Dalam sejarah filsafat,Karl Marx adalah salah satu dari sekian - TopicsExpress



          

Dalam sejarah filsafat,Karl Marx adalah salah satu dari sekian banyak filsuf mazhab Jerman yang lebih memberikan penekanan materi kajian pada filsafat ekonomi ketimbang filsafat politik ataupun cabang dari filsafat lain,filsafat ekonomi Karl Marx seringkali disebut dengan paham Marxis (Marxisme) dimana Marxisme (filsafat Marxian) kemudian terkait pula pada berbagai cabang disiplin ilmu pengetahuan lain yang pada dasarnya bersumber pada filsafat (kebebasan) ataupun juga pada setiap agama (kehendak) yang ada pada manusia pada umumnya,kontruksi paradigma dalam pemikiran Karl Marx sangat menekankan pada materi baik sebagai modal (instrumen) ataupun juga sebagai tujuan,namun demikian posisi rohaniah manusia diposisikan oleh Karl Marx sebagai salah satu dari suatu objek dari tujuan ekspoitasi bagi peraihan materi (reifikasi) yang sebanyak-banyaknya bagi kepentingan kemakmuran manusia (human walfare),dengan kata lain roh manusia (ruah) sama sekali nyaris diabaikan sebagai sebuah tujuan selain pemenuhan materi manusia atas manusia lain,demikian juga posisi agama ataupun juga seni (budaya),semuanya ditujukan semata pada kepentingan peradaban dimana segala macam rutinitas strukturasi (kelas sosial),rasionalitas,metode (method) ataupun juga sistematisasi kerap diusahakan dalam meraih kepentingan atas nama materialitas sebagai tujuan yang mengutama. Kemudian apa yang kerap kali dikatakan sebagai jiwa (roh) hanyalah dipandang sebagai bagian dari sebuah tindakan produksi (mode of production) untuk menghasilkan jiwa (ruh) yang lebih memiliki kadar material,dimana kwalitas (quality) ataupun kwantitas (quantity) lebih ditekankan pada nilai (value) ketimbang makna (meaning) dimana roh manusia tak dapat sama sekali dipahami pada sisi kwalitatif (mutu) ataupun juga kwantitatif (jumblah) semata,namun dalam perspektif Marxis,manusia dan roh (noumena) sama sekali tak dipandang sebagai sebuah tujuan (motif) selain sebuah lahan eksploitasi bagi adanya kepentingan bagi materialitas (tubuh),kontruksi Marxis kemudian identik dengan adanya komunisme (communism) yang diperkenalkan oleh Karl Marx, dimana kemudian komunisme identik dengan tiadanya agama (nir-religi) pada pemerintahan (goverment),masyarakat (society),negara (state),meski hal ini tak selamanya berarti tak ber-Tuhan atau tak adanya Tuhan,atau roh sebagaimana pada perpspektif yang cenderung feodalistik. Namun Marxisme membuka kemungkinan bagi peniadaan Tuhan (theocide) dan sisi rohaniah manusia bagi kepentingan materi (tubuh) dibandingkan hal lain yang ada pada setiap potensi manusia alam,kebudayaan (culture) ataupun peradaban manusia (civillization),namun hal ini Marxisme nyaris sama sekali menyingkirkan posisi jiwa manusia (nous) sebagai sebuah kepentingan kebebasan (freedom) ataupun iman manusia (faith) atas keberadaan alam atau kebudayaan melalui berbagai hukum (habitus) yang ada dan salah satunya adalah agama pada manusia (human religion) dimana secara keseluruhan Marxisme (Marxism) hanya memberikan penekanan manusia pada sebuah kepentingan peradaban dari kisi materialitas semata sebagai kekuatan (power) atau kekuasaan struktural (authority),termasuk salah satunya adalah bagaimana menciptakan konsumerisme (consumtion desiree) dan komoditifikasi (commodity) dari sebuah kelas bagi sebuah kelas (class) atau struktur masyarakat (socio-structure) dengan sebuah bentuk pemerintahan ataupun paham (ism) yang dimulai dari Marxisme sebagai landasan pijak awali,termasuk salah satunya adalah kapitalisme yang kemudian mendominasi kontruksi peradaban manusia. Dalam mazhab Prancis,Jean Paul Sartre adalah merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh filsafat yang dikenal sebagai salah satu dari beberapa tokoh eksistensialis dari Prancis yang kemudian melihat suatu eksistensi (makna) tak lepas dari materi (nilai) dan spiritualitas yang ada pada suatu eksistensi,sebagaimana eksistensi tak lepas dari esensi,dikatakan oleh Jean Paul sartre bahwa esensi seolah diidentikan dengan materi (fur mich) yang ada di luar eksistensi,esensi (an sich) adalah sesuatu yang ada di luar (being out self) dari sebuah batas antara (middle self) sedangkan apa yang ada di dalam batas (liminalitas) antara adalah spititualitas (being it self),esensi dan eksistensi kemudian juga identik dengan jiwa (esoterisme) ataupun tubuh (eksoterisme) dimana adanya jiwa (spirit) mendahului adanya tubuh (matter),meski dapat berarti bahwa tanpa tubuh jiwa dapat tetap ada (nothingless) ketika tubuh dihadapkan pada ketiadaan (being),namun adalah sebaliknya bahwa jiwa (pour soi) dapat meniada ketika tubuh mendominasi sebuah eksistensi untuk kemudian hanya menjadi sebuah esensi belaka (beingness),hal ini dapat berarti bahwa keberadaan roh (noumenon) dapat tersingkirkan oleh adanya dominasi materi (en soi) meskipun pada awalnya adalah sebuah eksistensi (pour soi) ketimbang adalah merupakan sesuatu yang dinamakan sebagai sebuah esensi (phenomenon). Adalah Imanuel Kant,seorang filsuf Jerman (mazhab Jerman) yang memperkenalkan terminologi filsafat yang dikenal dengan kata fenomena (phenomenon) dan noumena (noumenon),kedua kata tersebut kemudian memunculkan salah satu cabang filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl yaitu fenomenologi,Imanuel Kant juga memperkenalkan mengenai kritiknya terhadap rasionalitasnya (pour raison),dimana kemudian Imanuel Kant memperkenalkan konsep berpikir kategoris (fenomenalitas) dan hipotesis (noumenalitas),yang mana kedua kata yaitu fenomena (sat) ataupun noumena (asat) identik dengan kontruksi pemikiran (paradigm) Jean Paul Sartre mengenai esensi (phenomenon) serta eksistensi manusia (noumenon),roh (noumena) dikatakan Imanuel Kant tak beda dengan apa yang dikatakan oleh Jean Paul Sartre bahwa roh (ruah) adalah sesuatu (eksistensi) yang ada di dalam sesuatu (fenomenea),dimana keduanya dapat merupakan suatu pasangan (dualitas) yang paradoksikal (kontradiktorial) ataupun juga dapat merupakan suatu konfliktual,namun dualitas (oposisi biner) tersebut dapat juga merupakan sebuah harmoni yang kompromistik Perspektif filosofis (filsafat) kontruksi Imanuel Kant lebih melihat roh (geist) tak beda dengan melihat sebuah materi (tubuh) yang dapat terbagi (kategoris) sekaligus juga tak dapat terbagi (hipotesis) bilamana dikaitkan dengan pasangan dualitas (oposisi biner) yang ada pada roh (geist) ataupun jiwa (spirit) yaitu apa yang terutama terkait pada jiwa (nous) ataupun roh itu sendiri (pour soi),dengan kata lain materi ataupun roh (noema) dipersepsikan oleh Imanuel Kant sebagai sesuatu yang dapat bersifat khusus (induksi) ataupun juga bersifat umum (deduksi) atau keduanya sekaligus (abduksi),dengan kata lain Imanuel Kant menyebut bahwa roh bukan fenomena (fur mich),namun noumena (an sich),sesuatu yang dianggap tak nampak (noumenal) namun dapat diindrai baik oleh pikiran (raison) ataupun perasaan (emotion),karena pikiran ataupun perasaan identik dengan jiwa ataupun materi itu sendiri (hipotetik) yang saling terkait satu sama lain sebagai sebuah induksi (kategori),namun secara esensial keempatnya adalah satu kesatuan eksistensi yang ada pada manusia sebagai sebuah potensi (potent),roh manusia (human spirit) dalam perspektif Imanuel Kant tak ada tanpa keterkaitannya dengan potensi lain yang ada pada manusia,selain roh lain (roh liyan) yang bukan roh manusia (ruah) yang tak terkait dengan pikiran,perasaan,tubuh manusia (matter) yang kemudian menjadi cikal bakal (ontologi) dari saling keterkaitan antara fenomenologi (sat) dengan noumenologi (asat) sebagai cabang dari filsafat,terutama keterkaitan antara filsafat dengan kosmologi. Kemudian adalah Friedrich Hegel yang merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh filsafat Jerman yang sangat menekankan materi kajian pada filsafat sejarah serta filsafat spiritualitas (roh),friedrich Hegel adalah tandingan dari filsuf Jerman lain yaitu Karl Marx yang sangat menekankan filsafatnya pada materialitas (materialisme),Friedrich Hegel mengungkapkan bahwa gagasan yang ada pada manusia (idealitas) adalah merupakan roh (spirit) yang tak lepas dari ingatan manusia (memorabilium) akan adanya sebuah dinamika sejarah pada dirinya,dengan kata lain dapat dikatakan bahwa idealitas manusia menjadikan adanya sejarah,sehingga sejarah kemudian identik dengan gagasan manusia sebagai tak hanya sebagai mahluk yang berpikir (homo cogitans) namun juga adalah mahluk yang berkesejarahan (homo historicum) dimana manusia sebagai mahluk yang berpkir ataupun manusia sebagai mahluk yang berkesejarahan menjadikan manusia sebagai mahluk spiritual yang tak lepas dari integritas (fusionalitas) idealitas dirinya dengan sejarah yang ada pada dirinya. Bahwa gagasan (inpriration) yang ada pada diri manusia dikarenakan oleh adanya sejarah,demikian pula halnya dengan sejarah yang ada karena adanya sebuah gagasan manusia hingga pikiran manusia ada dalam menyadari sejarahnya yang dimulai dari roh manusia sebagai roh yang memiliki sejarah sekaligus juga memiliki gagasan (idee) dimana kemudian pikiran manusia (cognition) menyadari eksistensi dirinya sebagai bagian dari sebuah sejarah (historitas) sekaligus sebagai roh yang berkesejarahan (historisitas),dalam kontruksi Hegelian,roh manusia identik dengan gagasan manusia yang terciptakan karena adanya sejarah dari roh itu sendiri,roh adalah gagasan (idealitas) sekaligus adalah sejarah manusia,meskipun apa yang disebut roh (geist) tak melulu merupakan dominasi dari manusia sebagai eksistensi dengan segala relativitas yang tak semata ada padanya namun juga padaNya.Friedrich Hegel adalah satu dari sekian banyak filsuf yang menelusuri kesamaan kontruksi paradigma dirinya dengan Imanuel Kant (phenomenon) dimana Friedrich Hegel melihat suatu kemungkinan bahwa roh (spirit) adalah sebuah fenomena sejarah dari adanya sekian banyak gagasan manusia sebagai mahluk yang berpikir seakaligus juga memiliki roh (ruah) sebagai “homo spiritualis”. Pendekatan yang lain adalah pendekatan dari Sigmund Freud,adalah merupakan tokoh utama psikologi dari Jerman sekaligus juga adalah pakar dari cabang ilmu pengetahuan psikologi,yaitu psikoanalisis,Sigmund Freud hanya membatasi pehamanan jiwa hanya pada sebatas jiwa manusia (human spirit),Sigmund Freud mengungkapkan bahwa jiwa terbangun atas tiga unsur utama yaitu: ego (subjektivitas),id (intersubjektivitas) serta superego (omnijektivitas),ketiga unsur pembentuk (pembangun) jiwa tersebut membangun jiwa menjadi jiwa yang bermoral (yang terbentuk dari ego),bernurani (yang terbentuk dari id),serta adalah etika (yang terbentuk dari supergo),jiwa dalam kontruksi psikologis dari Sigmund Freud lebih melihat jiwa sebagai kesadaran yang terbentuk dari tiga unsur yang ada pada moralitas,nurani serta etika,apa yang ada di luar ketiga unsur tadi (ketidaksadaran) adalah jiwa yang bukan jiwa manusia dalam batas normalitas yang ideal (savage),jiwa kemudian dikatakan Sigmund Freud terkait dengan adanya totem (simbolisasi) serta tabu (hukum) yang menjadikan jiwa (psike) seolah terwakili oleh adanya materis serta batasan-batasan yang ada pada kehidupan manusia pada aras keduniaan (mundan),,melalui simbol (taboo) serta hukum (pamali) yang diberlakukan sejarah oleh adanya jiwa manusia yang menjadi cikal bakal dari adanya sejarah,kebudayaan (culture) serta peradaban manusia hingga memunculkan adanya psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang pada dasarnya (awalnya) mempelajari hanya,terutama pada sebatas jiwa manusia sebagai lahan kajian,demikian juga halnya dengan Sigmund Freud. Friedrich Nietzche adalah orang Jerman yang merupakan tokoh utama dalam filsafat barat dan diyakini sebagai tokoh filsafat yang paling dianggap arogan serta diyakini tak percaya akan adanya Tuhan,Friedrich Nietzche menganggap bahwa Tuhan telah mati (Gott is tod) menurut apa yang diyakininya dan mengagungkan eksistensi manusia sebagai otoritas keberpenuhan yang utuh dan menentukan segala apapun menyangkut kehidupan dirinya (uebermench),meskipun Friedrich Nietzche meyakini ketiadaan Tuhan bagi dirinya (nihilism) namun diakhir ajalnya Friedrich Nietzhe mengakui adanya Tuhan (Gott ist exist),sebagaimana Arthur Schopenhauer,Friedrich Nietzche juga menitikberatkan kehidupan pada kehendak (wil),terutama kehendak untuk berkuasa (will to power),kekuasaan dianggap olehnya sebagai roh (geist) atas apapun yang menjadikan manusia dihadapkan senantiasa pada keunggulan dirinya atas apapun tak terkecuali kematian manusia ataupun kematian Tuhan,kontruksi spiritualitas dalam filsafat Friedrich Nietzche bahkan meletakkan prinsip berkehendakan berada di atas jiwa pada dirinya dan yang liyan,kekuasaan dianggap menentukan setiap segala apapun. Diungkapkan Friedrich Nietzche bahwa kepintaran manusia yang dianggap agung adalah sebuah kehendak akan kekuasaan yang tiada pernah berpenghabisan sebagai kehendak itu sendiri,kekuasaan bahkan dapat meniadakan Tuhan ataupun roh (spiritualitas) apapun tak terkecuali roh manusia yang memiliki kehendak,kesadaran akan otoritas diri yang berlebihan menjadikan Friedrich Nietzche diunggulkan dalam berbagai mazhab filsafat serta diacu sebagai sebuah upaya penyeimbang antara Tuhan dengan manusia yang menengahi hubungan antara iman (faith) dengan kehendak manusia (will) dengan segala kebebasan dirinya untuk menggapai keberadaan yang lain dan paling mengutama selain dirinya sebagai manusia unggul yaitu Tuhan sebagai sebuah kematian yang tidak bagi sebuah kehendak dirinya,roh (spiritu) dianggap eksis ketika manusia dihadapkan pada keberanian atas apapun untuk setuju menjalani setiap apa yang ada tak hanya sebatas tantangan namun adalah kehendak manusia itu sendiri untuk menguasai setiap apapun tak terkecuali setiap spiritualitas apapun sebagai landasan bagi sebuah kehendak untuk berkuasa tak terkecuali atas roh yang ada pada manusia itu sendiri dan bahkan Tuhan sebagai bukan apapun. Dalam filsafat sejarah dikenal kali awali dari keberadaan Plato,jika kita mempertanyakan senioritas antara filsafat dengan sejarah,tentu saja filsafat mengawali adanya sejarah meskipun hingga sekarang para filsuf masih mengkaji “omnisistensi” Tuhan sebagai filsafat itu sendiri,dalam hal ini mungkin kita seolah diingatkan oleh seorang Karen Armstrong yang menelusuri sejarah Tuhan melalui buku kontraversial yang pernah ditulisnya,hal ini menjadi sebuah polemik (savoir) ketika sejarah Tuhan dihadapkan dengan filsafat Tuhan,bahwa Tuhan tak dapat dikenal sepenuhnya oleh sejarah,selain melalui proses “atheisitas” dari sebuah laku filosofional sebagai ruang dialogial (connaissance),mengingat sejenak dari kontruksi eksistensialis dari mazhab Denmark melalui Soren Kiekergard bahwa tahap perkembangan eksistensialitas manusia diawali oleh tahapan (stage) yang dimulai dari estetika (pulcrum) ke arah etika (sittlicheit),religiusitas kemudian dipertanyakan kembali,itu artinya,setelah eksistensialitas Plato,eksistensi Friedrich Hegel kemudian kembali diposisikan sebagai sebuah tandingan (counter) bagi ilmu yang memunculkan adanya konseptualisasi dari adanya ilmu yang cenderung merupakan keberpihakkan pada sebuah pola patriarkat dari otoritas patriarki keimanan terutama pada diskursus Kristianitas dan Islam yang mendominasi,sebagaimana dikatakan Samuel Huntington sebagai sebuah fenomena mundan dari adanya suatu benturan antar peradaban dimana Hindu dan Budha mengimbanginya dalam kontruksi kebudayaan (archai) yang melestarikan kontruksi matriarkat demi keseimbangan dari adanya patriarki oleh matriarki melalui suatu kosmologi roh (archai) ketimbang keduaniaan (materialisme). Adanya ilmu (savoir) dan pengetahuan (connaissance) kemudian menjadi sebuah konsep taoisme (paradoksikalitas Trakl) yang kembali direbak melalui oposisi biner (biner opositition) dari Jaqques Lacan ataupun juga Theodore Adorno dan Henry Bergson dalam “Russell Paradox”sebagai sebuah “camera obscura”,sebuah dialektika pencerahan bersama Max Horkheimer yang diawali oleh ansurditas sebagai “tautology”,seuah dilemma rasionalitas manusia yang melajirkan dialektika pencerahan (dialectic enlighment,ilmu yang menghasilkan peradaban dari Socrates (Marx) kemudian dikenal dengan aras teknologial,sedangkan Plato (Hegel) kemudian menjadi sebuah ontologi dari adanya disiplin pengetahuan yang diacu dari sebuah titik balik keilmuan menjadi ilmu (post-science) dan melalui Michael Foucoult dipahami sebagai arkelogi pengetahuan dimana sejarah sebagai roh (geist) kembali dicerna ulang sebagai equlibriasi atas kemayaan hasrat dasar manusia (wil) untuk menjadi Tuhan (unde malum) melalui virtualitas (desiree machine),apa yang kerap disebut dengan sejarah tak lepas dari filsafat sebagaimana filsafat tak lepas dari Tuhan baik Tuhan sebagai sejarah ataupun Tuhan sebagai filsafat,sejarah masyarakat kita telah ada bahkan sebelum adanya kata “Indonesia” yang dalam banyak babad (serat) kerap kali diumbar sebagai “Nusantara”. Kata “Nusantara” terutama dikenal pada dan setelah kejayaan Majapahit,sedangkan kata “Indonesia” mulai dikenal luas pada masa pencerahan pada tahun 1908 yang disebut juga masa kebangkitan pada gerakan Budi Utomo dimana kaum intelektual yang pada umumnya para priayi mulai memilki kesadaran akan kesamaan nasib dalam masyarakat dimana mereka beradaptasi dengan kesamaan latar belakang sejarah kolonialitas yang mencakup tak hanya wilayah yang dulu pernah menjadi kekuasaan Majapahit semata ataupun Mataram,namun mencakup wilayah yang ada di luar pulau Jawa yang sebagian besar dulu dikuasai oleh Majapahit,setelah gerakan kebangkitan nasional,yaitu Budi Utomo kata Nusantara mulai jarang digunakan selain kata Indonesia yang mulai lebih mengutama diperkenalkan setelah 1908,gerakan kebangkitan intelektual yang dipelopori oleh Budi Utomo kemudian identik dengan munculnya kesadaran akan kesamaan latar belakang kolonialitas,adanya gerakan Budi Utomo kemudian identik dengan kebangkitan nasionalitas sebagian besar intelektual yang mayoritas merupakan para priayi yang mendapat kesempatan untuk terdidik,gerakan Budi Utomo menjadi sebuah “avant gardis”kebangkitan nasionalitas dan merupakan sebuah masa pencerahan Indonesia (rainnassance Indonesia) dari keterjajahan (kolonialisme) yang berlangsung cukup lama hingga masa pencerahan kedua Indonesia (Nusantara) yaitu pada saat paska proklamasi kemerdekaan Indonesia,masa setelah paska proklasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 adalah sebuah rentang masa (distingtion) yang kemudian dapat disebut dengan sebuah periode paska kolonial Indonesia. Manusia kemudian mengatakan ilmu pengetahuan ketika pada awalnya adalah pengetahuan yang dimulai dari adanya Tuhan serta alam (samsara) yang menjadikan adanya kebudayaan (culture) yang dikarenakan adanya pengetahuan manusia karena adanya naluri alamiah (basic instink) yang ada pada manusia ketika dihadapkan pada alam (naturalitas) yang menjadi kesatuan dengan kehidupan dirinya,ketika manusia memahami aspek lain dari naluri dirinya sebagai suatu potensi kehidupan,maka hal tersebut disebut dengan pengetahuan (knowledge) yang kemudian menjadikan adanya kebudayaan,dan ketika manusia mengamati dan mendapatkan pengalaman dari alam (peak exprerience) ,pengetahuan (empirisitas) serta kebudayaan yang ada kemudian ilmu (metodologi) lalu muncul membentuk adanya peradaban (civillization),kebudayaan kemudian identik dengan pengetahuan (arche),sedangkan ilmu kemudian identik dengan peradaban (tecne),dimana hal ini semestinya dihadapkan pada harmoni (upekha) antara kenyataan (ideologi) atau harapan manusia sebagai manusia (utopianitas) lepas dari batasan apapun (liminalitas),termasuk Tuhan tanpa ada kehendakNya. Keberadaan ilmu (science) ataupun peradaban ataupun juga pengetahuan (knowledge) dan kebudayaan kemudian berada dalam lajur kesamaan dinamik (equal dinamic) dalam harmoni keduanya yang saling betkejaran untuk senantiasa dapat ada pada suatu sinkronisitas (kesesuaian) hingga keduanya menjadi ilmu pengetahuan yang mempersatukan “tecne” atau “arche” dalam ilmu dan pengatahuan yang menghubungkan waktu (kala) dan ruang dulu (pada) dengan ruang (sein) dan waktu nanti (sollen) pada kekinian yang ada pada manusia dimana dalam filsafat,kemudian ruang (pada) dan waktu (kala) lampau menjadi kajian (presentation) ilmu pengetahuan sosial yaitu antropologi (connasisance),berbeda dengan sosiologi yang menitikberatkan kajian pada waktu (temphus) dan ruang (temphus) nanti dimana kekinian (savoir) menjadi titik acu manusia (kontruksi) dalam mempelajari keterkaitan setiap bagian dari ilmu pengetahuan pada sejarah yang tak hanya menjadikan adanya ilmu pengetahuan melulu,namun adalah juga sejarah,Tuhan,alam serta manusia. Dalam dinamika perkembangan ilmu pengetahuan yang ada hingga kini,terutama yang ada pada filsafat sebagai sumber (unde) dari keduanya,pada ruang (sein) dan waktu kini (zeit) dimana modernitas (modernity) diringgalkan sebagai sebuah proyek yang dianggap suatu kegagalan,sebagaimana apa yang pernah dikatakan oleh Jaqques Lyotard,maka arkeologi kemudian seolah melepaskan diri dari keberadaan arkeologi sebagai jembatan penghubung lain setelah sejarah yang menengahi antropologi dengan sosiologi,arkeologi kemudian menjadi disiplin ilmu yang mandiri dimana berbagai macam medan (arena) ilmu pengetahuan menjadi kajian bagi arkelologi,terutama filsafat (fredom) yang diposisikan menjadi induk (mater) ilmu pengetahuan ketika kemudian ilmu pengetahuan dihadapkan pada agama manusia (faith) yang merupakan bapak (pater) dari ilmu pengetahuan,yang mana kemudian agama sebagai iman serta kebebasan manusia (nibbana) dalam berfilsafat dihadapkan pada harmoni (upekha) keduanya dengan ilmu (savoir) ataupun pengetahuan (connaissance),juga termasuk antropologi dengan sosiologi dimana filsafat (philosophy) dan agama (religion) terkait pada keduanya pada waktu dulu (arche) juga dengan kemenantian (techne). Apa yang pada awalnya pernah disebut arkeologi (archeology) kemudian dikatakan oleh Michael Foucoult sebagai sebuah upaya resistematisasi setiap apa yang pernah ada sebagai suatu kebenaran (bonum) sebagai sebuah kemungkinan (probability) dari adanya sebuah anomali (kesalahan) karena keterkaitan (pastische) dengan disiplin ilmu pengerahuan lain,arkeologi (archeology) kemudian identik dengan penyusunan ulang (rekontruksi) setiap apapun yang terkait dengan sejarah (historisity) dari adanya ilmu pengetahuan hingga kemudian Michael Foucoult kemudian menyebutnya sebagai arkeologi pengetahuan (archeology of knowledge) yang meninjau kembali peradaban ilmu (tecne) sebagai pengetahuan kebudayaan (arche) yang kemudian akan memunculkan sebuah genealogi (struktur) baru dari penemuan sistematisasi ulang (bricolage) sebagai tujuan dari ilmu arkeologi yang ada,dimana hal tersebut diawali dari setiap absurditas (ketidakmungkinan) komposisi (prorsionalitas) setiap apapun yang dianggap ilmu yang ada pada ruang (space) ataupun waktu (time) diantara harapan (pleasure) dan kenyataan (reality),sebagai sebuah pengetahuan dimana arkeologi pengetahuan (archeology of knowledge) menyusun kedua hal tersebut menjadi sebuah kontruksi (struktur) nan baharu (terkini) yang kemudian disebut adalah merupakan aras post-strukturalisme (post-archeology) sebagai bagian dari dualitas antara utopia (harapan) dan ideologi pada peradaban sebagai budaya terkini. Adalah seorang antropolog yang cukup dikenal dalam paradigma barat dan sekaligus adalah seorang penganut paham strukturalis serta sempat meneliti dan menulis perihal berbagai masalah perdukunan (syamanism),yaitu adalah Jean Claude Levy Strauss,yang mengatakan mengenai adanya kompleksitas dukunisme (syamanisme complex) pada setiap sejarah (historisitas) ataupun budaya yang kerap juga menjadi bagian dari sebuah peradaban untuk sebuah dialektika budaya (cultural dialectic) dan sejarah berikutnya dalam suatu masyarakat,perdukunan (dukunisme) dianggap sebagai ilmu (science) bagian dari ilmu pengetahuan yang tak hanya terikat pada sisi empiris (praktis),namun juga melekat erat (upadana) pada metodologi (teoretis),meskipun kerap masih sering dihadapkan pada hal yang sama sekali tidak sistematik (unsistematic) ataupun merupakan suatu irasionalitas,dimana hal ini kemudian akan dihadapkan pada suatu,sebagaimana dikatakan Theodore Adorno,adalah merupakan dialektika pencerahan (dialectic of enlightment) dari adanya irasionalitas (ilmu) dan rasionalitas (pengetahuan) sebagai suatu dilema pemberbalikan (paradoksikalitas) dimana rasionalitas akan menjadi rasionalitas (cogitans) ataupun sebaliknya,namun bahwa keduanya adalah monisitas yang mestinya senantiasa padu. Mengutip mengenai adanya kesenantiasaan (contiuum) yang dilematik (camera obscura) pada medan modernitas (paradoksikalitas) ataupun postmodernitas (oposisi biner) pada proses kehidupan manusia yang kerap mengawali adanya suatu dialektika pencerahan (dialectic enlightment),maka hal ini kemudian menjadikan perdukunan (syamanisme) tetap dapat dikatakan merupakan ilmu pengetahuan bilamana antropologi strukturalitas dari apa yang diperkenalkan oleh Jean Claude Levy Strauss dipersandingkan dengan disiplin ilmu pengetahuan lain yang terkait pada tujuan (motif) dari antropologi tersebut,terutama jika dikaitkan dengan arkeologi (taboo) pengetahuan,sistematisasi dan rasionalitas kemudian akan tiba pada adanya aspek genealogi (totem) yang muncul atau adanya fakta baru (samkya) dari suatu pembongkaran (abau) atas mitos (yoga) yang ada pada sejarah (samskara),kebudayaan (asat) ataupun juga peradaban (sat) sebagai sebuah bentuk rekontruksi (arahatisasi) melalui adanya ilmu (kontruksi) untuk dimentahkan kembali (redeconstruction) menjadi pengetahuan (empiris) demi sebuah metodologi baru sebagai sebuah teori (phenomenon) bagi adanya suatu praktik (empirisitas) perdukunan (syamanisme) dalam berbagai ragam keunikan kehidupan pada setiap aras manusia untuk ada bagiNya dan untuk diriNya sebagai dirinya. Ketika sebelum adanya setiap suatu ataupun segala sesuatu,maka yang ada hanya roh tanpa batasan apapun selain kehendak,roh (atman) identik dengan kebebasan (freedom),karena dalam perspektif apapun tak ada apapun yang dapat mendefinsikan terminologi roh (atman) selain dari terminologi yang paling dekat dengan pemaknaan (definisionalisasi) terhadap roh,karena pada awalnya tak ada apapun selain kebebasan,bahkan sebelum Tuhan (AUM) menjadi Tuhan (A) atas apa yang menjadi kehendakNya terhadap apa yang dikatakan sebagai sebuah kebebasan (nibbana),ketika kehendak ada,maka Tuhan ada,Tuhan (prima esse) ada hanya karena sebuah kehendak pada diriNya,kehendak adalah awal dari setiap struktur (datu) ataupun sistem (samsara) yang kemudian membagi berbagai polaritas kebebasan dalam banyak ruang penciptaan (nibbana kasta) yang ada semata hanya karena Tuhan sebagai kehendak dari apapun yang dikehendakinya atas kebebasan yang ada pada diriNya sebagai sebuah kesatuan bagi adanya kehendak dalam menjadikan roh (ruah) sebagaimana roh yang awali ketika Tuhan belum menamakan kebebasan (freedom) sebagai diriNya melalui suatu kehendak dalam dirinya,kehendak menjadikan adanya kebebasan lain selain kebebasan yang ada di atas kehendakNya. Namun demikian dalam sawala (diskursus) roh,sebuah pembagian roh melalui cipta tak berarti hilangnya sebuah kebebasan,selain suatu kesatuan dimana kehendak (wil) kemudian melahirkan (dialektik) adanya kehendak,baik untuk kebebasan (on liberty) atau ketidakbebasan dalam berkehendak,termasuk dalam berkehendak atau tidak berkehendak untuk kebebasan ataupun untuk ketidakbebasan,selain sebuah kebebasan sebagai kebebasan itu sendiri yang menjadi awal (unde) bagi kebebasan yang lain melalui ciptaaan, meskipun tanpa adanya sebuah kehendak (cetana) untuk sebuah kebebasan (nibbana) apapun selain diriNya (om),kebebasan tetap ada sebagai kebebasan itu sendiri yang kemudian sejarah ke-Tuhanan menyebutnya sebagai roh (geist),dapat dikatakan bahwa apa yang dinamakan roh (psike) adalah apa yang melampaui apapun selain kebebasan yang bebas (paribibbana) yang hanya ada pada pencapaian Tuhan sebagai manusia,dapat dikatakan kemudian Erich Fromm seolah karam (kandas) melarikan kebebasan ke atas parinibbana (post-liberte) ataupun menjadikan manusia sebagai Tuhan. Kebebasan (roh) kemudian dianggap tak ada ketika Budhisme menyebutkan mengenai paska- kebebasan yang sama sekali bukan sebuah kesamaan bangunan arti (sinkronisitas)) dengan pemahaman paska-kebebasan (post-freedom) yang ada pada sejarah filsafat Yunani (Greek) ataupun post-modernitas (post-modernity),paska kebebasan dalam sawala perenialitas (kebebasan),terutama Budhisme dan juga Hinduisme,terutama Hindu Krisna,adalah kematian (pati) atau ketak-adaan roh,yang hanya dapat dicapai dalam sebuah laku meditasi (contemplate) pelampauan kesadaran (salayatana),dimana kesadaran (patisandhivinana) menjadikan adanya kehendak tanpa sadar untuk meniadakan atau mengadakan roh (spiritus) baik sebagai kebebasan (anibbana) ataupun ketidakbebasan (nibbana) dalam ber-Tuhan (saguna) atau tidak ber-Tuhan (nirguna),selain pada Tuhan itu sendiri (anagami) ataupun di atas Tuhan sebagai diriNya (ARHAT) dalam dirinya,Friedrich Hegel seorang filsuf mazhab Jerman yang menelusuri alur (plot) dari Plato dikenal sebagai tandingan dari Karl Marx yang dominan pada paradigma materialisme (matter),namun keduanya tak lepas dari pangkal tolak dari filsafat Yunani terutama Plato,Socrates ataupun juga Aristoteles. Karl Marx ataupun Friedrich Hegel tak lepas dari berbagai kisi dialektis yang tak hanya mencakup pada tataran tubuh (materi) ataupun jiwa semata (spirit),namun juga mencakup pada pikiran (cognition) serta perasaan manusia (affection) dan juga kesadaran manusia (consiousness) yang menjadi kesimpulan (konklusi) atas perpaduan dialektis pada setiap apapun yang menyangkut potensi manusia (potentio humana) dalam berkesadaran sejarah dalam setiap titik tengah (pancer) distingtional yang ada pada multidimensionalitas antara (intermediare) dalam ruang (implosion) ataupun waktu (explosion) atau di luar keduanya (en soi) yang dikenal dengan berbagai pandangan lain filsafat atas roh manusia (noema),yang dipopulerkan oleh Herbert Marcuse,termasuk pandangan dari Ludwig Feurbach yang identik juga dari integrasi (fusi) dari perpaduan antara kontruksi Karl Marx (tubuh),Friedrich Hegel (jiwa),pikiran (Imanuel Kant) dan perasaan (Jean Paul Sartre) dalam mencapai kesadaran (Sigmund Freud) atau kekuasaan (untimely meditation) dari Friedrich Nietzche,selain sebuah dialektika dari kesadaran (Paulo Freire) atas suatu kontemplasi (samadi) melalui dasar acu paradigma dari dialektika meditasi (dialectic meditaton) Ludwig Feurbach dan perspektif ruah (psike) dari Carl Gustav Jung dalam kontruksi psikologi.,terutama pendekatan yang lalu dimengerti sebagai pendekatan psikoanalisis. Dalam sejarah filsafat,Karl Marx adalah salah satu dari sekian banyak filsuf mazhab Jerman yang lebih memberikan penekanan (represion) materi kajian pada filsafat ekonomi ketimbang filsafat politik ataupun cabang dari filsafat lain,filsafat ekonomi Karl Marx seringkali disebut dengan paham Marxis (Marxisme) dimana Marxisme (filsafat Marxian) kemudian terkait pula pada berbagai cabang disiplin ilmu pengetahuan lain yang pada dasarnya bersumber pada filsafat (kebebasan) ataupun juga pada setiap agama (kehendak) yang ada pada manusia pada umumnya,kontruksi paradigma dalam pemikiran Karl Marx sangat menekankan pada materi baik sebagai modal (instrumen) ataupun juga sebagai tujuan,namun demikian posisi rohaniah manusia diposisikan oleh Karl Marx sebagai salah satu dari suatu objek dari tujuan ekspoitasi bagi peraihan materi (reifikasi) yang sebanyak-banyaknya bagi kepentingan kemakmuran manusia (human walfare),dengan kata lain roh manusia (ruah) sama sekali nyaris diabaikan sebagai sebuah tujuan selain pemenuhan materi manusia atas manusia lain,demikian juga posisi agama ataupun juga seni (budaya),semuanya ditujukan semata pada kepentingan peradaban dimana segala macam rutinitas strukturasi (kelas sosial),rasionalitas,metode (method) ataupun juga sistematisasi kerap diusahakan dalam meraih kepentingan atas nama materialitas (material needs) sebagai tujuan yang mengutama. Kemudian apa tang kerap kali dikatakan sebagai jiwa (roh) hanyalah dipandang sebagai bagian dari sebuah tindakan produksi (mode of production) untuk menghasilkan jiwa (ruh) yang lebih memiliki kadar material,dimana kwalitas (quality) ataupun kwantitas (quantity) lebih ditekankan pada nilai (value) ketimbang makna (meaning) dimana roh manusia tak dapat sama sekali dipahami pada sisi kwalitatif (mutu) ataupun juga kwantitatif (jumblah) semata,namun dalam perspektif Marxis,manusia dan roh (noumena) sama sekali tak dipandang sebagai sebuah tujuan (motif) selain sebuah lahan eksploitasi bagi adanya kepentingan bagi materialitas (tubuh),kontruksi Marxis kemudian identik dengan adanya komunisme (communism) yang diperkenalkan oleh Karl Marx, dimana kemudian komunisme identik dengan tiadanya agama (nir-religi) pada pemerintahan (goverment),masyarakat (society),negara (state),meski hal ini tak selamanya berarti tak ber-Tuhan atau tak adanya Tuhan,atau roh (atman) sebagaimana pada perpspektif yang cenderung feodalistik. Namun Marxisme membuka kemungkinan bagi peniadaan Tuhan (theocide) dan sisi rohaniah manusia bagi kepentingan materi (tubuh) dibandingkan hal lain yang ada pada setiap potensi manusia alam,kebudayaan (culture) ataupun peradaban manusia (civillization),namun hal ini Marxisme nyaris sama sekali menyingkirkan posisi jiwa manusia (nous) sebagai sebuah kepentingan kebebasan (freedom) ataupun iman manusia (faith) atas keberadaan alam atau kebudayaan melalui berbagai hukum (habitus) yang ada dan salah satunya adalah agama pada manusia (human religion) dimana secara keseluruhan Marxisme (Marxism) hanya memberikan penekanan manusia pada sebuah kepentingan peradaban (civillization) dari kisi materialitas semata sebagai kekuatan (power) atau kekuasaan struktural (authority),termasuk salah satunya adalah bagaimana menciptakan konsumerisme (consumtion desiree) dan komoditifikasi (commodity) dari sebuah kelas bagi sebuah kelas (class) atau struktur masyarakat (socio-structure) dengan sebuah bentuk pemerintahan ataupun paham (ism) yang dimulai dari Marxisme sebagai landasan pijak awali,termasuk salah satunya adalah kapitalisme yang kemudian mendominasi kontruksi peradaban manusia. Dalam mazhab Prancis,Jean Paul Sartre adalah merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh filsafat yang dikenal sebagai salah satu dari beberapa tokoh eksistensialis dari Prancis yang kemudian melihat suatu eksistensi (makna) tak lepas dari materi (nilai) dan spiritualitas yang ada pada suatu eksistensi,sebagaimana eksistensi tak lepas dari esensi,dikatakan oleh Jean Paul sartre bahwa esensi (hakekat) seolah diidentikan dengan materi (fur mich) yang ada di luar eksistensi,esensi (an sich) adalah sesuatu yang ada di luar (being out self) dari sebuah batas antara (middle self) sedangkan apa yang ada di dalam batas (liminalitas) antara adalah spititualitas (being it self),esensi dan eksistensi kemudian juga identik dengan jiwa (esoterisme) ataupun tubuh (eksoterisme) dimana adanya jiwa (spirit) mendahului adanya tubuh (matter),meski dapat berarti bahwa tanpa tubuh jiwa dapat tetap ada (nothingless) ketika tubuh dihadapkan pada ketiadaan (being),namun adalah sebaliknya bahwa jiwa (pour soi) dapat meniada ketika tubuh mendominasi sebuah eksistensi untuk kemudian hanya menjadi sebuah esensi belaka (beingness),hal ini dapat berarti bahwa keberadaan roh (noumenon) dapat tersingkirkan oleh adanya dominasi materi (en soi) meskipun pada awalnya adalah sebuah eksistensi (pour soi) ketimbang adalah merupakan sesuatu yang dinamakan sebagai sebuah esensi (phenomenon). Adalah Imanuel Kant,seorang filsuf Jerman (mazhab Jerman) yang memperkenalkan terminologi (kosa kata) filsafat yang dikenal dengan kata fenomena (phenomenon) dan noumena (noumenon),kedua kata tersebut kemudian memunculkan salah satu cabang filsafat (philosophia) yang dipelopori oleh Edmund Husserl yaitu fenomenologi,Imanuel Kant juga memperkenalkan mengenai kritiknya terhadap rasionalitasnya (pour raison),dimana kemudian Imanuel Kant memperkenalkan konsep berpikir kategoris (fenomenalitas) dan hipotesis (noumenalitas),yang mana kedua kata yaitu fenomena (sat) ataupun noumena (asat) identik dengan kontruksi pemikiran (paradigm) Jean Paul Sartre mengenai esensi (phenomenon) serta eksistensi manusia (noumenon),roh (noumena) dikatakan Imanuel Kant tak beda dengan apa yang dikatakan oleh Jean Paul Sartre bahwa roh (ruah) adalah sesuatu (eksistensi) yang ada di dalam sesuatu (fenomenea),dimana keduanya dapat merupakan suatu pasangan (dualitas) yang paradoksikal (kontradiktorial) ataupun juga dapat merupakan suatu konfliktual,namun dualitas (oposisi biner) tersebut dapat juga merupakan sebuah harmoni yang kompromistik Perspektif filosofis (filsafat) kontruksi Imanuel Kant lebih melihat roh (geist) tak beda dengan melihat sebuah materi (tubuh) yang dapat terbagi (kategoris) sekaligus juga tak dapat terbagi (hipotesis) bilamana dikaitkan dengan pasangan dualitas (oposisi biner) yang ada pada roh (geist) ataupun jiwa (spirit) yaitu apa yang terutama terkait pada jiwa (nous) ataupun roh itu sendiri (pour soi),dengan kata lain materi ataupun roh (noema) dipersepsikan oleh Imanuel Kant sebagai sesuatu yang dapat bersifat khusus (induksi) ataupun juga bersifat umum (deduksi) atau keduanya sekaligus (abduksi),dengan kata lain Imanuel Kant menyebut bahwa roh bukan fenomena (fur mich),namun noumena (an sich),sesuatu yang dianggap tak nampak (noumenal) namun dapat diindrai baik oleh pikiran (raison) ataupun perasaan (emotion),karena pikiran ataupun perasaan identik dengan jiwa ataupun materi itu sendiri (hipotetik) yang saling terkait satu sama lain sebagai sebuah induksi (kategori),namun secara esensial keempatnya adalah satu kesatuan eksistensi yang ada pada manusia sebagai sebuah potensi (potent),roh manusia (human spirit) dalam perspektif Imanuel Kant tak ada tanpa keterkaitannya dengan potensi lain yang ada pada manusia,selain roh lain (roh liyan) yang bukan roh manusia (ruah) yang tak terkait dengan pikiran (cogito),perasaan,tubuh manusia (matter) yang kemudian menjadi cikal bakal (ontologi) dari saling keterkaitan antara fenomenologi (sat) dengan noumenologi (asat) sebagai cabang dari filsafat,terutama keterkaitan antara filsafat dengan kosmologi. Kemudian adalah Friedrich Hegel yang merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh filsafat Jerman yang sangat menekankan materi kajian pada filsafat sejarah serta filsafat spiritualitas (roh),friedrich Hegel adalah tandingan dari filsuf Jerman lain yaitu Karl Marx yang sangat menekankan filsafatnya pada materialitas (materialisme),Friedrich Hegel mengungkapkan bahwa gagasan yang ada pada manusia (idealitas) adalah merupakan roh (spirit) yang tak lepas dari ingatan manusia (memorabilium) akan adanya sebuah dinamika sejarah pada dirinya,dengan kata lain dapat dikatakan bahwa idealitas manusia menjadikan adanya sejarah,sehingga sejarah kemudian identik dengan gagasan manusia (man idea) sebagai tak hanya sebagai mahluk yang berpikir (homo cogitans) namun juga adalah mahluk yang berkesejarahan (homo historicum) dimana manusia sebagai mahluk yang berpikir ataupun manusia sebagai mahluk yang berkesejarahan menjadikan manusia sebagai mahluk spiritual yang tak lepas dari integritas (fusionalitas) idealitas dirinya dengan sejarah yang ada pada dirinya. Bahwa gagasan (inpriration) yang ada pada diri manusia dikarenakan oleh adanya sejarah,demikian pula halnya dengan sejarah yang ada karena adanya sebuah gagasan manusia hingga pikiran manusia ada dalam menyadari sejarahnya yang dimulai dari roh manusia sebagai roh (noema) yang memiliki sejarah sekaligus juga memiliki gagasan (idee) dimana kemudian pikiran manusia (cognition) menyadari eksistensi dirinya sebagai bagian dari sebuah sejarah (historitas) sekaligus sebagai roh yang berkesejarahan (historisitas),dalam kontruksi Hegelian,roh manusia identik dengan gagasan manusia yang terciptakan karena adanya sejarah dari roh itu sendiri,roh (ruah) adalah gagasan (idealitas) sekaligus adalah sejarah manusia (human historisity),meskipun apa yang disebut roh (geist) tak melulu merupakan dominasi dari manusia sebagai eksistensi dengan segala relativitas yang tak semata ada padanya namun juga padaNya.Friedrich Hegel adalah satu dari sekian banyak filsuf yang menelusuri kesamaan kontruksi paradigma dirinya dengan Imanuel Kant (phenomenon) dimana Friedrich Hegel melihat suatu kemungkinan bahwa roh (spirit) adalah sebuah fenomena sejarah dari adanya sekian banyak gagasan manusia sebagai mahluk yang berpikir seakaligus juga memiliki roh (ruah) sebagai “homo spiritualis”. Pendekatan yang lain adalah pendekatan dari Sigmund Freud,adalah merupakan tokoh utama psikologi dari Jerman sekaligus juga adalah pakar dari cabang ilmu pengetahuan psikologi,yaitu psikoanalisis,Sigmund Freud hanya membatasi pehamanan jiwa hanya pada sebatas jiwa manusia (human spirit),Sigmund Freud mengungkapkan bahwa jiwa (nous) terbangun atas tiga unsur utama yaitu: ego (subjektivitas),id (intersubjektivitas) serta superego (omnijektivitas),ketiga unsur pembentuk (pembangun) jiwa tersebut membangun jiwa menjadi jiwa yang bermoral (yang terbentuk dari ego),bernurani (yang terbentuk dari id),serta adalah etika (yang terbentuk dari supergo),jiwa dalam kontruksi psikologis dari Sigmund Freud lebih melihat jiwa sebagai kesadaran yang terbentuk dari tiga unsur (factor) yang ada pada moralitas,nurani serta etika,apa yang ada di luar ketiga unsur tadi (ketidaksadaran) adalah jiwa yang bukan jiwa manusia dalam batas normalitas yang ideal (savage),jiwa kemudian dikatakan Sigmund Freud terkait dengan adanya totem (simbolisasi) serta tabu (hukum) yang menjadikan jiwa (psike) seolah terwakili oleh adanya materis serta batasan-batasan yang ada pada kehidupan manusia pada aras keduniaan (mundan),,melalui simbol (taboo) serta hukum (pamali) yang diberlakukan sejarah oleh adanya jiwa manusia yang menjadi cikal bakal dari adanya sejarah,kebudayaan (culture) serta peradaban manusia hingga memunculkan adanya psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang pada dasarnya (awalnya) mempelajari hanya,terutama pada sebatas jiwa manusia sebagai lahan kajian,demikian juga halnya dengan Sigmund Freud.
Posted on: Tue, 15 Oct 2013 17:42:53 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015