negri 5 menara 19. Kami suka dengan ide ini tapi juga - TopicsExpress



          

negri 5 menara 19. Kami suka dengan ide ini tapi juga terbengong-bengong bagaimana pelaksanaannya. Bagaimana kami bisa ada di tengah penonton dan menyiram mereka dengan air? Jelas kami juga tidak ingin penonton merasa terganggu karena kami ada di sekitar mereka dengan alat-alat ini. Abdil, kawan dari Jakarta yang menjadi penanggung jawab panggung memberi usul. “Supaya tidak mengganggu penonton. Aku usulkan pembagian posisi yang membuat mereka tersembunyi. Posisinya ada yang meringkuk di bawah kursi, ada yang merapat ke dinding, bahkan ada yang menggelantung dari langit-langit. Aku bisa mendesain pulaupulau kecil dari tripleks dan karton di beberapa sudut aula. Pulau ini akan ditutupi kain hitam, sehingga menyerupai batu karang di tengah ruangan.” Kami mengikuti skenario dari Abdil dengan penuh perhatian. “Di dalam pulau ini kita tempatkan orang. Lalu dari sela-sela karton dan kain hitam ini akan aku lobangi untuk berfungsi menyemburkan air, angin, dan asap ke sekelilingnya. Kalau kita menyebar banyak pulau di lantai penonton, maka semua penonton sudah bisa merasakan efek-efek ini,” karanya sambil mengedarkan pandangan kepada kami yang merubungnya. Kami bertepuk tangan dan merasa ini ide yang menarik. Suasana hati kami sudah lebih rileks. Pembagian tugas lebih spesifik. Raja dan Dulmajid mengajukan diri menjadi pasukan pembuat asap. Sementara Baso yang ogah-ogahan akhir bisa menjadi ceria setelah kami serahi tugas mengoreksi dan memeriksa semua teks drama, pidato dan MC. Rencana Atang dan rancangan Abdil tampaknya akan membuat terobosan baru dalam sejarah pagelaran seni di PM. Akan susah bagi kelas 5 sekarang untuk membuat pertunjukan yang lebih baik lagi tahun depan. Kami sangat optimis. Seperti kata orang luar negeri yang aku baca, the devils is in detail. Apa yang kami setujui di rapat kemarin ternyata tidak gampang untuk dilaksanakan. Semprotan air bisa dicari di Ponorogo, pompa juga, yang tidak ada adalah bahan pembuat asap. “Setahuku ada alatnya. Tapi kalau mau bikin sendiri kita butuh karbon dioksida kering,” kata Atang dengan wajah sok tahu. Dia selalu bangga sebagai lulusan SMA jurusan fisika. “Apa itu karbon kering.7?tanyaku. “Es padat dan kering atau dry ice. Jadi berupa karbon dioksida bersuhu rendah yang dipadatkan sehingga apabila terkena udara sedikit saja, dia akan mengeluarkan asap mengepul-ngepul. Istilahnya ada kondensasi yang kemudian kita lihat seperti kabut atau asap.” Tampang Atang berbinarbinar bisa mendapat kesempatan menerangkan sesuatu yang ilmiah. Aku mengangguk-angguk saja, walau bingung. Aku percaya saja. Pagi-pagi hari Jumat, kami bertiga, aku, Said dan Atang minta izin ke Ponorogo untuk membeli es kering. Ustad Torik segera meneken tashrih, surat izin keluar sambil hanya bilang, “Begitu dapat, cepat kembali.” Urusan perizinan jadi gampang, kalau menyangkut show ini. Sialnya, telah tiga apotik besar kami datangi, semua apotekernya selalu menggeleng, “kami tidak menjual karbon dioksida padat”. Mereka menyuruh kami ke Surabaya untuk membeli barang ini. Kami berpandang-pandangan. Persoalannya kami hanya diberi izin pergi sebentar hanya untuk tujuan ke Ponorogo. Sementara kalau pulang lagi ke PM hanya untuk memperbarui izin, akan memakan waktu lama. Kalau mau hemat waktu dan tidak bertele-tele, kami harus segera ke Surabaya. Kami berunding. Setelah beberapa argumen, akhirnya kami sepakat dengan pertimbangan Said: kita langsung ke Surabaya. Toh pertimbangan ini datang dari seorang ketua keamanan pusat. Toh ini juga buat kepentingan bersama kelas enam. Apalagi Ustad Torik sudah mengizinkan kami keluar. Selama kami bisa kembali malam ini, seharusnya tidak apaapa. Kami yakin Ustad Torik akan memaklumi. Bismillah. Dengan menumpang bus umum yang berhenti di banyak tempat, kami sampai juga di Surabaya dalam waktu lima jam. Untunglah tidak sulit mendapatkan es kering di apotik kota besar ini. Jam tiga sore dengan tergesa-gesa kami naik bus ke Ponorogo. Baru jam delapan malam kami sampai ke PM dan menyerahkan kembali surat izin keluar ke kantor KP. Kami sebelumnya sudah sepakat kalau ditanya Ustad Torik, kami akan beralasan bahwa barang susah dicari sehingga butuh waktu yang lama. Untunglah tidak perlu berargumentasi. Ustad Torik tidak di tempat dan lembaran izin kami diterima tanpa pertanyaan oleh Ustad Suny yang bertugas piket malam ini. Sejak dua hari lalu kami telah memagari sekeliling aula dengan tripleks. Pagar setinggi dua meter ini untuk membuat kami bisa bekerja dengan tenang mempersiapkan dekor dan printilan lain. Selain itu kami juga ingin kejutan-kejutan interior tetap terjaga sampai pertunjukan malam ini. Dari antara kisikisi tripleks, adik-adik kelas mengintip kami bekerja, sampai kemudian mereka lari begitu melihat “The Magnificent Seven” berpatroli. Karena konsep acara kami adalah “Perjalanan Mengelilingi Dunia dalam Semalam”, desain interior kami sungguh internasional. Interior kami penuhi dengan pernak-pernik dari berbagai Negara, baik Barat dan Timur. Bahkan ada miniatur bangunanterkenal seperti Piramida Giza, Taj Mahal, Temple of Heaven di Cina yang dibuat dari tripleks, karton, dan gabus. Sehabis shalat Isya malam Jumat, rombongan demi rombongan membanjiri aula. Dalam sekejap kursi penonton di aula segera terisi penuh. Suara penonton riuh rendah menunggu aksi kami. Karena ruangan dalam aula tidak cukup menampung ribuan siswa dan tamu, kursi kayu juga dipasang di pinggir dan belakang aula. Di barisan depan, aku melihat Pak Kiai dan para guru senior telah duduk. Tepat di sebelah mereka, duduk rombongan laki-laki bersafari dan ibu-ibu berkebaya warna terang dan bersasak tinggi-tinggi. Mereka bercakap-cakap dengan muka penasaran sambil menunjuknunjuk ke panggung. Aku yakin itulah rombongan pemda yang selalu senang kalau diundang menonton acara kami. Pak Kiai dengan sabar menanggapi pembicaraan mereka. Agak ke belakang ada rombongan keluarga para kiai dan ustad. Jantungku sempat menyentak sekejap begitu aku temukan wajah Sarah menyeruak di antara mereka. Berkerudung hijau, manis seperti biasa, dan dia duduk berdekatan dengan ibunya. Bukankah sekolahnya berjarak ratusan kilo meter dari sini? Apakah dia benar-benar penasaran dengan acaraku—maksudku acara kami, sehingga harus datang jauh-jauh? Hah, pikiran ge-er-ku datang. Sebagai bendahara pertunjukan, aku tidak banyak terlibat di panggung. Jadi aku menyibukkan diri untuk membuat laporan behind the scene untuk majalah Syams saja. Karena itu aku sibuk botak-balik dari belakang layar sampai ke kursi penonton untuk membuat reportase. Memang, aku dan juga Dul merasa tidak berbakat tampil di depan umum untuk acara pertunjukan yang menghibur. Tapi Atang tampaknya kasihan melihat kami yang tidak punya masa depan dalam dunia panggung. Dia lalu memberi kami berdua kesempatan untuk punya peran kecil di drama komedi pendek sebelum show utama. Tugas aku dan Dul menjadi wartawan yang mewawancarai aktor utama. Achng-nya cuma menyorongnyorongkan tape kecil ke depan wajah tokoh utama sambil bertanya bla-bla-bla. Itu pun cuma sekitar 15 detik saja. Peran kecil yang sekilas dan tidak penting. Tapi aku bersedia saja, karena paling tidak aku nanti bisa cerita pernah ikut tampil di panggung show ini. Akhirnya datang juga waktunya.Tepat jam 7.30 malam: It’s show time. Sebuah gong besar dipukul oleh Said di belakang panggung. Bunyinya yang jumawa dan bergaung ke setiap sudut ruangan bagai menyedot semua bunyi-bunyi lain. Suara penonton yang tadi riuh, hilang pelan-pelan. Semua kini hening. Semua mata menatap panggung. Lampu redup pelanpelan. Atang memberi aba-aba ke belakang panggung, dan perlahan-lahan layar dikerek ke atas. Panggung yang gelap, sedikit-sedikit menjadi terang. Memperlihatkan panggung berlatar belakang pa-dang pasir dan gunung-gunung pasir yang terbuat dari karung-karung berisi kapas. Beberapa pohon palem dalam pot di tempatkan di pinggir, untuk mewakili pohon-pohon kurma. Tiga orang berdiri mematung di tengah setting ini. Raja memakai jas panjang hitam dan dasi, sementara rambutnya berminyak berkilat-kilat disibak ke belakang. Kurdi dengan baju teluk belanga, kopiah hitam, dan sarung yang dilipat dewi-kz.info/ setengah membelit pinggang. Teguh di dalam balutan jubah putih terusan yang gombrong dan surban yang diikat bulatan hitam di kepala. Mereka mengantarkan acara malam ini dengan bahasa Inggris, Indonesia dan Arab. Setelah koor yang membawakan lagu Father and Son dari Cat Stevens, dan drama komedi singkat yang aku terlibat sekilas, layar diturunkan. Semua lampu kami matikan. Inilah acara puncak malam ini. Drama dengan judul “The Great Adventure o f Ibnu Batutah”. Pelan-pelan layar disingkap diiringi bunyi angin bersiut-siut keluar dari kaset. Tepat di tengah panggung tampak siluet seorang yang termenung duduk di pelana seekor kuda. Badan Malik, pemeran Ibnu Batutah, yang semampai dibalut baju putih panjang yang gombrong. Dia memakai tutup kepala mirip Pangeran Diponegoro. Ujung kain tutup kepalanya menjuntai sampai ke punggung dan berkibar-kibar diterjang angin. Gagah sekali. Cerita dibuka dengan sang tokoh mengikuti sebuah kafilah, untuk memulai perjalanannya dari Maroko ke tanah Hijaz, wilayah di pesisir barat Semenanjung Arab, tempat Mekkah dan Madinah berada. Tujuannya untuk naik haji. Angin ribut dan topan padang pasir sedang berkecamuk. Angin datang dari kipas besar di samping panggung. Ada pun kuda adalah pinjaman dari Pak Simin, tukang andong yangbiasa mangkal di gerbang PM. Masuk setengah jalan pertunjukan, Abdil mengangkat tangan. Seketika, lampu besar di atas panggung berkerjapkerjap seperti blitz raksasa. Ini artinya aba-aba untuk memulai efek empat dimensi yang sudah dirancang Abdil. Lalu, seiring dengan kipas-kipas besar dari panggung mengibarkan bajubaju pemeran, kawan-kawan yang sudah kami tempatkan di setiap pulau mengeluarkan kipas listrik dan mengarahkan ke orang-orang di sekitarnya. Penonton yang tidak siap dengan dewi-kz.info/ efek ini berteriak kaget. Mereka terkesiap, terkesima, tiba-tiba merasa seperti tertiup angin gurun padang pasir. Ustad Torik sampai harus memegangi sorban arafatnya supaya tidak diterbangkan hembusan angin buatan ini. Sound effect bunyi angin gurun terus berbunyi, memperkuat efek inderawi. Kini seakan-akan topan angin padang pasir melanda seluruh aula, panggung dan tempat penonton. Layar turun pelan-pelan. Tepuk tangan bergemuruh mengapresiasi pendekatan teater kami yang unik ini. Kami telah menggenggam hati para penonton. Setelah intermezo, layar kembali dikerek. Berlangsung adegan ketika Ibnu Batutah menghadapi badai hujan tropis ketika sampai di Samudera Pasai. Abdil kembali mengangkat tangan. Dan hujan turun di mana-mana. Lampu tembak diarahkan ke segala penjuru, menghasilkan kilatan-kilatan laksana petir. Penonton pun menerima semburan percikan air dari pulau-pulau yang sudah kami siapkan. Tidak sampai membikin basah kuyup, tapi cukup membuat penonton ikut merasa dalam adegan Batutah berjalan-jalan di tanah Gayo selama beberapa hari. Penonton semakin mencintai kami. Aku yakin itu. Dan sebagai penutup, kami memperlihatkan perjalanan Ibnu Batutah memasuki daratan Cina melalui sungai yang lebar dengan latar belakang gunung berlapis-lapis yang indah. Sebuah lukisan besar memperlihatkan sungai meliuk-liuk di antara punggung gunung dan memasuki daerah yang penuh kabut. Inilah saatnya kami beraksi dengan es kering. Tiba-tiba lantai penonton dialiri oleh kabut yang awalnya seperti permadani, menyelimuti lantai, lalu semakin tebal dan membuat penonton merasa ikut hilang dalam pengembaraan ini. Pertunjukan ditutup dengan Batutah kembali pulang ke kampungnya di Maroko setelah mengelilingi dunia selama 30 tahun. Kiai Rais dan para guru bertepuk tangan dengan semangat sambil berdiri. Para aparat pemda dan istrinya tidak mau ketinggalan, sambil berdecak kagum dan menggelenggelengkan kepala. Para adik kelas kami bersuit-suit tiada henti. Hanya kelompok kelas lima yang bertepuk ragu-ragu. Mereka mungkin mulai bingung bagaimana membuat lebih hebat lagi tahun depan. Kiai Rais langsung maju ke panggung dan memuji semua penampilan kami. “Sebuah hasil dari upaya kerja keras dan kreatifitas tinggi. Terima kasih telah menghibur kami dan saya memberi nilai 9 untuk semua ini,” kata beliau sambil bertepuk tangan. Sudah menjadi tradisi, setiap akhir acara, Kiai akan memberi nilai lisan kepada pertunjukan. Kami yang berkumpul di belakang layar melonjak-lonjak gembira sambil berpelukan. Kerja keras kami hampir 2 bulan rasanya terbayar berlipat ganda mendengar pujian Kiai Rais. Di antara kabut buatan yang mulai turun, aku melihat Sarah bersama ibunya beranjak pulang dengan wajah puas. Entah Sarah melihatku atau tidak, tapi aku cukup senang dia ada di sini. Shaolin Temple Tidak kering-kering rasanya bibir kami kelas enam membicarakan betapa suksesnya show kemarin. Ceritanya beraneka rupa dari yang sebenarnya terjadi sampai yang diragukan kesahihannya. Mulai dari Khair yang sempat akan dicubit seorang penonton perempuan yang marah karena merusak sanggulnya dengan hembusan kipas angin, Malik pemeran Ibnu Batutah yang benjol kepalanya karena terantuk mik yang menggantung, sampai cerita beberapa ibu-ibu pamong praja yang menyatakan niatnya tertarik mengambil anak kelas 6 sebagai menantunya kelak. Yang pasti sahih adalah kami mengarak Atang, Said dan Abdil lalu kami ceburkan ke bak kamar mandi. Tiga hari kemudian, ketika kami sudah melepas lelah, kami bertemu lagi di aula untuk evaluasi dan pembubaran panitia. Ustad Torik, guru pembimbing yang biasanya bermuka dingin, kali ini royal berbagi senyum, walau tipis-tipis saja. Pengarahannya lebih banyak berisi pujian dan sedikit kritik untuk persiapan kami yang tidak tuntas sampai hari H. Sedangkan dari kami sendiri, banyak kawan menganggap kekurangan skow kemarin adalah tidak mantapnya perencanaan teknis, sehingga perubahan acara dan teknis masih terus terjadi beberapa hari sebelum hari H. “Iya, contohnya ketika kita tiba-tiba harus ke Surabaya untuk membeli es kering. Kalau sudah kita rencanakan dari awal, kita tidak perlu tergesa-gesa seperti itu,” kataku sambil mengenang perjalanan ini. Surabaya? Daun telinga Ustad Torik langsung tegak berdiri. Dia tampak mencoba mengail-ngail ingatan kalau pernah ada penugasan ke Surabaya. Dua hembusan napas kemudian, dia segera bertanya galak, “Surabaya? Kapan itu? Aku mencium bencana dari kejauhan. Ragu-ragu aku menjawab,”Tiga hari sebelum show, Tad….” “Siapa yang otorisasi kalian ke sana?” serbunya dengan nada tinggi. Kami semua terkesiap. Bencana itu sedang mengetokngetok pintu. Aku merasa sekian sorot mata kini menghujatku. Said yang masih menjabat keamanan sampai bulan depan mencoba mengusai keadaan. “Kami minta izin ke Ponorogo, tapi barangnya hanya ada di Surabaya. Untuk kelancaran acara, waktu sudah tidak mungkin kembali ke PM. Jadi kami terus ke Surabaya…” “Jawab pertanyaan saya: siapa yang otorisasi?” “Inisiatif kami, Tad.” “Sejak kapan kalian melebihi KP?” “Maaf Tad, suasana mendesak sekali. Kami harus bertindak cepat.” “Kalian bisa pulang ke sini minta izin dulu.” “Takut terlambat Tad,waktunya sempit sekali….” Dengan nada dan tatapan dinginnya. Ustad Torik memotong. “Itu bukan alasan. Menunggu sampai pagi pun masih bisa. Kalian sudah tahu aturan adalah aturan. Semua yang ikut ke Surabaya saya tunggu di kantor. SEKARANG JUGA.” Muka Said langsung rusuh. Tampaknya dia tahu benar kalau dia salah besar. Dalam buku pegangan keamanan, pergi keluar tanpa izin yang resmi adalah pelanggaran berat. Sungguh ganjil melihat komandan “The Magnificent Seven” yang ditakuti murid-murid kini berada dalam posisi tersudut. Atang hanya bisa pasrah. Aku merutuk diri karena salah ucap. Kawan-kawan menepuk-nepuk punggung kami, mencoba membagi simpati. Era 50 Kami bertiga bergerombol duduk di lantai. Ruangan ini berlangit-langit tinggi. Dinding diisi rak-rak buku kaca yang berisi bundel-bundel dokumen yang tebal. Menurut rumor, di sini terdapat semua laporan dan catatan perilaku setiap orang yang ada di PM dan alumni. Di tengah ruangan ada karpet tipis berwarna merah, tempat kami duduk. Dan persis di depan karpet ini berdiri kokoh sebuah meja kayu panjang tanpa pelituran. Di belakang meja inilah tiga ustad KP duduk dengan aura angker. Ustad Torik dengan wajah besi mendehem serak sebelum buka suara. “Baru kemarin dipuji-puji, tapi kini kalian memalukan. Sebagai kelas tertinggi, kalian yang harus jadi teladan adikadik kelas. Saya kecewa sekali.” Sedangkan pikiranku berlari ke sana-sini, mencoba mencaricari celah pengampunan. Apalagi aku merasa pernah cukup berjasa dan pernah bekerja sama dengan Ustad Torik untuk persiapan menjadi student speaker wakru kedatangan Duta Besar Inggris. Bapak Dubes sampai berkali-kali menunjukkan betapa senangnya dia terhadap pidatoku kala itu. Bukankah itu sesuatu sumbangsih yang besar buat PM. Semoga aku dimaafkan dengan pertimbangan ini. Said tampaknya juga sedang mencoba menggali-gali memorinya, apa saja yang mungkin bisa dijadikan kalimat pembelaannya. Sementara Atang yang baik dan lurus, selalu telah merasa bersalah terlebih dahulu dan tidak banyak membuat perlawanan kalau memang merasa bersalah. Bagi dia ketaatan kepada hukum itu sangat penting. “Kalian tahu, dan saya juga tahu, kalian sudah bantu pondok,” seolah-olah bisa membaca pikiran kami. “Tapi ingat, di sini adalah tempat memberikan jasa, bukan minta dan mengingat jasa. Dan kepastian hukum adalah yang pertama kita jaga supaya ini terus melekat ke diri kalian, kapan dan di mana pun. Kepastian hukumlah yang membuat PM menjadi sekolah yang baik.” Tidak berlama-lama, dia menyuruh kami berdiri dengan suara mengguntur. “Berdiri dan menghadap ke dinding,” katanya dingin. Kami segera patuh dan memutar menghadap dinding, membelakangi mereka bertiga. Aku pasrah dan memejamkan mata, apa pun yang akan terjadi terjadilah. Walau aku mencoba mengantisipasi apa saja, degup jantungku terus berdentam-dentam. Stereo pula. Dan, tiba-tiba benda sedingin es segera menyentuh kudukku, membuat aku merinding di kuduk dan tangan. Dan erik… erik… erik… dengan lapar sebuah gunting memangkas rambutku. Mulai dari kuduk, terus naik ke ubun-ubun dan setelah itu bergerak ke kiri dan ke kanan tidak beraturan. Potongan rambutku yang lurus-lurus berguguran menjatuhi lantai, bercampur dengan potongan rambut keriting Said yang berdiri di sebelahku. Dalam beberapa menit kami telah menjelma bagai murid shaolin yang punya kepala berbinarbinar. Tidak ada yang bicara di antara kami bertiga. Said yang gagah perkasa tak kuasa menegakkan badan. Atang hanya dapat menunduk seakan kepala seberat batu karang. Aku sendiri bertarung dengan rasa malu. “Semoga ini menjadi pelajaran buat kalian seumur hidup, dan kalian ikhlas menerima hukuman ini,” pesan Ustad Torik melepas kami di pintu kantornya. Pintu terkuak. Kami bagai murid Shaolin yang baru keluar dari gerbang padepokan. Kami manusia berkepala botak yang memantul cahaya matahari gilang gemilang ke segala arah. Adik-adik kelas yang melihat kami lewat terlongo-longo. Sebagian lain tampaknya menyembunyikan senyum. Mungkin mereka tidak habis mengerti bagaimana mungkin seorang penjaga kedisiplinan seperti Said bisa kena tulah botak. Said semakin tertunduk. Kembali ke aula, kami disambut tepuk tangan oleh temanteman kelas enam. Sedangkan kami bertiga mengelus-ngelus kepala botak kami, memelas. Bagaimana pun kami salah, kami dianggap pahlawan yang membela kepentingan bersama show kami. Seharusnya aku bersyukur kehilangan rambut saja. Said selain kehilangan rambut, juga kehilangan jabatan. Kasus ini membuat dia menjadi orang bebas lebih cepat sebulan daripada semestinya. Hukum di sini tidak pandang rambut. Salah sedikit, gunting bertindak. Said yang telah berhasil menemukan optimisme normalnya lalu menggamit kami berdua. “Ya akhi, sebelum ke asrama, kita ke studio foto dulu yuk. Kapan lagi tiga orang berkepala shaolin berfoto pakai sarung.” Said memang selalu tahu bagaimana mengambil sisi positif dari setiap bencana. Walau sudah dibuldozer habis oleh Ustad Torik, kepala kami belum botak tuntas. Di sana-sini masih ada rambut dan pulaupulau rambut yang tidak rata. Lebih jelek daripada botak licin. Kesimpulanku: Ustad Torik bukan seorang tukang botak yang baik. Inilah saatnya Pak Narto turun tangan. Laki-laki kurus berusia 50-an tahun ini adalah tukang cukur resmi PM. Dia menguasai nasib ribuan kepala penduduk PM. Kepada
Posted on: Mon, 01 Jul 2013 13:45:33 +0000

Trending Topics




© 2015