(5, bersambung) Sejarah Gerakan Buruh Masa Hindia Belanda dan - TopicsExpress



          

(5, bersambung) Sejarah Gerakan Buruh Masa Hindia Belanda dan Masa Indonesia GERAKAN BURUH HINDIA BELANDA SAMPAI AKHIR PERANG DUNIA KE-II Dalam rapat tersebut, PPKB pecah, menjadi “golongan Semarang”, di satu pihak dan, di pihak lain, “golongan Jogja”—yang dipimpin oleh unsur-unsur yang menghendaki kerjasama dengan kaum imperialis. Kemudian, di Semarang, didirikan lah vaksentral baru dengan nama REVOLUTIONNAIRE VAKCENTRALE (federasi revolusioner—ed.) di mana tergabung 14 serikatburuh, di antaranya VSTP, serikat buruh pelabuhan, tambang, supir, percetakan, penyahit, dan sebagainya, dengan VSTP sebagai tulang-punggungnya. Dua serikat buruh yang juga besar dan penting, yaitu serikatburuh gula (PFB) dan PPPB, tidak dapat ditarik. Keadaan ini, dengan sendirinya, melemahkan gerakan buruh. Antara tahun 1921 hingga tahun 1923, Indonesia diserang oleh krisis ekonomi. Keadaan ekonomi dan sosial kaum buruh Hindia Belanda makin hari tidak semakin baik, tetapi sebaliknya menjadi semakin merosot. Harga kebutuhan hidup makin hari makin naik, dan keadaan ini memaksa kaum buruh untuk terus melakukan perjuangan dan aksi-aksi. Dalam bulan Agustus, 1921, terjadi lagi pemogokan buruh pelabuhan di Surabaya sebagai perlawanan terhadap majikan yang mau menurunkan upah. Pada tanggal 11 Januari, 1922, terjadi pemogokan buruh pegadaian dibawah pimpinan PPPB (Anggota PPKB), mula-mula di Jogya, tetapi dua minggu kemudian menjalar ke beberapa daerah di Jawa. Pemogokan tersebut bukan soal upah, tetapi disebabkan oleh sikap pegawai atasan bangsa Belanda yang bertindak sewenang-wenang terhadap pegawai bumiputra. Dengan perkataan-perkatan yang tidak menyenangkan, pegawai-pegawai atasan, yang umumnya terdiri dari bangsa Belanda menjuruh pegawai pribumi mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak menjadi tugasnya, misalnya disuruh mengangkut barang-barang yang akan dilelang kedalam los. Pegawai menuntut agar ada pekerja khusus untuk mengangkat barang-barang tersebut, dan menuntut agar di kalangan pegawai, juga oleh pegawai atasan, tidak dipergunakan bahasa yang mem-beda-bedakan tingkatan dan kedudukan. Mereka menuntut digunakanya bahasa yang mengandung sifat-sifat demokratis (bahasa Jawa Dipo). Tuntutan-tuntutan tersebut tidak mendapat perhatian Pemerintah kolonial. Itulah yang menjebabkan pemogokan besar-besaran di 79 dari 360 rumah-gadai. Untuk menindas pemogokan tersebut, pemerintah Hindia Belanda menggunakan ketentuan hukuman-jabatan, dimana kepala-kepala pegadaian begitu saja bisa memberhentikan pegawai yang dianggap “menolak pekerjaan” atau “melakukan penentangan”. Dengan demikian, sejumlah kira-kira 1.000 orang pemogok (yaitu 20% dari pada seluruh pegawai jawatan pegadaian) dipecat dari pekerjaannya. Aksi kaum buruh pegadaian yang hebat ini mengalami kegagalan, karena pertama: sikap kepala batu Pemerintah kolonial Hindia Belanda; kedua: karena perpecahan-perpecahan yang timbul dalam kalangan Serikat buruh Indonesia; dan ketiga: karena pemimpin-pemimpin PPPB tidak memberikan tuntunan aksi yang tegas. Kekurangan lainnya: pemogok tidak dikumpulkan secara teratur untuk diberi penjelasan tentang jalan dan hasil perundingan. Ketika pemogok dipecat dari pekerjaannya, samasekali tidak ada penjelasan dari pemimpinnya apa yang barus mereka lakukan selajutnya, dengan kemauan sendiri-sendiri ada yang pergi ke desa untuk bertani, ada yang berdagang, ada yang mencari pekerjaan lain. Keadaan yang tidak teratur tersebut oleh reaksi (kaum penindas—ed.) kemudian dimanfaatkan untuk menakut-nakakuti kaum buruh, terutama buruh pegadaian, agar selanjutannya tidak melakukan aksi. Dalam menghadapi pemogokan buruh pegadaian yang ditindas oleh pemerintah Hindia Belanda, pihak RV maupun pihak PPKB mengeluarkan pernyataan tentang betapa pentingnya pemogokan tersebut dan menjerukan agar seluruh kaum buruh Hindia Belanda menyokongnya. Juga diserukan agar kaum buruh bersiap-siap untuk sewaktu-waktu bisa melancarkan pemogokan umum. Di berbagai tempat diorganisasikan rapat-rapat penjelasan tentang kebobrokan pemerintah kolonial. Aktivitas kaum buruh tersebut dianggap mengganggu “ketertiban umum” dan, di daerah Jogjakarta, hak berapat dipersempit. Tindakan-tindakan anti-demokrasi dan lahirnya peraturan larangan mogok Dari Pemerintah Kolonial Belanda Atas inisiatif Revolusionnaire Vakcentrale, pada tanggal 25 Juni, 1922, di Surabaya diselenggarakan rapat bersama serikat buruh-serikat buruh, dimana dalam rapat itu dinyatakan perlunya diadakan penggabungan antara Revolutionnaire Vakcentrale dengan PPKB. Usaha tersebut berhasil, dengan tercapainya penggabungan dalam rapat di Madiun pada tanggal 3 September, 1922. Berdasarkan pengalaman pahit perpecahan, maka hampir semua serikat buruh dapat dipersatukan lagi dalam satu vaksentral yang diberi nama PVH (Persatuan Vakbond Hindia). Dalam PVH tergabung VSTP, PPPB, PFB, Kweekschool-bond, PGB (Perhimpunan Guru Bantu) dan serikat buruh pemerintah maupun swasta yang seluruhnya meliputi tidak kurang dari 40.000 anggota. Keadaan upah kaum buruh dalam tahun krisis 1922 sangatlah buruk. Hal itu menjebabkan timbulnya desakan yang sangat keras dari kaum buruh untuk mengadakan Pemogokan dan, dalam berbagai kongres, soal mogok menjadi pembicaraan yang hangat. Dalam Kongres PPPB, bulan Agustus, 1922, di Ambarawa, soal mogok juga menjadi pembicaraan. Elemen-elemen yang anti-kemajuan (pendukung pendasan), yang duduk dalam PPPB, menekankan agar jangan sampai dilakukan pemogokan, karena pemogokan akan nasib kaum buruh lebih celaka. Kongres PPPB tersebut, dengan sendirinya, sangat tidak memuaskan para pengunjung kongres. Sebaliknya, pengaruh VSTP semakin besar. Maksud pemerintah untuk mencabut tunjangan kemahalan dan maklumat pemerintah mengenai penghematan menjadi pembicaraan yang hangat dalam rapat-rapat kaum buruh kereta-api. Juga, dalam Konggres PVH di Semarang, pada achir Desember, 1922, dan dalam rapat pimpinan-pimpina serikat buruh di Surabaya pada akhir tahun itu juga, soal pemogokan menjadi pusat diskusi. Dalam bulan Januari, 1923, VSTP mengeluarkan surat selebaran yang berisi pernyataan akan melancarkan pemogokan jika peraturan pemerintah tentang penghematan dijalankan. Penghematan berarti tidak lain massa-onslah. Surat selebaran tersebut dibagi-bagikan dan ditempel-tempelkan di stasiun serta dibaca kaum buruh dengan penuh perhatian. Dalam rapat umum VSTP pada bulan Februari 1923, soal pemogokan menjadi pokok acara. Tanggal 12 April, 1923, diselenggarakan rapat antara kepala-kepala dinas kereta-api dengan pengurus besar VSTP, dan dalam pertemuan tersebut pimpinan VSTP mengajukan tuntutan pokok sebagai berikut: 1. tetap mempertahankan duurtetoeslag (tunyangan kemahalan) ; 2. dijalankan 8 jam kerja sehari; 3. agar didirikan badan pendamai jika ada perselisihan antara majikan dan buruh. Selain itu, dituntut upah minimum f 1,- sehari, sedangkan upah yang sudah diakui pada tahun 1921 tidak boleh dikurangi. Satu pun dari usul usul VSTP tersebut tidak ada yang diterima. Mengenai 8 jam kerja dijanjikan akan diadakan angket (pemeriksaan), dan tentang badan pemisah, inspektur SS tidak mempunyai keberatan prinsipil, tapi dianggapnya bahwa badan demikian tidak perlu untuk pegawai negeri. Berhubung dengan kegagalan perundingan VSTP-SS, di mana-mana diselenggarakan rapat-rapat penjelasan oleh VSTP. Kegiatan-kegiatan dalam rangka memberikan penjelasan-penjelasan, kolonialisme mendapat serangan-serangan yang sengit. Peringatan pemerintah terhadap VSTP dijawab dengan kontan: kaum buruh tidak bisa menjamin dapat memenuhi keinginan pemerintah. TanggaI 29-30 April, 1923, di Surabaya diselengarakan rapat PVH. Dalam rapat tersebut diputuskan bahwa pemogokan umum kaum buruh spoor (kereta) dan tram (trem) akan dilangsungkan jika salah seorang pemimpin buruh ditangkap oleh pemerintah Pemerintah Hindia Belanda, yang memprovokasi pemogokan pada tanggal 8 Mei, 1923, dengan tindakan penangkapan pemimpin-pemimpin VSTP. Segera buruh kereta api memproklamasikan pemogokan, yang dimulai hari itu juga, mula-mula di Semarang, kemudian meluas ke Madiun dan Surabaya. Pemogokan tersebut kemudian bersifat umum dan diikuti oleh 13.000 dari 20.000 buruh kereta-api. Sebagai jawaban atas pemogokan-pemogokan yang makin meluas di Hindia Belanda, terutama di perusahaan-perusahaan modal monopoli Belanda, maka Pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 10 Mei, 1923, menetapkan suatu peraturan larangan mogok yang tersohor dikalangan kaum buruh Indonesia dengan “artikel 161 bis W.V.S.”. Dalam artikel tersebut dinyatakan sebagai berikut: “Barang siapa dengan maksud menimbulkan gangguan ketertiban umum atau merusak kehidupan ekonomi masjarakat, atau mengetahui atau seharusnya mengira bahwa oleh karenanya akan terjadi gangguan ketertiban umum atau kacaunya ekonomi masyarakat, membuat atau menyebabkan beberapa orang melalaikan atau setelah diberikan perintah yang syah tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sudah mereka sanggupi untuk melakukannya atau harus melakukannya, karena mereka terikat oleh hubungan kerja, akan dihukum penjara paling lama 5 tahun atau denda sebanyak seribu rupiah”. Di samping itu, hak berapat dan berpropaganda sangat dibatasi. Pemerintah berusaha sekeras-sekerasnyanya untuk memisahkan pemimpin-pemimpin buruh dan massa kaum buruh. Demikianlah, pemerintah Hindia Belanda melumpuhkan serikat buruh-serikat buruh yang besar: PFB dalam bulan Agustus, 1920; PPPB dalam bulan Januari, 1922; dan VSTP dalam bulan Mei, 1923. Tetapi, dengan demikian, samasekali tidak berarti bahwa aktivitas gerakan buruh menjadi terhenti. Malahan pemecatan-pemecatan terhadap buruh pegadaian dan buruh kereta-api telah menjebabkan lahirnya pemimpin-pemimpin baru dari kalangan pemogok yang dipecat. Hal itu juga menjebabkan bahwa, selepas setiap pemogokan besar timbul, beberapa serikat buruh baru didirikan dan dipimpin oleh pemogok yang dipecat. Kaum buruh Hindia Belanda dapat mengetahui siapa-siapa dan golongan-golongan mana yang, dalam keadaan yang paling sulit karena krisis ekonomi yang menimpa nasib kaum buruh, tetap setia pada perjuangan kaum buruh, dan mengetahui siapa serta golongan-golongan mana yang meninggalkan barisan kaum buruh di kala taufan reaksi sedang mengamuk. Puncak Perlawanan Kaum Buruh dan Rakyat Pada Tahun 1926-1927. Tanggal 21 Juli, 1925, pecah pemogokan buruh percetakan di bawah pimpinan Srikat Buruh Cetak di Semarang. Tanggal 1 Agustus, 1925, juga pecah pemogokan di Rumah Sakit Umum Negeri (CBZ) Semarang, sebagai protes terhadap perbuatan angkuh dan keras dokter-dokter bangsa Belanda. Serikat buruh Rumah Sakit Umum (CBZ) adalah anggota dari vaksentral PVH, yang pada waktu itu diikuti oleh 20 serikat buruh yang meliputi 30.000 anggota. Bersamaan waktunya, terjadi juga pemogokan buruh transpor pada Semarangche dan Prauwenveer di bawah pimpinan SPPL, yang diikuti 1.000 opsir dan matros kapal Hindia Belanda.
Posted on: Sun, 10 Nov 2013 18:37:22 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015