DILA JOJOR dan MALAM 1.000 BULAN TEMPO.CO, Lombok -Tradisi - TopicsExpress



          

DILA JOJOR dan MALAM 1.000 BULAN TEMPO.CO, Lombok -Tradisi menyalakan dila jojor (dile jarak) sebagai lampu penerang oleh masyarakat Sasak, Lombok, dimulai kemarin malam, seiring tibanya 10 hari terakhir Ramadan. Masyarakat menyalakan dila jojor terutama pada malam-malam ganjil. Tradisi ini merupakan perayaan menyambut malam lailatul qadar yang turun pada satu malam ganjil. Dalam bahasa Sasak, dila berarti lampu atau penerangan. Dila jojor adalah obor kecil, terbuat dari bilah bambu berbentuk mirip tusuk sate berukuran lebih besar. Bahan baku berupa biji buah jarak dan biji buah jamplung (sasak) digoreng [tanpa minyak] sampai gosong. Kemudian bahan tersebut ditombuk bersama kapuk (bias kapas) dan dibentuk menyerupai sate. Tradisi menyalakan dila jojor masih dipertahankan, misalnya di Telaga Lebur Sekotong, Desa Kuripan dan Nyiur Lembang di Kabupaten Lombok Barat, serta Pagutan dan Dasan Agung di Kota Mataram serta berbagai tempat lainnya. Anak-anak duduk berkerumun, membuat kelompok-kelompok di bawah dila jojor sambil menunggu waktu salat tarawih. Tak jarang anak-anak kecil mengaraknya keliling kampung. Ketua Nahdlatul Ulama Cabang Mataram, Fairuzabadi, 48 tahun, menyebutkan nyala api dari dila jojor ini sebagai cahaya Ramadan. Aktivitas ini menjadi refleksi muslim Sasak setiap malam ganjil pada 10 malam terakhir. "Menyalakan dila jojor merupakan bentuk simbolisasi malam terang benderang," katanya kepada Tempo, kemarin. Tradisi itu, dia menjelaskan, tidak lepas dari pemahaman kultural cahaya sebagai lambang kebaikan. "Zaman dulu, kan, belum ada listrik, jadi simbolnya pakai obor," katanya. Dila jojor pun dipasang di tembok rumah, di pintu gerbang, setiap sudut, dan jalanan menuju rumah. Jadi nyala dila jojor biasa menerangi jalan lalu lalang kemasjid. Ritual menyalakan dila jojor ini mengawali rangkaian perayaan menyambut malam lailatul qadar. Malam penuh berkah ini turun pada salah satu malam-malam ganjil, yakni malam ke-21, 23, 25, 27, dan malam terakhir, 29 Ramadan. Malam lailatul qadar itu hanya turun pada bulan Ramadan dan sangat didambakan umat Islam. Sebab, jika beribadah pada malam tersebut, pahalanya lebih baik dari 1.000 bulan. Masyarakat Sasak menyebut malam-malam ganjil ini sebagai maleman. Tradisi maleman diisi dengan kegiatan-kegiatan ibadah. Para remaja dan kelompok tadarusan menamatkan atau mengkhatamkan Al-Quran. Menjelang maleman, dila jojor pun dinyalakan seusai berbuka puasa. Menurut seorang tokoh agama Mataram, Muhammad Yasin, saat menancapkan dila jojor, masyarakat biasa membacakan salawat kepada Nabi Muhammad dan berdoa semoga bisa bertemu dengan malam lailatul qadar. "Pembakaran dila jojor konon katanya untuk menerangi malaikat yang turun ke bumi."
Posted on: Tue, 30 Jul 2013 07:38:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015