APAKAH manusia itu makhluk ruhani atau jasmani?Apa sesungguhnya - TopicsExpress



          

APAKAH manusia itu makhluk ruhani atau jasmani?Apa sesungguhnya yang menjadi hakikat manusia ? Dua pertanyaan ini kerap diajukan ketika kita mendiskusikan tentang eksistensi manusia. Pertanyaan yang bersifat filosofisi itu tentu tidak dapat dijawab secara sederhana. Perlu tela’ah mendalam. Kendatipun tidak ada jaminan, eksistensi manusia bisa diungkap secara tuntas, setidaknya kita dapat menghindarkan diri dari upaya simplifikasi.Untuk pertanyaan yang pertama, manusia adalah makhluk ruhani sekaligus jasmani. Sepanjang di dunia, keberadaan ruhani tidak mungkin dipahami tanpa kehadiran jasmani.Sebaliknya, keberadaan jasmani tidak lebih dari seonggok daging jika tidak di nafasi dengan ruhani. Keduanya sama pentingnya dalam membentuk entitas makhluk yang bernama manusia. Kendati jasmani dan ruhani menjadi satu kesatuan, keduanya tetap saja dapat dibedakan.Jasmani cenderung pada hal-hal yang bersifat material. Sedangkan ruhani condong pada hal-hal yang bersifat spiritual. Justru manusia akan mendapatkan kebahagiaannya ketika kedua kebutuhan ini dapat dipenuhi dan diseimbangkan.Sebaliknya, manusia akan mengalami kesengsaraan jika keduanya tidak seimbang.Kebutuhan ruhani mendominasi dirinya sama tidak baiknya jika kebutuhan jasmani sangat dominan. Dalam peraktiknya, menjaga keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan ruhani tidak lah dapat dipandang mudah. Tidak sedikit manusia yang mengalami kegagalan dalam menjaga autentitas dirinya. Ia terlalu didominasi oleh hal-hal yang bersifat material. Kebahagiaan diukur dengan seberapa banyak ia memiliki harta. Seberapa tinggi jabatan yang didudukinya. Tentu aspek ruhaniyah menjadi terabaikan sama sekali. Sedangkan untuk pertanyaan yang kedua,jawabnya adalah hakikat manusia terletak pada ruhaninya. Ruhani itu sifatnya abadi karena ia bersumber dari yang abadi. Kepada Allah semua manusia akan kembali. Sedangkan jasad atau fisik, tentu saja baharu. Tidak kekal dan jasad dapat saja berubah. Bukankah dulu kita adalah seorang bayi lemah tak berdaya. Sekarang kita tampil menjadi orang dewasa yang memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada gilirannnya nanti kita akan menjadi nenek tua yang justru tidak memiliki tenaga sama sekali. Lalu akhirnya kita pun meninggalkan dunia yang fana ini. Jasad kita selanjutnya akan kembali ke tanah dan ruh akan kembali kepada Allah SWT. Keseimbangan Jasmani dan Ruhani Kecenderungan hawa nafsu kerap menjerumuskan manusia sehingga ia kehilangan autentisitas dirinya. ia tidak lagi genuin sebagai manusia, bahkan lebih dari itu, ia malah menjelma sebagai makhluk jasmani. Dalam konteks inilah,Ramadhan hadir ditengah-tengah masyarakat dengan membawa misi mengembalikan keseimbangan manusia. Dalam peraktiknya, ketidak seimbangan itu terjadi pada level, individu dan sosial, jasmani dan ruhani, dunia dan ukhrawi, material dan spiritual.Ketidakseimbangan itu mengakibatkan kehidupan tidak lagi harmonis, baik pada aras pribadi, keluarga ataupun masyarakat. Sampai di sini, manusia sesunguhnya membutuhkan satu mekanisme baru untuk mengembalikan keseimbangan tersebut. Syari’at puasa diwajibkan Allah SWT salahsatu fungsi nya adalah mengembalikan keseimbangan yang tidak lagi harmonis tersebut. Selama kita menjalankan ibadah puasa, kebutuhan jasmani kita diturunkan sedikit. Sepanjang hari kita tidak makan dan minum serta tidak melakukan hubungan seksual. Kecenderungan kita terhadap kesenangan duniawi apapun bentuknya selama puasa ramadhan ditekan sedemikian rupa.Pada saat yang sama, grafik kebutuhan ruhani kita mengalami kenaikan signifikan.Pada saat kecederungan jasmani menurun dan kecenderungan qalbu atau ruhani menaik,Maka saat itulah, jasmani dan ruhani bertemu pada satu titik. Akhirnya terbangun lah keseimbangan baru di dalam dirinya. Dalam bahasa agama, orang yang berhasil mengembalikan autentisitas dirinya disebut telah kembali kepada fitrah penciptaannya sebagai manusia.Di samping perlunya menjaga keseimbangan antara jasmani dan ruhani, individu dan social,ada satu bentuk keseimbangan baru yang perlud iwujudkan. Keseimbangan yang penulis maksud adalah keseimbangan antara ayat-ayat quraniyyah dan ayat-ayat kauniyah. Tidak terbantahkan selama ini sikap umat Islam terhadap Al-Qur’an dan tidak diikuti dengan kepeduliannya memperhatikan alam sekitar. Alam sekitar itulah yang dimaksud dengan Padahal di alam semesta ada banyak ayat-ayat Allah yang sejatinya harus dipahami dan dipelajari. Implikasi dari ketidakmampuan umat Islam dalam membaca ayat-ayat Allah yang kauniyah, terbentang di alam semesta dengan ayat-ayat Allah yang tertulis di dalam Al-Qur’an, adalah kemunduran yang dialami umat Islam selama berabad-abad lamanya. Bahkan sampai saat ini. Kondisi ini di perparah dengan keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang seakan mengekalkan system dikotomik tersebut.Tidak ada kaitan antara ilmu fisika dengan ayat-ayat Allah yang berbicara tentang fisika. Tidak ada hubungan antara ilmu kedokteran dengan ayat-ayat Allah yang berbicara tentang penciptaan manusia dan seterusnya. Syukur Alhamdulillah, belakangan ini telah muncul kesadaran baru dikalangan umat Islam,bahwa cara berpikir yang dikotomik, memisahkan ilmu-ilmu umum dengan Al-Qur’an adalah sikap yang sama sekali tidak menguntungkan umat Islam. Cara berpikir seperti ini, sepatutnya ditinggalkan dan diganti dengan pola berpikir baru yang lebih dinamis dan progresif.Adapun yang dimaksud cara berpikir baru itu adalah berpikir integrative. Ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qur’aniyyah sejatinya harus dipadukan (diintegralkan). Kita tidak hanya melihat informasi yang dijelaskan Al-Qur’an tentang semesta, namun kita juga diajari bagaimana realitasnya di semesta. Selanjutnya kita akan mencoba melakukan integrasi dan menghindarkan cara berpikir yang dikotomik. Sudah saatnya lembaga-lembaga pendidikan Islam mengembangkan cara berpikir integrataif dan meninggalkan cara berpikir yang dikotomik,lebih-lebih jika ada yang pola berpikirnya saling menegasikan. Misalnya pandangan bahwa salah satu di antara keduanya, ilmu agama atau ilmu umum sama tidak pentingnya.Momentum Ramadhan sejatinya dapat kita gunakan untuk kembali memeriksa asumsi-asumsi kita, konsep-konsep kita dalam memandang ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qur’aniyyah. Hal ini penting lebih-lebih jika dikaitkan Ramadhan sebagai bulan turunnya Al-Qur’an. Autentisitas manusia yang telah berhasil menyeimbangkan kebutuhan ruhani dan jasmani-nya, memungkinnya untuk menela’ah Al-Quran secara lebih jernih. Pada akhirnya, kita akan sampai pada kesimpulan, membangun keseimbangan baru sesungguhnya bagian dari misi Al-Qur’an.Termasuk di dalamnya, keseimbangan dalam memandang ayat-ayat qur’aniyyah dan ayat-ayat kauniyyah. Agaknya tidak berlebihan, jika kita mengatakan, kemajuan peradaban Islam akan dapat diraih kembali, mana kala proyek besar, integrasil ilmu dapat dilakukan dengan baik dan sempurna. Wallahu a’lam bi al shawab. Oleh Prof. Nur A. Fadhil Lubis Rektor IAIN SU dan Guru Besar Fakultas Syari’ah IAIN SU
Posted on: Sat, 20 Jul 2013 05:28:11 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015