48 Komentar: 0 3 Tanpa terduga, anak sulung kami yang kala - TopicsExpress



          

48 Komentar: 0 3 Tanpa terduga, anak sulung kami yang kala itu masih duduk di kelas 3 SMA, bertanya: “Ma, saya sekolah dimana ya?”. Dia bertanya sambil bergulang guling di tempat tidur. Pertanda sedang galau bercampur manja dan rasa jenuh melanda dirinya. Tak urung pertanyaannya membuat saya mengernyitkan dahi. Semenjak SMP, Eko termasuk anak yang tertib, sudah mampu mengatur sendiri waktunya. Sekian jam waktu belajar, sekian jam refreshing : menonton televisi atau bermain game. Karena itu ketika dia meminta izin untuk mengikuti bimbingan belajar kelas platinum yang cukup mahal, kami tidak keberatan. Pertimbangannya: Eko pasti bertanggungjawab mengikuti kelas belajar hingga akhir. Kami juga percaya lembaga bimbingan belajar ternama penyelenggara kelas platinum tersebut akan memberi pengarahan jalur akademis yang sebaiknya dipilih, sesuai minat dan nilai-nilai pengayaan. Tapi, kok anak sulung kami masih galau? Maka setelah berembug dengan suami, sayapun mendaftarkan Eko untuk mengikuti psikotest ulang pada klinik psikolog yang telah lama kami kenal. Sebelumnya ada masukan dan pertimbangan mengenai test sidik jari serta test graphology untuk mengetahui minat anak yang ‘katanya’ hasilnya lebih akurat. Semua kami kesampingkan karena seperti berobat ke dokter. Yang dibutuhkan bukan sekedar obat yang harus diminum tapi juga dialog yang nyaman antara dokter dan pasien tentang penyakit, penyebab dan tindakan preventifnya. Pada hari yang ditentukan kami bertemu dengan ibu psikolog (sebut saja ibu I) yang berambut putih, amat bijak serta murah senyum. Tiga hasil psikotest dibuka bersama: dari SMA, dari lembaga bimbingan belajar (bimbel) dan dari tim psikolog ibu I. Hasilnya sudah tertebak semenjak awal: Eko menyukai teknik industri. Mumpung sedang konsultasi, saya menanyakan kemungkinan dia masuk fakultas kedokteran. Ternyata cocok! Karena Eko tekun belajar dan nilai-nilainya bagus semua. Semenjak anak-anak masih kecil, saya sangat berharap salah seorang dari antara mereka kelak menjadi seorang dokter. Alasannya sederhana, Indonesia masih membutuhkan banyak dokter di pelosok daerah. Bahkan ketika bencana alam menimpa, seorang dokter dapat segera membantu hanya berbekal ilmu yang dimiliki. Seorang dokter yang ikhlas membantu akan berkelimpahan berkah. Eko ternyata mau mencoba test masuk Fakultas Kedokteran. Test masuk pra Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) diselenggarakan jauh hari sebelum peserta didik mengikuti ujian akhir nasional (UAN) dan lulus. Setiap PTN menyelenggarakan test masuk pra SNMPTN dengan nama yang berbeda. Tiga perguruan tinggi negeri (PTN) yang diikutinya yaitu UGM, ITB dan UI. Universitas Pajajaran tidak diikuti karena pelaksanaan testing bersamaan dengan ITB. Sayangnya test pertama dan kedua di UGM gagal. Test masuk pertama (USM I) di ITBpun gagal. Sedih rasanya melihat sulung kami terjungkal amat dini. Banyak yang menyayangkan perjuangan Eko: kok nggak menunggu SNMPTN? Apa tidak yakin dengan kemampuannya yang selalu meraih juara pertama atau kedua di kelasnya di salah satu sekolah menengah favorit Kota Bandung? Tentu saja kami mempercayainya. Dengan segala resiko yang harus dialami, test masuk pra SNMPTN sebetulnya juga merupakan bekal persiapan. Sekaligus mencoba peluang. Setiap PTN memberikan peluang 100 % dalam bentuk test masuk pertama, test kedua dan test ketiga (SNMPTN). Beberapa PTN hanya memberikan 2 kali test (test mandiri dan SNMPTN). Dibutuhkan dana lumayan banyak hanya untuk mengikuti test masuk. Tapi pertimbangan lainnya adalah pengalaman ini dibutuhkan agar adik-adiknya tidak salah mendaftar dan memutuskan program pendidikan yang bakal ditempuhnya. Gagal di USM pertama ITB, Eko berhasil lolos USM kedua. Itupun bukan fakultas dambaannya (Teknik Industri), tetapi pilihan kedua: Teknik Sipil. Selain itu fakultas kedokteran Universitas Indonesia (UI) juga menolaknya, Eko diterima di Fakultas Teknik Mesin (pilihan kedua). Pilihan akhir Eko adalah ITB, alasannya sederhana: “Tidak harus kos di luar kota Bandung. Nanti kalo saya lapar gimana? Yang ngurus baju saya siapa?”. Duh Eko, si sulung berbadan bongsor yang aleman (manja) ^-^ Dikemudian hari saya bersyukur Eko diterima di fakultas teknik dan bukan fakultas kedokteran karena saya hampir melupakan bahwa semenjak kecil anak ini mudah merasa jijik. Sehingga ketika adik-adiknya sudah mampu BAB sendiri, Eko masih berperang dengan rasa enggan harus membersihkan organ tubuhnya yang terkena kotoran. Bisa dibayangkan jika Eko harus membedah organ tubuh dan bergelut dengan urine dan faces :D Pengalaman jatuh bangun kakaknya dalam mengikuti test PTN, sangat memudahkan Iyo (anak kedua) ketika dua tahun kemudian harus menentukan pilihan. Setelah mendapat sinyal dari ibu I bahwa Iyo cocok di Fakultas Kedokteran, ia mengikuti test masuk UGM. Sayang ditolak, Iyo diterima masuk Fakultas Kehutanan (pilihan kedua). Endingnya: Selain bangga memiliki kakak kelas bernama Jokowi yang sekarang menjabat Gubernur DKI Jakarta, Iyo juga aktif di MAPALA UGM sehingga tubuhnya menjadi sehat berotot. Penyakit radang amandel hampir tidak pernah menderanya, padahal dulu hampir setiap bulan dia tersiksa. Beda Eko dan Iyo, anak ketiga kami Bimo lebih santai. Tidak suka matematika dan semua pelajaran eksak, Bimo memilih jurusan IPS. Ibu I menyarankan Bimo untuk mengambil jurusan Ilmu Sosial karena cocok untuk dirinya. Sayangnya ilmu ini hanya berkembang pesat di negara-negara Eropa seperti Jerman. Kita masih belum bisa melepaskan belenggu orde baru yang mendewakan lulusan fakultas teknik dan kedokteran. Tanpa menyadari bahwa untuk mengimplementasikan suatu teknologi baru diperlukan ilmu sosial. Karena itulah banyak proyek gagal di Indonesia. Tetapi Bimo tidak berminat masuk Fakultas Ilmu Sosial, dia ingin masuk Fakultas Seni Rupa dan Design (FSRD) ITB. Sayangnya Bimo keki dengan kebijakan ITB ketika itu yang mengharuskan setiap mahasiswa baru harus membayar Rp 55 juta walau masuk dari jalur SNMPTN. Selain itu dia ‘terpesona’ dengan kemandirian Iyo di UGM Jogjakarta. Mungkin dibayangkannya: “Enak banget, ngga ada yang cerewet menyuruh mandi dan sholat.” ^-^ Karena sepengetahuan kami, Jogjakarta tidak memiliki sekolah yang ‘mirip’ FSRD ITB, Bimo mencoba testing masuk Fakultas Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, dan diterima. Baik jalur testing dan jalur prestasi. Bahkan Bimo mendapat keringanan 50 % Uang Pembangunan/Uang Pendidikan atas beberapa prestasinya dalam bidang seni. Walau ayahnya sudah membayar uang masuk UII, sesudah lulus SMA, Bimo mencoba peruntungan di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan diterima di fakultas Sastra Inggris. Prodi yang kini ditekuninya. Alasannya karena dekat dengan papanya yang tinggal di Pekalongan ^-^ Berbekal lika-liku anak-anak, saya mencoba merangkum sedikit pengalaman tersebut: Setelah kasus Eko, kami mengadakan konsultasi dengan ahli psikolog ketika anak-anak masih kelas satu SMA. Sehingga anak-anak merasa mantap memilih jurusan karena sesuai bakat dan minatnya. Tidak terbawa arus. Kami baru mengetahui kemudian bahwa ada ‘grade fakultas’ yang menaikkan gengsi seorang peserta didik. Jaman orde baru, fakultas tersebut bernama fakultas teknik sipil, sedangkan jaman reformasi beda lagi. Tergantung permintaan pasar, misalnya teknik industri lebih keren daripada teknik sipil, prodi design produk lebih prestisius daripada prodi lainnya di FSRD. Konsultasikan minat dan bakat anak dengan ahli psikolog yang ‘tepat’. Tidak harus terkenal dan memasang tarif tinggi, karena yang kita butuhkan jasanya bukan namanya. Ahli psikolog yang bijak juga tidak alergi pada hasil psikotest teman sejawatnya. Walaupun sebaiknya tetap menanyakan perihal hasil psikotest yang kita miliki karena ada parameter yang sedikit berbeda. Dialog intens bersama anak sangat diperlukan karena dialah yang harus mengetok palu. Jangan heran jika mendapati hasil akhir keputusannya kurang berkesesuaian dengan hasil psikotest tentang minat dan bakat anak. Yang terpenting dia harus bertanggungjawab dengan menyelesaikan kuliah hingga akhir. Penghargaan prestasi ternyata sangat berguna, baik dari jalur akademis (lomba olimpiade, juara pertama/kedua di sekolah) maupun non akademis. Saya dulu mendorong anak-anak menekuni salah satu bidang seni (musik /menari/menggambar /memahat) agar mereka mempunyai kegiatan yang menyenangkan. Selain manfaat yang lebih penting yaitu keseimbangan perkembangan otak kiri dan otak kanan. Bimbingan belajar sebenarnya tidak diperlukan apabila sekolah sudah menyelenggarakan pelajaran tambahan dan try out untuk memicu nilai peserta didik. Kecuali atas permintaan anak, bimbingan belajar ternyata menyita waktu anak untuk cukup istirahat. Sehingga di waktu ujian sekolah/ujian nasional mereka ambruk dan sakit karena terlalu cape. Percayalah setiap sekolah menghendaki peserta didiknya lolos masuk PTN. Jika semua muridnya berhasil masuk PTN/PTS, bukankah hal tersebut merupakan prestasi sekolah? Karena itu mereka juga berjuang memberikan pembekalan sesuai metode masing-masing. Pada bulan Februari, beberapa bulan sebelum waktu ujian akhir nasional berlangsung. Biasanya beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS) sudah membuka pendaftaran. Setahun sebelum saatnya tiba, ada baiknya orangtua dan anak membuka situs PTN/PTS dan mendiskusikannya. Kini semakin banyak prodi, sesuai dengan dinamika kehidupan yang berkelanjutan. Semakin banyak wawasan, akan semakin mudah menentukan pilihan dan semakin murah pula kemungkinan biayanya. Upz hampir lupa, ketika sedang jatuh bangun menemani Eko mendaftar, tiba-tiba suatu hari telephone rumah berdering. Suara laki-laki, mungkin sudah bapak-bapak, dia berjanji mampu menolong masuk Fakultas Kedokteran dengan imbalan Rp 100 juta. Dibayar setelah anak dipastikan diterima. Syaratnya lewat jalur SNMPTN, tidak bisa jalur USM/test mandiri pra SNMPTN karena ada psikotes yang harus dilalui dan tidak bisa ditipu. Bukan karena percaya anak kami mampu, maka menolaknya. Tetapi anak yang masuk PTN dengan jalur tidak halal ini apakah akan lapang dan berkah jalannya? Apalagi jika dia diterima di Fakultas Kedokteran. Duh! **Maria Hardayanto**
Posted on: Wed, 09 Oct 2013 05:15:44 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015