itu lunak, tetapi bagi telinga Tody menyakitkan. Dia membelakangi Irawati, dan memulai kebiasaannya belakangan ini, menjelang tidur: mengenangkan mata Widuri, bibir Murtini, Widuri, Murtini, Widuri, Murtini. "Satu tempo anak ini akan lahir," kata Irawati tersendat. "Dan, dia mengira Mas Todylah ayahnya." Tody merasa perutnya mual. Dan, dia jengkel lamunannya terputus. "Dan, dia mengira dia berhak memasang fam keluargamu di belakang namanya. Kau mungkin membencinya. Bahkan melarangnya menggunakan fam keluargamu. Dia akan terheran-heran." "Bisa diam enggak? Aku mau tidur!" kata Tody tawar. Irawati menutup rapat mulutnya. Dari pinggir matanya, mengalir air bening. Hangat menimpa pipinya. Dia menatap langit-langit kamar, tetapi pemandangan berbaur dengan air mata. Tody mengatur jalan pernapasannya untuk mempercepat proses tidurnya. Dia memejamkan mata. Irawati hanya menatap punggungnya. Lalu, perempuan itu berkata pelahan, "Aku akan berusaha jadi orang baik, Mas Tody." "Jadi baik atau jadi lonte, itu bukan urusanku!" kata Tody tanpa nada. Sore itu, di Bioskop Royal, Tody bertemu Anton. "Hai, ini sang manajer! Traktir dulu, ah!" Tody tersenyum pahit. "Kudengar kau sudah lulus. Di perusahaan mertuamu, kau sudah jadi direktur utama. Bukan main, bukan main! Segalanya sudah kau raih. Ijasah sarjana, bini, dan kedudukan bagus." Tody mengeluh tanpa suara. Mereka duduk di dekat gambar-gambar poster film. "Kebetulan sekali ketemu," kata Anton. "Ada suster mau ketemu kau." "Ngapain?" "Mana aku tahu? Aku takut mengusut-usut suster. Takut kualat." "Suster di mana?" "Ayo, kuantar. Aku memang kepingin bertamu ke situ." Mereka berjalan ke utara. Banyak mahasiswa Universitas Islam bergerombol di dekat pagar yang mereka lintasi. Tanpa antusias, Tody membaca spanduk di dinding kampus itu. Kemudian dia menatap ke utara, ke bekas kampusnya: Gadjah Mada. Pohon cemara bergoyang-goyang, dan kerinduan melilit relung hati Tody. Dia merindukan kehidupan kampus kembali. Kehidupan yang penuh gairah. Jalan yang mereka lalui membentang dari Kampus UII menuju Kampus Gadjah Mada. Sekarang mereka melintasi Rumah Sakit Panti Rapih. "Waktu aku bertamu ke Asrama Syantikara, seorang suster pengawas di situ bertanya apa aku kenal kau. Kenal sekali, kataku. Lalu, aku dimintainya memanggil kau kalau sempat." Tody canggung berdiri dalam tatapan mata Suster Maria yang bening. "Saudara Tody?" kata Suster Maria. Tody mengangguk. "Saya ada keperluan sedikit," kata suster itu seraya menatap Anton. Anton tertawa. "Oh, saya pergi dulu. Boleh saya menemui salah seorang penghuni asrama ini?" katanya. Suster Maria mengangguk. "Begini, Tody. Kau ingat Widuri?" Tody merasakan debaran di dadanya. Dia mengangguk cepat. "Sebenarnya lama sekali saya ingin membicarakan ini dengan kau. Tapi, saya pikir, setelah dia kawin toh tidak ada gunanya lagi." "Dia sudah kawin?" "Yah." Tody menghembuskan napas dalam satu keluhan. "Tapi, katanya dia tidak bahagia. Sebab, perkawinan mereka karena terpaksa. Hampir sebulan sekali datang surat darinya. Dia meminta nasihat saya. Tapi, apa yang bisa saya nasihatkan? Saya tak mungkin mengubah jalan hidupnya. Nasihat saya apalah artinya." Suster Maria menatap Tody. "Dia kawin sudah hamil." "Bah?" "Waktu masih di Yogya sini, dia diperkosa oleh sekelompok anak muda." "Siapa? Siapa? Siapa?" tanya Tody dengan napas memburu. "Itu sudah berlalu. Widuri sendiri tak ingin peristiwa itu diketahui orang banyak." Tody tersandar di kursinya. "Lalu, ayahnya mengalami petaka. Pabrik penggilingan padi mereka musnah terbakar. Widuri dipanggil pulang. Tak mungkin lagi melanjutkan kuliah. Dan, dia tahu dirinya hamil setelah pulang ke desa. Lalu, tak lama kemudian dia kawin dengan seorang lelaki bernama Maryoto." Tody merasa dadanya ditindih seonggok batu. Sesak. "Belakangan lelaki itu tahu bahwa anak yang dikandung Widuri bukan anaknya. Perlakuannya sangat kejam terhadap Widuri. Lebih-lebih setelah anak itu lahir. Maka Widuri sakit-sakitan sekarang. Dia pernah menceritakan tentang kau. Katanya kau seorang yang baik. Jika dia mati, dia ingin kau merawat anak itu. “Saya yakin, Ibu,” begitu katanya dalam surat, “Mas Tody mau memenuhi permintaan saya ini.” Ah, lebih baik kau membacanya sendiri," kata suster tua itu sembari mengeluarkan surat dari balik bajunya yang putih. Tangan Tody gemetar. Widuri, gadis yang membisu bagai pohon cemara di tengah padang, ternyata menyimpan sejuta cinta. Kesepiannya ia tangguhkan seorang diri, kesengsaraannya adalah kerikil yang terpecah di terik matahari. Hancur dalam kepingan. Dia kawin dengan seorang lelaki yang hanya ingin menaklukkan perempuan. Bukan karena mencintainya. Dan, memang Widuri tak berani mengharapkan cinta dari lelaki itu. Dia cuma membutuhkan seorang suami, agar sewaktu melahirkan dia bisa menulis namanya dengan sebutan “nyonya”. Sebab, itu penting sekali. Sementara itu, setelah mengetahui keadaan Widuri, Maryoto merasa ditipu. Inilah karma, pikir Pak Hermanu, ayah Widuri yang menahan gelombang pada usia tua. Lalu, orang tua ini bolak-balik menggali dosa, mencocokkan dengan kenyataan pahit yang harus ditanggungkan anaknya dan dirinya sendiri. Anaknya mencintai seorang pemuda, sedang pemuda itu tak membalas cinta gadis itu. Lalu dia membenci pemuda itu, dan menghancurkan perasaan serta harapan-harapan pemuda itu. Maka pemuda itu meninggalkan desa tanpa harga diri lagi. Inilah balasan untuk setiap dengki dan keculasan, pikir lelaki tua itu. Dan, dia mengeluh. Semakin berat kandungan Irawati, kian menyeringai ejekan. Tody tak tahan. Makin tak tahan disiksa batinnya yang menghimpit. Dia yang selamanya berusaha hidup puritan, murni, dan jujur, bagaimana bisa mengawini perempuan yang telah mengandung benih lelaki lain? Pada belahan lain perasaannya, dia kadang-kadang iba melihat perempuan kurus itu. Dengan pakaian hamilnya yang longgar, dia mondar-mandir di seputar rumah dengan mengemban beban berat di perutnya. Sangat berubah dia. Dia yang dulunya begitu ceria, gadis yang lincah dan senang bercanda, kini membisu sepanjang hari. Jika Tody berada di rumah, Irawati seperti kucing yang didatangi tuannya dengan sebatang lidi di tangan, siap untuk mengusirnya. Matanya selalu ketakutan. Tetapi, belahan lain dari perasaannya, Tody merasa dihimpit oleh ejekan. Ha, lelaki yang menjual dirinya! Lelaki yang mau menampung barang sisa! Lelaki yang hidup di bawah atap rumah yang dibelikan oleh mertua! Air yang diminum adalah karena perempuan itu. Nasi yang ditelan adalah berkat perempuan itu, perempuan yang dibencinya. Akhirnya Tody tak tahan. Ketika sebuah perusahaan asing membutuhkan kepala proyek untuk ditempatkan di daerah terpencil di Cilacap, dia melamar. Dan, diterima lamarannya. Tak ada kebahagiaan yang bisa menandinginya. Dia berangkat tanpa pesan kepada istrinya. Dengan bekal sebuah kopor, dia ingin segalanya tertinggal! Usaha yang dihirupnya terasa nyaman. Kilauan atap seng perumahan pegawai proyek yang dipimpinnya terasa indah. Dan, deruman mesin buldoser yang menguruk tanah terasa empuk di telinga. Segalanya indah. Segalanya kemilau. Tody menganggap hidupnya harus diawali di proyek itu. Andainya dia harus memperingati hari penting dalam hidupnya, hanya ada dua: hari kelahirannya dan hari pertama dia menjadi kepala proyek itu. Kontak hanya berlangsung dengan Anton. Dia sering menulis surat buat Anton. Suatu hari dia menulis surat begini: Tak ada yang menandingi daerah ini, Anton. Ada sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih. Di waktu istirahat, aku sering mancing di situ. Ikan-ikan sangat senang padaku. Kau pernah bilang, bahwa aku potensiil jadi senewen. Dengan bangga kukabarkan pada kau bahwa kemungkinan itu sangat jauh dariku sekarang. Memang ada di antara karyawan yang tak tahan kesepian. Ada yang ingat bini, pacar, dan sebagainya. Mereka agak terganggu jiwanya. Aku sedang pikir-pikir, apakah proyek ini memerlukan psikolog. Andainya diperlukan, aku akan mengusahakan agar kaulah orangnya. Ingat, pasienmu bukan aku. Aku sangat sehat, dan otakku sangat baik sekarang. Soal cewek, seperti yang kautanyakan dalam suratmu yang lalu, bukan masalah yang sulit. Dengan jip, dalam tiga jam bisa ke kota peristirahatan. Di situ ada kolam renang, hotel yang bagus (sudah di up-grade untuk menyongsong PATA), dan ada nite-club tak resmi. Hostesnya, yaaa, lumayan! Kapan-kapan akan kuceritakan lebih mendetil bagalmana kehidupan di situ. Bagaimana pula aku mengenal seorang gadis yang nampak-nampaknya kesepian. Katanya dia dikecewakan seorang lelaki. Mungkin juga dia cuma membohongiku. Kata salah seorang stafku di kantor, biasa gadis-gadis penghibur mengarang cerita-cerita yang sedih. Mereka menghibur lelaki dengan kesedihan hidup mereka. Tapi, aku tak peduli. Nah, kalau kau ingin mengikuti kisah-kisahku selengkapnya di sorga ini, balaslah surat ini. Dan, jangan lupa, jangan kau menyampaikan kabar-kabar buruk. Jangan sama sekali. Biar kehidupan sorgawi ini tidak rusak. Perubahan yang drastis telah terjadi pada diri Tody. Dia bukan lagi lelaki murung dan termangumangu untuk menilai setiap langkahnya. Dia melakukan apa saja yang paling baik untuk menyenangkan dirinya. Lampu-lampu berwarna biru redup dan merah samar. Kursi-kursi terisi penuh. Salah seorang stafnya baru saja melambaikan tangan dan keluar menggandeng perempuan. Tody tersenyumsenyum. Untuk beberapa saat dia menunggu. Lalu, seorang gadis telah tegak di depannya. Senyum gadis itu mekar. "Sorry ya. Agak lama menunggu," kata gadis itu sembari duduk. "Banyak tamu rupanya?" kata Tody. "Ah, enggak." Lalu percakapan selanjutnya hanya basa-basi. Apa pun yang dipercakapkan, toh nanti akan berakhir dengan gandengan tangan dan meninggalkan ruangan itu. Eyeshadow menyebabkan mata gadis itu kelihatan redup. Dan, hidungnya yang mirip hidung Gina Lollo selamanya menimbulkan keinginan Tody untuk mengusapnya. Bibirnya merekah menandakan dia siap dicium kapan saja, di mana saja. "Kata Mas Tody mau mengantar saya ke tempat orang tua saya di Surabaya?" kata gadis itu. "Ya. Tunggu senggang dulu dong." "Lima bulan saya tak pulang." "Ngumpulin duit terus?" "Ih!" Gadis itu mencubit Tody. "Orang tuamu tahu kau di sini?" "Tentu saja tidak. Mereka kira saya masih sekolah." "Kenapa sekolahnya ditinggal?" "Buat apa sekolah?" "Ya, betul. Lebih enak jadi ratu kecantikan atau ratu pariwisata. Kau pernah ikut pemilihan?" "Ah, malu dong. Mana mungkin menang." "Kenapa tidak? Kau cantik,...." "Ih!" Gadis itu mencubit Tody hingga Tody tergial. Pasangan-pasangan mulai berdansa. Musik pelahan mengiringi. Lampu-lampu hidup-mati-hidup-mati. Terima kasih untuk suratmu, Anton. Aku kepingin menceritakan cewek yang sangat mengagumkan. Namanya Elsye. Aku tak tahu apa itu nama palsu atau asli. Aku tak peduli. Biar palsu, tapi bagian lain dari dirinya tak ada yang palsu. Bulu matanya lentik tapi bukan bulu palsu. Ya, mempesona. Dan, dadanya, pinggulnya, wah! Baru sekarang aku sadar kenapa kau dulu tekun sekali memandangi dada dan pinggul gadis-gadis. Komposisi bagian tubuh itu memang sangat menentukan untuk ujud keindahan. Anton, nampak-nampaknya ada perkembangan baru dalam hubungan kami. Kaubayangkan, dia sering datang ke rumahku. Ini keajaiban. Kata stafku, gadis itu akan memporot uangku. Tapi, kenyataannya? Wah, dia menangis waktu kukasih duit sebagaimana lazimnya dalam bisnis semacam itu. Dia menangis sedih. Katanya, dia ingin diperlakukan sebagai manusia, bukan barang dagangan. Bayangkah, Anton. Dia tak mau hubungan komersil. Aku mengajuknya, “Kalau begitu, kau tak boleh melayani lelaki lain.” Nah, gawat! Sebab, dia betul-betul tak mau lagi ke nite-club itu. Dia tinggal di rumahku. Aku jadi pusing tujuh keliling. Dia sudah mulai bicara soal cinta. Tapi, aku selamanya ingat advis kau. Bercinta dengan reserve. Dia agresif, Anton. Sampai aku agak gugup. Dia bertingkah kayak biniku saja. Dia merapikan buku-bukuku. Merapikan meja kerjaku, Cuma, satu hal yang menimbulkan kejengkelanku. Dia mulai berani mengatur aku memilih-milih pakaian. Kalau mau bepergian, dia memaksaku agar aku berpakalan yang mode serta warnanya serasi dengan warna pakaiannya. Itu membikin aku panik. Bagaimana kalau betul-betul jadi istriku? Mungkin dia akan mengatur lebih mendetil lagi. Mungkin dia akan mengatur jam berapa aku harus membaca, jam berapa aku harus berak. Bah! Berurusan dengan perempuan memang rumit, Anton. Bercinta memang menyenangkan. Tapi, kalau harus lebih serius, yah, minta ampun. Terlalu banyak tetak-bengek yang memusingkan kepala. Sekarang memang belum nampak tanda-tanda dia menuntut ini-itu. Mungkin karena belum banyak perbandingan, soalnya di sini tidak begitu ramai. Bagaimana kalau kami tinggal di tempat yang punya lingkungan beraneka macam? Apakah dia tidak akan mendesakku agar aku memenuhi tuntutan-tuntutannya yang sesuai dengan kodrat perempuan, yang selamanya punya "rising demand", tuntutan yang selalu meningkat? Aku ingat bagaimana merajalelanya korupsi di negeri ini. Konon karena ulah para istri yang tak pernah merasa berkecukupan. Kaum istri suka membandingkan kekayaan-kekayaan materiil dengan lingkungannya. Anton yang baik, andainya kau ada di sini, aku ingin kau menyelidiki gadis itu. Tipe bagaimana sebenarnya dia. Nampak-nampaknya dia sangat mengagumi diriku. Baginya, aku seperti pahlawan saja. Sementara itu, dia sangat memaksaku agar aku berpakaian kayak Rahadian Yamin. Itu, peragawan yang gambarnya sering di majalah. Aku merasa dia mengagumi kepintaranku, dan ingin menyempurnakan diriku dalam ujud yang paling sesuai dengan anganangannya. Orang macam apakah itu, Anton? Begitulah, Anton, kabar dariku. Oh, ya, soal istriku yang kausinggung-singgung dalam suratmu, kuharap tak perlu kau mengabarinya padaku. Dia boleh-boleh saja konsultasi jiwa ke biro kalian. Sebagai sahabat, kuharap kau mau memahamiku. Aku sangat ingin hidup sendiri. Dan, bagaimana dengan dirimu? Tentunya, setelah lulus sarjana kau mau mengurangi kebinalanmu. Aku menunggu kau mengabariku kapan kau kawin? Itu penting. Tody baru saja menerima laporan dari kawannya. Kemudian dia kembali mengenangkan wajah Anton. Rambutnya yang gondrong, senyumnya yang seperti bercanda, dan nasihat-nasihatnya. Hanya kepada Anton dia menceritakan rencananya untuk bekerja di proyek ini. Walaupun Anton menasihatinya agar dia tetap di Yogya, Tody tetap berkeras untuk meninggalkan segalanya. Dia cuma berkata, "Tidak enak bernaung di bawah ketiak mertua." Sementara itu, di rumah Tody, Elsye bernyanyi-nyanyi sembari menyapu ruang depan, dan membersihkan kursi-kursi dengan kelud. Keningnya berkemyit ketika sebuah Mercedez 350 berhenti di depan rumah. Karena perjalanan jauh, tubuh mobil itu berselimut debu. Eisye mengamati penumpang mobil itu. Seorang sopir tua, lalu seorang perempuan muda. Siapa mereka? Perempuan muda itu bertanya kepada tukang kebun di halaman. Tukang kebun menjawab anggukan. Lalu mobil masuk ke halaman. Perempuan muda itu turun dari mobil. Elsye mengawasi tubuh yang dibalut pakaian hamil. Dan, perempuan hamil itu berkernyit keningnya menatap Elsye. Lalu dia bertanya, "Di sini tinggal Faraitody?" Elsye mengangguk. Perempuan hamil itu melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan. Dia meletakkan tubuhnya yang letih. Dia mengedarkan pandang berkeliling. "Adik siapa?" tanyanya. "Nyonya siapa?" tanya Elsye. "Saya Irawati, Istri Faraitody." Jantung Elsye menggelepar. Dia mengawasi mata yang sayu lantaran capek itu. Lalu, mengawasi perut yang membusung. Irawati mengusap-usap rambutnya. "Adik siapa?" tanya Irawati lagi. "Saya.... saya.... saya....." Nah, aku menang angin, pikir Irawati. Padahal, sejak awal tadi dadanya sudah berdebaran tak menentu begitu melihat wanita di rumah itu. Dia merasakan gigilan yang hampir tak tertahankan merambati sekujur tubuhnya. Kecanggungan gadis yang duduk di depannya merupakan peluang bagi Irawati untuk menguasai medan. "Adik di sini juga, tinggal?" tanyanya. Elsye gelagapan. Sekejap dia menatap Irawati. Namun, sebelum dihunjani oleh Irawati dengan pandangan dia kembali menunduk. Sebenarnya usia mereka sebaya. Tetapi, kehamilan perempuan itu membuat Elsye merasa lebih muda dan gugup. "Sudah lama Adik mengenal Mas Tody?" "Tiga bulan ini," kata Elsye terputus-putus. "Hm," gumam Irawati. Udara sangat panas. Kemarau di daerah itu telah berjalan lama. Tanah-tanah telah kering kerontang. Kendaraan yang lewat menerbangkan debu yang mengawan rendah. Membuat orang gampang terbatuk-batuk. Tody menghadapkan fan ke arahnya. Angin buatan itu meniup seluruh pori-pori tubuhnya, mengalahkan panas yang diantarkan atap seng. Dari kamar kerjanya, dia memandang pekerjapekerja hilir-mudik di halaman. Dan, tiba-tiba pintu terbuka menyentak. Wajah stafnya nongol. Wajah yang gugup. Tody mengangkat alis. "Gawat, Pak," kata staf itu terengah. "Ya?" "Istri Bapak datang." Sesaat saja Tody mengangkat kepala. Kemudian bahunya terangkat sebelah. Tak peduli. "Dia ketemu Elsye di rumah Bapak." Tody cuma bergumam. "Sopir istri Bapak menunggu di luar." Tody tetap tak peduli. "Dia menunggu Bapak." "Suruh kembali saja. Aku pulang sendiri nanti sore." Stafnya keluar. Masih dililit tanda tanya dia. Jika aku bisa setenang itu menghadapi istriku, alangkah baiknya, pikirnya. Aku akan menaklukkan istriku. Bukan kayak sekarang. Melihat bekas lipstik di bajuku saja, dia melabrakku sampai aku blingsatan dibuatnya. Boss itu, tenang-tenang
Posted on: Mon, 08 Jul 2013 04:41:26 +0000

Trending Topics




© 2015