بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ - TopicsExpress



          

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ Makna Laa Ilaaha Ilallah menurut para ulama ahlussunnah dari kalangan salaf (terdahulu) sampai sekarang begitu pula para muhaqqiq (ulama peneliti) adalah: لا معبود بحق إلا الله (Laa ma’buuda bi haqqin ilaallaah) “Tidak ada (sesembahan) yang diibadahi dengan benar selain Allah.” Yaitu beritikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, mentaati hal tersebut dan mengamalkannya. Kalimat Laa Ilaaha Illallah ini mengandung makna penafian (نفي /peniadaan) sesembahan selain Allah pada kalimat Laa Ilaaha (لاإله). Kemudian itsbat (إثبات/penetapan) untuk Allah semata pada kalimat Illallah (إلا الله). Khabar Laa ilaaha illallah harus ditaqdirkan dengan bihaqqin (بحق /yang hak), tidak boleh ditaqdirkan dengan maujud (موجود/ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini tentu kebatilan yang nyata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah.” (QS. Muhammad: 19 Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah, فالعلم بمعناها واجب و مقدم على سائر أركان الإسلام “Mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah adalah wajib dan harus didahulukan dari seluruh rukun Islam yang lainnya.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, من قال لا إله إلا الله مُخلِصا دخل الجنة “Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan keikhlasan hati, pasti ia masuk surga.” (HR. Ahmad, hadits shahih) Orang yang ikhlas ialah yang memahami Laa Ilaaha Illallah, mengamalkannya, dan menyeru kepadanya sebelum menyeru kepada yang lainnya. Sebab kalimat ini mengandung tauhid (pengesaan Allah), yang karenanya Allah menciptakan alam semesta ini. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyeru pamannya Abu Thalib ketika menjelang ajal, يا عم قل لا إله إلا الله ، كلمة أحاجّ لك بعا عند الله “، و أبى أن يقول لا إله إلا الله “Wahai pamanku, katakanlah, ‘Laa Ilaaha Illallah’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah), seuntai kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu di sisi Allah, maka ia (Abu Thalib) enggan mengucapkan laa ilaaha illallah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama 13 tahun, beliau mengajak (menyeru) bangsa Arab: قولوا لا إله إلا الله ، فقالوا إلها واحدا ! ما سمعنا بهذا ؟ “Katakanlah, ‘Laa Ilaaha Illallah’ (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah), maka mereka menjawab: “Hanya satu sesmbahan, kami belum pernah mendengar seruan seperti ini?” Demikian itu, karena bangsa Arab MEMAHAMI makna kalimat ini. Sesungguhnya barangsiapa mengucapkannya, niscaya ia tidak menyembah selain Allah. Maka mereka meninggalkannya dan tidak mengucapkannya (karena kesombongan yang ada pada diri mereka). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada mereka, إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ, وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ, بَلْ جَاءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan (Ilah) yang berhak disembah melainkan Allah)’, mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila? ‘Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)’.” (QS. Ash-Shaffat: 35-37) Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, من قال لا إله إلا الله و كفر بما يُعبد من دون الله ، حرُم ماله و دمهُ “Barangsiapa mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah) dan mengingkari sesuatu yang disembah selain Allah, maka haram hartanya dan darahnya (dirampas/diambil).” (HR. Muslim) Makna hadits tersebut, bahwasanya mengucapkan syahadat mewajibkan ia mengkufuri dan mengingkari setiap peribadatan kepada selain Allah, seperti berdo’a (memohon) kepada mayit, dan lain-lainnya. Ironisnya, sebagian orang-orang Islam sering mengucapkan syahadat dengan lisan-lisan mereka, tetapi mereka menyelisihi maknanya dengan perbuatan-perbuatan dan permohonan mereka kepada selain Allah. Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah, “لا إله إلا الله ” أساس التوحيد و الإسلام ، و منهج كامل للحياة ، يتحقق بتوجيه كل أنواع العبادة لله ، و ذلك إذا خضع المسلم لله ، و دعاه وحده ، و احتكم لشرعه دون غيره “Laa Ilaaha Illallah adalah asas (pondasi) tauhid dan Islam, pedoman yang sempurna bagi kehidupan. Ia akan terealisasi dengan mempersembahkan setiap jenis ibadah untuk Allah. Demikian itu, apabila seorang muslim telah tunduk kepada Allah, memohon kepadaNya, dan menjadikan syari’atNya sebagai hukum, bukan yang lainnya.” Berkata Ibnu Rajab rahimahullah, “الإله” هو الذي يطاع ولا يُعصى هيبة و إجلالا، و محبة و خوفا و رجاء ، و توكلا عليه ، و سؤالا منه ، و دعاء له ، و لا يصلح هذا كله إلا لله عز و جل ، فمن أشرك مخلوقا في شيء من هذه الأمور التي هي خصائص الإله ، كان ذلك قدحا في إخلاصه في قوله :”لا إله إلا الله “، و كان فيه من عبودية المخلوق، بحسب ما فيه من ذلك” “Al-Ilaah (الإله) ialah Dzat yang ditaati dan tidak dimaksiati, dengan rasa cemas, pengagungan, cinta, takut, pengharapan, tawakkal, meminta, dan berdo’a (memohon) kepadaNya. Ini semua tidak selayaknya (diberikan) kecuali untuk Allah . Maka barangsiapa menyekutukan makhluk di dalam sesuatu perkara ini, yang ia merupakan kekhususan-kekhususan Allah, maka hal itu akan merusak kemurnian ucapan Laa Ilaaha Illallah dan mengandung penghambaan diri terhadap makhluk tersebut sebatas perbuatannya itu.” Sesungguhnya kalimat “Laa Ilaaha Illallah” itu dapat bermanfaat bagi yang mengucapkannya, bila ia tidak membatalkannya dengan suatu kesyirikan, sebagaimana hadats dapat membatalkan wudhu seseorang. Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, أنّ العبادة لا تسمّى عبادة إلا مع التوحيد، كما أنّ الصلاة لا تسمّى صلاة إلى مع الطهارة، فإذا دخل الشرك في العبادة فسدتْ كالحدَث إذا دخل في الطهارة “Bahwa ibadah tidak teranggap dia ibadah kecuali bila disertai dengan tauhid. Sebagaimana shalat, tidaklah teranggap sebagai shalat kecuali jika disertai dengan bersuci. Karenanya jika ibadah dicampuri syirik, maka rusaklah ibadah itu, sebagaimana rusaknya shalat bila disertai adanya hadats.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة “Barangsiapa yang akhir ucapannya Laa Ilaaha Illallah, pasti ia masuk surga.” (HR. Hakim, hadits hasan) Kesempurnaan suatu bangunan sangatlah bergantung kepada kokohnya pondasi tersebut. Adapun kesempurnaan dalam beragama harus memiliki dasar-dasar yang kuat, dan dasar-dasar tersebut harus pula memenuhi syarat-syaratnya. Berkata Wahb bin Munabbih sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari, “Setiap kunci memiliki gigi-gigi, dan kunci surga adalah Laa Ilaaha Illallah.” Beliau juga berkata: “Gigi-gigi kunci tersebut adalah syaratnya, jika engkau membawa kunci yang memiliki gigi niscaya akan terbuka pintunya dan jika tidak memiliki gigi tidak akan dibuka bagimu.” (Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulil Mufid hal. 2) Kemudian beliau juga menjelaskan, “Laa Ilaaha illallah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi setiap pengikrarnya. Semua syarat tersebut tidak diharuskan untuk dihafalkan tetapi cukup untuk diamalkan kandungannya walaupun tidak dihafal.” (Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulil Mufid hal. 3) Syarat-syaratnya terhimpun dalam bait syair dibawah ini: عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعَ مَحَبَّةٍ وَانْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلِ لَهَا “Ilmu, yakin dan ikhlas berikut kejujuranmu bersama. Cinta, ketundukan dan kepasrahan menerimanya.” Syarat Pertama: Mengilmui makna kalimat Laa Ilaha illallah. Maknanya adalah mengilmui dan mewujudkan di dalam amal karena tidak cukup hanya mengilmui maknanya lalu tidak mengamalkannya. Bukankah orang Kafir Quraisy di masa silam lebih mengetahui maknanya dibanding kaum muslimin di masa sekarang? Namun pengetahuan mereka tentang kalimat yang agung ini tidak menjadikan mereka beriman disebabkan mereka tidak mau mengamalkan apa yang mereka ketahui. Hal tersebut nampak ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka agar mengucapkan Laa Ilaaha Illallah sembari mereka menyangkal. أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ “Apakah dia (Rasulullah) akan menjadikan sesembahan-sesembahan (ini) menjadi satu? Sesungguhnya ini perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5) Tentang syarat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firmanNya, إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ “Kecuali bagi orang yang mempersaksikan kebenaran dan mereka mengetahuinya.” (QS. Az-Zukhruf: 86) فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah.” (QS. Muhammad: 19) Diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang meninggal dan dia mengetahui kalimat La ilaha illallah akan masuk ke dalam surga.” Syarat kedua: Yakin terhadap makna yang dikandungnya. Keyakinan yang akan menghilangkan keraguan pada diri seorang muslim. Artinya, yang mengucapkannya meyakini kebenaran, kandungan, dan konsekuensi kalimat tersebut, dengan keyakinan yang pasti dan bukan dengan dugaan belaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu padanya dan mereka berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa-jiwa mereka, merekalah orang-orang yang jujur.” (QS. Al-Hujurat: 15) Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyaratkan kejujuran iman orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tidak ada keraguan padanya. Karena ragu dalam keimanan merupakan sifatnya orang-orang munafiq. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ “Barangsiapa yang engkau jumpai di belakang tembok ini, yang mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah, dengan penuh keyakinan dalam hati maka berikanlah kabar gembira dengan surga .” Sٍyarat Ketiga: Ikhlas Keikhlasan yang akan memadamkan segala gejolak kesyirikan, kemunafikan, riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar/populer). Karena ikhlas dalam pandangan agama adalah membersihkan amalan dengan niat yang baik dari segala noda-noda kesyirikan. فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ “Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ “Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan penuh keikhlasan dari hatinya .” Dari ‘Itban bin Malik, telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلىَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang megucapkan Laa Ilaaha Illallah semata-mata mencari wajah Allah.” Syarat Keempat: Jujur Kejujuran yang akan menghilangkan sifat dusta. Artinya, orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha Illallah harus dibenarkan oleh hatinya, karena jika dia mengucapkannya dengan lisan lalu hatinya tidak membenarkan apa yang diucapkan maka dia adalah orang munafiq dan pendusta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, الم, أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengucapkan kami beriman lalu tidak diuji. Dan sungguh Kami telah menguji orangorang sebelum mereka, agar Allah benar-benar mengetahui siapa di antara mereka yang jujur dan siapa yang berdusta.” (QS. Al-’Ankabut: 1-2) Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiayallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلىَ النَّارِ “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah rasul Allah dengan penuh kejujuran dalam hatinya, melainkan Allah akan mengharamkan neraka atasnya .” Syarat Kelima: Cinta Artinya cinta terhadap kalimat yang besar ini dengan segala konsekuensinya dan mencintai pula orang yang mengamalkan maknanya beserta syarat-syaratnya, juga membenci para penentangnya. وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ “Dan di antara manusia ada orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (di mana) mereka cinta kepadanya sebagaimana cintanya kepada Allah, sedangkan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165) Orang yang bertauhid akan mencintai Allah dengan kecintaan yang murni. Sebaliknya, orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala namun bersamaan dengan itu juga mencintai selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tentu hal ini akan menafikan ketauhidannya. Syarat Keenam: Ketundukan Ketundukan dan pasrah diri dalam melaksanakan segala konsekuensi kalimat tersebut dengan cara menolak semua jenis kesyirikan yang akan membatalkan ketauhidan. وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ “Dan barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dan dia dalam berbuat baik, maka sugguh dia telah berpegang dengan tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22) Syarat Ketujuh: Menerima Artinya menerima kalimat tersebut dan kandungannya, dengan lisan dan hatinya, beserta segala konsekuensinya dengan menghilangkan sikap penolakan apa yang dituntut oleh kalimat tauhid tersebut. إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ, وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan (Ilah) yang berhak disembah melainkan Allah)’, mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 35-37) Maka jika kita menginginkan kekokohan dalam agama, maka sempurnakanlah pondasi bangunan Islam tersebut. Dan juga hendaknya setiap muslim menerima dakwah kepada tauhid, serta mencintai pada da’inya. Karena sesungguhnya tauhid adalah dakwah para rasul secara keseluruhan, juga dakwah Rasul kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa mencintai Rasul, niscaya dia akan mencintai dakwah kepada tauhid dan barangsiapa membenci kepada dakwah tauhid, maka berarti ia telah membenci Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu Ta’ala A’lam Maraji’: - Al-Qowa’id Al-Arba’, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah - Kekokohan Agama dengan Menyempurnakan Pondasinya, Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah hafidzhohullah, asysyariah - Kitab At-Tauhid, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafidzhohullah - Minhaj Al-Firqoh An-Najiyyah wa Ath-Thaifah Al-Manshurah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah
Posted on: Sat, 10 Aug 2013 13:57:13 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015