negri 5 menara 11. Angin sore bertiup menggetar-getarkan bilah - TopicsExpress



          

negri 5 menara 11. Angin sore bertiup menggetar-getarkan bilah daun pohon kelapa yang banyak tumbuh di sudut-sudut PM. Sejuk. Matahari lindap tertutup awan putih yang berarak-arak di langit. Aku membaringkan diri di pelataran menara sambil menatap awan-awan yang bergulung-gulung. Dulu di kampungku, setelah puas berenang di Danau Maninjau, kami anak-anak SD Bayur duduk berbaris di batu-batu hitam di pinggir danau sambil mengeringkan badan. Rambut kami kibas-kibaskan untuk menjatuhkan titik-titik air. Sedangkan celana yang kuyup kami jemur di atas batu. Kalau angin sedang tenang, permukaan air danau yang luas itu laksana cermin. Memantulkan dengan jelas bayangan bukit, langit, awan dan perahu nelayan yang sedang menjala rinuak, ikan teri khas Maninjau. Sambil menunggu celana kering, kami punya permainan favorit. Yaitu tebak-tebakan bentuk awan yang sedang menggantung di langit, di atas danau. Kami berlomba menggambarkan awan-awan itu mirip binatang atau wajah orang dan saling menyalahkan gambaran anak lain. Akhirnya memang bukan tebak-tebakan, tapi lomba membenarkan pendapat sendiri. Jarang kami punya kata sepakat apa bentuk awan itu karena semua tergantung imajinasi dan perhatian setiap orang. Ada yang melihat awan seperti naga, gajah, harimau, bahkan wajah Bung Karno, Pak Harto, Pak Mul kepala sekolah kami, atau angku Datuak Rajo Basa, guru mengaji kami. Aku sendiri jarang melihat awan menjadi bentuk makhluk hidup apalagi manusia. Aku lebih sering melihat awan-awan seperti pulau,benua atau peta. Kini di bawah menara PM, imajinasiku kembali melihat awan-awan ini menjelma menjadi peta dunia. Tepatnya menjadi daratan yang didatangi Columbus sekitar 500 tahun silam: Benua Amerika. Mungkin aku terpengaruh Ustad Salman yang bercerita panjang lebar bagaimana orang kulit dewi-kz.info/ putih Amerika sebagai sebuah bangsa berhasil meloloskan diri dari kekhilafan sejarah Eropa dan membuat dunia yang baru. Yang lebih baik dari bangsa asal mereka sendiri. Mungkin juga aku terpengaruh oleh siaran radio VOA yang diasuh oleh penyiar Abdul Nur Adnan yang berjudul �Islam di Amerika�. Bagian Penerangan selalu mengudarakan acara Pak Nur yang selalu melaporkan perkembangan Islam di Amerika Serikat Misalnya, dia mengabarkan di Washington DC, ibukota negara superpower ini, telah berdiri sebuah masjid raya yang besar di daerah elit pula. Di kampus-kampus Amerika semakin banyak jurusan tentang kajian Islam dan mahasiswa datang dari berbagai negara Islam untuk belajar ilmu dan teknologi terkini. Negara ini juga memberi banyak beasiswa kepada negara berkembang seperti Indonesia. Awan putih ini semakin berarak-arak ke ufuk yang lembayung. Aku berbisik dalam hati, �Tuhan, mungkinkah aku bisa menjejakkan kaki di benua hebat itu kelak?� �Hoi, apa yang kau lamunkan?� tanya Raja menggerakgerakkan telapak tangannya di depan mataku. Aku tersadar dari lamunanku. �Aku melihat dunia di awan-awan itu,� kataku sok puitis. Aku gerakkan telunjukku menunjukkan garis-garis imajiner di awan kepada Raja yang duduk di sampingku. Kami samasama menengadah. �Benua Amerika,� kataku. Keningnya mengernyit. Dia tidak melihat apa yang aku lihat �Aku sama sekali tidak melihat Amerika. Malah menurutku lebih mirip benua Eropa. Tuh, kan�,� tukas Raja sambil menjalankan jarinya di udara, menunjuk ke gerumbul awan yang agak gelap. �Kalau aku, suatu ketika nanti ingin menjalani jejak langkah Thariq bin Ziyad, menapaki perjalanan Ibnu Batutah dan jejak ilmu Ibnu Rusyd di Spanyol. Lalu aku ingin melihat kehebatan kerajaan Inggris yang pernah mengangkangi dunia. Aku penasaran dengan cerita dalam buku reading kita, ada Big Ben yang cantik dan bagian rute jalan kaki dari Buckingham Palace ke Trafalgar Square,� kata Raja menggebu-gebu kepada kami. Dia memang pencinta buku pelajaran Bahasa Inggris dan hapal isinya dari depan sampai belakang. Atang, Baso, Said dan Dulmajid ikut mendongak ke langit karena penasaran melihat kami bertengkar tentang awan. Dan tidak ada satu pun dari mereka yang setuju dengan bentuk awan yang kami bayangkan. Masing-masing punya tafsir sendiri. Atang dan Baso merasa awan-awan itu bergerumbul membentuk kontinen Asia dan Afrika. Sejak membaca buku tentang peradaban Mesir dan Timur Tengah, keduanya tergilagila kepada budaya wilayah ini. Kerap mereka terlibat diskusi seru membahas soal seperti Firaun ke berapakah yang disebut di Al-Quran atau di manakah letak geografis Nabi Adam pertama turun ke bumi. �Menurutku, tempat yang perlu didatangi itu Timur Tengah dan Afrika, karena sering disebut dalam kitab suci agama samawi. Pasti tempat ini menarik untuk didatangi. Apalagi Mesir yang disebut ibu peradaban dunia. Ada Laut Merah, Kairo, Pira-mid, dan sampai kampus Al Azhar. Siapa tahu nanti aku bisa kuliah ke sana,� tekadAtang. Jangan lupa dengan Iran, Iraq, India, dan negara lainnya. Semua punya keunikan yang mengejutkan. Bagiku, wilayah Asia dan Afrika lebih menarik untuk diselami,� kata Baso mendukung Atang. Sementara Said dan Dulmajid tetap menggeleng-gelengkan kepala tidak mengerti. Walau sudah ikut menengadah bersama kami, mereka berdua tetap tidak melihat relevansi awan di ujung pucuk menara kami dengan peta dunia. Mereka menganggap, awan ini ada di langit Indonesia, karena itu apa pun imajinasi orang, itu tetaplah Indonesia. Berbicara tentang cita-cita, mereka juga sepakat bahwa negara inilah tempat berjuang dan tempat yang paling tepat untuk berbuat baik. �Ah, aku tidak muluk-muluk. Aku akan mencoba kuliah dan lalu kembali ke kampung dan membuka madrasah di kampungku,� kata Dulmajid. Said mengangguk-angguk setuju, dan menambahkan, �Aku juga. Setelah sekolah, aku balik ke Kampung Ampel, dan memperbaiki mutu sekolah dan madrasah yang ada,� kata Said. �Mungkin kita bisa kerjasama Dul?� tanya Said sambil melirik lucu. Bulu matanya yang panjang dan lentik mengerjap-ngerjap. Dul mengangguk dan mereka berjabat tangan sambil tertawa. Aku berpikir, jangan-jangan jalan Said dan Dulmajid lah yang paling benar dan mulia di antara kami. Kami terlalu bermimpi tinggi akan berkelana dan menggenggam dunia, tanpa tahu bagaimana caranya. Sedangkan Said dan Dul sudah tahu akan melakukan apa. Baso melihat kepada Said dan Dul. �Bagus saja kembali ke kampung, tapi kalian harus mencoba merantau dulu. Ingat kan apa yang kita pelajari minggu lalu, tentang nasehat Imam Syafii48 tentang keutamaan merantau?� Tanpa menunggu jawaban kami, dia melantunkan syair berbahasa Arab dari Imam Syafii: Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelahrlelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Kami termenung-menung meresapi pesan yang menggugah ini. Awan-awan sumber khayal kami sekarang berganti warna menjadi merah terang, seiring dengan merapatnya matahari ke peraduannya. Lonceng berdentang, waktunya kami ke masjid menunaikan Maghrib. Ustad Faris dalam kelas Al-Quran selalu mengingatkan bahwa Allah itu dekat dan Maha Mendengar. Dia bahkan lebih dekat dari urat leher kami. Dia pasti tahu apa yang kami pikirkan dan mimpikan. Semoga Tuhan berkenan mengabulkan mimpi-mimpi kami. Siapa tahu, senda gurau kami di bawah menara, mencoba melukis langit dengan imajinasi kami untuk menjelajah dunia dan mencicipi khazanah ilmu, akan didengar dan dengan ajaib diperlakukan Allah kelak. Malam itu, menjelang tidur, aku tulis di halaman diari tentang mimpi-mimpi kami di bawah menara tadi sore. Apakah aku benar ingin menjenguk Islam dan peradaban di negeri Paman Sam itu? Apakah ini impian yang masuk akal? Kenyataannya sekarang aku ada di jalur pendidikan agama, berada di pondok dan dikaderkan untuk menjadi guru dan ustad. Bagaimana aku bisa mencari jalan? Apa kata Amak? Apakah ini dibolehkan agama? Apa kata Randai dan orang lain mendengar mimpiku ini? Tertawa, mengejek, mendoakan, atau tidak percaya? Di kepalaku berkecamuk badai mimpi. Tekad sudah aku bulatkan: kelak aku ingin menuntut ilmu keluar negeri, kalau perlu sampai ke Amerika. Dengan sepenuh hati, aku torehkan tekad ini dengan huruf besar-besar. Ujung penaku sampai tembus ke halaman sebelahnya. Meninggalkan jejak yang dalam. �Man jadda wajadda. Bismillah�. Aku yakin Tuhan Maha Mendengar. Orator dan Terminator Hari ini semua orang memakai wajah suka cita. Ketegangan tentang hasil ujian telah reda. Tadi pagi semua nilai ujian diumumkan. Aku bersyukur sekali, hasil jerih payah belajar habis-habisan menghasilkan nilai yang baik. Begitu juga teman-temanku yang lain, di luar dugaan, kami semua mendapatkan nilai cukup baik. Kecuali Baso dan Raja. Mereka memuncaki nilai di kelas kami. Yang tinggal sekarang kesenangan. Mulai besok kami menjadi orang merdeka. Uthlah. Libur. Indah sekali rasanya melihat ke belakang perjuangan melelahkan yang aku lakukan setengah tahun ini, sekarang diganjar dengan libur setengah bulan. Bayangkan! Dua minggu tanpa jaras, tanpa kelas tanpa bagian keamanan, dan tanpa antri. Ke mana pun aku pergi, topik pembicaraan teman-teman adalah liburan. Di PM selalu ada dua golongan dalam merayakan liburan. Golongan pertama adalah golongan yang beruntung. Mereka mengepak tas dan pulang ke rumah masing-masing, naik kendaraan umum atau dijemput oleh orang tua mereka. Ini adalah golongan mayoritas. Golongan kedua adalah yang tidak pergi ke mana-mana dan tetap tinggal di PM selama liburan. Umumnya, yang tidak berlibur karena rumah mereka sangat jauh sehingga tidak efektif pemakaian waktunya, atau karena tidak punya uang untuk pulang bolak balik di liburan pertengahan tahun. Jadi mereka mengumpulkan uang untuk bisa liburan di akhir tahun kelak. Malangnya aku termasuk golongan yang kedua. Kiriman weselku selama ini lancar tapi pas-pasan. Ayah dan Amak tampaknya sedang kesulitan sehingga tidak ada dana khusus untuk libur pulang ke Padang. Aku sudah mencoba bertanya, tapi mereka berdua baru bisa mengirimkan uang tambahan minggu depan. Sudah terlalu terlambat untuk berlibur. Aku mencoba menghibur diri, kalau pun ada uang, liburanku suatu pemborosan. Waktu yang terpakai untuk naik bus bolak balik bisa 5-6 hari. Sisanya hanya 9 hari yang bisa digunakan di rumah. Karena itu aku memutuskan untuk menunda pulang di libur akhir tahun saja. Aku tidak sendiri. Baso juga tinggal di PM dengan alasan yang sama. Raja tidak pulang ke Medan, tapi ke rumah tulangnya di Jakarta. Sedangkan sisa Sahibul Menara pulang berlibur. Sejak dari pagi buta suasana PM sudah heboh. Hampir setiap orang di kamar sibuk mengemasi sekaligus membersihkan lemari kecil mereka masing-masing. Tumpukan baju, gunungan buku, dan ceceran kertas ujian tersebar di mana-mana. Barang� barang bekas yang tidak terpakai kami lempar ke karung besar yang menganga di sudut kamar. Kamar kami sudah seperti kapal dikoyak badai. Bunyi resleting koper ditarik terdengar silih berganti. Isinya lemari telah pindahkan ke dalam koper. Salam-sa-laman dan peluk erat di mana-mana. Saling mengucapkan sela� mat liburan sampai ketemu 2 minggu lagi. Aku tidak mengurus koper, tapi mengucapkan selamat liburan kepada teman-teman lain. Hari ini tidak ada lagi aturan ketat yang membuat kami harus hati-hati dengan jasus dan Tyson, karena ini juga hari libur buat mereka. Anak-anak kecil dari keluarga penjemput berteriak-teriak sambil berlarian senang melintasi halaman masjid PM yang luas. Para orang tua murid berseliweran dengan pakaian warna-warni sibuk mencari kamar anak mereka. Suasana meriah dan rileks. Beberapa orang berfoto di depan masjid dan aula kebanggaan kami. Aku sempat beberapa kali ditarik-tarik Said untuk berfoto dengan keluarga besarnya di kaki menara kami. Tidak tanggung-tanggung, dia dijemput oleh 8 orang. Dua orang tua, paman dan tante, kakek, dan nenek serta dua keponakannya yang masih balita. Rombongan para murid yang tidak dijemput keluarga sudah dinanti oleh bus-bus yang berbaris di depan aula. Kebanyakan naik ke bus carteran yang bertuliskan nama kota masingmasing. Ada yang ke Bangkalan, Denpasar, Jakarta, Jambi, bahkan Banda Aceh. Beberapa orang dijemput dengan kendaraan pribadi. Selain Said, aku melihat Saleh, teman sekelasku dari Jakarta juga dijemput orang tua dan adikadiknya dengan Toyota Kijang biru. Bapak dan Ibunya yang berpakaian muslim putih-putih sangat senang bertemu lagi dengan Saleh, anak laki�laki satu-satunya. Kami, golongan kedua, melambai-lambaikan tangan ke bus yang satu persatu meninggalkan PM. Sedikit gundah terselip di hatiku melihat kawan-kawan akan merasakan libur yang menyenangkan. Bayangan Amak, Ayah dan dua adikku di kampung aku tepis dari pelupuk mata. Sekali lagi aku hibur diriku dengan bilang, perjalanan ke Maninjau bolak balik akan sangat melelahkan. Menjelang sore, kemeriahan ini semakin susut. PM sekarang lengang dan terasa lebih luas. Entah karena penduduknya tinggal sedikit atau karena tidak ada aturan ketat yang mempersempit gerak kami. Aku, Baso dan Atang duduk-duduk santai sambil mengunyah kerupuk emping melinjo yang dibawa keluarga Said. Atang tidak jadi pulang hari ini, karena bapaknya yang datang menjemput baru sampai besok. Sepi. Yang terdengar hanya bunyi kerupuk berderak digilas geraham kami masing-masing. Aku dan Baso termenungmenung. Walau aku telah mencoba menghibur diri berkali-kali, tapi perasaan ditinggalkan ribuan orang seperti hari ini terasa aneh. PM sendiri tiba-tiba seperti tidak berdenyut lagi. Merasa senyap, tidak diajak, tidak mampu, dan berbagai macam rasa yang aku tidak pahami terasa hilang timbul. Aku melirik Baso dengan ujung mata. Matanya menatap kosong ke lonceng besar yang tegak kokoh di depan aula. Mungkin dia merasakan hal yang sama denganku. �Apa rencana kalian selama libur ini,� tanya Atang kepada kami berdua mencoba membunuh kesunyian. Dia bertanya dengan bahasa Arab, walaupun selama libur kami boleh bahasa Indonesia. �La airi. Tidak tahu. Mungkin main ke Ponorogo, atau ke perpustakaan,� jawabku sekenanya. Aku mencoba berbahasa Indonesia, walau terasa lebih pas dengan bahasa Arab. �Aku sudah punya rencana. Mencoba menyelesaikan hapalan juz kedua selama libur ini,� kata Baso tenang-tenang. Tekadnya menghapal Al-Quran tidak pernah luntur. Atang mungkin membaca perasaan kami. �Aku tahu tinggal di PM adalah pilihan kalian. Tapi, mungkin di mobil dinas bapakku masih ada kursi kosong,� katanya mengundang. Aku dan Baso sama-sama memandang wajah Atang. Tampaknya keinginan hati kami terdalam sebenarnya adalah berlibur. �Masalahnya, aku tidak punya uang sama sekali. Baru minggu depan ada,� jawabku. �Walau aku ingin menambah hapalan Al-Quranku, tapi itu bisa dilakukan setelah libur. Masalahku sama dengan Alif. Aku muflis. Bokek!� Baso menyumbang bunyi. Kembali hanya bunyi kriuk-kriuk kripik melinjo yang mendominasi. Kami bertiga hanyut dengan pikiran masingmasing. Dalam hati, aku sebetulnya bersorak dengan adanya kemungkinan yang ditawarkan Atang. Berlibur ke Bandung kayaknya menyenangkan. �Aku juga tidak punya duit sekarang. Tapi aku bisa menjamin makan dan tinggal kalian nanti gratis selama di Bandung. Pergi ke Bandung jelas tidak bayar karena naik mobil bapakku. Untuk ongkos kembali dari Bandung ke PM aku bisa meminjamkan nanti. Bagaimana?� bujuk Atang. �Boleh aku pikir dulu malam ini ya,� balasku. Walau hatiku bersorak, aku merasa perlu berhitung lagi, apakah duitnya memang ada, dan apakah enak kalau dibayarin seperti ini. Baso setuju dengan ideku untuk pikir-pikir dulu. Atang tersenyum. Begitu bangun menjelang subuh, kami berdua telah berada di depan Atang yang masih mengucek-ucek mata. Aku menjabat tangannya erat, �Thayyib ya akhi. Ila Bandung. Oke, kita ke Bandung. Atang tersenyum senang kami akhirnya mau ikut dia. Perjalanan ke Bandung sangat menyenangkan. Bapak Yunus, ayah Atang adalah laki-laki separo baya yang periang. Sepanjang perjalanan dia bercerita tentang kemajuan pendidikan di Bandung dan dengan senang hati mentraktir kami selama perjalanan. Tidak sampai 12 jam, kami telah masuk Kota Bandung yang penuh pohon rindang dan berhawa sejuk. Yang pertama aku tanya ke Atang adalah di mana letak ITB. Kampus impianku dan Randai. Pak Yunus adalah pegawai Pemda Bandung dan aktif di Muhammadiyah. Kaca depan rumahnya menempel sebuah stiker hijau dengan gambar matahari di tengahnya. �Dari mulai orang tua saya sudah aktif di pengurus cabang Muhammadiyah,� katanya Pak Yunus. Keluarga Yunus berkecukupan dan sangat menghargai seni. Dinding rumah dipenuhi lukisan, rak buku disesaki buku teater, melukis dan tari. Beberapa majalah berbahasa Sunda dan majalah Panjimas ada di meja tamu. Peragat rumahnya rapi dan berwarna terang. Rumah Atang terletak di dekat kampus Universitas Padjadjaran di kawasan Dipati Ukur. Kawasan ini hiruk pikuk dengan mahasiswa yang berseliweran masuk dan keluar gang. Menurut Atang, daerah sekitar rumahnya adalah lokasi favorit kos-kosan mahasiswa, karena dekat ke kampus. �Bahkan dua kamar di paviliun rumahku ini dijadikan tempat kos anak Unpad,� katanya. Atang ternyata sudah merencanakan sesuatu buatku dan Baso. Beberapa minggu lalu ternyata Atang dihubungi oleh teman-teman SMA-nya yang sekarang aktif di komunitas teater Islam dan seni Sunda di Universitas Padjajaran. Mereka biasa mengadakan pengajian di masjid Unpad Dipati Ukur. Begitu tahu Atang akan pulang liburan, mereka langsung mendaulatnya untuk mengisi acara pengajian bulanan minggu ini. Begitu kami menyatakan ikut ke Bandung, Atang langsung mempunyai ide baru. Daripada hanya dia yang memberi ceramah, dia meminta kami berdua juga ikut memberi kuliah pendek, tapi dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris. Kami berdua tidak punya pilihan selain setuju. Untunglah kami telah terlatih memberikan pidato dalam 6 bulan terakhir ini. Berbagai konsep pidato sudah ada di kepala, tinggal disampaikan saja. �Silakan gunakan liburan untuk berjalan, melihat alam dan masyarakat di sekitar kalian. Di mana pun dan kapan pun, kalian adalah murid PM. Sampaikanlah kebaikan dan nasehat walau satu ayat�, begitu pesan Kiai Rais di acara melepas libur minggu lalu. Kesempatan seperti yang disampaikan Atang adalah kesempatan kami untuk mempraktekkan apa yang telah kami pelajari di luar PM, menjalankan amanah Kiai Rais dan melaksanakan ajaran Nabi Muhammad, Ballighul anni walau aayah. Sampaikanlah sesuatu dariku, walau hanya sepotong ayat. Seperti undangan yang diterima Atang, kami datang ke Masjid Unpad sebelum Ashar. Di luar dugaan, shalat Ashar berjamaah di masjid kampus ini penuh. Aku sempat agak grogi melihat jamaah yang beragam, mulai dari mahasiswa, dosen, masyarakat umum, dan terutama para mahasiswi yang manismanis. Tapi begitu aku tampil di mimbar membawakan pidato Bahasa Inggris favoritku yang berjudul �How Islam Solves Our Problems�, pelan-pelan grogiku menguap. Semua teks pidato dan potongan dalil masih aku hapal dengan baik. Suaraku yang awalnya bergetar, berganti bulat dan nyaring. Bagai di panggung muhadharah, hadirin terpukau. Atang dan Baso juga tidak kalah baik penampilannya. Atang dengan lihai memasukkan berbagai macam guyon Sunda yang membuat hadirin terpingkal-pingkal. Sedang Baso, dengan lafaz Arabnya yang bersih, dilengkapi hapalan ayat dan hadisnya yang baik, membuat pendengar menganggukangguk, antara mengerti dan tidak. Pokoknya, dengan gaya masing-masing, kami bertiga membuat para hadirin berdecak kagum dan terlongo-longo. Mereka tidak biasa melihat dewi-kz.info/ pengajian dalam tiga bahasa dan dibawakan oleh tiga anak muda yang kurus, berambut cepak, tapi dengan semangat mendidih. Begitu acara selesai, kami disalami dan dipuji banyak jemaah. Ada yang bertanya bagaimana belajar pidato bahasa asing, bagaimana cara masuk PM, dan sebagainya. Dengan agak malu-malu, kami menjawab semua pertanyaan dengan sabar. Tiga mahasiswi berjilbab banyak bertanya ke Atang dalam bahasa Sunda. Mungkin bekas temannya di SMA dulu. Atang sibuk membetulkan kacamatanya yang baik-baik saja, ketika menjawab pertanyaan mereka. Di akhir acara, pengurus masjid berbaju koko yang mengenalkan dirinya kepada kami bernama Yana, menyelipkan sebuah amplop ke saku Atang. �Hatur nuhun Kang Atang dan teman semua. Punten, ini sedikit infaq dari para jemaah untuk pejuang agama, mohon diterima dengan ikhlas.� Kami kaget dan tidak siap dengan pemberian ini. Mandat dan pesan PM pada kami adalah melakukan sesuatu dengan ikhlas, tanpa embel-embel imbalan. Atang dengan kikuk berusaha menolak dengan mengangsurkan amplop kembali ke Kang Yana. Tapi dengan tatapan sungguh-sungguh, dia memaksa Atang untuk menerimanya. Besoknya Atang mengajak kami keliling Bandung naik angkot. Sesuai janji, Atang yang membayari ongkos. Dimulai dari melihat alam yang hijau Dago Pakar, melihat keramaian kota di Dago, Gedung Sate, toko pakaian di Cihampelas, keriuhan Alun-Alun dan mencari buku-buku bekas dan murah di Palasari. Di hari berikutnya kami berjalan sampai ke luar kota: Lembang dan Tangkuban Perahu. Atas permintaanku, Atang dewi-kz.info/ juga mengajak kami masuk ke dalam kampus ITB di Jalan Ganesha dan Masjid Salman yang terkenal itu. Sebuah sekolah yang sangat mengesankan dengan bangunan unik, pohonpohon rindang dan mahasiswa yang terlihat sibuk dan pakai jaket warna-warni. Sedangkan di Masjid Salman, anak-anak muda dengan jaket lusuh bertuliskan nama jurusan kuliah berkumpul di dalam masjid dan pelatarannya. Membentuk kelompok-kelompok yang sibuk berdiskusi. Mereka memegang buku, Al-Quran dan catatan. Diskusinya semangat sekali. Pemimpin diskusinya juga anak muda yang tampak lebih senior. Dia menuliskan potong-potongan ayat dan istilah-istilah modern di papan tulis kecil. Aku mencuri dengar, bacaan Arabnya tidak fasih, tulisan Arab nya apalagi, tapi semangatnya menerangkan luar biasa. Leng-kap dengan istilah-istilah modern yang tidak sepenuhnya aku pahami. Ada kecemburuan di hatiku. Atau merasa tersindir? Dengan keterbatasan ilmu agama mereka, kenapa mereka begitu bersemangat berdiskusi tentang Islam? Padahal mereka punya jadwal kuliah teknik yang konon berat. Sebaliknya aku malah ingin belajar ilmu teknik-teknik mereka. Apakah seperti ini manusia, yang tidak pernah puas dengan apa yang dipunyai dan selalu melihat kepunyaan orang lain? Betapa hebat sekolah ini telah menghasilkan seorang Ir. Soekarno, Presiden Indonesia dan beberapa menteri ternama. Mimpiku memang belum padam. Di gerbang batunya, di sebelah arca Ganesha, aku mendongak ke langit. Duhai Tuhan, apakah mimpiku masih bisa jadi kenyataan? Atang menelepon Said yang ada di Surabaya. Mendengar kami bertiga berkumpul di Bandung, dia bersikeras agar kami menyempatkan diri main ke rumahnya di Surabaya, sebelum kembali ke PM. Dia bilang, kami bisa kembali bersama mobil keluarganya ke PM. Tawaran yang menggiurkan aku. Untunglah kemudian Baso dan Atang setuju. Selain itu kami juga tertolong dengan amplop yang kami terima kemarin. Isinya cukup membantu biaya transportasi aku dan Baso. Tiga hari sebelum libur berakhir, kami bertiga meninggalkan Bandung menuju Surabaya dengan menumpang kereta api ekonomi. Said dengan senyum lebar khasnya menyambut kami dengan lengan terbuka lebar. Tangan tiang betonnya memeluk kami. Kawanku yang satu ini memang selalu bisa menunjukkan ekspresi persahabatan yang kental. �Syukran ya ikhwani lihudurikum�Pokoknya kalian tidak akan rugi main ke sini dulu,� katanya membantu mengangkat koperku. Dia memasukkan koper-koper kami ke Suzuki Hijet biru dan menyetir sendiri ke rumahnya, di daerah Ampel. Keluarga besar Said menyambut kami dengan tidak kalah meriah. Bapaknya, kami panggil Abi. Seorang laki-laki paruh baya yang tegap dan berambut putih. Dia memakai baju putih terusan seperti piyama dan jari tangannya terus memetik tasbih yang dibawa ke mana-mana. Abi menepuk-nepuk bahu kami, seakan-akan bertemu kawan lama. �Tafadhal. Silakan. Anggap rumah sendiri ya,� katanya dengan logat jawatimuran yang kental. Rumah Said bertingkat dan furniturnya terbuat dari kayu kokoh yang dipelitur hitam. �Ini kayu jati,� kata Said waktu aku tanya. Dinding rumahnya penuh lukisan kaligrafi, foto-foto keluarga dan silsilah keluarga yang seperti pohon besar, ujung bawahnya keluarga Jufri, dan ujung atasnya Nabi Muhammad. Juga ada sebuah kalender besar bertuliskan Pengurus Nahdhatul Ulama Jawa Timur, berdampingan dengan sebuah piagam yang diterbitkan oleh PBNU untuk orang tua Said atas dukungan dan sumbangan besarnya buat pembangunan sekolah NU di Sidoarjo. Dua mobil parkir di garasi depan. Baso dari tadi tidak henti-henti menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak-de-cak kagum melihat rumah Said. Said menceritakan bahwa rumah di seberangnya adalah kantor Abi, sebuah usaha batik rumahan yang cukup sukses. Kami� Atang, Baso, aku dan Said tidur di kamar yang sama, ukurannya besar dan mempunyai kasur busa yang tebal. Di dinding kamar Said masih terpampang foto-foto kejayaan semasa dia SMA. Juga ada dua poster bintang film, keduanya poster Arnold Schwarzenegger. Satu poster yang lebih baru mendominasi pintu kamarnya, foto PM dari udara. Sekolah kami tercinta.
Posted on: Wed, 26 Jun 2013 05:46:47 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015