Dear Dylan penulis : stephanie zen part 3 REGINA HELMY, JANGAN - TopicsExpress



          

Dear Dylan penulis : stephanie zen part 3 REGINA HELMY, JANGAN SAMPAI KAU YANG TERPAKSA MENGOMPRES PIPIMU DENGAN ES BATU! ADA begitu banyak hal yang baru kusadari setelah satu tahun aku dan Dylan jadian. Ehh... baikan. Di antaranya adalah... 1. Dylan ternyata sangaaaattt cerdas. Dulu, waktu aku masih berstatus fans Skillful, dan beberapa kali menonton Dylan manggung, aku tahu kalau cara dia berkomunikasi dengan audiens sangat payah. Omongannya kadang-kadang nggak nyambung, dan suka salting sendiri di panggung. Tapi ternyata kalau aku ngobrol-ngobrol berdua aja sama dia, dia benar-benar cerdas. Diajak ngobrol apa aja nyambung. Belum lagi otaknya yang punya daya ingat super itu. Wawasannya juga luas. Jadi kesimpulanku: tiap kali di atas panggung pasti dia grogi, sampaisampai omongannya suka ngawur dan melantur ke mana-mana. 2. Dylan itu jayus. Bener deh. Sering aku nggak nyadar kalau dia sedang bermaksud melucu, dan malah menatapnya dengan ekspresi “maksud-loo?”. Hmm... mungkin itu sebabnya dia menganggapku sangat lucu. Jelas stok lawakanku jauh lebih fresh dan nggak garing kayak dia, haha! 3. Dylan kalau mandi lamaaaaa banget! Entah apa saja yang dilakukannya di dalam sana. Kamar mandi, maksudku. Pernah aku sampai harus menunggu hampir satu jam di teras rumahnya, dan Dylan belum selesai mandi juga. Mungkinkah bercukur menghabiskan waktu lebih lama dibanding luluran? 4. Porsi makan Dylan nggak jauh beda dengan kuli pelabuhan. Aku sampai kaget waktumakan bareng dia di Hoka-Hoka Bento, kira-kira tiga bulan setelah kami balikan, karena dia sanggup menghabiskan porsi makan untuk tiga orang! Akibatnya, sekarang beratnya naik lima kilo, dan banyak diprotes para fansnya. Kasihan dia... Selain aku, nggak ada yang tahu masalah kritikan tentang berat badannya itu membuatnya cukup stres. 5. Hal yang membuat Dylan malas menyetir mobil adalah karena waktu dia pertama kali belajar menyetir dulu, dia menabrak tong sampah tetangganya sampai ambrol, dan diminta mengganti rugi empat ratus ribu! Hah, aku sih juga bakal trauma kayak dia kalau diminta mengganti sebanyak itu! Tetanggaku, Bu Parno, si Mrs. Infotainment itu, seenggaknya nggak akan minta ganti rugi sebanyak itu kalau aku menghancurkan tong sampahnya. Atau... hmm... nggak tahu juga sih. Aku nggak pernah menabrak tong sampahnya, soalnya. Belum. Hehe. 6. Dylan bener-bener kepingin melanjutkan kuliahnya. Kalau bisa, dia malah mau meneruskan S2. Tapi sampai sekarang jadwal Skillful masih padat, dan Dylan terpaksa memperpanjang cuti kuliahnya. 7. Kue favorit Dylan adalah pukis. Aku nggak bercanda: P-U-K-I-S. Kalau ada donat J.Co dan pukis di depannya, lalu dia disuruh memilih, aku berani bertaruh kalau dia akan memilih pukis. Kamu nggak bakal percaya sebelum melihatnya sendiri. 8. Jangan pernah mengajak Dylan bicara saat dia baru bangun tidur dan belum minum kopi. Dalam kondisi seperti itu, kalau kamu meneleponnya untuk minta jemput di PIM, dia akan menjemputmu ke Plaza Senayan. Aku pernah mengalaminya. Jangan tertawa. 9. Dylan itu orangnya sangat pengalah. Sama sekali nggak egois, sampai-sampai aku merasa nggak enak karena sering mau menang sendiri. Termasuk untuk menentukan film apa yang akan kami tonton kalau ke bioskop. Dia berkali-kali mengalah untuk nggak nonton The Bourne Ultimatum atau Die Hard 4.0 karena aku memaksanya nonton Selamanya dan Harry Poter and the Order of the Phoenix. Di luar semua itu, banyaaakk sekali yang berubah dalam hidupku. Termasuk bertambahnya gelarku sebagai psikolog amatir free charge, karena fans-fans Skillful yang kukenal sekarang sering banget menelepon atau SMS untuk curhat masalah-masalah pribadi mereka. Padahal ada lho yang sudah anak kuliahan, yang notabene lebih tua dari aku dan harusnya bisa lebih dewasa dalam menyikapi masalahnya, tapi malah minta saran dariku. Tapi aku menikmati semuanya. Kecuali saat-saat di mana gerombolan wartawan infotainment mengintilku dan Dylan ke mana pun, itu sangat menyebalkan. Bagaimana caranya pacaran kalau dilihatin begitu banyak orang, plus disorot kamera, plus bakal jadi tontonan jutaan penikmat infotainment se-Indonesia? Aku nggak akan bangga seandainya pagi-pagi saat aku mau berangkat sekolah, Bu Parno muncul di teras rumahnya dan bilang, “Lice, saya lihat kamu lho di infotainment kemarin sore.” Percayalah, itu pertanda bahwa namaku akan disebut-sebut setidaknya seratus kali dalam arisan PKK selanjutnya. * * * “Aku nggak mau makan sushi lagi,” kataku begitu Dylan bilang dia lapar. Dylan tertawa geli. “Aku nggak bilang kalau mau makan sushi kok,” katanya sok ngeles. “Kita makan pizza aja, yuk?” Aku mengangguk. Whatever lah, asal bukan sushi lagi. Aku nggak sanggup membayangkan harus mengulang skenario menelan salmon mentah kemarin. Dylan menggandengku menuju Pizza Hut. Seperti biasa, orang-orang yang kami lewati menatap kami dengan tatapan ohh-ada-seleb-lewat. Bahkan ada dua cewek yang memberanikan diri menyapa Dylan dan mengajaknya foto bareng, biarpun suara mereka bergetar saking groginya saat bicara. Haha, kalau aku melihat fans-fans seperti ini, aku jadi teringat masa lalu, saat aku begitu groginya untuk bicara pada Dylan. Kami sudah sampai di depan Pizza Hut, dan hampir saja masuk waktu seseorang memanggil. “Dylan!” Spontan kami berhenti, dan aku menoleh melihat siapa yang memanggil itu. O-em-ji. Regina Helmy! Damn, kenapa dari sekian banyak mal di Jakarta, dia memilih datang ke mal ini dan berpapasan dengan aku dan Dylan? Dan dilihat aslinya, ternyata dia jauuuhh lebih cantik daripada di TV. Tinggi langsing, dengan pakaian modis, yang aku yakin kulihat minggu lalu di etalase ZARA, menempel di badannya. Ohh, dan tasnya pun Anya Hindmarch! Dan dia pakai boots yang keren banget! Apakah itu... Jimmy Choo yang terbaru??? “Hai, Gin!” sapa Dylan sambil, entah mataku salah lihat atau apa, tersenyum sumringah. Gin? Oh ya, Gin dari Gina. Gina dari Regina. Hmm... tidakkah terdengar terlalu akrab? Semacam panggilan... sayang? Heh... nggak, aku nggak boleh mikir yang aneh-aneh! “Hai!” balas Regina sambil tersenyum lebar. Gigi-giginya rapi sekali, dan putih bersih. Entah seberapa sering di-bleaching. Dan entah kenapa aku juga setengah berharap akan menemukan cabe nyelip di sana. Itu akan membuatnya sedikit manusiawi, kecantikannya terlalu mirip bidadari, bikin aku minder saja! Sayang sekali nggak ada cabe nyelip di giginya. “Sama siapa?” tanya Regina. “Ini, sama cewek gue.” Dylan menunjukku yang ada di sebelahnya. Regina, dengan kurang ajarnya, celingak-celinguk, seolah dia nggak percaya akulah yang dimaksud Dylan sebagai ceweknya! Sialan! “Oh,” katanya akhirnya, saat tatapannya berhenti padaku. “Ini cewek lo?” “Ya. Namanya Alice. Alice, Regina. Regina, Alice,” Dylan saling mengenalkan kami. Mau nggak mau aku menjabat tangan Regina, yang benar-benar halus bak sutra. Padahal tadi aku berharap tangannya kapalan atau berkutil. Sayang sekali, harapanku lagi-lagi nggak terkabul. “Eh, Lan, pipi lo masih merah...” Regina melepaskan tangannya dari jabatanku dan... menyentuh pipi Dylan! Di depanku!!! Dobel kurang ajar! Berani-beraninya! Apa dia sama sekali nggak memandangku??? Helooooo... aku ini pacarnya Dylan! “Ng... nggak, udah nggak papa kok,” kata Dylan dengan nada suara yang aneh, jelas dia merasa risih pipinya disentuh Regina begitu! Atau dia malah... grogi? “Sori ya waktu itu gue bego banget sampai harus take berulang kali,” kata Regina sambil tertawa kecil. Tawanya halus sekali, seperti dilatih di sekolah kepribadian. Sangat bertolak belakang dengan cara tertawaku yang bercampur antara ngakak dan mendengus. “Ah, nggak papa, toh akhirnya beres juga tu video klip,” Dylan cengengesan. “Habisnya... gue grogi sih kalau di depan lo,” kata Regina pelan, tapi membuatku serasa baru dipaksa menelan sebaskom Salmon Takamaki. Tanpa wasabi dan kecap asin. Ini orang sengaja manas-manasin aku, atau dia memang lagi flirting sama Dylan??? “Ah, lo bisa aja. Gue bukan siapa-siapa lagi, kan lo yang model dengan nilai kontrak termahal se-Indonesia.” Ya ampun. Sekarang mereka malah saling memuji! Dan aku terlupakan! “Nilai kontrak nggak menjamin kualitas, Lan,” kata Regina lagi, dan dengan segenap jiwa aku mengaminkannya dalam hati. Yeah, dia boleh saja berbandrol paling tinggi se-Indonesia, tapi di mataku dia sangat norak! Nggak berkualitas, huh! “Eh, gue pamit dulu ya, mau ada pemotretan. Takut kena macet di jalan.” Dia melirik arlojinya, dan aku samar bisa melihat huruf G besar terpampang di sana. Ah ya, aku lupa dia spokeperson untuk merek arloji itu di Indonesia. Mungkin dia otomatis mendapat suplai produk arloji keluaran terbaru merek itu setiap bulan. “Lho, nggak mau gabung sama kita?” tanya Dylan sambil menunjuk pintu masuk Pizza Hut, yang membuatku melotot saking kagetnya. Dylan mengajak Regina gabung sama kami??? “Sori, Lan, gue nggak bisa. Ada pemotretan, dan gue harus ngurusin badan lagi nih, minggu depan gue ikut rombongan Anne Avantie ke State, ada undangan fashion show di sana.” Huh! Ingin rasanya aku mengucapkan “minggu-depan-gue-juga-ikut-rombongan-Donatella- Versace-ke-Planet-Mars-ada-undangan-fashion-show-di-sana”! “Ohh, ya udah. Good luck deh buat kerjaan lo.” “Oke. Ntar pipi lo kompres pake es batu gih, biar hilang merahnya,” kata Regina sambil, sekali lagi, menyentuh pipi Dylan! Kalau dia nggak segera cabut dari sini, dia yang akan kubuat terpaksa mengompres pipi dengan es batu nanti malam! Regina ber-dadah ria pada Dylan (kelihatannya dia sengaja berpura-pura aku nggak ada di sebelah Dylan), kemudian berlalu pergi. Dylan menggandeng tanganku lagi dan kami masuk ke Pizza Hut. Sampai pesanan kami datang, aku masih merengut bete. “Kok kamu nggak makan?” Aku makin manyun. “Nggak! Minggu depan gue ada show Anne Avantie di State! Harus ngurusin badan!” Alis Dylan terangkat sebelah, lalu dia terpingkal-pingkal. “Kamu marah ya sama Regina? Gara-gara dia menyentuh pipiku tadi?” Aku membuang muka. Ternyata aku keliru menilai Dylan cerdas! Buktinya, untuk pertanyaan yan gudah jelas jawabannya gitu aja, dia masih nanya! “Cieee... yang lagi cemburu,” Dylan menggodaku, tapi aku tetap buang muka. Biar aja sekalisekali dia tahu rasanya dicuekin! Suer, aku kesel banget tadi sepanjang dia ngobrol sama Regina! Aku merasa... minder. Dan terintimidasi. Hanya dengan kehadiran seorang Regina Helmy. “Jangan gitu, Say. Aku nggak ada apa-apa kok sama Regina. Di video klip sekalipun, adegan kami nggak ada yang berhubungan sama mesra-mesraan. Klip itu kan isinya tentang cewek sama cowok yang berantem melulu.” Kayaknya aku mulai melunak. Iya ya, urusan Dylan dan Regina kan cuma di syuting video klip itu saja, dan kalau video klip itu sudah selesai, berarti mereka nggak akan beruruan lagi. Done. “Yahh...,” kataku akhirnya, setengah merengek, “wajar kan kalau aku khawatir kamu kecantol cewek macam Regina. Dia kan cantik, langsing, modis, model top pula...” “Say, aku tuh cari pacar yang bisa bikin aku merasa there’s no one else I’d rather spend my time with. Yang kalau aku nggak ketemu dia sehariii aja, aku bisa kangen setengah mati. Pacar yang mau diajak makan Pizza Hut bareng, bukannya yang menolak dengan alasan dia diet karena minggu depan ada undangan fashion show.” Aku menelan ludah. Ah, memang aku sering sekali jadi childish dan konyol begini. Dan hebatnya, Dylan selalu bisa menghadapi aku dengan tenang. Kok dia masih bisa tahan juga ya sama aku?? “Tapi... tapi... kenapa dia pegang-pegang pipimu segala?” tanyaku tergagap. Aku jadi malu sudah ngambek, tapi gengsi dong kalau ngaku! “Regina emang orangnya gitu, suka SKSD.” Dylan nyengir dan aku merasa senang melihat ada satu poin negatif Regina di mata Dylan. Seperti yang kubilang sebelumnya, satu poin jelek akan membuat cewek itu terlihat sedikit manusiawi. “Berarti kamu nggak suka, kan... nggg... digituin?” “Digituin gimana? Dipegang-pegang pipinya? Ya nggak sukalah, Say... sebel banget!” “Oohh...” “Tapi aku kasihan sama Regina.” “Heh? Kenapa?” Menurutku, nggak ada satu hal pun dari Regina yang bisa membuat orang mengasihaninya. Apa coba yang harus dikasihani? Cantiknya selangit, karier sukses, dan penghasilannya pasti berlimpah. “Cowoknya kan meninggal beberapa bulan lalu. Narkoba.” Aku menggigit bibir. Aku sama sekali nggak tahu tentang itu. Secara, aku bukan penggila infotainment kayak Bu Parno. Dan yah... mungkin itu sebabnya Regina sengaja memanas-manasi aku dengan SKSD sama Dylan tadi. Mungkiiiin dia iri aku masih punya Dylan, sementara dia kehilangan cowoknya. Kok aku jadi kasihan juga ya, sama dia? Jadi prihatin. Hmm... “OH iya, Say, aku mau kasih tahu kamu sesuatu nih.” “Hmm?” “Tanggal lima belas nanti nggak ada acara, kan? Nggak ada jadwal ulangan juga?” Aku mengerutkan kening. Memangnya ada apa Dylan tanya kayak gitu? “Bentar, coba kuingat-ingat dulu...” Aku memutar otak. “Kayaknya nggak ada deh, kenapa emangnya?” “Mau ikut ke MTV Awards nggak?” “HAH??!” “MTV Awards,” ulang Dylan. “Kan Skillful masuk nominasi, jadi aku sama anak-anak semua bakal dateng. Nah, Rey, Dovan, Ernest, sama Dudy berencana ngajak istri masing-masing. Dan aku jelas nggak mau menghabiskan semalaman duduk garing di sebelah Bang Budy. So,” Dylan tersenyum, “would you like to accompany me?” Kayaknya menu sarapan yang kumakan tadi pagi (roti panggang dan telur mata sapi) jungkirbalik di dalam perutku. Seolah gerak peristaltik nggak lagi manjur untuk mengolah mereka menjadi energi, jadi mereka memutuskan untuk berakrobat sendiri di lambung dan usus-ususku. “Maksudnya nanti... aku bakal duduk di sebelahmu sepanjang acara itu, gitu?” Dylan nyengir. “Kecuali kamu lebih suka duduk di sebelah Bang Budy.” “Dylan, aku serius! Aku nggak pernah ikut acara-acara kayak gitu! Apalagi...” Aku menyumpah-nyumpah dalam hati. Ya ampuun, acara macam itu kan pasti ada red carpet session-nya! Belum lagi, bakal ada para VJ MTV yang jadi fashion police, yang bakal mencari tahu dari mana asal-usul gaun, jas, baju, dan sepatu orang-orang yang lewat di situ! Aku ingat, tahun lalu, Titi Kamal datang sambil menggandeng Christian Sugiono di MTV Awards, dan saat ditanya gaun, clutch, dan stiletto-nya dibeli di mana, dia menyebutkan Gucci, Guess?, ZARA. Berapa budget yang dia habiskan? Sepuluh jeti. Lebih dikit. Entah berapa yang dia maksud dengan “lebih dikit” itu. Kalau aku setuju untuk menemani Dylan ke sana, aku harus pakai baju apa??? Aku jelas nggak punya budget “sepuluh juta lebih dikit” seperti Titi Kamal! “Sayaaang, helooo...? Kok ngelamun?” Aku menggeleng beberapa kali, berusaha mengusir bayangan Titi Kamal dari benakku. “Mmm, Lan, aku nggak tahu apa aku pantas datang di acara kayak gitu.” “Apa kamu pantas? Ya pantas dong! Kenapa kamu mikir kayak gitu?” “Aku...” Ah, nggak lucu kalau aku bilang aku nggak punya baju yang pantas untuk datang ke acara itu. Bisa-bisa nanti Dylan mengira aku minta dibelikan baju! Yeah, aku tahu dengan sekali manggung dia bisa membelikanku segala macam yang dipakai Titi Kamal tahun lalu itu, tapi itu kan gila sekali! “Aku... mmm... aku takut bikin kekacauan di sana.” Dylan bengong. “Kekacauan? Kamu... nggak berencana bawa bom kentut atau apa, kan?” “Aduh, ya nggak laaaaahhhh! Maksudku, aku takut kalau nanti tingkahku di sana ada yang konyol, dan ujung-ujungnya malah bikin kamu malu...” Nah, itu alasan yang cukup brilian untuk dipikirkan dalam waktu beberapa detik. “Nggak usah mikir kayak gitu, kamu nggak bakal bikin aku malu kok. Aku malah bangga banget kalau bisa datang sambil menggandeng kamu. Ikut, ya?” Oh, sudahlah. Memangnya aku bisa bikin kekonyolan apa sih di sana? Dan mungkin aku bisa memikirkan soal baju nanti. Ini toh masih tanggal satu. Masih ada waktu dua minggu untuk memutar otak. bersambung *wiedey*
Posted on: Sat, 07 Sep 2013 14:14:34 +0000

Trending Topics



★★★★★EARN $2,000-$8,000 PER MONTH WITHOUT EVER ENROLLING

Recently Viewed Topics




© 2015