Dear Dylan penulis : stephanie zen part 20 IT’S OVER - TopicsExpress



          

Dear Dylan penulis : stephanie zen part 20 IT’S OVER (AGAIN) “THANKS ya, Dik, you’re my best pal!” “Ah, sama-sama. Asal nanti kalau adik gue yang centil itu ngintip-ngintip, jangan lo ajak ngobrol ya, bisa kege-eran dia!” “Sip!” Gue mengacungkan jempol, dan merebahkan diri di ranjang Udik, teman kuliah gue (iya, iya, gue tahu gue lagi cuti kuliah, tapi kan Udik tetap statusnya “temen kuliah” gue!). Setelah menjelaskan tentang kenapa gue bisa ada di infotainment dengan berita mencium cewek di Batam lewat telepon pada Mama tadi siang, gue langsung menuju rumah Udik. Mau gimana lagi, coba? Rumah gue penuh dikerubungi wartawan, padahal tiket Jakarta-Jambi gue adalah tiket yang gue pesan untuk tanggal besok! Gue nggak mungkin tidur di jalanan, kan? Tapi kalau gue nekat pulang ke rumah, itu cari mati namanya! Untung gue kepikiran untuk pergi ke rumah Udik. Gue sedang bener-bener nggak mood menjawab pertanyaan para wartawan itu. Terserahlah mereka mau menggosipkan gue apa, gue nggak peduli lagi! Infotainment sudah membuat gue kehilangan Alice... Yah, begitulah. Gue memutuskan untuk numpang di rumah Udik semalam. Lebih baik daripada menginap di hotel, karena di rumah Udik gue bisa sekalian punya teman ngobrol. Tampangnya memang sempat kaget waktu melihat gue muncul di teras rumahnya, tapi dia langsung dengan sigap menyeret gue masuk, karena kepingin mendengar sendiri semua penjelasan tentang pemukulan Yopie, rusuhnya konser Skillful, dan gue yang, menurut istilah dia, punya mainan baru bernama Regina Helmy. Hah! Gue nggak nyangka Udik ternyata penyimak infotainment juga! “Hoi! Bengong lo! Ayam tetangga gue pada mati semua nanti!” Udik menepuk kaki gue keras-keras. “Tuh, saking seriusnya bengong, sampai digigitin nyamuk aja nggak kerasa!” Dia menunjukkan tangannya yang belepotan darah, dengan bangkai nyamuk kecil di tengahnya. Gue mengerling kaki gue, di tempat yang ditepuk Udik tadi, dan mendapati di situ juga ada bercak darah. Hhh... ternyata putus cinta bikin mati rasa juga, ya? Gue sama sekali nggak merasa ada nyamuk yang menyedot darah gue sebegitu banyak. “Nih, daripada bengong, lo bantu gue deh.” “Bantu apaan?” “Lupa, ya? Lo nyuruh gue handle Friendster lo, dan sekarang banyak cewek kirim message nih! Gue harus balas apa?” “Terserah lo deh. Lo kan yang paling jago ngurusin cewek gitu!” “Iya, tapi gue sekarang udah mulai pusing nih! Udah kehabisan jawaban! Cewek-cewek ini... sekalinya dibalas message-nya, minta dibalas terus! Gimana kalau mereka tau kalau yang selama ini balas message mereka bukan lo ya?” Udik cengengesan. “Ya udah, biar aja. Daripada message-nya nggak dibalas, juga.” Gue mengedikkan bahu, tapi beranjak juga menuju meja komputer Udik. Window yang terpampang di monitor adalah inbox account Friendster gue, dan gue shock mendapati unread messages-nya ada sembilan belas! “Setiap hari segini banyak?” tanya gue bingung. “Iyaaa! Makanya, lo ngerti kan sekarang kenapa gue udah kehabisan kata-kata?” gerutu Udik. “Gih, lo bantuin ngarang deh! Gue yang ngetik!” perintahnya. Selama sepuluh menit berikutnya, gue membantu Udik membalas beberapa message. Masih ada sisa tiga belas lagi, tapi gue juga sudah kehabisan kata-kata. “Eh, Dik, lagu apa nih? Besarin dong!” Gue mendengar komputer Udik memutar lagu yang iramanya enak banget, yang ternyata diputarnya dari Yahoo! Radio. “Ehh... What About Now-nya DAUGHTRY,” Udik membaca tulisan di window Yahoo! Messenger-nya, lalu membesarkan volume speaker di komputer, dan gue mendengarkan lagu itu mengalun. Shadows fill an empty heart As love is fading, From all the things that we are But are not saying. Can we see beyond the scars And make it to the dawn? Change the colors of the sky. And open up to The ways you made me feel alive, The ways I loved you. For all the things that never died, To make it through the night, Love will find you. What about now? What about today? What if you’re making me all that I was meant to be? What if our love never went away? What if it’s lost behind words we could never find? Baby, before it’s too late, What about now? Gue mengernyit. Baru kali ini gue mendengar lagu yang menohok begini. Kenapa bisa pas dengan apa yang gue rasakan ke Alice? * * * Pesawat yang gue tumpangi mendarat di bandara Sultan Thaha, Jambi, dengan sedikit sentakan. Beberapa penumpang heboh, mungkin mengira diri mereka sudah di ujung maut atau apa, tapi gue nggak bereaksi. Nggak ada yan glebih mengguncang dunia gue selain diputuskan Alice... Kalau saja gue bisa, gue kepingiiiinn banget menuntut infotainment-infotainment yang menyebarkan gosip tentang gue dan Regina. Mereka nggak tahu seberapa besar gosip itu sudah berdampak pada hidup gue. Mama bahkan nangis waktu mendengar Alice memutuskan gue, dan menyalahkan gue karena nggak mampu menjaga perasaan gadis itu baik-baik. Yah, gue memang salah. Goblok! Gue menyia-nyiakan cewek sebaik Alice. Rasanya nggak mungkin dia mau balik lagi sama gue... Sambil menuruni tangga pesawat, gue menyalakan iPod dan memasang earphone di telinga. Lagu yan ggue dengar adalah What About Now-nya DAUGHTRY, lagu yang gue dengar di Yahoo! Radio semalam. Memang, lagu ini menohok perasaan, tapi liriknya dalem banget. Gue nggak yakin apa Skillful bisa bikin lirik lagu sebagus ini. Dan mungkin karena gue suka sama What About Now, semalam gue meminjam komputer Udik untuk mencari lagu-lagu DAUGHTRY lainnya. Gue dapat sealbum penuh! Hell, this band is cool! Dan ternyata vokalisnya tuh Chris Daughtry yang jebolan American Idol itu! Pantas gue merasa familier sama suaranya, ternyata... Yah, pokoknya gue sekarang suka banget sama band ini. Mereka benar-benar punya skill bermusik yang tinggi, dan aliran musiknya nggak jauh beda dengan Skillful, pop rock. Ada beberapa lagu upbeat di album mereka, dan beberapa lainnya adalah lagu slow. Gue berjalan melewati gerbang kedatangan, dan mencari-cari penjemput gue. Bang Budy bilang, salah satu kru akan menjemput gue, tapi dia nggak bilang siapa. “Hei!” Gue menoleh, dan melihat Tyo, kru Skillful, nyengir di depan gue. Gue mencopot earphone yang terpasang di telinga. “Oh, lo yang jemput? Gue kira Asep.” “Nggak. Si Asep sakit.” “Lho? Sakit apa?” “Kejatuhan kamera.” “Hah?” Gue mengernyit nggak ngerti. “Kamera apa? Digicam?” “Bukan. Kamera TV.” Gue masih melongo kebingungan, tapi Tyo sudah membimbing gue ke sebuah mobil yang menunggu di depan terminal kedatangan. Sopir mobil itu langsung memacu kendaraannya begitu gue dan Tyo berada di dalam mobil. Berkat topi dan kacamata hitam yang gue pakai, nggak ada yang mengenali gue sebagai Dylan Skillful. “Eh, lanjutin cerita yang tadi dong. Yang Asep kejatuhan kamera TV,” pinta gue ke Tyo. Gue masih penasaran kenapa Asep bisa kejatuhan kamera TV. Aneh banget! “Yah... gini, kemarin waktu kita sampai di bandara, ternyata wartawan udah ngejogrok di situ.” “Hah? Ngapain?” “Ya nungguin lo lah, ngapain lagi?” Gue melongo sejadi-jadinya. “Nungguin gue?” “Iya. Mereka mau minta konfirmasi soal gosip lo sama si Regina.” “Damn!” gue mengumpat. “Untung lo dari Batam balik dulu ke Jakarta, Lan. Kalau lo ikut ke Jambi, wahh... gue nggak tahu deh gimana jadinya. Pas lo di Cengkareng nggak ada wartawan, kan?” Gue menggeleng. “Ah, iya. Kan nggak ada yang tahu kalau lo balik ke Jakarta dulu. Mereka tahunya Skillful ada jadwal di Jambi hari ini, jadi mereka kira lo dari Batam langsung ke Jambi.” “Terus... itu si Asep! Kenapa dia bisa kejatuhan kamera?” gue masih penasaran tentang Asep. “Oh, kemarin di bandara Bang Budy dikerubuti wartawan yang nyariin lo, terus Asep mau bantu buka jalan buat Bang Budy, taunya malah nabrak cameraman infotainment, nah si cameraman meleng, kepala Asep kejatuhan kameranya deh. Sampai tadi pagi masih pusing gitu katanya,” jelas Tyo. Gue geleng-geleng. Kasihan si Asep. Secara nggak langsung kan dia apes begitu garagara gue. “Mmm... Lan, gue mau nanya nih...” “Apa? Soal gosip gue sama Regina?” tebak gue. Tyo mengangguk sambil cengengesan. Aduh, dia yang hampir tiap hari ketemu gue aja, bisa percaya sama infotainment? “Menurut loooo?” tanya gue balik. “Ya... gue nggak tahu... makanya gue nanya lo...” “Yo, Yo... lo kan tahu gue sayang banget sama Alice. Dan gue bulang ke Jakarta kemarin aja bela-belain untuk ngajak Alice baikan. Gue nggak mungkin lah ada apa-apa sama Regina!” “Terus, gimana? Lo udah baikan sama Alice?” Gue tersenyum pahit. “Nggak. Dia malah... mutusin gue.” “Kok bisaaaa???” Tyo melongok dari jok depan dengan gaya dramatis bak artis film India, yang melongok dari balik tembok sebelum adegan tarian. “Ya gue kan datang untuk ngajak baikan dia yang ngambek karena gue nggak mau batalin kontrak dan pulang ke Jakarta, tapi pas gue sampai... ternyata dia sudah lihat gosip gue dan Regina. Dia lihat rekaman gambar waktu gue dicium PIPI sama Regina di Batam, dan dia beranggapan... gue nyeleweng. Jadilah... gue mau ngajak baikan karena satu masalah, ehh malah diputusin karena masalah lainnya.” “Wow,” gumam Tyo dengan muka takjub. Dasar edan! “Padahal kan lo tahu sendiri, Yo, yang dicium sama Regina itu bukan cuma gue. Dovan, Rey, Dudy, bahkan Bang Budy juga dicium sama dia! Dan itu kan cuma cium PIPI! Gue nggak ngerti kenapa Alice lebih percaya infotainment daripada gue...” Mungkin muka gue udah sama pahitnya seperti orang yang mau bunuh diri, jadi Tyo nggak berlagak memunculkan ekspresi ajaib lagi. Dia duduk diam di kursinya, nggak mengocehkan hal-hal gila lagi. Gue menatap ke luar jendela, ke lalu lintas kota Jambi yang lengang. Langit mendung, banyak awan hitam berarak. Mungkin nanti malam bakal hujan? Langit mendung itu membuat gue teringat lagu lama Baim. Kian hari kulihat awan menghitam Tak sebiru dahulu, Sewaktu kau di sisiku... Yah... sekarang gue ngerti apa yang dimaksud Baim di lagu itu. * * * Dugaan gue bener, malam ini hujan. Hujan lebat, plus angin kencang. Unfortunately, the show must go on! Dan gue untungnya cukup bijaksana untuk pakai jaket di atas kaus gue. Angin di sini bikin menggigil! Para personel opening band kami baru saja turun dari panggung, dan gue kasihan banget melihat vokalisnya gemetar kedinginan. Ya ampun, dia mikir nggak sih waktu pakai kaus you can see itu? Dia nggak tahu apa bakal manggung dalam kondisi hujan lebat begini? “Dan kita sambut... SKILLFUL!” Ups, gue nggak bisa lebih lama lagi ngelihatin vokalis opening band itu. Saatnya naik panggung! Setengah berlari, gue naik ke panggung, dan kaget melihat hujan ternyata lebih deras daripada yang gue rasakan di backstage tadi. “Selamat malam, Jambi!” Gue menyapa lautan penonton yang bersorak-sorai membalas sapaan gue di bawah hujan lebat. Gue menyanyikan lagu Akhir Penantian yang bertempo cepat tanpa kesalahan. Semua liriknya seakan terekam jelas di kepala gue, mengalir lancar melalui kata-kata. Bahkan sembilan lagu berikutnya pun gue selesaikan dengan benar. Nggak ada salah lirik sedikit pun, man! Dan, menurut gue nih, kemampuan gue berkomunikasi dengan audiens malam ini juga nggak parah-parah amat! Tapi di lagu kesebelas, gue mematung di bibir panggung saat melihat batu-batu melayang di udara. Gue kehilangan kata-kata... yang sebelumnya mengalir sangat lancar dari mulut gue... Ya Tuhan, kerusuhan... LAGI??? “Dylan, ke sini! Dylaaannn!” Gue menoleh, melihat Bang Budy memanggil-manggil gue dari belakang panggung dengan nada memerintah. Tapi kaki gue seakan terpaku di tempat, nggak bisa bergerak... Seperti déjà vu, gue melihat pagar pembatas antara penonton dan panggung tertabrak hingga roboh... Gue melihat batu-batu dilemparkan... Gue melihat orang-orang saling mendorong dan memukul... Teriakan dan makian bergaung di udara... Tapi kaki gue masih terpaku di tempat... nggak bisa digerakkan. Lidah gue kelu, dan napas gue tertahan, seolah kejadian yang ada di depan gue membuat seluruh tubuh gue mati rasa, membuat seluruh organ tubuh gue nggak berfungsi sebagaimana mestinya... CTAAAASSSSS! DHAARRRRR! Gue dengan panik menoleh ke bagian kiri panggung, tepat sebuah ledakan baru saja terjadi. Kobaran kecil api menyala di sana, hanya beberapa saat karena langsung tersiram hujan lebat yang turun, tapi gelombang panik yang besar melanda gue. Dan seluruh lampu penerangan mendadak padam, menyisakan kegelapan. Gue merasa mual... ingin muntah... Oh Tuhan, saya harus melakukan apa? Seseorang tiba-tiba menarik tangan gue, dan menuntun gue menuruni panggung dengan bantuan sinar lampu kecil yang ternyata dari monitor HP-nya. Dari gumam jengkel dan kemarahan yang keluar dari mulutnya, gue tahu orang itu Bang Budy. * * * “Kamu ini bagaimana sih, Dylan?! Abang kan sudah panggil kamu, suruh kamu cepat turun! Kenapa kamu malah diam saja di atas panggung?” Gue diam saja mendengar Bang Budy memarahi gue. Bukan karena gue terima dimarahi, tapi karena... horor kerusuhan itu masih berputar-putar di depan mata, seolah membuntuti gue, bahkan saat gue sudah aman di kamar hotel sekalipun, di tengah seluruh personel dan kru Skillful. “Ledakan tadi itu... apa?” tanya gue dengan suara serak yang nggak gue kenali. “Ada peralatan sound yang basah kena hujan, terus korslet... meledak,” jawab seseorang. Gue mendongak, dan melihat Asep lah yang menjawab, dia masih pakai koyo di kedua pelipisnya, mungkin masih pusing akibat kejatuhan kamera TV kemarin. Ekspresinya nggak jauh beda dengan orang-orang lain di ruangan ini. Ketakutan... khawatir... “Mati lampu tadi karena sekringnya putus. Pengaman supaya korslet nggak merambat ke peralatan sound yang lain. Bisa bahaya kalau itu terjadi,” tambah Tyo. Gue merasakan gelombang kepanikan itu mereda sedikit. Tadinya gue berpikir ledakan itu diakibatkan orang-orang yang terlibat kerusukan. Tadinya gue berpikir... entahlah, mungkin ada orang-orang yang sengaja ingin merusuh di konser Skillful? Mungkin ada yang tak suka pada kami, sehingga membuat semua kerusuhan ini terjadi... membuat nama Skillful jadi jelek... Tapi mendengar penjelasan Asep dan Tyo, juga laporan polisi di Medan dan Pekanbaru yang menyatakan tak ada unsur kesengajaan pada kerusuhan yang terjadi di konser-konser kami, kecurigaan gue mereda. Polisi pasti bisa mencium kalau kerusuhan ini benar dirancang oleh pihak tertentu. Mereka pasti akan tahu. Mungkin gue aja yang terlalu parno dan stres karena nggak pernah menghadapi masalah sebanyak ini bertubi-tubi. Dan Alice yang memutuskan gue ternyata sanggup membuat gue lupa akan rusuh dua konser yang terjadi sebelumnya. Tadi sebelum naik panggung, gue sama sekali nggak khawatir akan terjadi rusuh di konser... gue sama sekali nggak ingat untuk khawatir... yang ada di pikiran gue hanya Alice... Alice... Belum pernah gue kepingin banget bicara sama dia... berbagi... seperti saat ini. Dia benar, mungkin seharusnya gue membagi semua masalah ini dengan dia dulu. Mungkin gue nggak seharusnya menyimpan sendiri semua masalah dan bertingkah seperti anak kecil dengan mematikan HP supaya nggak ada yang menghubungi. Mungkin gue seharusnya menganggap serius apa yang Alice tulis di SMS 10-things-I-hate-about-you-nya itu. Seharusnya gue bisa melihat apa yang dia benci dari diri gue, dan memperbaiki diri, bukan hanya tertawa dan menganggapnya sekadar SMS... Seandainya gue melakukan itu, mungkin gue nggak akan kehilangan dia.... Tapi sekarang semuanya sudah terlambat. bersambung *wiedey*
Posted on: Mon, 23 Sep 2013 12:09:15 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015