-= BEAUTIFUL NO MORE =- A Case Story from Criminal Case, New - TopicsExpress



          

-= BEAUTIFUL NO MORE =- A Case Story from Criminal Case, New version by : Lov’ Chapter. (5) - Ending Pada chapter sebelumnya, aku dan Jones mendapati seluruh suspect ternyata memakai parfum De’ Homme. Dan ketika Lydia Holly, saksi mata yang meyakinkan kami kalau si pembunuh adalah seorang yang berkulit putih pucat, mengatakan bahwa dia sempat melihat ada kalung separuh hati di tangan korban, itu membuat aku dan Jones berpandangan heran. Tahu-tahu kami merasa seluruh suspect dan termasuk saksi – kecuali Bift – memiliki kalung ‘separuh hati’. Hanya saja kami belum memastikan kalung yang kami temui di laci meja kerja Collin Stuard adalah miliknya atau milik Trixie, mengingat kami tidak menemukan sebuah kalungpun pada jasad korban. “Kita harus kembali menemui si Collin ini dan memastikan kalung ini milik siapa!” gumam Jones melangkah ke mobilnya. Aku mengangguk dan melangkah menjajari langkah partnerku tersebut. Dan sesampainya di tempat kerja Collin, pria itu ternyata sedang berada di gedung bioskop. Itu kesempatan bagi kami untuk kembali menggeledah kamar kerjanya. Tiga ekor kucing tampak terkejut dan melompat keluar begitu kami masuk. Ternyata Collins juga penyayang kucing. Dan entah mengapa, kami kembali mendapatkan kotak penyimpanan Collin yang disembunyikan di belakang lemarinya. “Brankas ini terkunci dengan nomor digital!” gumam Jones menoleh ke arahku. “Kau pasti bisa membukanya, kan Lind?” Aku mengangguk. Ini adalah bagian paling kusuka saat di akademi dahulu. Membuka brankas model apapun, aku selalu mendapat nilai A. Itu sebabnya Jones menyerahkan brankas model ‘biasa-biasa saja’ itu kepadaku dengan ringannya. Dan dalam hitungan detik, brankas yang tidak lebih besar dari sebuah kotak sepatu itupun terbuka. “Ckckck! Kau yakin kalau kau dulu bukan seorang perampok, Lind?” komentar Jones terkekeh. Aku hanya manyun sebentar, lalu tersenyum. Di dalam brankas itu kami mendapati setumpuk photo Trixie Velvet yang tampaknya di ambil diam-diam dari jarak yang aman. Juga satu rol negative film yang kami yakini berisi photo-photo Trixie juga. Lalu mendadak pintu kamar kerja Collin menggebrak menabrak dinding. Ternyata Collin. “Apa yang kalian cari di ruang kerjaku?” teriaknya marah. Dua bola mata dibalik kacamata tebalnya tampak melotot seperti hendak keluar. Mukanya yang pucat pasi berjerawat tampak merah membara. “Kau bertanya apa yang dicari polisi di kamarmu?” tanya Jones retoris. Collin tampak mengkerut. “ Kalian tidak bisa sembarangan masuk dan mengacak-acak kamar kerjaku! Jika sekali lagi kalian datang, aku ingin kalian membawa surat geledah!” ujarnya bersungut-sungut. Jones mengernyitkan keningnya sekilas, lalu tertawa. “Manis sekali keinginanmu, Collin! Kami tidak boleh menggeledah dan mengacak-acak kamarmu? Memangnya kau siapa? Kau ini suspect! Calon tersangka! Paham? Tapi kalau kau berkeras, baiklah. Kami akan membawa surat yang kau inginkan itu bahkan lengkap dengan surat penangkapanmu!” Mulut Collin menganga, “Surat penangkapanku? Atas dasar apa kau menangkapku?” “Ini! Photo-photo ini! Kau menguntit Trixie dan mengambil photo-photonya dan aku yakin kau melakukannya tanpa seizinnya!” Collin tampak terkejut saat Jones memperlihatkan setumpuk photo-photo gadis idamannya yang disimpannya di dalam kotak brankasnya. “Tidak ada larangan seseorang mengambil photo orang lain, selagi itu tidak mengganggu orang itu!” “Tidak ada larangan? Ckckck! Tentu saja, Collin. Tapi itu jika kau hidup di negeri culun! Kau stalker, Collin! Dan itu kejahatan! Aku bisa memenjarakanmu detik ini juga!” kali ini kulihat Jones berkata dengan tegas. Wajahnya tampak serius, berbeda dari biasanya. Sorot matanya tajam memandang Collin, hingga pria lemah itu tampak mengkerut bagaikan karet terkena panas. “Kau bahkan pencuri dan pembunuh!” “A..apa?” Collin bagai tersambar petir mendengar tuduhan Jones. “Ini!” Jones memperlihatkan kalung separuh hati tepat ke depan hidung Collin, membuat pria itu tergugup setengah mati. Wajahnya kembali memucat bahkan seperti sudah kehabisan darah. “Ini milik Trixie, kan? Kau mengambilnya setelah membunuhnya, kan?” “A…aku tidak membunuh…Trixie…” “Kau harus mengaku, Collin! Dikalung ini ada terdapat sidik jarimu dan sidik jari Trixie! Kami juga menemukan botol parfum De’ Homme milikmu, yang aroma itu juga terdapat di pakaian Trixie! Kau membunuh Trixie! Kau menyukai Trixie, mengikutinya siang dan malam, dan karena gadis itu tidak menyukaimu, maka kaupun membunuhnya malam itu! Benar begitu, kan Collin?” Collin menatap Jones tanpa berkedip. Tubuhnya gemetar hebat. Lalu dia menoleh ke arahku dan mendadak menangis sejadi-jadinya. “Iya! Iya! Kuakui kalau aku suka pada Trixie. Aku diam-diam mencintainya. Tetapi aku sadar tidak mungkin gadis secantik Trixie mau menerima cinta laki-laki sepertiku. Itu sebabnya aku mengikutinya dan sebagai pengobat rindu, aku selalu memotretnya. Itu semata-mata kulakukan karena aku sangat menyayanginya. Aku juga berusaha menjaganya, meski dari jauh. Aku tahu dia bekerja pada malam hari, dimana banyak berkeliaran orang-orang jahat. Aku tidak ingin dia celaka! Tetapi malam itu…huhuhu…malam itu…” “Kenapa malam itu? Kau kesal dan lantas membunuhnya?” “Bukan, detektif! Malam itu aku terlambat. Aku sakit perut dan harus menghabiskan waktuku setengah jam di toilet dan aku terlambat menjaga Trixie. Begitu aku datang ke belakang restoran itu, tempat biasa Trixie keluar untuk pulang, yang kudapati justru tubuhnya yang tergeletak tak bernyawa. Aku terkejut dan hampir pingsan melihat kondisinya yang mengenaskan. Wajah cantiknya…huhuhu…hancur tak berbentuk! Malang sekali nasibnya. Kejam! Kejam sekali orang yang telah membunuhnya. Dan…dan saat aku melihat ada kalung di tangannya, aku segera mengambil kalung itu sebagai kenang-kenangan,lalu lari begitu aku mendengar ada suara langkah orang mendekat. Begitulah cerita yang sesungguhnya, detektif. Aku tidak pernah membunuh Trixie. Aku bukan pembunuh. Bahkan aku tidak sampai hati membunuh seekor kecoa! Huhuhu…” “Pantas saja di kamarmu banyak kecoa!” gerutu Jones seraya menoleh ke arahku. “Bagaimana, Lindsay? Apa kau tahu siapa pembunuh Trixie yang sesungguhnya?” Aku mengangguk. “Aku tahu. Ayo kita menangkapnya!” jawabku melangkah keluar. Jones mengangguk dan mengikuti langkahku. Setelah di mobil, aku meminta Jones memacu mobilnya menuju La Sancarella. Karena di sanalah keberadaan si pembunuh yang sebenarnya. “Lagi-lagi kalian?” teriak Toni begitu melihat kami datang. Tetapi kami mengabaikan teriakan pemilik restoran itu dan terus melangkah menuju lobbi bar. “Alice August! Kau ditahan atas pembunuhan Trixie Velvet! Kau berhak diam atau seluruh kata-katamu akan memberatkanmu di persidangan!” ucapku tegas. Dan dengan sigap aku menangkap pergelangan tangan gadis muda itu, menariknya ke belakang dan memborgolnya sebelum melarikan diri. “Aku tidak membunuh, Trixie! Aku tidak membunuhnya!” teriak Alice berusaha meronta-ronta dan melepaskan diri dari peganganku. “Ya! Kaulah yang membunuh Trixie dengan menghantamkan palu ke mukanya hingga tewas! Mengaku sajalah!” ujarku tegas. Alice menangis sesaat. Lalu mendadak berubah tersenyum lebar. “Aku tidak membunuh Trixie, detektif! Aku justru mencintainya! Sudah lama aku mencintai Trixie. Tetapi dia terlalu sibuk dengan tamu-tamu prianya. Hingga malam itu, aku menulis surat dan mengaku sebagai penggemarnya. Aku memintanya bertemu di belakang restoran. Maksudku aku ingin mengungkapkan perasaanku selama ini kepadanya. Tetapi dia malah terkejut melihatku. Katanya dia berpikir kalau aku – si pengagum rahasianya – adalah seorang pria. Lalu dia merobek-robek suratku dan membuang kalung separuh hati yang kuberikan kepadanya. Setelah itu dia menertawaiku. DIA MENERTAWAIKU, DETEKTIF!!! Aku benci ditertawai. Terlebih oleh orang yang sangat kucintai. Dan entah mengapa, aku melihat sebuah palu tidak jauh dari tempatku berdiri. Maka dengan cepat kuraih palu itu dan kuhantamkan ke wajah cantik Trixie. Kupukul dan kuhancurkan tengkoraknya hingga tawanya terhenti, dan wajahnya tak cantik lagi. Hahahah!” “Kau akan mendekam dipenjara selama lebih 40 tahun, Alice!” ucapku menggelengkan kepala dengan prihatin. Sementara Jones tampak terdiam, terpaku bagai patung. Dia pasti tak menyangka gadis semanis Alice bisa melakukan hal setega itu. Demikian juga Toni dan Bift yang ternyata turut menyaksikan pengakuan tersebut. *** Jones membawakanku sekotak pizza dan segelas jus. Meletakkannya di meja kerjaku dan menatapku.”Dari mana kau tahu kalau pelakunya adalah Alice August?” tanyanya sembari duduk di hadapanku. Aku tersenyum. “Dari caranya bersikap manis kepadamu. Itu dilakukannya untuk menghapus jejak kalau dia adalah seorang yang menyukai sejenis.” Jones menelan ludah.”Itu artinya, aku kembali jomblo, ya?” Aku tergelak.”Tenang, Jones! Jomblo is never dies!” Jones manyun. “Tetapi aku yakin, ada hal lain yang lebih spesifik yang membuatmu yakin kalau Alice lah pelakunya,kan?” Aku mengangguk. “Kalung separuh hati. Aku sudah menyelidiki kalung itu. Ternyata kalung itu dijual secara berpasangan. Tentu saja, karena separuh hati yang lainnya akan kita berikan kepada pasangan yang kita cintai. Aku tahu Toni sudah memiliki istri. Demikian juga Lydia Holly sudah menikah. Dan ketika Collin mengaku kalau kalung yang ia punya dia dapatkan dari tangan Trixie, aku teringat kalau satu-satunya pemilik kalung separuh hati yang masih single adalah Alice.” Jone menatapku.”Ckckck! kau hebat, Lindsay! Tak sia-sia aku memilihmu menjadi partnerku! Ayo kita minum!” Jones mengangkat gelas birnya, sementara aku mengangkat gelas jusku. Tak berapa lama Nathan, Grece dan Alex bergabung bersama kami untuk merayakan keberhasilan kami dalam mengungkap misteri kematian Trixie Velvet. Maka dengan ini, kasus pembunuhhan inipun resmi ditutup! Case is closed! *And Beautiful No More is End! ** Bagi yang udah ngikutin dari chapter pertama, silahkan komen yak? Makasih… :)
Posted on: Wed, 03 Jul 2013 15:15:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015