Bagi banyak orang, berkenalan dengan sahabat saya yang satu ini - TopicsExpress



          

Bagi banyak orang, berkenalan dengan sahabat saya yang satu ini barangkali bukan peristiwa luar biasa. Kalah jauh rasanya dengan ketika ia bertemu dengan artis sinetron atau pemain sepak bola. Bahkan seandainya artis itu baru main sinetron ecek-ecek atau athlet itu baru main di klub kelas gurem. Wajah dan penampilannya jauh dari sosok yang memiliki keistimewaan. Wajahnya tidak ganteng, posturnya tidak tinggi atau gagah, dan penampilannya jauh di bawah sederhana. Belum lagi rambutnya yang lebih sering acak-acakan daripada di sisir rapi. Dia bukan tipe cowok ideal untuk banyak wanita. Apalagi untuk mereka wanita yang tajir dan cantik. Untuk melirik ke wajah teman saya itu, mungkin mereka perlu berfikir sepuluh atau seratus kali. Kecuali karena kecelakaan, misalnya saat berpapasan atau kebetulan memang karena posisi tempat duduknya memang memaksa mereka untuk saling berhadapan. Saya tidak tahu, azab apa yang sedang di tanggung teman saya ini, sehingga dia lahir ke dunia dalam timpukan kekurangan dan ketidaksempurnaan yang berlapis-lapis. Mungkin ada perjanjian antara nenek moyangnya dengan jin, setan atau iblis. Tapi saya tidak tahu tentang itu. Dengan potongan yang pas-pasan, postur tubuh yang tidak ideal, penampilan yang jauh dari menarik, teman saya ini juga seorang pendiam yang mudah cemas ketika berbicara dengan orang lain. Mungkin dia sedang mengidap phobia sosial akut, yang sudah lama tidak pernah ada intervensi. Dengan keburukan yang hampir sempurna itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi dia untuk melanjutkan hidup. Akan lebih baik dan menyenangkan mungkin baginya andai bisa cepat mati dan dikubur. Karena itu artinya, tidak ada lagi beban yang mesti dia tanggung. Namun, saya kurang tahu persis, mengapa dia masih saja merelakan diri untuk melanjutkan hidup. Tidak memilih untuk membeli obat serangga atau tali tambang dengan uangnya yang tidak seberapa, lalu bunuh diri. Bukankah dengan mengakhiri hidup persoalan menjadi selesai? Bukankah dengan mati manusia terbebas dari rasa keterasingan sepanjang waktu yang menyakitkan itu? Bukankah dengan mati manusia tidak lagi harus risau untuk mencari arti tujuan Tuhan melahirkan mereka ke dunia ini? Bukankah dengan mati keinginan kita untuk menjadi abadi, untuk membangun sejarah, untuk mencapai kejayaan itu juga akan sirna? Dan khusus bagi teman saya, bukankah dengan mati penderitaannya sebagai akibat dari banyak kekurangan pada fisik, penampilan, dan pengakuan psikisnya akan selesai? Sungguh, saya tidak bisa memahami cara berfikirnya. Di tengah kepungan realitas yang seharusnya ia memilih untuk mati itu, ia malah sibuk menulis dan membaca. Dia sangka dengan membaca, lalu mengetahui banyak hal, dia dapat menjawab beragam persoalan hidupnya. Padahal, semakin ia banyak tahu, semakin ia pandai menipu diri. Semakin ia jauh dari realitas. Atau ia membaca dan menulis bukan untuk tujuan itu. Membaca dan menulis baginya hanya menjadi cara untuk mensahabati rasa sepi yang laknat. Ia hanya semacam pelarian dari ketidakmampuannya untuk bersosialisasi dan menyambungkan diri dengan dunia manusia yang normal. Ia adalah semacam ikhtiar untuknya untuk mengisi waktu sambil menjemput maut. Ia tahu bahwa hidup yang ia jalani sebenarnya adalah perjalanan sia-sia sebelum ia berhadapan dengan maut. Sehingga baginya, tidak ada hal yang perlu ia perjuangkan sangat dari hidupnya. Tidak ada lagi ia harap cinta dari orang lain yang akan mengguyur hatinya. Demikian juga perhatian, kepedulian, kasih sayang, dan entah apa itu namanya. Satu-satunya yang ia harap adalah cinta dari sang maut ketika ia menjemput hidupnya. Siang dan malam ia berharap derap langkah halus sang maut menyentuh lantai rumahnya. Lalu, perlahan ia mengetuk pintu kamarnya. Seperti seorang remaja yang menyambut sang kekasih, begitulah ia akan menyambut kedatangan kematian yang ia nanti. Bila dalam hidup ini sudah tidak lagi yang berarti, mungkin di alam kematian makna itu bisa ditemukan. Sehingga karenanya, pertemuannya dengan sang maut menjadi kerinduan dia yang abadi. Ya, mungkin kesimpulanku kali ini tentang temanku yang aneh itu tidak keliru. Dalam diam yang panjang, dalam kepasrahan yang hampir total, dalam ketidakpeduliannya bahkan pada ketidakpedulian, tersimpan cinta dan rindu yang abadi, yang sempurna : Kerinduan pada sang kematian.
Posted on: Fri, 13 Sep 2013 12:19:42 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015