APR 19 TEORI TEORI SOSIOLOGI PENDIDIKAN 1. Teori Struktural - TopicsExpress



          

APR 19 TEORI TEORI SOSIOLOGI PENDIDIKAN 1. Teori Struktural Fungsional A. Asumsi Dasar Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah : · Visi substantif mengenai tindakan sosial. · Strateginya dalam menganalisa struktur sosial. Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan. Adapula asumsi dasar menurut Talcott Parsons. Menurut Parson, ada empat komponen penting dalam teori struktural fungsional, yaitu : Adaptation, Goal Atainment, Integration, dan Latency (AGIL). a. Adaptation : sistem sosial (masyarakat) selalu berubah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara internal ataupun eksternal. b. Goal Attainment : setiap sistem sosial (masyarakat) selalu ditemui tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai oleh system sosial tersebut. c. Integration : setiap system sosial selalu terintegrasi dan cendeung bertahan pada equilibrium (keseimbangan). Kecenderungan ini dipertahankan memalui kemampuan bertahan hidup demi system. d. Latency : system sosial selalu berusaha mempertahankan bentuk-bentuk interaksi yang relatif tetap dan setiap perilaku menyimpang selalu di akomodasi melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperbaharui terus menerus. B. Teori Teori Struktural Fungsional 1. Teori fungsionalisme Parsons Suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”. 2. Emile Durkheim Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial. 3. Robert K. Merton Sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial (Merton, 1975: 25). Pada saat yang sama Merton tetap sebagai pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu melahirkan ”suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya anggap lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya temukan” (Merton, 1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492) model fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan ”pernyataan yang paling canggih dari pendekatan fungsionalisme yang tersedia dewasa ini.”Model analisa fungsional Merton merupakan hasil perkembangan pengetahuan yang menyeluruh dari teori-teori klasik yang menggunakan penulis besar seperti Max Weber. Pengaruh Weber dapat dilihat dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber, Merton (1957: 195-196) mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern : (1) birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal; (2) ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas; (3) kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi; (4) jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis; (5) Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis; (6) berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci; (7) otoritas pada jabatan, bukan pada orang; (8) hubungan-hubungan antara orang-orang dibatasi secara formal. Organisasi-organisasi yang berskala besar, termasuk universitas atau akademi, memberikan ilustrasi yang baik tentang model birokrasi yang diuraikan oleh Weber dan Merton. Paradigma analisa fungsional Merton, mencoba membuat batasan-batasan beberapa konsep analitis dasar dari bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional. Merton mengutip tiga postulat yang terdapat di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi satu. Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai ”suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur” (Merton, 1967: 80). Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsioanal yang sempurna dari suatu masyarakat adalah ”bertentangan dengan fakta”. Sebagai contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional(mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain. Para sesepuh sosiologi melihat agama, misalnya, sebagai suatu unsur penting (kalau tidak esensial) di dalam masyarakat. Kita memiliki banyak contoh di mana agama mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat, kita juga mempunyai banyak kasus di mana agama memiliki konsekuensi disintegratif. Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh diabaikan hanya karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Sebagai contoh, beliau juga menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu kelompok (masyarakat Katolik atau Protestan di kota Belfast, misalnya) dapat tidak fungsional bagi keseluruhan bagi kota Belfast. Oleh karena itu batas-batas kelompok yang dianalisa harus diperinci. Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal, terkait dengan postulat pertama. Fungsionalisme universal menganggap bahwa ”seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif” (Merton, 1967: 84), seperti apa yang telah kita ketahui Merton memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsioanal. Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences), yang menimbang fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama yang dicontohkan tadi, seorang fungsionalis harus mencoba mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan keseimbangan di antara keduanya. Postulat ketiga melengkapi trio postulat fungsionalisme, adalah postulat indispensability. Ia menyatakan bahwa ”dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan” (Merton, 1967: 86).[1] 2. Teori Struktural Konflik 1. Konstruksi Teori Struktural Konflik Teori structural konflik muncul dalam sosiologi Amerika Serikat pada tahun 1960-an yang merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan yang diungkapkan sebelumnya oleh Karl Marx dan Max Weber. Kedua tokoh ini merupakan teoritis konflik meski satu sama lain mereka berbeda. Kedua teoritisi konflik ini, Marx dan Weber menolak tegas terhadap gagasan bahwa masyarakat cenderung kepada beberapa consensus dasar atau harmoni, dimana struktur masyarakat bekerja untuk kebaikan setiap orang. Kedua teoritisi ini memandang konflik dan pertentangan kepentingan serta concern dari berbagai individu dan kelompok yang saling bertentangan adalah determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan social.[2] A. Karl Marx Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke-19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.[3] Pikiran awal Marx amat dipengaruhi oleh munculnya industrialisasi abad ke-19, yang telah melahirkan fenomena yang bertolak belakang antara buruh yang hidup menderita dan sengsara di satu pihak dan pemilik alat-alat produksi yang menikmati surplus yang disumbangkan oleh keringat dan tenaga yang dikeluarkan oleh kaum buruh di lain pihak. Dari latar belakang sejarah kemudian dapat ditelusuri benang merah yang menggambarkan munculnya kondisi yang mempengaruhi aliran Marxis awal, yaitu pertama munculnya tekanan structural yang kuat terhadapindividu dan kedua, kondisi industry yang memperburuk hubungan sosial yang membawa ke dalam alienasi, bukan saja alienasi indicidual melainkan alienasi missal sejalan dengan persebaran mode of production yang dikendalikan oleh indutri. Sejumlah ilmuwan sosial berusaha menjelaskan bahwa, perspektif konflik yang berakar pada pemikiran Karl Marx, betapapun radikalsme diakui sebagai salah satu jalan keluar sehingga sangat erat dengan revolusi, hal ini tidak dimaksudkan menumpahkan darah. George Ritzer misalnya mengatakan bahwa tidak benar kalau Marxisme dikatakan sebagai ideology radikal yang haus darah (a bloodthirsty radical ideology). Marx adalah seorang humanis. Hatinya terluka melihat pnderitaankaum buruh akibat eksploitasi di bawah sistem yang kapitalistik. Rasa kemanusiaan itu mendorongnya untuk mencetuskan keinginan merubah tatanan kapitalistik dalam sistem yang mapan tetapi dalam praktek mengeksplotasi masyarakat. Oleh karena itu, sistem tersebut harus diubah agar menjadi lebih manusiawi. Tetapi hal itu hanya harus mungkinterjadi dalam sistem sosialis.[4] Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan. Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial.[5] Setelah untuk waktu yang lama perspektif konflik diabaikan oleh para sosiolog, baru-baru ini perspektif tersebut telah dibangkitkan kembali oleh C. Wright Mills [1956-1959], Lewis Coser: [1956] dan yang lain [Aron, 1957; Dahrendorf, 1959, 1964; Chambliss, 1973; Collins, 1975]. Bilamana, para fungsionalis melihat keadaan normal masryarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, maka para teoritisi konflik melihat masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok dan kelas.sekalipun Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan antar kelas untuk pemilikan atas kekayaan yang produktif, para teoritisi konflik modern berpandangan sedikit lebih sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal, di mana orang-orang muncul sebagai penentang kelas, bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin. Menurut para teoritisi konflik, para fungsionalis gagal mengajukan pertanyaan “secara fungsional bermanfaat untuk siapa“. Para teoritisi konflik menuduh para fungsionalis berasumsi bahwa “keseimbangan yang serasi” bermanfaat bagi setiap orang sedangkan hal itu menguntungkan beberapa orang dan merugikan sebagian lainnya. Para teoritisi konflik memandang keseimbangan suatu masyarakat yang serasi sebagai suatu khayalan dari mereka yang tidak berhasil mengetahui bagaimana kelompok yang dominan telah membungkam mereka yang dieksploitasi.[6] Marx dan Weber menerapkan gagasan umum dalam teori sosiologi mereka dengan cara masing-masing yang mereka pandang menguntungkan. Karl Marx (Stephen K. Sanderson, 1993: 12-13) berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. Sampai pada titik tertentu dalam evolusi kehidupan social manusia, hubungan pribadi dalam produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan produks. Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi kelas-kelas social berdasarkan kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan produksi. Jadilah kelas dominan menjalin hubungan dengan kelas-kelas yang tersub-ordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi. Secara alamiah saja, kelas-kelas yang memberontak dari kelasnya. Dalam situasi ini, hanya negara yang mampu menekan pemberontakan tersebut dengan kekuatan. Dengan demikian, teori Marx di atas memandang eksistensi hubungan pribadi dalam produksi dan kelas-kelas social sebagai elemen kunci dalam banyak masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa pertentangan antara kleas dominan dan kelas yang tersubordinasi memainkan peranan sentral dalam menciptakan bentuk-bentuk penting perubahan social. Sebenarnya sebagaimana yang ia kumandangkan, sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah pertentangan-pertentangan kelas. Dalam Hal ini Stephen K Sanderson (1993: 12) menyebutkan bahwa, beberapa strategi konflik marsian-modern adalah sebagai berikut:[7] 1) Kehidupan social pada dasarnya merupakan arena konflik atau pertentangan di antara dan didalam kelompok-kelompok yang bertentangan. 2) Sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politik merupakan hal penting, sehingga berbagai kelompok berusaha merebutnya. 3) Akibat tipikal dari pertentangan ini adalah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi. 4) Pola-pola social dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh social dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan.5) Konflik dan pertentangan social didalam dan di antara berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakkan perubahan social. 6) Karena konflik dan pertentangan merupakan cirri dasar kehidupan social, maka perubahan social menjadi hal yang umum dan sering terjadi. Berikutnya Stephen K Sanderson menjelaskan bahwa strategi konflik Marxian secara esensial lebih merupakan strategi materialis ketimbang idelais. Tentu saja tidak mengherankan, karena kenyatan menunjukkan bahwa Marx mengusulkan gagasan bersifat materialistis dan konflik. Para teoritisi konflik Marxian memandang konflik social muncul terutama karena adanya upaya untuk memperoleh akses kepada kondisi-kondisi material yang menopang kehidupan soisal. Para teoritis ini melihat kedua fenomena ini sebagai determinan krusial bagi pola-pola social dasar suatu masyarakat. B. Max Weber Sementara itu menurut R. Collins (Stephen K. Sanderson, 1993: 13), Weber meyakini bahwa konflik terjadi dengan cara yang jauh lebih dari sekedar kondisi-kondisi material. Weber mengakui bahwa konflik dalam memperebutkan sumber daya ekonomi merupakan cirri dasar kehidupan social. Tetapi jangan dilupakan bahwa banyak tipe-tipe konflik lain yang juga terjadi. Di antara berbagai tipe konflik tersebut, Weber menekankan yang sangat penting. Pertama, yaitu bahwa konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Baginya kehidupan social dalam kadar tertentu merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagai individu dan kelompok tertentu yang lain dan dia tidak menganggap pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sebaliknya Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan untuk memeperoleh keuntungan ekonomi. Lebih jelasnya Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan itu sendiri; ia berpendapat bahwa pertentangan untuk memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada organisasi-organisasi politik formal, tetapi juga terjadi di dalam setiap tipe kelompok seperti organisasi keagamaan dan pendidikan. Kedua, adalah tipe konflik dalam hal gagasan dan cita-cita. Ia berpendapat bahwa orang seringkali tertantang untuk memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunia mereka, baik itu berupa doktrin keagamaan, filsafat sosial ataupun konsepsi tentang bentuk gaya hidup cultural yang terbaik. Lebih dari itu, gagasan cita-cita tersebut bukan hanya dipertentangkan, tetapi dijadikan senjata atau alat dalam pertentangan lainnya, misalnya pertentangan politik. Jadi orang dapat berkelahi untuk memperoleh kekuasaan dan pada saat yang sama, berusaha saling meyakinkan satu sama lain bahwa kekuasaan itu yang mereka tuju tetapi kemenangan prinsip-prinsip yang secara etis dan filosofis benar. Dengan demikian jelaslah bahwa Weber bukan seorang materialis ataupun idealis. Ia biasa disebut para sosiolog modern sebagai contoh seseorang pemikir yang mengkombinasikan pola penjelasan materialis dan idealis dalam pendekatan sosiologis yang bersifat menyeluruh. Lebih jauh, Weber berpendapat bahwa gagasan bukanlah semata-mata hasil dari kondisi-kondisi material yang ada, tetapi keduanya seringkali signifikan kausalnya sendiri-sendiri. Perbedaan Pendapat antara Marx dan Weber: 1) Marx berpendapat bahwa karena konflik pada dasarnya muncul dalam upaya memperoleh akses terhadap kekuatan-kekuatan produksi. Karenanya begitu begitu kekuatan-kekuatan ini dikembalikan kepada seluruh masyarakat, maka konflik dasar tersebut dapat dihapuskan. Jadi begitu kapitalis digantikan dengan sosialisme, maka kelas-kelas akan terhapuskan dan pertentangan kelas akan berhenti. 2) Weber memiliki pandangan yang jauh pesimistik. Ia percaya bahwa pertentangan merupakan salah satu prinsip kehidupan sosial yang sangat kukuh dan tak dapat dihilangkan. Dalam suatu tipe masyarakat masa depan, baik kapitalis, sosialis atau tipe lainnya orang-orang akan tetap selalu bertarung memperebutkan berbagai sumber daya. Karena itu Weber menduga bahwa pembagian atau pembelaan sosial adalah ciri pemanen dari semua masyarakat yang sudah kompleks, walaupun tentu saja akan mengambl bentuk-bentuk dan juga tingkat kekerasan yang secara subtansial sangat bervarisai.[8] 3. Teori Interaksionisme Simbolik Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik, diantaranya James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, William I.Thomas, dan George Herbert Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling populer sebagai perintis dasar teori tersebut. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi professor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni : Mind, Self , and Society (1934) yang diterbitkan tak lama setelah Mead meninggal dunia. Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahasiswanya, terutama Herbert Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah “interaksi simbolik” pada tahun (1937) dan mempopulerkannya di kalangan komunitas akademis (Mulyana, 2001 : 68) Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang merupakan cirri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer menyatukan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, dan juga diperkaya dengan gagasan gagasan dari John Dewey, William I. Thomas, dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001 : 68). Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah yang merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjekif terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa George Herbet Mead, William I.Thomas, dan Charles H. Cooley, selain mazhaberopa yang dipengaruhi Max Weber adalah representasi perspektif fenomenologis ini. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksi simbolik dan etnometodologi (Mulyana, 2001:59). Selama awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fenomenologisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dan 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke [ermukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun 1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik sperti Howard S.Becker dan Erving Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dan menawarkan pandangan alternatif yang sangat memilkat mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat (Mulyana, 2001:59). Menurut Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relative homogen, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar historis dan intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme simbolik tersebut adalah mahzab Chicago, Mahzab Iowa, Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mazhab Chicago dan Dramaturgis tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji. Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi mereka (Mulyana, 2001:59-60). Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi dari Harold Garfinkel yang juga berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang berpengaruh di eropa, sebenarnya berada di bawah teori tindakan sosial yang dikemukakan filsuf dan sosiolog Jerman, Max Weber (Mulyana, 2001:59-60). Sebagaimana diakui Paul Rock, interaksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di eropa abad ke-19, meskipun interaksionisme simbolik tidak punya hak waris atasnya atau dianggap sebagai tadisi ilmiah tersendiri. Dengan kata lain, George Herbert Maead tidaklah secara harfiah mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead diilhami oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan dalam pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia. Pemikiran Mead sendiri diilhami beberapa pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. Ada kemiripan antara pandangan Mead dengan pandangan Schutz. Sejumlah interaksionis memang menekankan dimensi fenomenologis dengan mensintesiskan karya mereka dengan gagasan Alfred Schutz dan para pengikutnya (Mulyana, 2001: 59-60). Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan disini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya (Mulyana, 2001:61). Sedangkan interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada diluar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksi lah yang dianggap sebagai variable penting yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain (Mulyana, 2001:61-62). Interaksionisme simbolik Mazhab Iowa menggunakan metode saintifik (positivistik) dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukum-hukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat diuju secara empiris, sementara Mazhab Chicaga menggunakan pendekatan humanistik. Dan Mazhab yang populer digunakan adalah Mazhab Chicago (Mulyana, 2001:69). Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orag lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase “definisi situasi” , “realitas terletak pada mata yang melihat” dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik (Mulyana, 2001:70). Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasangagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana, 2001: 68). Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136). Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44). Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59). Jadi, pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga pengertian yang lebih baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93) Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturanaturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70). Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi. 4. Teori Etnometodologi Etnometodologi menurut Heritage adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri. Istilah etnometodologi yang berakar pada bahsa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari.[9] Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktek dimana anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis, khususnya structural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktur sosial.[10] Etnometodologi diciptakan oleh Harold Garfinkel di akhir tahun 1940-an tetapi baru menjadi sistematis setelah diterbitkan karyanya yang berjudul Studies in Ethnomethodologypada tahun 1967.[11] Garfinkel adalah dosen pada UCLA di West Coast. Akan tetapi baru dikenal oleh kalangan luas (oleh profesi-profesi lain) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.[12] Karyanya tersebut telah menarik minat sosiolog diantaranya Blum, Cicourel, Douglas, McHugh, Sacks, Schegloff, Sudnow, Wieder, Wilson dan Zimmerman.[13] Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi adalah realitas objektif fakta sosial, fenomena fundamental sosiologi karena merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara almiah, terus menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui atau menunda.[14] Garfinkel mememunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi, dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas didalam memahami kenyataan social menurut situasi dimana kenyataan sosial tersebut berlangsung. Garfinkel sendiri mendefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehai-hari.[15] Ada kesamaan antara metode yang digunakan Garfinkel dengan dengan pemikiran Wittgenstein yang mengatakan bahwa pemahaman umum terdapat dalam percakapan serta transaksi sosial sehari-hari. Etnometodologi di satu sisi meneliti biografi dan maksud yang dikandung oleh aktor-aktor sosial dan di sisi lain menganalisis pemahaman umum (common-sense). Sebagaimana yang diungkapkan dalam karyanya Studies in Ethnometodology dia menunjukkan bahwa: 1. Perbincangan sehari-hari secara umum memaparkan sesuatu yang lebih memiliki makna daripada langsung kata-kata itu sendiri. 2. Perbincangan tersebut merupakan praduga konteks makna yang umum. 3. Pemahaman secara umum yang meyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus menerus secara intersubjektif. 4. Transaksi dan peristiwa sehari-hari memiliki metodologi, terencana dan rasional, sehingga dengan peristiwa tersebut seseorang akan memahami ucapan orang lain melalui pemahaman aturan itu sesuai dengan kaidah-kaidahnya. Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Seementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (subersif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian. Pembahasan realitas common sense Schutz memberi Garfinkel suatu perspektif melaksanakan studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya. Pandangan Schutz tentang dunia sehari-hari sebagai dunia intersubjektif yang dimiliki bersama melalui proses interaksi ini senada dengan interaksionisme-simbolik yang diperkenalkan Herbert Mead. Sementara pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat di mana seorang individu hidup. Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model-model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parson ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama dari Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Etnometodologi dalam keseluruhan studi sosiologi sendiri sekalipun dianggap sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi.[16] BAB V KESIMPULAN · Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. · Teori structural konflik muncul dalam sosiologi Amerika Serikat pada tahun 1960-an yang merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan yang diungkapkan sebelumnya oleh Karl Marx dan Max Weber. Kedua tokoh ini merupakan teoritis konflik meski satu sama lain mereka berbeda. · Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang merupakan cirri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. · Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktek dimana anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis, khususnya structural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktur social. DAFTAR PUSTAKA · Arief Furchan. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. · George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern Cet.IV. Jakarta: Kencana. · Margaret M. Poloma. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. · Wardi Bachtiar. 2006. Sosiologi Klasik.Bandung: Remaja Rosdakarya. · Muhyi, Batubara. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Ciputat Press. · Nazsir,Nasrullah. 2008. Teori-Teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjajaran. · Umm_blog_article_184.pdf. · Paul B. Horton & Chester L. Hunt. Sosiologi. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama. · sanditricahyo.blogdetik/2011/03/20/teori-struktural-fungsional.) [1] sanditricahyo.blogdetik/2011/03/20/teori-struktural-fungsional. [2] Nasrullah Nazsir, M.S., Teori-Teori Sosiologi, Bandung: Widya Padjajaran. Hlm 17 [3] Umm_blog_article_184.pdf. (diakses pada 21 Maret 2012, pukul 14:45) [4] Ibid.,umm_blog_article_184.pdf. [5] Paul B. Horton & Chester L. Hunt., Sosiologi, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama. Hal 19-20 [6] Ibid.,Nasrullah Nazsir, M.Si. hal 17-18 [7] Ibid.,Nasrullah Nazsir, M.Si. hal 17-18. [8] Nasrullah Nazsir, M.S, Teori-Teori Sosiologi,Bandung: Widya Padjajaran.hal 20. [9] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Cet. VI, Jakarta, 2010, hlm. 322. [10] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hlm. 150. [11] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Cet. VI, Jakarta, 2010, hlm. 323. [12] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Pers, Jakarta, 1994, hlm. 281. [13] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hlm. 151. [14] [6] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Cet. VI, Jakarta, 2010, hlm. 322. [15] Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, 1992, hlm. 39-41. [16] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Pers, Jakarta, 1994, hlm. 4. Diposkan 19th April oleh Ahmad Zacky Mubarrok Label: SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Posted on: Sun, 30 Jun 2013 06:21:44 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015