DAMAR WULAN EPS 7 Jalan raya yang terentang sepanjang tepi Kali - TopicsExpress



          

DAMAR WULAN EPS 7 Jalan raya yang terentang sepanjang tepi Kali Berantas selalu ramai, bahkan pada saat-saat yang akhir itu bertambah ramainya. Banyak pengungsi berkeliaran sepanjang kota, karena di desa desa dan di daerah pinggiran rakyat sudah lama kehilangan keamanan dan kebebasannya, terutama di daerah ujung timur dan tenggara. Di mana-mana terjadi perampokan dan pembunuhan. Lain daripada itu beban yang dipikulkan ke pundak rakyat terlalu berat. Para lurah dan penewu-penewu bertindak sewenang wenang memungut pajak penghasilan rakyat, di samping kewajiban sumbangan ini dan sumbangan itu yang tiada sedikit jumlahnya. Sebahagian, setelah berkeliaran didalam kota beberapa lamanya dengan tiada tentu kehidupan serta selalu menderita kelaparan, hidup sebagai gelandangan, akhirnya terpaksa menuju ke Pantai Utara. Di situ mereka dapat mencari kehidupan baru. Memburu, berusaha memeras keringat. Barang siapa yang bermodal dapat berjualan atau berdagang kecil-kecil dengan aman dan tenteram. Ajaran kepercayaan baru berkesan di hati dan dalam penghidupan rakyat sehari-hari. Beberapa orang yang kembali ke desanya, menceritakan bahwa kehidupan rakyat di Pantai Utara Iebih teratur dan lebih baik. Saudagar-saudagar asing yang datang dari negeri di atas angin itu sangat ramah tamah. Mereka tidak mengenal kasta-kasta dan tiada membawa prajurit untuk membunuh serta tiada mengenal ksatria yang angkuh dan sombong. Bila mereka duduk berkumpul-kumpul, di antara mereka seakan-akan tak ada perbedaan sedikit juga. Hanya bila mereka melakukan ibadah sembahyang bersama-sama, salah seorang maju ke depan, jadi pemimpin, yang lain harus mengikuti segala gerak-geriknya. Dewa mereka hanya satu, menurut pengakuan mereka disebutnya Mahatunggal atau Allah subhanahu wataala. Pakaian, tempat, dan makanan mereka amat terjaga, rapi, dan terpilih. Mereka tidak boleh memakan daging babi, marus atau darah, tidak boleh pula meminum minuman keras, karena itu mereka tak pernah lupa daratan atau masuk. Mereka dilarang oleh agamanya berdengki-dengkian, bergunjing, hina menghinakan, dan memaki-maki seperti dilakukan oleh ksatria kepada golongan sudra di Majapahit ini. Dalam peraturan agamanya, sekali-kali tiada boleh mengganggu perempuan apabila istri orang lain, jangankan sampai berbuat serong yang amat berat hukumannya, memandang dan bersentuhan kulit pun tiada boleh. Keras sekali peraturannya, akan tetapi mereka boleh beristri lebih dari seorang, sampai empat, dengan syarat yang berat pula, yaitu mesti adil seadil-adilnya. Apabila yang seorang diberi belanja setengah rial sepekan, yang lain harusnya setengah rial pula; bila ia bermalam di tempat yang muda setengah malam, di tempat yang lain atau yang lebih tua harus setengah malam pula, tiada boleh lebih dan tiada boleh pula kurang. Keadilan dan persamaan hak sangat dijaga oleh ajaran agama baru itu. Mereka boleh mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, akan tetapi tidak boleh menyia-nyiakan nasib si miskin. Untuk membiayai fakir miskin atau orang telantar, mereka mengeluarkan hartanya dengan sukarela. Artinya karena disuruh oleh agama mereka, mengeluarkan kira-kira seperlima dari hasil pertanian mereka, sekian-sekian pula dari hasil peternakan atau hasil harta perdagangan mereka tiap-tiap tahun. Di antaranya digunakan untuk kepentingan masyarakat dan penolong fakir miskin. Beberapa desa di utara yang telah menerima ajaran itu dengan amat cepat telah menjadi makmur. Golongan sahaya segera menjadi merdeka, kaum sudra di sebelah utara itu tidak lagi dihina dan diperas, karena di sana tidak lagi diakui ada golongan ksatria, waisya, maupun brahmana. Pergaulan mereka sama rata sama rasa. Karena itu pula pencurian dan perampokan hampir tidak ada. Mana mungkin terjadi pencurian dan perampokan manakala semua orang sudah beroleh bagiannya dengan wajar. Sekiranya ada juga yang mau mencuri, bukan lagi karena kelaparan, akan tetapi karena memang dia orang jahat atau karena kelobaan semata-mata, maka hukumnya amat berat, dipotong tangannya, sampai ia tak mau dan tak dapat mencuri lagi. Begitulah hukuman mereka yang sesungguhnya. Berbagai-bagailah cerita yang dibawa orang dari Pantai Utara itu. Karena keadaan di desanya dan huru-hara yang tiada berhenti-hentinya terjadi dalam kerajaan Majapahit, banyaklah yang telah pergi mengungsi ke utara. Kabarnya desa Ampel telah bertambah ramai juga, karena kapal-kapal asing banyak keluar masuk di Kali Mas. Damarwulan tiap-tiap pagi dibantu oleh Sabda Palon dan Naya Genggong disuruh menggiring kuda dan memandikannya agak ke hulu Kali Berantas. Kuda itu digosok dan dibersihkan seekor demi seekor di tepi Kali Berantas itu, sementara yang lain dibiarkan merumput sepanjang lembah Berantas yang hijau itu. Tak urung pula rumputnya mesti juga disabitkan untuk makannya di dalam kandang. Sekaliannya itu tentu dilakukan oleh Sabda Palon dan Naya Genggong berdua, Damarwulan hanya melihat lihat dari jauh atau sekadar mengamat-amati saja. Sungguh pun begitu Damarwulan acapkali juga termenung seorang diri memikirkan tindakan pamannya dan sikap kedua orang saudaranya itu kepada dirinya. "0, mengapa Ayah tidak pernah menceritakan sifat-sifat serta dendam Paman itu...," demikian sering ia mengeluh seorang diri. "Eyang pun sepaham dengan Ayah, tak pernah mengatakan berterus-terang...." Biasanya kalau pikirannya sudah sampai ke sana segeralah ia mengeluarkan sulingnya dan mencoba menghiburkan hatinya dengan nyanyian anak gembala dengan irama suling yang sayu berhiba-hiba. Apabila tuannya telah bersuling semacam itu Sabda Palon segera bernyanyi: Kali Berantas bagaikan tenang, Air mengalir emas sepuhan; Duduk termenung apa dikenang, Terima kewajiban berat dan ringan. Dijawab oleh Naya Genggong: Air mengalir emas sepuhan, di Waringin Pintu bercabang dua; Terima kewajiban berat dan ringan, dengan kekasih sekarang bersua. Sabda Palon menyahut pula: Di Waringin Pintu bercabang dua, sama- sama menuju ke lautan; Dengan kekasih sekarang bersua, sayang saja belum berdekatan. "Siapa mengatakan belum?" ujar Naya Genggong. "Berdekatankah namanya itu, yang seorang di kepatihan dan yang seorang di kandang kuda!" jawab Sabda Palon. "Bagimu ... tentu tidak, karena engkau melihat lahirnya saja." "Jadi yang engkau maksud?" "Yang kumaksud," kata Naya Genggong sambil memperdekatkan kedua telunjuk jarinya, "jiwanya sudah terikat dekat sekali. Apalagi Gusti Anjasmara...!" Keduanya tersenyum bahagia. Damarwulan berhenti berbangsi, sulingnya diletakkannya di sisinya. Dari ujung jalan selatan dilihatnya serombongan gambuh kelana hendak lewat sambil bernyanyi bersama-sama, begini bunyi nyanyiannya: Mari saudara, Kaum sengsara, Menikmati candera, di Pantai Utara...! Tinggi rendah, Hina mulia, Miskin kaya, Semua sama. Tiada beda, Sahaya, manusia, Kecuali hanya, Iman di dada. Perasaan takwa, Tandanya mulia, Bukan kasta, Marl saudara. Kemudian dituruti yang lain bersama-sama dengan merdu dan lantang suaranya, sehingga anak-anak, terutama kaum jembel sepanjang jalan segera mengikuti barisan itu, sehingga makin lama makin panjang juga barisan itu. Nyanyian itu rupanya sudah terkenal sekali di antara rakyat jelata, sehingga sekaliannya dapat melagukannya beramai- ramai, diiringi sejumlah terbang yang dibawa oleh rombongan itu, orang banyak yang dada memegang terbang, mempertepuk-tepukkan kedua belah tangannya atau memukul-mukul pahanya dengan tangannya, sehingga amat bahana bunyinya. Menikmati candera, Kaum sengsara, Bukanlah harta di Pantai Utara...! Damarwulan sangat tertarik kepada bunyi serta isi lagu mereka. Ia pun bangkit dari duduknya dan naik ke pinggir jalan. Dengan tiada disadarinya benar ia telah turut pula menyanyikan lagu itu dalam ingatannya. Tinggi rendah, Hina mulia, Miskin kaya, Semua sama. Lama ia tertegun meresapkan makna nyanyian itu. Tiap-tiap bait, sekalipun masih ada kata-katanya yang samar-samar baginya arti yang sesungguhnya, tetapi kedengarannya amat menarik dan hendak dirasakannya pula: Tiada beda, Sahaya, manusia, Kecuali hanya, Iman di dada. Serta benarkah: Perasaan takwa, Tandanya mulia, Bukan kasta, Bukanlah harta...? Iman dan takwa tentulah kata-kata baru yang menyelinap masuk bersama-sama kepercayaan orang-orang asing yang masuk ke daerah Pantai Utara itu. Ayahnya pernah menerangkan tentang kehidupan nurani, hati yang suci, yang tiada bermaksud jahat atau bertekad serong kepada orang lain, niat baik yang dikehendaki oleh para dewa, maksud luhur yang hendak berbakti kepada sesama manusia, seperti dikehendaki oleh Barata yang Mahaagung. Ketika ia mengulang-ulang bait yang paling akhir, jelas sekali baginya apa maksudnya. Bukankah kasta ksatria dan waisya yang telah menyebabkan kehidupan rakyat jadi morat-marit, pertanian rakyat menjadi rusak. Kasta brahmana, kasta yang paling mulia, yang dikehendaki dewa-dewa, ibarat candera akan memberikan cahaya ke seluruh jagat raya di waktu malam akan menjadi penunjuk jalan dalam kegelapan, akan tetapi sekarang malah sebaliknya, merekalah yang memberikan petuah yang salah, yang telah menyesatkan dan menjerumuskan rakyat. Mereka lebih suka menerima upah atau uang sogok dari pemimpin-pemimpin yang curang, supaya mulut rakyat dapat dikekang dan supaya patuh diperkuda-kuda seperti hewan, daripada menunjukkan jalan yang benar, jalan yang lurus seperti yang dikehendaki oleh kitab suci mereka. "Ayo, bubar sekalian...!" teriak dua orang kesatria yang datang menunggang kuda, sambil menghentikan kudanya, hampir di hadapan Damarwulan benar. Orang-orang itu tiada segera menurut perintahnya. Dengan serta merta salah seorang dari mereka mencabut kerisnya dan hendak menusukkannya kepada salah seorang anak yang masih tetap berdiri di samping kudanya dengan meneriakkan, "Tiada kenal kesatria Majapahit...." Untung benar Damarwulan dengan cepat sekali menarik anak itu ke samping sebagai burung elang yang sedang menyambar lakunya, sehingga anak itu terlepas dari bahaya maut. Tidak sekadar itu saja. Ketika yang menikam itu terdohok ke depan cepat sebagai kilat hampir tdak kelihatan kaki kirinya menyambar pertumpuan pengamuk, sehingga ia rebah tersungkur, tak jauh dari Damarwulan. Orang-orang yang melihat sekaliannya telah menutup mukanya, pada dugaan mereka tentu mata keris itu telah masuk dengan hulu-hulunya ke perut anak yang malang itu. Tetapi ketika mereka membuka matanya bukan anak itu yang terjatuh berlumuran darah melainkan sebaliknya si penikam itu yang tersungkur ketanah. Hidung dan mulutnya berdarah. Melihat kawannya jatuh terbaring, yang seorang lagi melompat dan mencabut kerisnya dan mencoba mengayunkan tangannya tinggi-tinggi karena gemasnya, sehingga kaki kanannya agak terangkat dari tanah. Dengan mudah saja Damarwulan membungkuk dan membalik dengan cepat dan mendorongkan kaki kiri lawan yang kehilangan tumpuannya itu dengan kaki kirinya juga, sehingga tiada urung lagi ia terbalik ke belakang. Sudah barang tentu mata kerisnya, ketika ia jatuh itu mengacung ke udara, dan dengan sendirinya tidak berbahaya baginya atau pun bagi orang lain. Memandang kedua kesatria itu jatuh, terutama yang kedua diiringi bunyi gedebab di atas lumpur yang becek itu, orang banyak semakin ketakutan. Pasti keduanya akan bertambah meradang, pikir mereka sekalian. Sebaliknya mereka amat heran dan kagum melihat ketangkasan Damarwulan. "Silakan berdiri, Saudara-Saudara!" ujarnya dengan tenang kepada kedua kesatria gadungan yang masih terbaring kesakitan itu. "Apakah gerangan salah mereka maka hendak kamu tikam?" Keduanya tiada lekas berdiri. "Mengapa, terangkanlah! Saudara-Saudara ini siapa?" Tidak juga menyahut. Damarwulan berbalik memandang kepada rombongan gambuh kelana itu, kemudian katanya, "Sekaliannya ini hendak ke mana, terangkanlah supaya saya dapat mengetahuinya? Janganlah Tuan-Tuan menaruh syak wasangka melihat saya, saya hanya seorang gembala...." Salah seorang di antara orang banyak itu menjawab, "Maafkanlah kami, ya, orang muda, kami ini menganut kepercayaan baru dari pantai utara. Kami sekaliannya pun orang Majapahit, karena kami merasa keamanan dan ketenteraman di desa atau di kampung halaman kami sudah tidak terjamin lagi, kami terpaksa mencari penghidupan di tempat lain. Di pantai Utara kami beroleh penghidupan dan ketenteraman jiwa kami. Di sana kami diperlakukan dengan baik sebagai hamba Allah." "Siapakah Allah itu? Dewakah dia dan bagaimanakah sifat-sifatnya?" "Allah ialah yang menjadikan dan yang mengatur seluruh alam ini!" "Kalau begitu Mahadewa atau Mahesywaralah dia." "Memang orang Hindu menyebutnya Mahesywara, Maha Pencipta atau Mahakala, kami orang Islam menamakannya Allah swt. yaitu Yang Mahakuasa." "Jika begitu samalah itu! Akan tetapi apakah tujuan agama Islam itu yang sesungguhnya?" "Mendatangkan keselamatan kepada seluruh manusia di dunia dan di akhirat. Orang Islam belum lagi sempurna Islamnya, jika sekiranya ia belum dapat menjaga keselamatan orang lain, baik oleh perkataannya maupun oleh perbuatan." "Adakah orang-orang yang berkepercayaan baru itu mencintai sesama manusia?" "Ya, cinta-mencintai dan kasih-mengasihi sesama manusia itulah yang dituntut oleh ajaran agama kami. Diterangkan oleh Nabi kami: seorang belum lagi sempurna imannya kepercayaannya kepada Yang Mahakuasa sebelum ia mencintai sesamanya seperti ia mencintai dirinya sendiri." Mendengar jawaban orang banyak itu makin banyak timbul pertanyaan dalam pikiran Damarwulan, terjawab yang satu timbul pula yang lain. "Siapakah nabi yang kamu katakan itu? Dewakah ia atau indrakah ia?" "Bukan dewa dan bukan pula indra, tetapi manusia biasa yang mendapat wahyu, yang menerima perintah dari yang Mahakuasa untuk menyampaikan ajarannya kepada sesama manusia di muka bumi, dunia ini...." "Jika demikian Maharesilah ia!" Orang banyak itu berpandang-pandangan, kemudian, "Juga bukan! Nabi ialah yang mula-mula membawa dan menyiarkan ajaran Yang Mahakuasa itu kepada sesama manusia; ia pun manusia biasa." Kedua orang muda itu berdirilah. Kemudian Damarwulan bertanya pula kepada orang banyak, "Kamu kenalkah keduanya ini sebelumnya?" "Selama Majapahit dalam huru-hara seperti sekarang ini di mana-mana rakyat ditakut-takuti oleh suatu golongan yang bernama ksatria, yang bertindak semau-maunya, yang memeras harta dan darah rakyat dengan bermacam-macam jalan. Apa pun alasan mereka sebenarnya yang mereka kehendaki semata-mata harta benda rakyat...." Setelah bercakap-cakap dan bersoal-jawab itu maka rombongan itu disuruhnya meneruskan perjalanan mereka. "Apa maksudmu mengejar mereka dan menyuruh mereka bubar ... dan hendak melumuri kerismu dengan darah mereka?" tanya Damarwulan pula dengan tenang. Kedua orang muda itu tiada segera dapat menjawab, mereka memandang dengan ragu-ragu kepada Damarwulan. Salah seorang di antaranya bertanya, "Bukankah Saudara ... eh, Tuan hamba Raden Gajah, yang pernah kami kenal di medan pertempuran Lembah Tanggul. Hamba tiada salah lihat dan hamba ingat sungguh sungguh, kepada Tuanlah Adipati Tuban meninggalkan amanat, supaya Tuan berusaha menyelamatkan Majapahit!" "Bagaimana Saudara mengenali saya?" tanya Damarwulan pula. "Ketika itu kami berdua ada di pihak Adipati Tuban dan ketika akan mundur barisan kami menggabungkan diri dengan pasukan Tuan hamba sampai ke Lumajang," jawabnya. "Tiadakah Tuan hamba merasa bahwa ajaran baru dari Pantai Utara itulah kelak yang akan menguasai Majapahit dan seluruh Jawadwipa?" "Apakah maksud Saudara?" tanya Damarwulan ragu-ragu. "Aku lihat mereka tidak pernah membawa senjata." "Akan tetapi ajaran dan kepercayaan mereka telah mulai tertanam dan berkubu di hati sanubari rakyat jelata." "Ya, sungguh pun begitu, kerajaan Majapahit memberi kebebasan kepada seluruh rakyatnya. Majapahit hanya memerintah negeri, menjaga keamanan dan ketenteraman sekalian rakyatnya dan ... tiada mencampuri urusan kepercayaan dan keyakinan masing- masing, agama bebas di Majapahit." Keduanya disuruh Damarwulan berbalik arah ke selatan kembali. "Biarkanlah kebebasan hidup bersemi di hati rakyat Majapahit!" katanya dengan pendek. "Mereka bebas dalam menentukan kepercayaannya dan mereka memilih dan menilai mana yang buruk dan mana yang baik...!" Bersambung..
Posted on: Fri, 28 Jun 2013 03:58:51 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015