“...,sebuah tombak mengatakan padaku bahwa seorang lelaki - TopicsExpress



          

“...,sebuah tombak mengatakan padaku bahwa seorang lelaki seperti sebuah pohon yang bertahan dalam banjir musim dingin,harus bersiap untuk menjadi bengkok dan patah,jika tidak seperti seorang pelaut yang tidak menggulung layarnya menghadapi badai,maka dengan tombak aku meremas adonan roti yang aku makan,dengan tombak aku memeras anggur yang aku minum,aku bersandar pada tombakku,aku tak suka perempuan dengan rentangan kaki lebar yang berjalan angkuh namun berikan padaku dia yang bisa berdiri kokoh di atas kakinya,seorang perempuan berhati penuh yang tidak goyah di tempat kakinya tertancap sebagaimana sebuah tombak,kemudian kuyakini bahwa setiap tanah yang kusinggahi senantiasa dapat kutaklukkan dengan tombak sebagaimana Cyprus...” (Sophocles,Lycurgus VI,Plutarch,Antigone N’“The Seven Sages”,II.Alexander the Great,) Tuhan telah menciptakan segala apa yang ingin diciptakanya,keberadaan Tuhan (ultimum reality) adalah sebuah misteri (tacit) yang senantiasa menjadi (bhava) dan merombak dirinya demi sebuah keberlanjutan,setiap apa yang pernah diciptakan atau diadakan akan kembali pada awalnya yang tiada (decontruction) dan lalu kembali menjadi (recontruction),demikianlah sebuah ciptaan berjalan sebagai suatu misteri (misteria),apa yang ada dalam agama (religion) adalah apa yang mendasari untuk suatu hukum agama (religion law),namun demikian sebelum adanya agama manusia telah ada dan hal tersebut bukan berarti manusia atau setiap apa yang diadakan dalam rotasinya (samsara) tak ber-Tuhan,agama yang mendasari adanya hukum agama (nomotheia) diadakan sebagai sebuah upaya mediasi (intermediare) yang menghubungkan hubungan (relasi) alam dengan manusia. Hubungan manusia dengan Tuhan dalam kenyataan yang ada belum dirasa mencukupi,setiap kesenjangan relasi manusia dengan alam (anomia) telah menjadi bukti (novum) bukan hanya sebuah peniadaan atas agama semata namun juga peniadaan Tuhan (theocide) dan keberadaan dari manusia sendiri sebagai eksistensi sebagai dirinya sendiri (l’existence),dengan kata lain agama (hukum agama) menjembatani hubungan hukum manusia (lex humana) dengan hukum alam (lex naturalia) dalam hukum agama (lex religio) dalam menyadari adanya hukum yang tertinggi dan utama (nomoi virtu) ,yaitu hukum Tuhan (lex dei) yang dilandaskan oleh kebebasan Tuhan atas sebuah kehendak (will) bagi segala apapun. Pada dasarnya apa yang disebut hukum (ius) berbeda dengan istilah hukum (lex) yang disepakati berdasarkan kontak sosial (social kontrak) ataupun karena sebuah otoritas kekuasaan (statuta),namun hukum menyangkut alam dan Tuhan dalam artian khusus kerap disebut dengan istilah “ius”,namun secara umum istilah hukum (lex), yaitu menyangkut pada kebebasan Tuhan (parinibbana) yang adalah sebuah absoluditas dan kemudian menjadi bagian dari sebuah kontrak sosial (consensus) ,namun kehendak Tuhan adalah sebuah relativitas (anicca) dan agama adalah sebuah sarana (superstructure) yang menengahi hubungan manusia dengan alam (naturalitas),dan ketika manusia berada pada ketidakseimbangan dirinya dengan alam (disharmonium). Beberapa agama diturunkan pada sebuah periode dalam rentang masa tertentu (distingsi),termasuk para utusan (avatar) yang membarengi adanya agama,setiap kondisi disharmoni (dis-equilibirium) antara manusia dengan alam merupakan sebuah proses peniadaan Tuhan,namun bilamana manusia harmoni (laras) dengan alam,maka hal tersebut berarti manusia ber-Tuhan,sekalipun tanpa adanya agama,setiap nafsu (tanha) yang tiada terkendali dari manusia menjadikan manusia jauh dari hubungan dirinya dengan alam (semesta) dan hal tersebut berarti semakin jauhnya hubungan manusia dengan Tuhan (Aumkara),bahwa Tuhan telah ada sebelum adanya alam (phusis),ataupun bahwa manusia dan mahluk lain telah ada sebelum adanya agama,adalah sebuah contoh telah adanya kesadaran manusia akan adanya Tuhan (pattisandhi vinana),meskipun melalui sebutan yang beraneka ragam (saguna) sebagai sebuah simbolisasi (rupa) bagi pencapaian manusia dalam memahami Tuhan (emanasi) melalui esensialitas (hakekat) dirinya sebagai apa yang diciptakan. Adanya sejarah (in creatum) seolah telah memposisikan manusia pada takdir kodratiah dirinya (faktisitas) untuk ber-Tuhan,meskipun hal tersebut tak melalui pemutlakkan Tuhan (theodicy) melalui sebuah agama yang mesti diimani,karena sekali lagi mesti ditekankan bahwa kebebasan telah mendahului adanya iman,sebagaimana sejarah (samskara) telah ada sebelum adanya agama,dalam sebuah masyarakat yang pada dasarnya telah memiliki sejarah serta kebudayaan (culture) sebelum mereka dituntut untuk beriman,manusia sebagai mahluk individual (homo individualis) pada dasarnya meyakini adanya Tuhan,terutama ketika dirinya menyadari adanya selektivitas alamiah (natural selectivity) atas mereka serta adanya sebuah evolusi (l’evolution). Ketika manusia dihadapkan pada keterbatasan pada potensi yang ada pada dirinya,manusia kemudian akan menyadari adanya sebuah kekuatan (kekuasaan) lain (liyan) pada dirinya (pour soi) ataupun di luar dirinya (en soi) atau melampaui keduanya (omni soi) sebagai apa yang disebut dengan iman (faith) yang diawali oleh adanya sebuah kebebasan (nibbana),hal ini kemudian menjadi sebuah cikal bakal (ontos) dari berbagai dogma (docrine) agama yang ada serta sekaligus adalah keterbatasan apapun terhadap ruang (space) ataupun waktu (time) yang membatasi setiap apapun atas sebuah kehendak Tuhan (God will) dengan segala misteri (absurditas) dari relativitas (kefanaan) pada kehendak diriNya,hingga lalu manusia kemudian menyadari ketidakmulakkan dirinya dan segala apa yang terkait pada dirinya sebagai sebuah sistem (upadana) dimana manusia kemudian seolah menyadari sebuah kehadiran (presentation) dari adanya sebuah struktur hakekat dari setiap struktur yang disadari terkait pada dirinya sebagai mahluk struktural karena adanya sejarah yang mendahului dirinya selain Tuhan.. Sejarah kemudian mengkondisikan manusia untuk berada pada sejarahnya,sesuatu yang terikat pada ruang (sein) ataupun waktu (zeit),meskipun sebagian kecil manusia mungkin dapat mengatasi ataupun melampauinya melalui sebuah kesakitan yang dinikmati (masokisitas),namun pada dasarnya kebanyakan manusia tak mampu mengatasi ataupun melampaui ruang (pada) ataupun waktu (kala) melalui sebuah “dukha” ataupun “amor fati” bilamana manusia berada dalam kendali naluriah dirinya semata tanpa harmoni dirinya dengan Tuhan serta alam yang terkait pada dirinya sebagai manusia melalui kesamaan kepasrahan dirinya dengan keberanian. Ruang (templum) ataupun waktu (temphus) menjadikan manusia menyadari evolusi alam dan evolusi dirjinya (self) serta yang lain pada sebuah kompetisi (acceleration) yang kemudian memposisikan naluri dirinya pada sebuah ruang percepatan pemenuhan hasrat (pleonexia) ketimbang kehendak (cetana) nan asali ,manusia kebanyakan (das man) terjebak pada pola kontruksi pemikiran Abraham Maslow (mazhab ketiga),atau terjebak pada sebagaimana yang diucapkan Dante atas nafsu (lust) yang ada pada dirinya sebagai sarana yang menjembatani hubungan dirinya dengan iblis (seduction),namun hal ini tak menutup kemungkinan hubungan selaras manusia dengan alam,dan sekali lagi hal ini terjadi jauh sebelum adanya agama ataupun iman. Meskipun ada kalanya manusia menyadari adanya Tuhan di atas,di bawah ataupun setara (epieikeia) dengan iblis (evil) dan dirinya atau peniadaan salah satu ataupun keduanya melalui ataupun tidak melalui “sadomasokisitas” ataupun bunuh diri (l’suicide), sebagaimana “yoga jhana”,iblis (Tuhan) kerap diacu oleh manusia sebagai sebuah kekuatan lain (others power) dimana iblis (Tuhan) sendiri merupakan produk ke-Tuhanan yang pada dasarnya memiliki tujuan (telos) untuk mengimani adanya Tuhan sebagai sebuah kekuasaan tertinggi tak hanya bagi dirinya (demon) namun juga atas yang lain,dengan demikian adanya agama tak menjamin adanya kesadaran manusia akan keberpenuhan kekuasaan Tuhan bagi dirinya selain iman semata yang menimbulkan keraguan (pesimisme) bagi keberpenuhan eksistensialitas dirinya yang pada dasarnya ber-Tuhan. Tuhan,iblis,manusia ataupun keberadaan (ketiadaan lain) telah ada jauh sebelum adanya agama,sebagaimana filsafat pada sejarahnya yang telah ada sebelum adanya agama,dengan kata lain filsafat identik dengan agama,meskipun agama tak identik dengan filsafat,sebagaimana perspektif pemahaman (verstehen) kebanyakan manusia (kolektivitas) dalam komparasi iblis (terrena) dengan Tuhan melalui dirinya sebagai manusia (pour homme) dengan segala kelebihan ataupun kekurangan talenta (elan) yang ada pada dirinya sebagai suatu subjektivitas otonom (absolud ich) atas pertanggung-jawaban ilmu pengetahuan yang ada pada dirinya sebagai sebuah kebebasan dan tanggung jawab (responsibilitas) yang tak lepas dari adanya hukum utama ke-Tuhanan,yaitu kebebasan kehendak Tuhan dalam hukum Tuhan (nomotheia) sebagai sumber dari segala struktur hukum (lex) yang ada dan dipahami manusia sebagai hukum mutlak bagiNya. Hukum Indonesia dalam sejarah Indonesia adalah merupakan sebuah produk dari sejarah adanya penjajahan (kolonialisme) yang pernah ada di Indonesia,hukum yang kini berlaku di Indonesia banyak mengacu dari hukum yang diciptakan oleh Belanda (kumpeni) serta sebagian besar masih diberlakukan dalam hukum di Indonesia yang tak hanya mempengaruhi pada struktur pemerintahan ataupun sistem masyarakat kita namun juga negara kita yang mana sejarah adanya hukum pada masyarakat (kebudayaan) mengalami resepsi (hegemoni) menjadi sebuah bagian dari suatu struktur pemerintahan kolonial (Hindia Belanda) yang berada di atas sistem pada masyarakat (kebudayaan) dimana beragam kemajemukan (multiplisitas) norma (hukum adat) terdapat pada aneka kelompok sosial (budaya) yang bhineka (plural),termasuk sub-budaya (tradisi) ataupun sub-masyarakat (kelompok sosial) yang memiliki berbagai kerangka acuan norma (adat recth) yang tiada lepas dari suatu totem (simbol) ataupun tabu (pamali) yang ada pada setiap lapisan sistem strukturalitas asali yang pada pada setiap bentuk masyarakat dan kelompok sosial (komunitas) yang ada pada masyarakat Indonesia yang walau bagaimanapun juga sama sekali tak dapat lepas dari adanya sejarah (historisitas) ataupun juga kebudayaan yang telah ada bahkan sebelum kata Indonesia dikenal oleh masyarakat (bangsa) kita. Adalah sebuah pertanyaan dalam kehidupan universal untuk mempertanyakan sejarah itu sendiri ketika kita dihadapkan pada filsafat sebagai ontologi epistemik bagi ilmu pengetahuan yang determinan dengan hukum,eksistensi filsafat menjadi awal bagi adanya sejarah,meski ada sejumblah pendapat yang mengatakan mengenai sejarah filsafat,namun di pihak lain terdapat visi mengenai filsafat sejarah,hal ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan mengenai korespondensi (resiprokalitas) antara senioritas atas pengetahuan dengan ilmu,yang kemudian dalam ranah paska-modernitas (post-modernitas) memunculkan kembalinya teknologi pada arkeologi dimana status matriarki (anima structure) ditinjau ulang setelah patriarki (animus structure) diposisikan alam (naturalia) pada sebuah puncak hegemonial. Manusia kemudian mencari titik temu antara hukum Tuhan,hukum alam dan hukum paradoksikalitas yang diciptakanya karena hukum lain yang melekat padanya (lex mundi),namun demikian sebuah sejarah tak dapat dipungkiri memunculkan adanya hukum (nomoi) yang kerap kali tanpa landasan ilmu (matri-knowledge) selain pengetahuan (patri-science) dan bahkan tanpa paradigma sejarah ataupun filsafat sama sekali selain sebuah kehendak (cetana) yang melahirkan kehendak lain (gestalt) sebagai sebuah dialektika bagi sebuah proses,meskipun tak selamanya dialektika dapat dikatakan sebagai sebuah proses. Hukum (ius) adalah pengetahuan (connaissance) ketika hukum terciptakan karena empirisitas (culture) yang kemudian menciptakan pengenalan manusia akan sejarah dirinya (historical introduction) dan hukum melalui perasaan dan jiwanya,sebuah mazhab yang dirintis oleh David Hume yang terkait dengan kontruksi filsafat Jean Paul Sartre dan Friedrich Hegel,namun hukum adalah ilmu (savoir) ketika hukum terkait dengan metodologi (civillization) yang terkait dengan hubungan hukum dengan filsafat,terutama adalah Rene Descartes (Cartesian) yang kemudian juga determinan (identik) dengan ranah dari Imanuel Kant dan Karl Marx,setiap potensi eksistensi manusia dan apapun yang terkait pada dirinya adalah sebuah subjek hukum,termasuk pikiran (kognisi) dan tubuh (technai) ataupun juga perasaan (afeksi) dan jiwa manusia (archai). Kesadaran hukum adalah sebuah kesadaran diri manusia tak hanya sebagai mahluk hukum (homo yuridis),namun juga mahluk sejarah (homo historicum) ataupun juga adalah mahluk filsafat (homo philosophicus),sebuah sistem yang muncul dari sebuah struktur kehendak (structure of will) yang memunculkan struktur baru baik sebagai dialektika ataupun sebagai sebuah proses peniruan (mimetik) tanpa meniadakan sistem sebelumnya sebagai ontologi yang diawali kebebasan Tuhan akan suatu kehendak kreatif bagi adanya filsafat,sejarah dan hukum yang memunculkan struktur hukum lain di bawahnya sebagai sebuah sistem koloni Tuhan yang kemudian memposisikan manusia sebagai mahluk mahluk struktural (homo structuralis) yang tak lepas dari alam dan budaya (sejarah) serta Tuhan sebagai suatu keterkaitan setiap subjek hukum dari sebuah kehendak yang muncul dari kebebasan Tuhan sebagaimana yang pernah diungkapkan seorang filsuf terkenal Ficthe mengenai “Aku Absolud” yang muncul dari kebebasan (nibbana) dalam menciptakan subjek hukum di bawah sebuah kompetensi (otoritas) dari suatu kebebasan sebagai sebuah kehendak absolud pada awal ke-Tuhanan.
Posted on: Sun, 22 Sep 2013 02:37:39 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015