seorang sejarahwan tasawuf, menyatakan bahwa “tarekat - TopicsExpress



          

seorang sejarahwan tasawuf, menyatakan bahwa “tarekat pada mulanya adalah metode gradual kontemplatif dan penyucian diri (tharîqah ): Sekelompok murid berkumpul mengelilingi seorang guru sufi terkemuka, bersama- sama menempuh pelatihan ruhani, namun sama sekali tak terkait dengan bentuk bai‘at apa pun.” Ia menyebut tarekat periode pertama ini (tharîqah ) sebagai “suatu ungkapan keberagamaan pribadi murni … yang berseberangan dengan pelembagaan agama berdasarkan otoritas (manusia).” Pada periode kedua, sekitar abad kedua belas, pelatihan ruhani itu kemudian mengalami pelembagaan berdasarkan garis silsilah guru dan kewajiban bai‘at . Akibatnya, pada periode ketiga, sekitar abad kelima belas, tarekat berubah menjadi struktur organisasi yang hierarkis ( thâ’ifah ). Menurut Trimingham, menjamurnya organisasi hierarkis tarekat—yang menjadi menyerupai organisasi gereja dan cenderung dipimpin secara turun-temurun, dengan makam para walinya sebagai pusat berdoa—praktis membawa kemunduran tasawuf dari nilai- nilai murninya. Di samping adanya ritual-ritual tertentu yang dianggap bertentangan dengan praktik- praktik ajaran Islam, sekurang- kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang mengenai tarekat ini: Pertama , soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan cenderung bisa diwariskan. Kedua , soal bai‘at yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga , soal keabsahan (validitas) garis silsilah guru yang diklaim oleh setiap tarekat sampai kepada Nabi Saaw. Mengenai yang ketiga, memang di dunia tarekat ada beberapa contoh silsilah lengkap, disusun sebelum abad ketiga belas, yang bersambung kepada Nabi Saaw. Namun ba­ nyak kritik yang mencurigai otentisitas sejarah silsilah itu. Dalam sebuah kasus yang diteliti oleh Trimingham secara terpisah, Ruzbihan Baqli dalam tulisannya, sama sekali tidak menyebut satu pun tarekat standar ( mu‘­ tabarah), bahkan dia tidak menye­ but seorang guru pun dari tokoh semasanya yang bisa diketahui melalui sumber lain. Harus juga ditekankan bahwa silsilah tarekat-tarekat resmi sama sekali tidak mencakup semua tokoh sufi terkemuka. Nama-nama sejumlah otoritas sufi awal sama sekali tidak tercantum dalam silsilah utama. Sebuah penelitian kasar yang dilakukan Departemen Wakaf (semacam Depag) di Pakistan telah mengungkapkan bahwa sekitar setengah dari ma­ kam para wali di Provinsi Punjab ternyata tak termasuk silsilah sufi besar mana pun. Soal lain yang juga banyak dipermasalahkan adanya kepercayaan bahwa seorang murid bisa saja dibaiat tanpa harus bertemu langsung dengan gurunya. Misalnya, dalam silsilah Tarekat Naqsyabandiyah dipercaya bahwa Abul-Hasan Al- Kharaqani (w. 1034 M) telah di­ baiat oleh ruh Abu Yazid Al- Busthami (w. 874 M) yang telah meninggal jauh sebelum Abul- Hasan hidup. Jenis bai‘at gaib ini dalam tarekat dikenal sebagai bai‘at uwaisî—diambil dari nama Uwais Al-Qarani, seorang Yaman yang semasa dengan Nabi Saaw. Uwais tak pernah berjumpa dengan beliau. Meskipun demikian, dikabarkan Rasulullah mengirimkan jubah beliau kepadanya yang dipercaya sebagai semacam baiat “jarak jauh”. Selain itu, ada juga beberapa sufi terkemuka yang telah mengklaim (atau diklaim) dibaiat oleh Nabi Khidhir yang dipercayai tak pernah mati. Ternyata sebagian kalangan tarekat sendiri menolak jenis bai‘at gaib itu. Ada beberapa tarekat yang tidak diakui keabsahannya oleh kalangan tarekat lain karena silsilah yang diklaimnya disambungkan oleh jenis bai‘at gaib ini. Salah satu contohnya adalah Tarekat Tijaniyah, yang di dalamnya sang guru, Ahmad Tijani, yang hidup dua belas abad setelah Rasulullah, dipercaya telah di­ baiat oleh ruh beliau. Al-Qusyasyi mengatakan bahwa kesetiaan kepada guru akan menuntun sang murid kepada makna sejati jalan mistis. Meski begitu, dia menentang ajaran tarekat yang menuntut murid untuk berlaku di depan gurunya seperti mayat di depan pemandinya. Pendapat Al- Qusyasyi ini diikuti pula oleh muridnya, Abd Al-Rauf Al-Sinkili (w. 1690 M), seorang ulama asal Aceh yang dikenal sebagai Syaikh Syathariyyah. Juga dalam hal ter­ tentu diikuti oleh murid lainnya asal Makassar, Muhammad Yusuf Al-Makassari (w. 1699 M). Al- Makassari mengatakan bahwa jika seorang guru melanggar syariat, maka hendaknya murid tidak mengikutinya. Di samping itu, kepemimpinan tarekat di antara mereka pun tak diwariskan. Pergantian syaikh benar-benar didasarkan pada pilihan atas murid yang terbaik. Lebih jauh, para syaikh sufi Haramayn ternyata bebas dari citra “ma­ nusia suci”. Basis kegiatan tasawuf mereka pun bukan terutama di ribâth , melainkan di Masjid Al-Haram dan Masjid Al- Nabawi. Jaringan tarekat seperti itu lebih memperlihatkan tarekat sebagai wahana untuk menempuh pelatihan ruhani, sejenis tarekat yang menyerupai tarekat periode pertama sebagaimana dilukiskan Trimingham, yakni tarekat sebagai ungkapan keberagamaan pribadi murni. (Persoalannya, apakah tarekat peninggalan mereka itu sampai sekarang masih menyimpan sifat yang sama? Saya sendiri tidak tahu. Tetapi, tanpa keluasan dan keda­ laman ilmu seperti para pendahulunya, hampir bisa di­ pastikan bahwa ia mundur mengikuti pola umum yang dikeluhkan Trimingham). Seperti terungkap sebelumnya, salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuh­ an buta kepada seorang manusia —yang bertentangan dengan semangat Islam. (Bukankah cukup contoh dalam sejarah dini Islam bahwa Rasulullah dan para sahabat membuka diri bukan hanya untuk bermusyawarah de­­ ngan para pengikutnya—yakni, dalam hal-hal yang tidak qath‘î — bahkan tak jarang sebagian di antara para pengikutnya itu mendebat?). Tarekat memang seharusnya sama saja dengan tasawuf. Sebab, tharîqah —sebagai kata asli fenomena ini—tak lain berarti adalah jalan upaya maksimal untuk menjalankan syariat sekonsisten mungkin. Atau meminjam bahasa Allahbakhsh K. Brohi, tharîqah adalah semacam disiplin diri yang dirancang untuk menjadikan manusia dapat menerima tuntutan syariat sebagai panggilan dari lubuk hatinya yang paling dalam—bukan lagi sebagai kewajiban yang dipaksakan dari luar. Jadi, jika di­ pahami dengan benar, tarekat atau tasawuf sesungguhnya adalah anak kandung syariat itu sendiri.[]
Posted on: Sun, 03 Nov 2013 17:57:57 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015