mohon dibaca nih broerrrrrrr = POLITIK DAN KEKUASAAN HANCURKAN - TopicsExpress



          

mohon dibaca nih broerrrrrrr = POLITIK DAN KEKUASAAN HANCURKAN SEPAKBOLA = Tidak ada yang lebih membuat frustrasi penggila sepak bola di China selain kekalahan timnas mereka 1-5 dari Thailand, pertengahan Juni lalu. Secara geopolitik, Thailand jauh lebih inferior sehingga kekalahan ini sulit masuk diakal. Apalagi Thailand bermain dengan tujuh pemain muda dibanding China yang full pemain senior. Kekalahan dari Thailand menambah panjang derita sepak bola China yang makin terpuruk sejak lolos ke putaran final Piala Dunia 2002. Peringkat FIFA melorot dari posisi 51 pada 2002 hingga 99 saat ini. Sepekan setelah laga lawan Thailand, pelatih timnas Jose Antonio Camacho langsung dipecat. Publik sepak bola China frustrasi berat. Tak jarang mereka mendemo Asosiasi Sepak Bola China (CFA) yang dinilai tak becus. Buruknya prestasi China sulit diterima mengingat segala cara sudah dilakukan untuk mengangkat muruah China di lapangan hijau. Sebut saja mendatangkan pelatih hebat (selain Camacho ada Vladimir Petrovic) maupun mengimpor pemain hebat (Didier Drogba dan Nicolas Anelka). Investigasi besar-besaran dan hukuman berat untuk pelaku pengaturan skor dan suap juga sudah diterapkan. Februari tahun ini, 12 klub dan 58 ofisial, pemain, dan wasit sudah diganjar sanksi. Tapi rupanya penyakit pengaturan skor dan suap sudah sangat kronis, menggurita dan merajalela selama satu dekade. Penyakit kronis ini tak bisa lepas dari komposisi kepemilikan klub di China. CFA mendesain klub-klub di China didanai oleh perusahaan milik negara. Dalam perkembangannya nafsu politik dan ekonomi menjadi pendorong masuknya pengusaha-pengusaha besar utamanya di sektor properti dan new media. Sebut saja Guangzhou Evergrande dan Shanghai Shenhua. Tercatat 13 dari 16 tim dimiliki oleh perusahaan yang berhubungan dengan properti. Motif mereka terjun ke bola tidak hanya karena cinta. Lebih dari itu mereka mencoba dekat dengan pemerintah demi memenangkan tender proyek atau gengsi perusahaan. Motif politik dan bisnis dengan memanfaatkan sepak bola menjadikan banyak klub berusaha menghalalkan segala cara untuk menang. Pada sisi lain, jor-joran membeli pemain berimbas pada gaji pemain lokal yang timpang dengan bintang-bintang luar negeri. Ambil contoh saat Drogba masih memperkuat Shenhua, gajinya diperkirakan 200.000 pounds per pekan, sementara rekan setimnya Feng Renliang, digaji 70.000 pounds per tahun. Bandingkan saja bedanya. Situasi makin buruk ketika asosiasi sepak bola China tidak bisa independen dari negara karena mayoritas dipilih oleh badan negara yang bertanggung jawab untuk olahraga. PSSI-nya China pun seakan-akan sebuah departemen dalam pemerintah China. Peluang kolusi lagi-lagi tercipta. Bandar judi dan suap melirik kesempatan ini. Mafia judi pun tak terbendung menginfiltrasi sepak bola China. *** Situasi lebih buruk menimpa Bulgaria. Motif politik dan bisnis dalam kepemilikan klub sepak bola tidak hanya membuat kualitas liga memburuk. Lebih parah dari itu, baku bunuh pemilik klub terjadi di luar lapangan. Dalam satu dekade terakhir, 15 pemilik klub tewas terbunuh. Sepak bola Bulgaria dikuasai judi ilegal, pengaturan skor, pencucian uang, dan pelarian pajak. Di Bulgaria, bukan rahasia jika presiden klub, pemain, dan wasit menjadi bagian dari mafia sepak bola. Hasil pertandingan bisa diatur demi kepentingan bisnis dan politik. Tak heran jika prestasi sepak bola negara yang pernah melahirkan Hristo Stoitchkov dan Dimitar Berbatov itupun merosot tajam. Sejak lolos ke semifinal Piala Dunia 1994, Bulgaria tidak pernah bisa mengulangi prestasi spektakuler itu. Sejak 2002 hingga 2010, mereka bahkan tidak pernah lolos ke putaran final. Lebih ironis lagi ketika Yordan Letchkov, pahlawan Bulgaria saat menang atas Jerman pada 1994, ditahan karena kasus korupsi. *** Struktur klub yang sehat dan kokoh menjadi basis fundamental prestasi tim nasional. Klub sebagai soko guru pemain ke timnas wajib selalu terlibat dalam persaingan ketat dan fair. Pada kasus China dan Bulgaria, klub-klub yang bertarung tidak kompatibel dengan liga yang bersih. Celah sedikit saja akan dimanfaatkan kepentingan para perusak sepak bola, mafia judi dan pengaturan skor. Tak salah jika menjadikan China sebagai cermin bagi prestasi sepak bola Indonesia. Di sini, kita melihat banyak klub yang terafiliasi dengan pengusaha besar dan juga politisi. Maka kemudian muncullah cerita- cerita tentang klub di Indonesia, yang sulit dimengerti siapapun, baik yang paham maupun awam bola. Ada klub yang suatu masa jor-joran belanja pemain bagus dengan harga mahal. Ketika kasus korupsi merebak di kota klub itu bermarkas, backing politiknya mengendor. Kini klub itu dibiarkan terlantar dengan gaji pemain tertunggak. Ada lagi klub yang tiba-tiba muncul dan meroket karena kiprah politisi di belakangnya. Dua musim lalu, klub ini di antah berantah, tetapi musim ini berkiprah bagus di divisi utama. Politisi itupun kerap tersorot kamera televisi. Ada lagi klub yang tanpa punya infrastuktur bagus, tiba-tiba melaju ke divisi utama. Pengusaha kaya juga mudah saja memindahkan basis klub lewat transaksi singkat kemudian mengumpulkan pemain-pemain bintang. Ada pula klub yang menyumbang pemain untuk timnas di beberapa level usia, tetapi tidak diakui legalitasnya oleh asosiasi. Jika anda politisi lokal yang ingin meroket, Anda bisa saja beli sebuah klub yang dalam kondisi krisis, lantas memindahkan ke kota Anda. Dengan sedikit lobi, dalam waktu singkat klub itu bisa tampil di kasta teratas liga. Ini cara mudah membuat Anda populer sebagai modal politik. Dan tentu masih banyak cerita ajaib yang terlalu panjang untuk dipaparkan di sini. Pesan singkat yang barangkali bisa disarikan, ingat China dan Bulgaria!""
Posted on: Wed, 02 Oct 2013 01:41:21 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015