Cewek!!! Karya: Esti Kinasih Bab 4. (2) Mereka berdiri di mulut - TopicsExpress



          

Cewek!!! Karya: Esti Kinasih Bab 4. (2) Mereka berdiri di mulut jalan setapak mendaki yang lumayan terjal. Iwan membalikkan badan dan menatap ketiga cewek di depannya. "Oke? Siap belajar naik gunung?" "Siap dong!" Langen dan Fani menjawab serentak. Sementara Febi sama sekali tidak membuka mulut. "Sip! Ok, Van. Jalan!" perintah Iwan. Evan, yang posisinya terdepan, mulai mendaki jalan setapak terjal itu. Iwan menyusul, kemudian Langen. Langen dan Fani masing-masing mendapatkan pengawalan ketat dari Iwan dan Yudhi. Dan meskipun Iwan dan Yudhi membiarkan kedua cewek itu menapaki sendiri setiap jengkal perjalanan, tapi begitu kaki tergelintir atau tubuh Langen dan Fani limbung, kedua cowok itu langsung gerak cepat. Menyambar tangan, pinggang, bahkan merengkuh tubuh kalau itu terpaksa. Yah, apa boleh buat. Daripada kedua cewek itu terluka. Tapi tidak demikian halnya dengan Sri Paduka Yang Mulia Ndoro Gusti Ajeng Febriani Your Highness. Berhubung beliau adalah orang yang sangat mulia an terhormat, jangankan memegang-megang, menyentuh kulitnya meskipun tidak sengaja dan cuma sebentaaar dan sedikiiiit, tetap itu sudah merupakan perbuatan yang sangat kurang ajar. Karena itu, Rizal, yang mendapat tugas untuk mengawal Fani, dan Theo yang berjalan paling belakang, hanya bisa memberikan peringatan-peringatan secara lisan. Seperti misalnya: 'Ati-ati sebelah kiri lo, Feb. Ada ranting pohon." atau..... 'Kayaknya batu yang lo injek itu rapuh deh, Feb." Atau.....'Jangan pegangan pohon yang itu, Feb. Ada durinya." Tapi kadang kala sesuatu telah terjadi sebelum Rizal atau Theo sempat memberi peringatan. Misalnya Febi terpeleset, lalu menggelinding jatuh. Dan berhubung gaya gravitasi sama sekali tidak peduli dengan segala macam gelar kebangsawanan dan betapa terhormatnya status sosial seseorang, juga tidak dapat dihentikan meskipun dengan peringatan yang sangat keras, maka terpaksa Rizal dan Theo membiarkan sampai permukaan datar bumi menghentikan sendiri gaya tariknya. Namun, karena keduanya adalah cowok-cowok yang bertanggung jawab, maka bila tidak sempat memberikan peringatan, sebagai gantinya mereka lalu memberikan kata-kata penghiburan. Tentu saja diucapkan dengan sikap santun, khidmat, dan sopan. Seperi misalnya: 'Kalo orang baru naek gunung emang suka gitu, Feb. Jatoh melulu. Ge juga dulu gitu. Makanya ntar lo lebih ati-ati, ya?" Atau.....'Yang jatoh di sini emang udah sering banget, Feb. Lo masih mending, cuma bonyok doang. Pernah ada yang kakinya sampe patah, tangannya juga. Untung lehernya nggak!" Atau.....'Gue juga pernah kepeleset di sini, Feb. Wiih, sakit banget deh. Lo sakit juga, nggak?" Alhasilnya, baru seteengah jam perjalanan, tubuh Raden Ajeng Febriani sudh lebam-lebam. Tidak lagi mulus seperti waktu berangkat tadi. Akhirnya dia menangis tersedu-sedu dengan sangat memilukan, setelah untuk yang kesekian kali kakinya tergelincir dan badannya limbung lalu terjatuh. Dan yang setia menyambutnya lagi-lagi sang bumi. Alias terkapar dengan mengenaskan di tanah! Perjalanan terpaksa dihentikan. Febi duduk memeluk lutut di tengah jalan setapak. Menunduk dalam-dalam. Menyembunyikan wajah dan tangisnya. Langen mendesah pelan. "Aduh, mati deh. Gue sama Fani bakalan dicincang sama emaknya. Anaknya jadi bonyok-bonyok gitu," katanya pelan. "Apa boleh buat, La," kata Evan, juga dengan suara pelan. "Bahaya naik gunung bawa orang egois gitu?" Iwan mengangguk membenarkan. "Naik gunung itu kerja tim. Bukan individu. Kecuali kalo dia naik sendiri." Cowok itu lalu melangkah turun. Menghampiri Febi dan duduk di sebelahnya, di depan Rizal dan Theo yang sekarang kebingungan. "Sori, Feb, kalo kami kasar," kata Iwan pelan. "Tapi gue, juga semua temen gue, bener-bener sadar kalo kami yang sama sekali nggak sederajat sama elo. Apalah kami yang darahnya asli jelata. Sama sekali nggak biru nggak kayak elo. Nggak punya gelar raden. Cuma akan punya gelar sarjana, itu juga kalo berhasil. Nggak kaya raya seperti keluarga lo. Kami amat sangat sadar itu. Cuma tolong....." Iwan diam sejenak. Berusaha mengetahui reaksi Febi. Tapi gadis itu tetap menunduk dalam-dalam. "Tolong jangan melihat dan memperlakukan kami kayak gitu. Kami nggak sakit kusta kok, Feb. Nggak kejangkit AIDS. Nggak bawa virus SARS. Kami semua juga belom pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Kami di sini untuk bantuin elo. Sepenuhnya untuk kepentingan lo dan temen-temen lo. Jadi tolong perlakukan kami seperti manusia. Paling nggak sampe ini selesai dan kita pisah untuk pulang ke rumah masing-masing." Hening. Febi masih menunduk tapi tidak ada lagi isak yang terdengar. Orang-orang di sekelilingnya saling pandang dengan cemas. Tiba-tiba Febi mengangkat muka. Iwan, Rizal, dan Theo, yang bisa melihatnya, seketika terkesima. Tidak ada kemarahan di sana. Yang terjadi justru sebaliknya. Sedikit senyum muncul dibarengi ekspresi malu. "Maaf, ya?" ucap Febi lirih, mengagetkan semuanya. Abis udah kebiasaan. Lagi pula kebanyakan orang selalu mengannggap keluarga gue itu hebat. Kalo di Jawa sana malah sampe pada menyembah-nyembah." "Gue sih bersedia aja nyembah-nyembah elo, Feb. Asal lo mau bagi Dairy Milk, lo, satu,' kata Theo. Febi tertawa geli lalu mengusap kedua matanya. Semua menarik napas lega. "Yuk, lanjut." Iwan berdiri. "Gue paling depan!" seru Febi tiba-tiba. "Boleh....." Rizal mengangguk. "Yuk." "Bukan elo. Gue!" Febi menghalangi Rizal yang akan melangkah. "Yakin sanggup nggak dibantuin?" Febi berdecak. "Dari tadi gue nggak dibantuin!" Dia mendengus, membuat Rizal dan Theo menyeringai. Febi mendaki jalan setapak terjal di depannya, dan Rizal langsung membuntuti di belakang. "Oke! Ayo lanjut!" seru cewek itu setelah jadi yang terdepan. Mereka bergerak lagi. Tapi belum lama berjalan, tiba-tiba kaki kanan Febi tergelincir. Meskipun tangannya refkles meraih sesuatu untuk dipegang, badannya keburu menimpa Rizal tanpa peringatan. Dan semuanya terjadi dalam hitungan detik! Rizal kontan limbung dan jatuh menimpa Evan tanpa sempat meraih pegangan. Evan langsung roboh menimpa Iwan. Dengan dua tubuh yang jatuh tepat di atasnya, meskipun Iwan sempat meraih sebatang ranting, ranting itu tidak sanggup menahan. Sedetik kemudian ranting itu patah dan terlepas dari dahan. Bersama-sama keempatnya terseret ke bawah, menimpa Langen yang cuma sempat menjerit sebentar. Yudhi mendapatkan giliran tak lama kemudian. Segerumbul semak yang sempat disambarnya, tercabut dari tanah berikut akar-akarnya. Sementara Fani, tertimpa begitu banyak orang sudah pasti....ikut terseret! Theo juga tidak luput. Meskipun dia punya kesempatan paling banyak untuk menyelamatkan diri, tapi karena tubuh-tubuh yang menggelinding turun itu terus berusaha keras meraih sesuatu yang dapat dipegang, akhirnya ia ikut terseret juga setelah enam tangan mencengkeram kemeja flanelnya kuat-kuat. Padahal si botak itu sudah memeluk sebatang pohon sekuat-kuatnya. Akibatnya, dua kancing kemejanya terlepas dan kemeja itu terancam robek. Ketujuh orang itu llau mendarat berdeham dan terkapar bergelimpangan di tengah jalan setapak. Semuanya mengerang kesakitan. "Emangnya enak, jatoh nggak ada yang nolongin?" seru Febi puas, "Rasain sekarang!" kalimatnya membuat kelima cowok itu tertawa geli. "Balas dendam di ternyata!" kata Rizal di sela tawa. "Kok gue kena juga sih, Feb? Gue kan nggak ikutan ngerjain elo." Langen berdiri sambil memegangi pundaknya yang memar terantuk batu. "Iya, lo...." Fani meringis, bangun dari posisi terkapar sambil mengusap-usap kepala. "Mana gue ketibanan Theo pula tadi. Untung nggap gepeng." "Kalo emang terpaksa ada korban, apa boleh buat," jawab Febi ringan. Mereka terpaksa beristirahat. Febi tertawa-tawa girang karena sekarang bukan cuma dirinya yang badannya penuh memar. Semuanya! Ternyata tidak perli berpikir keras mencari jalam untuk melampiaskan dendamnya. Cukup pindah posisi dan pura-pura kepeleset satu kali. Dan sekarang, di depannya ada segerombol manusia yang sedang mengaduh-aduh karena kepala benjol, tulang kering kena batu, kulit tersabet ranting, dan dicium akar kayu. Rasain! *** Setelah cukup beristirahat dan yakin tidak ada yang menderita luka serius akibat tindakan balas dendam Febi, perjalanan dilanjutkan. Tapi sebelumnya cewek itu ditanya dengan saksama, masih dendam atau tidak. Dijawab 'nggak' tapi sambil meringis yang mengundang curiga. Perjalanan itu dilanjutkan dengan Febi berada dalam pengawasan ketat. Tapi perjalanan yang penuh tawa dan canda itu pelan-pelan berubah. Jalan setapak yang terjal dan terus menanjak menelan keceriaan itu dan menggantinya dengan keheningan tanpa suara. Cuma tarikan napas yang terengah berat. Tenaga mulai terkuras, kepala mulai sakit, dada mulai sesak, kaki-tangan mulai lemas, dan mata mulai berkunang. Puncaknya, Fani tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Mukanya pucat dan dia mengeluh dadanya sakit setiap kali mengambil napas. Langen meringis menekan ulu hatinya yang terasa sakit. Sementara Febi hampir saja pingsan. Iwan dan keempat temannya saling pandang. Pengenalan pendakian ini sepertinya harus dihentikan. Dihampirinya Langen lalu berjongkok di depannya satu lutut menyentuh tanah. "Gimana, La? Capek?" Langen tidak langsung menjawab. Dia tahu ke mana arah pertanyaan itu. "Istirahat sebentar. Sampai tenaga pulih. Nanti kita pasti kuat jalan sampai puncak. Pasti!" jawabnya dengan suara yang dipaksa untuk terdengar gagah. Iwan tersenyum tipis. "Sayangnya gue ngeliatnya nggak begitu." Tatapan Langen langsung berubah cemas. 'Yaaah, Iwan. Jangan gitu dong. Gue pasti kuat. Bener deh!" "Gue juga!" timpal Fani. "Gue cuma butuh istirahat sebentar aja. Ini karena badan gue shock, tiba-tina diforsir." "Betul!" Febi ikut mengangguk tegas, membuat Langen dan Fani menatapnya surprise. Mereka tidak menyangka Febi akan memberi dukungan. Febi memang tengah dilanda euforia. Benar-benar tidak disangkanya, menjadi rakyat jelata yang tidak terikat tata krama ternyata sangat menyenangkan! "Tapi kita tetep ngubah rencana. Gue nggak mau ambil risiko. Ini belum ada seperlima jarak ke puncak dan stamina lo udah pada ancur begini....." Iwan berdiri. "Udah mendingan?" tanya. Ketiga cewek itu mengangguk. "Ayo kalo gitu. Ada satu tempat bagus yang mau gue tunjukin ke elo bertiga." Tempat bagus ini ternyata air terjun, yang gemuruh suaranya telah terdengar jauh sebelum mereka mencapai tempat itu. Saat ketig cewek itu terpaku takjub. Tanpa dikomando, mereka langsung berlari ke tepi kolam alam yang terbentuk di arir terjun itu. Setelah melepas sepatu, kaus kaki, dan menurunkan ransel dari punggung, mereka langsung melompat ke air. Sesaat mereka terpekik karena dingin. Tapi tak lama kemudian ketiganya sudah asyik, dan jadi benar-benar lupa pada tujuan semula. Di tepi kolam, Iwan mencari permukaan tanah yang datar lalu menggelar ponco. Evan menyalakan kompor, lalu memasak air. Kemudian dengan masing-masing secangkir badrek di hadapan, kelimanya berpikir keras mencari jalam keluar. Sementara yang punya hajat malah masa bodo amat. Asyik berkecipak-kecipak di kolam. Dipanggil untuk diajak berunding karena mereka yang punya kepentingan, jawabannya pada gampang. "Terserag elo-elo aja deh. Kami pokoknya setuju aja. Yang penting aksi unjuk gigi kami itu kudu terlaksanakan dengan sukses. Oke? Paham?" ucap Langen, dan ketiganya balik lagi ke kolam. Tapi Fani kemudian menghampiri Iwan cs lagi. "Badreknya kayaknya enak nih. Bagi ya?" dan cangkir di depan Iwan, Theo, dan Rizal kemudian diangkut pergi tanpa tanya sama yang punya, boleh apa nggak. "Dasar nggak sopan!" gerutu Iwan. "Masih ada air panas nggak, Van?" Evan mengangguk sambil ketawa. Setelah beberapa saat, perundingan yang dilakukan kelima cowok itu selesai dengan satu kesepakatan. Mereka terpaksa harus campur tangan, mendampingi ketiga cewek itu dalam aksi unjuk rasa mereka. Dan supaya tidak tercium, satu-satunya jalan mereka harus curi start. "jelas?" Iwan menatap satu per satu ketiga cewek di depannya, yang terpaksa duduk di atas rumput karena baju mereka yang basah kuyup terus meneteskan air. "Jelas!" ketiganya menjawab bersamaan. "Dan tugas lo, La, begiru kita udah keluar Jakarta, telepon cowok lo. Kasih tau, lo bertiga mau naik gunung dan suruh mereka nyusul! Paham?" "Paham dong!" Langen tertawa cerah, mengacungkan kedua ibu jarinya tinggi-tinggi. "Brilian banget sih rencana. Idenya siapa sih?" "Nggak penting ini idenya siapa....." Iwan menatap tajam ketiga cewek di depannya. "Sekarang, lo bertiga ganti baju, terus masak. Cepet. Kami udah laper!" bersambung........ >Sofhie
Posted on: Sun, 28 Jul 2013 16:05:44 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015