Cukai Pulsa Itu Lucu dan Menggemaskan Hai sobat DIFA CELLULAR! - TopicsExpress



          

Cukai Pulsa Itu Lucu dan Menggemaskan Hai sobat DIFA CELLULAR! Tak disangka kini negeri tercinta indonesia makin kacau balau. Rencana pemerintah memberlakukan cukai terhadap pulsa telepon seluler sungguh mengejutkan sekaligus menggemaskan. Apalagi alasan tambahan tarif itu cenderung dibuat-buat. Yakni, demi mengendalikan konsumsi pulsa lantaran aktivitas berkomunikasi melakui ponsel berbahaya bagi kesehatan. Seperti didalihkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Bambang Brodjonegoro dalam pertemuan dengan Komisi Keuangan DPR, penggunaan ponsel lebih dari 10 tahun akan menggandakan risiko kanker otak. Selain itu, menurutnya telepon seluler juga bisa menimbulkan tumor, leukimia, dan lain-lain penyakit seram. Dengan asumsi yang seolah-olah mulia itu, pemerintah ingin mengenakan cukai terhadap pulsa agar konsumsi lebih terkendali dan masyarakat sehat. Pagi-pagi, walaupun belum diajukan secara resmi, DPR sudah menyatakan sepakat. Itu terlihat dari pernyataan Ketua Komisi Keuangan dari Fraksi PDI Perjuangan Izederik Emir Moeis. Padahal kalau mau jujur, maksud pemerintah cukup jelas, yaitu meningkatkan pendapatan negara lewat pajak. Menurut saya, kebijakan ini lucu. Dengan alasan kesehatan yang disampaikan pemerintah, itu berarti masyarakat terpaksa membayar biaya tambahan untuk menjaga kesehatannya sendiri. Semestinya bagi masyarakat yang punya kesadaran seperti itu malah diberikan hadiah atau insentif, karena bisa mengurangi ongkos subsidi kesehatan. Kebijakan ini juga menggemaskan, karena bisa berimplikasi negatif terhadap perekonomian. Cukai pulsa telepon seluler yang dikenakan kepada individu bukan hanya berpotensi menurunkan produktifitas di sektor informal, tapi juga bisa bertolak belakang. Logika pemerintah menyebut, cukai pulsa dikenakan dalam rangka pengendalian konsumsi demi menjaga kesehatan. Berarti, inti masalahnya ada pada radiasi telepon, yang melahirkan eksternalitas atau dampak eksternal hingga menimbulkan dampak ekonomi (biaya) terhadap orang lain. Dengan asumsi seperti ini, penerima nobel ekonomi Joseph Stiglitz menyebutnya sebagai corrective tax atau pajak yang dikenakan lantaran memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Misalnya cukai terhadap rokok. Sampai sini, kebijakan tersebut masuk di akal. Pengisap rokok memang memberikan dampak eksternalitas kepada orang di sekitarnya, sehingga perokok pasif harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menjaga kesehatan. Karena itu, wajar jika rokok dikenakan tambahan cukai (kalau perlu dibikin lebih tinggi dari sekarang). Jika dibandingkan dengan pulsa, jelas hal itu jauh berbeda. Selama apa pun orang berkomunikasi melalui ponsel, tidak akan memberikan dampak terhadap kesehatan lingkungan sekitar. Paling mungkin dampak psikologis, yaitu iri hati. “Huh, ngobrol kok lewat telepon,” umpatan dalam hati yang mungkin tercetus. Jika pemerintah memang ingin mengenakan tarif tambahan dalam bentuk cukai gara-gara radiasi yang muncul dari ponsel, maka salah sasaran bila rakyat yang diminta. Seharusnya cukai itu diberlakukan kepada produsen sebab mereka itu yang mengakibatkan adanya eksternalitas berupa radiasi. Solusi pajak yang lebih kreatif sedikit, misalnya, menetapkan ambang batas radiasi terhadap produk ponsel. Semakin tinggi dampak radiasinya, maka tarif cukainya bersifat progresif, sehingga menjadi lebih mahal. Cara ini tentu bisa lebih adil, sesuai dengan semangat keadilan pada karakter pengenaan pajak. Bukan justru dibebankan kepada konsumen yang malah menimbulkan ketidakadilan. Karena itu, rencana kebijakan itu secara ekonomi, rada sulit dicerna logika. Kemudian, rencana pungutan baru ini juga bisa berbahaya bagi usaha kecil. Belakangan, fenomena yang berkembang – walaupun masih sedikit – bahwa usaha rumahan termasuk ojek dan katering misalnya, menggunakan alat komunikasi ponsel demi efisiensi, karena memudahkan komunikasi dengan konsumen. Ketika pemerintah mengenakan cukai pulsa, berarti ongkos produksi mereka bertambah dan biasanya, dibebankan kepada konsumen. Akhirnya, yang sakit bukan telinga, tetapi kantong masyarakat. Rencana pemerintah membebani cukai pada pulsa telepon seluler menjadi percakapan seru di jejaring media sosial. Pro-kontra setuju dan tidak mewarnai percakapan itu. Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi, mengingatkan rencana itu bertentangan dengan semangat UU Telekomunikasi. Menurut Heru, semangat UU Telekomunikasi menyiratkan telekomunikasi harus mudah dan murah, untuk mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan beserta berbagai hasilnya. “Kalau dibebani cukai, akan jadi mahal,” ujar mantan anggota BRTI itu Apa yang disampaikan pemerintah, laya dikritisi dan mungkin pengenaan cukai pada pulsa harus ditolak. Ada berbagai alasan yang dapat dikemukakan untuk menolak kebijakan ini: 1.UUD 1945 padal 28 hufuf f dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Ini artinya apa, bahwa berkomunikasi melalui media apapun, termasuk telekomunikasi, merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia Indonesia yang harus dipenuhi oleh negara. Hambatan atau halangan, termasuk menambah beban untuk bisa mendapatkan kesempatan berkomunikasi, menjadi bagian dari pelanggaran HAM. 2. Misi Kementerian Kominfo terkait telekomunikasi adalah bagaimana memberikan tarif terjangkau pada masyarakat, dan itu terealisir sejak 2008, dimana sebelumnya tertinggin di bawah Australia. Dengan tarif terjangka, maka penetrasi dan teledensitas telekomunikasi meningkat, dan menjangkau ke daerah-daerah, hingga semua lapisan. 3. Di tahun 2011, pemerintah telah menyedot uang masyarakat pengguna telekomunikasi sebesar Rp. 12 trilyun-an, dengan penambahan cukai ini, mau berapa lagi uang yang harus disetor masyarakat melalui jasa telekomunikasi kepada negara. Padahal, sektor lain, justru menjadi beban karena harus subsidi seperti listrik maupun BBM. Di sektor ini tak ada subsidi yang dikeluarkan negara. 4. Angka Rp. 12 Trilyun didapat, selain melalui pemanfaatan pendapat dari frekuensi, sebesar 0,5 % dari gross revenue operator yang tentunya akan dimasukkan dalam struktur tarif ke masyarakat untuk BHP Telekomunikasi. 5. Sementara itu, masyarakat juga telah menanggung untuk membangun wilayah-wilayah terluar dan terpencil melalui program USO sebesar 1,25% dari gross revenue operator, yang tentunya juga dimasukkan dalam struktur tarif ke konsumen. Artinya, dalam tarif yang dibahas, 1,25% + 0,5 % disetor ke negara sebagai BHP USO dan BHP Telekomunikasi 6. Saat membeli pulsa, konsumen sudah dibebani PPN 10%, baik untuk kartu prepaid maupun postpaid. 7. Hingga saat ini, belum ada penelitian yang secara tegas dan jelas menyatakan ada korelasi hubungan kesehatan dengan penggunaan ponsel. 8. Sektor telekomunikasi sebagai sektor yang mandiri, harusnya diberikan insentif, bukan diberikan hambatan. Apalagi, ke depan banyak target pembangun broadband khususnya yang harus dicapai. Jangan membutakan diri, bahwa sektor ini telah memberikan kontribusi terhadap PDB, dan banyak penelitian menunjukkan ada hubungan antara sektor telekomunikasi dengan pembukaan lapangan kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Karena itulah, menurut saya alasan demi menjaga kesehatan untuk menerapkan cukai pada pulsa ponsel bersifat mengada-ada dan berlebihan. Alasan yang disampaikan sungguh sulit diterima akal sehat. Mungkin lebih bisa diterima jika pemerintah minta sumbangan sukarela kepada warga dalam rangka meningkatkan pendapatan? Walau belum tentu rakyat rela menyumbang. Saya yakin pemerintah masih punya banyak cara kreatif untuk meningkatkan penerimaan maupun menurunkan pengeluaran demi menjaga kesinambungan fiskal.yang tidak lucu dan menggemaskan seperti cukai pulsa ini.
Posted on: Sun, 11 Aug 2013 05:11:32 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015